A. Pendahuluan
Di zaman yang penuh fitnah ini umat Islam
mulai dihadapkan pada fitnah-fitnah yang terus menggerus aqidah lurus mereka.
Baik dari orang kafir yang sudah jelas kekafirannya, atau pun kaum syiah yang
banyak orang yang meragukan kekafiranya. Aqidah dendam kesumat mereka sangat
mendarah daging dalam diri mereka. Tak hanya kaum laki-lakinya yang melukai
tubuh mereka pada hari Asy-syura. Namun juga kaum wanitanya yang meratapi
kematian Imam Husain. Mereka
menangis, menjerit dan menampar-nampar pipi mereka
secara tidak wajar.
Islam membolehkan bersedih atas kematian
seseorang. Karena pada dasarnya perilaku tersebut adalah hal yang manusiawi.
Bahkan seorang Nabi Muhammad r pun bersedih saat putranya Ibrahim meninggal
dunia. Namun, Islam juga melarang bersedih yang berlebih-lebihan hingga
meratapinya. Hukum tersebut telah banyak dijelaskan baik dalam Al-Qur’an maupun
hadits. Dalam makalah ini akan disampaikan hukum seputar meratapi orang yang
telah meninggal dunia.
B. Pembahasan
1. Maratap
Meratap dalam bahasa Arab berarti an-niyahah (النّياحة (. Sedangkan menurut Syaik Nada
Abu Ahmad meratap atau niyahah adalah perbuatan lebih dari sekedar tangisan.
Yakni dengan mengeraskan suara seraya menyebut-nyebut karakter dan perbuatan si
mayit dan ia merupakan salah satu perbuatan jahiliyah.[1] Rasulullah
r bersabda:
أَرْبَعٌ فِيْ أمَّتِيْ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا
يَتْرُكُوْنَهُنَّ :الْفَخْرُ فِيْ الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِيْ الْأَنْسَابِ
والْإِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ وَالنِّيَاحَةُ
Artinya: “Empat hal pada umatku termasuk perkara
jahiliyah yang tidak mereka tinggalkan; yakni membanggakan kemuliaan leluhur,
mencela nasab, meminta hujan pada bintang, dan meratapi mayit.”[2]
Perbuatan meratap saat mendengar berita kematian banyak
dilakukan oleh kaum wanita. Karena wanita adalah makhluk yang lemah dan sangat
berperasaan. Seorang wanita bisa langsung terkejut bahkan jatuh pingsan saat
mendengar kabar buruk yang tidak ia harapkan.
Banyak sekali bentuk ratapan yang sering dilakukan
wanita saat menghadapi kematian kerabatnya. Diantara yang biasa mereka lakukan
adalah, marah-marah dan selalu mengeluh, bosan dengan perintah Allah Y, berpaling dari hukum Allah, tidak ridho terhadap qodho’
dan qadar Allah Y, menyalahkan Allah karena (menganggap-Nya)
bakhil, serta berkeluh kesah yang menyebabakan berputus asa dari rahmat Allah
dan karunia-Nya. Berbagai perasaan tersebut diaplikasikan dalam berbagai
perbuatan yang tidak wajar. Misalnya, meratap dengan memukul-mukul wajahnya,
menampar pipinya, menjambak rambutnya, merobek bajunya, menaburkan tanah
kekepalanya, mengeluarkan kata-kata yang mengandung celaan dan kutukan serta
perbuatan-perbuatan buruk dan keji lainya. Dan semuaya termasuk perbuatan
orang-orang jahiliyah sebelum Islam. [3]
2. Hukum niyahah
Islam tidak mengenal niyahah atau meratap
berlebihan tehadap orang yang telah meninggal dunia. Karena perbuatan tersebut
hanya sering dilakukan oleh orang-orang jahiliyah sebelum Islam. Jadi,
siapapun yang hari ini berbuat demikian, maka ia sama aja dengan
orang-orang jahiliyah yang tidak mengenal Islam. Oleh karena itu, niyahah
menurut Ijma’ ulama termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Rasulullah r bersabda:
مَنْ نِيْحَ عَلَيْهِ يُعَذِّبُ بِمَا نِيْحَ عَلَيْهِ
Artinya: “Barang siapa yang diratapi, maka ia akan
disiksa karena diratapi.”[4]
إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذِّبُ بِبُكَاءِ الْحَيِّ
Artinya: “Sesungguhnya mayit itu pasti akan disiksa
karena (ratapan) orang yang hidup.”[5]
Dari kedua hadits diatas diambil kesimpulan
bahwa haramnya meratapi orang yang telah meninggal dunia, yaitu menangisinya
dengan suara keras sambil menyebut-nyebut sifat orang yang telah mati tersebut.
