Sebelum mengkaji tentang sesuatu yang keluar dari sabilain[1] lebih jauh, maka ada baiknya jika membahas tentang pengertian najis terlebih dahulu. Karena segala sesuatu yang keluar dari sabilain termasuk najis.
Najis secara bahasa adalah sesuatu
yang kotor. Sedangkan secara syar’i, najis adalah segala sesuatu yang
haram untuk dikonsumsi secara mutlak walaupun
memungkinkan, yang hal tersebut bukan karena haram, kotor, atau
berbahaya bagi badan dan akal.
Dari definisi diatas,
dapat disimpulkan bahwa, segala sesuatu yang keluar dari dalam tubuh hewan[2] terbagi menjadi dua :
1. Sesuatu yang
tidak menyatu dan tidak mengalami perubahan di dalam tubuh, seperti : ludah,
keringat, air mata, air liur[3] dan sejenisnya.
Maka, hukumnya sesuai
dengan hukum hewan tersebut. Jika berasal dari hewan yang najis, berarti
hukumnya najis, dan sebaliknya.
2. Sesuatu yang
mengalami perubahan di dalam tubuh, seperti : air kencing, berak, darah, nanah,
air yang keluar karena luka dan muntah.
Ada perbedaan pendapat
tentang hukum hal tersebut ;
·
Malik dan Ahmad__Air kencing dan berak
yang berasal dari hewan yang boleh dimakan, hukumnya suci.
·
Ijma’__semua hal tersebut
hukumnya najis, baik berasal dari hewan yang boleh dimakan maupun tidak,
karena hal tersebut merupakan sesuatu yang kotor dan telah mengalami perubahan
dalam tubuh.
Adapun angin yang keluar dari qubul (biasanya terjadi
pada seorang wanita yang sudah bersuami dan melahirkan), ulama berselisih
tentang hal ini;
·
Jumhur ulama’__hal itu membatalkan
wudhu, karena keumuman dalil tentang najisnya segala hal yang keluar dari sabilain.
Dan ini yang rojih.
·
Hanafi__hal itu tidak
membatalkan wudhu
v Jenis benda/ zat-zat yang keluar dari sabilain :
1.
Air kencing
Air kencing manusia hukumnya adalah najis menurut ijma’. Hujjah dalam
perkara ini adalah hadits Rasul tentang seorang badui yang kencing di dalam
masjid. Rasulullah memerintahkan para sahabatnya agar menyiram air kencing itu
dengan seember air.
Tidak
ada perbedaan antara kencing orang dewasa dan anak kecil. Keduanya adalah
najis. Hanya saja, kencing anak kecil cukup dibersihkan dengan cara memercikkan
air diatasnya.
Adapun
kencing binatang, maka jika ia berasal dari hewan yang tidak boleh dimakan
dagingnya, maka dihukumi najis. Hanafiyah berpendapat bahwa air kencing
tikus, burung, dan kelelawar dimaafkan, karena sulit dilacak keberadaannya.
Namun jika hal tersebut masuk kedalam bejana air, maka dihukumi najis.[4]
Sedangkan
kencing binatang yang boleh dimakan dagingnya, maka ulama berbeda pendapat ;
·
Maliki dan Hanbali__air kencing tersebut dihukumi bersih. Karena hukum air
kencing mengikuti hukum dagingnya. Maliki berpendapat, adapun untuk binatang
jalalah, maka tahi dan kencingnya adalah najis.
2.
Berak, air madzi
Hal-hal tersebut hukumnya najis, berdasar hadits Rasul :
إنما تغسل ثوبك من البول و الغائط و المذي و القيئ
“Sungguh, hendaknya kamu mencuci pakaianmu dari air kencing,
berak, madzi, dan muntah”[6]
·
Madzi : cairan putih, encer, lekat, tidak memancar.
Keluar saat terangsang.
Hendaklah orang
tersebut membersihkan dzakarnya dan berwudhu.