Haramnya perbuatan ini ditunjukkan oleh[6]:
a. Bahwa orang yang mati akan disiksa karena
diratapi.
b. Larangannya jelas, dan larangan (pada pokonya)
menunjukkan kepada haram.
c. Orang yang meratap, apabila tidak bertaubat,
ia akan disiksa pada hari kiamat.
d. Rasulullah r sama sekali menjauhi perbuatan meratap dan
orang yang melakukannya.
Haramnya meratap juga ditunjukkan dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Jabir t:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَخَذَ ابْنَهُ
فَوَضَعَهُ فِيْ حِجْرِهِ فَبَكَى ، فَقَالَ لَهُ عَبْدُالرَّحْمَانِ: أَتَبْكِي؟
أَوَلَمْ تَكُنْ نَهَيْتَ عَنِ الْبُكَاءِ ؟ قَالَ: لَا وَلَكِنْ نَهَيْتُ عَنْ صَوْتَيْنِ
أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ، صَوْتٍ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ خَمْشٍ وُجُوْهٍ، وَ شَقِّ
جُيُوْبِ، وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ.
Artinya: “Nabi r meraih anaknya
lalu meletakkannya di pangkuannya, lalu beliau menangis. Abdurrahman bin Auf
pun bertanya:’Engkau menangis? Bukankah engkau telah melarang menangis?’ Beliau
menjawab,’Tidak. Akan tetapi aku melarang dua suara yang dungu lagi berdosa,
yaitu suara ketika tertimpa musibah yang disertai dengan mencakar wajah dan merobek
pakaian, serta suara jeritan syaithan’.”[7]
Imam Syafi’i berpendapat hukum meratapi mayat
adalah makruh. Berdasarkan riwayat Abdullah bin Atik, ia menuturkan, Rasulullah
r datang kepada Abdullah bin Tsabit untuk
menjenguknya, lalu beliau mendapatinya tengah pingsan, maka beliau memanggilnya
namun ia tidak menyahut, maka beliau beristirja’ (mengucapkan Inna lillahi
wa innaa ilaihi raji’un), lalu berkata: “Engkau mendahului kami wahai
Abu Ar-Rabi’.” Para wanita lalu berteriak dan menangis, kemudian Ibnu Atik
mendiamkan mereka, namun Nabi r berkata kepadanya: “Biarkan mereka. Namun
bila telah pasti (meninggal) maka tidak boleh lagi ada yang menangis.”
Yakni bila telah pati meninggal.”[8]
Sebab pengharaman niyahah lainya adalah karena
niyahah termasuk perbuatan menolak taqdir Allah Y. Padahal Ia-lah Yang memberi setiap cobaan
untuk hamba-Nya menurut taqdir yang telah Allah tuliskan dalam Lauhul Mahfudz beribu-ribu
tahun sebelum alam semesta ini diciptakan. Allah Y berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ
مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِين
Artinya: “Dan Kami pasti akan menguji kamu
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”(QS: Al-Baqoroh:
155)
3.
Akibat yang ditimbulkan
Banyak sekali akibat yang ditimbulkan dari
perbuatan meratapi mayat atau niyahah ini. Baik yang berpengaruh terhadam mayat
yang ditangisi ataupun dirinya sendiri. Diantaranya:
a. Mayat yang ditangisi akan mendapatkan siksa
Banyak hadits yang menunjukkan bahwa mayat
yang ditangisi oleh kerabatnya yang masih hidup akan mendapatkan siksa. Diantaranya
adalah sabda Rasululllah r:
مَنْ نِيْحَ عَلَيْهِ يُعَذِّبُ بِمَا نِيْحَ عَلَيْهِ
Artinya: “Barang siapa yang diratapi maka ia akan
disiksa karena diratapi.”[9]
إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذِّبُ بِبُكَاء الْحَيِّ
Artinya: “Sesungguhnya mayitu itu pasti disiksa karena
tangisan (ratapan) orang yang hidup.”[10]
أَلَا تَسْمَعُوْنَ إِنَّ اللهَ لَا يُعَذِّبُ بِدَمْعِ
الْعَيْنِ، وَلَا يُحْزِنِ الْقَلْبِ، وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَا_وَأَشَارَ إِلَى
لِسَانِهِ_ أَوْيَرْحَمُ.
Artinya: “tidakkah kalian mendengar? Sesungguhnya
Allah tidak mengadzab dengan tetesan air mata dan tidak pula dengan kesedihan
hati, akan tetapi Allah mengadzab dengan ini _seraya menunjuk lisannya_ atau
merahmati.”[11]
Dari ketiga hadits tersebut para ulama berbeda
pendapat dalam menyimpulkan hukum seorang yang mati lalu disiksa karena ratapan
kerabatnya yang masih hidup. Menurut pendapat jumhur ulama, maksud dari hadist-hadits
tersebut adalah jika meratap sudah menjadi kebiasaan ketika ada yang meninggal
dunia, atau orang yang meninggal sebelumnya mewasiatkan agar meratapinya, atau
pun juga orang yang meningal sama sekali tidak melarang keluarganya untuk
meratapi ketika ia nanti meninggal.[12]
b. Tidak termasuk golongan Nabi r
Nabi r tidak mengakui umatnya yang suka melakukan perbuatan
niyahah terhadap orang yang telah meningal dunia. Beliau bersabda:
لَيْسَ مِنَّ مَنْ لَطَمَ الْخُدُوْدَ وَشَقَّ الْجُيُوْبَ
وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
Artinya:”Tidak termasuk golongan kami orang yang
menampar pipi, merobek krah baju, dan berseru dengan seruan jahiliyah.”[13]
Menurut Syaikh Nada Abu Ahmad, yang dimaksud juyub
yaitu bagian baju yang terbuka pada sisi leher untuk jalan masuk kepala.
Sedangkan yang dimaksud dengan merobek adalah menarik dengan keras hingga
merobek bagian yang lainya. Perbuatan tersebut merupakan tindakan atau sikap
tidak menerima takdir Allah Y. Kemudian yang dimaksud dengan seruan jahiliyah
adalah meratap, menyebut-nyebut kebaikan si mayit, dan berseru ‘celaka’. Semua
perbuatan ini lebih dominan dilakukan oleh kaum wanita. Mereka selalu
mengatakan hal-hal yang terkenal dari si mayit ketika mereka meratapinya.
c. Rasulullah r melaknat pelaku niyahah
Perbuatan niyahah atau meratai orang yang meninggal
merupakan perbuatan yang sangat tercela. Sehingga Nabi r melaknat pelakunya. Rosulullah r bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Umamah:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لعن الخامشة وجهها،
والشاقة جيبها، والداعية بالويل والثبور.
Artinya: “Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat
wanita yang merusak wajahnya, mengoyak-ngoyak bajunya, dan meraung-raung sambil
mengutuk dan mencela diri”[14]
d. Mendapat siksaan berat jika belum bertaubat
Orang yang melakukan perbuatan niyahah akan mendapatkan siksa yang amat
berak di akhirat kelak jika dia belum bertaubat. Sebagaimana yang disampaikan
Rasulullah r dalam haditsnya:
النِّيَاحَةُ عَلَى المَيِّتِ
مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ . فَإِنَّ النَّائِحَةُ إِنْ لَمْ تَتُبْ قَبْلَ أَنْ
تَمُوْتَ فَإِنَّهَا تُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهَا سَرَابِيْلٌ مِنْ قَطِرَانٍ
. ثُمَّ يُعْلَى عَلَيْهَا بِدَرْعٍ مِنْ لَهَبِ النَّارِ
Artinya:”Meratap
atas mayat adalah salah satu perkara jahiliyah. Maka sesungguhnya wanita yang
meratapi (mayat) bila tidak bertaubat sebelum mati, pada hari kiamat
dibangkitkan dengan mengenakan jubah dari aspal dan baju kasar.”[15]
4. Hikmah Pengharaman
Allah I telah mengutus Rasul-Nya sebagai penjelas berbagai hukum
yang telah Ia kehendaki untuk para hamba-Nya. Maka di balik setiap hukum
tersebut sudah pasti mengandung hikmah bagi kehidupan ini serta hikmah dalam
peran sebagai muslim yang hanya menyembah Allah semata. Begitu juga hukum
haranya meratapi orang yang mati, di dalamnya ada berbagai hikmah yang dapat
diketahui oleh manusia maupun hikmah yang hanya Allah I saja yang tahu. Diantaranya adalah:
a. Lebih siap atas segala taqdir yang telah Allah
tetapkan.