·
Wadiy : cairan putih keruh, dan kental. Keluar
setelah kencing, maka dihukumi
seperti air
kencing.
Ulama’
menambahkan wadiy sebagai sesuatu yang najis.
3.
Cacing, batu, dan segala
yang berasal dari lambung
Hukumnya mutanajjis (terkena najis), bukan najis. Namun jika berasal
dari air kencing, maka hukumnya najis. Dibersihkan dengan cara membasuhnya.
Jika ia dalam keadaan wudhu, maka hendaknya ia mengulang wudhunya.[7]
4.
Mani
Mani adalah cairan putih kental, keluar dengan memancar, disertai syahwat
dan merasa nikmat ketika mengeluarkannya. Merasa lemas setelah mengeluarkannya.[8]
→ Hukum mani manusia
(laki-laki dan perempuan) :
·
Syafi’i__hukum mani adalah
suci. Hujjah yang dipakai adalah hadits Aisyah,
لقد رأيتني أفرك من ثوب رسول الله المني فركا فيصلي فيه
“Sungguh, engkau telah melihat bahwa aku mengerik mani dari pakaian
Rasulullah dan beliaupun memakainya untuk sholat.”[9]
Dari hadits tersebut bisa dipahami bahwa, jika mani itu najis, maka
tidaklah cukup membersihkannya dengan mengeriknya saja.
·
Malik dan Abu Hanifah__hukum mani adalah najis. Hujjah yang dipakai adalah
hadits Rasul,
كان رسول الله يغسل المني ثم يخرج إلى الصلاة في ذلك الثوب
“Rasulullah mandi karena mani kemudian keluar untuk sholat dengan memakai
pakaian itu (yang tadi dipakainya).”
Pendapat yang paling shohih adalah, mani tidak dihukumi
najis. Sedangkan riwayat bahwa Rasul mandi setelah keluarnya mani, maka itu merupakan
sunnah dan penjagaan beliau akan
kebersihan.
→ Hukum mani hewan :
·
Mani babi dan anjing,
hukumnya najis, sebagaimana hukum asal keduanya.
·
Mani hewan (selain babi dan anjing), terdapat
khilaf :
Ar Rafi’i__hukumnya najis, karena mani mengalami perubahan di dalam tubuh.
Adapun manusia, maka itu pengecualian.
An Nawawiy__hukumnya suci, karena hukum asal dari hewan tersebut adalah suci.
Adapun susu, hukumnya adalah
suci. Namun jika berasal dari hewan yang najis, maka hukumnya adalah najis,
karena susu itu berasal dari dagingnya.[10] Begitupun jika susu
tersebut telah berubah menjadi darah, maka ia dihukumi najis.
[1]
Qubul dan dubur
[2]
Berlaku juga untuk manusia
[3] Jika air liur tersebut keluar dari usus
dan berbau busuk maka dihukumi najis (Syafi’i dan Maliki)
[4]
Dr. Wahbah Az-Zuhailiy, Al-Fiqh
Islam wa Adillatuhu, (Damaskus, Darul Fikr, 2007 M), jilid 1, hal. 303
[5]
Dr. Wahbah Az-Zuhailiy, Al-Fiqh
Islam wa Adillatuhu, (Damaskus, Darul Fikr, 2007 M), jilid 1, hal. 312
[6]
HR. Thabrani
[7]
Atha’ bin Abi Rabah. Fathul Bariy,
(Kairo, Darul Hadits, 1998 M), kitab Wudhu, bab 34, jilid 1, hal. 336
[8]
Abu ‘Ubaidah Usamah bin Muh.
Al-Jamal, Shahih Fiqh Wanita, (Surakarta, Insan Kamil, 2010 M), hal. 20
[9]
HR. Muslim
[10]
Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh
Islam wa Adillatuhu, (Damaskus, Darul Fikr, 2007 M), jilid 1, hal. 305
0 komentar:
Posting Komentar