b. Melatih diri untuk bersabar atas musibah.
c. Terhindar dari laknat dan siksa Allah I.
d. Menghindarkan si mayat dari siksa atas ratapan
atau niyahah.
e. Menenangkan diri sendiri dan kerabat lainya.
f. Menjauhkan diri dari perbuatan tercela.
Seperti, merobek kerah baju hingga tersingkap auratnya, atau membotak kepala
hingga habis rambutnya.
Dan masih banyak lagi hikmah yang bisa digali dari haramnya perbuatan
niyahah.
C. Penutup
Menangis karena kematian seseorang yang kita
sayangi adalah hal yang wajar. Apalagi seorang wanita yang memiliki hati yang
lembut. Namu, tidak sepatutnya pula menangisinya berlebihan. Seperti yang
dilakukan oleh kaum Syi’ah ketika memperingati kematian Imam Husain y dalam perayaan Asyuraa. Mereka, terutama kaum
wanitanya suka melakukan perbuata niyahah. Baik dengan menampar-nampar pipi dan
wajah mereka atau pun melukai tubuh mereka sendiri.
Islam adalah agama yang penuh dengan kasih
sayang terhadap pengikutnya. Maka, hal semacam itu tidak diperkenankan dalam
Islam. Perbuatan nyahah sama halnya dengan menyiksa diri dan jiwa. Hukum
melakukan perbuatan niyahah adalah haram sebagaiman yang diungkapkan oleh jumhur
ulama. Tak tanggung-tanggung Allah dan Rasul-Nya mengancam pelakunya dengan
laknat dan siksa yang berat. Selain itu juga siksa bagi mayat yang diratapi
oleh kerabatnya selama si mayat meridhoi ratapan tersebut atau pun ia tidak
pernah melarang orang yang berbuat niyahah terhadap mayat.
Diharamkannya niyahah karena perbuatan itu
tidak sesuai dengan wajibnya menerima taqdir yang telah Allah I tetapkan. Juga menjauhkan orang dari bersabar
atas segala musibah yang menimpanya. Jiwa pelaku niyahah akan selalu merasa
tidak tenang jika ia belum bertaubat atas perbuatannya.
Semoga kita selalu terhindar dari perbuatan
yang Allah I benci dan yang Ia haramkan. Agar hidup kita
lebih diridhoi oleh-Nya dan terhindar dari siksa-Nya yang amat pedih. Akhirul
kalan anil hamdulillahi Rabbil ‘Alamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemah, Departeman Agama RI.
Abu Ahmad, Syaikh Nada, alih bahasa: Umar Mujtahid, Lc.
dan Abdurrahim, Lc., 300 Dosa Wanita Yang Dianggap Biasa,Cet. Pertama,
Solo: Kiswah Media, 2010
Al-Ghomidi, ‘Abdul Lathif bin Hajis, alih bahasa: Abu
Hanan Dzakiyya, 100 Dosa Yang Diremehkan Wanita, Cet. Ke-2, Solo:
Al-Qowwam, 2007
Al-Jamaal, Abu ‘Ubadah Usamah bin Muhammad, alih bahasa:
Arif Rahman Hakim, Lc., Shahih Fiqih Wanita, Cet. Pertama, Solo: Insan
Kamil, 2010
Al-Manjad, Muhammad Sholih, Muharramaatu Istihaana biha
An-Naasu, Maktabah Syamilah, Qism: Fiqhu ‘Amm, Muraqqam Aliyaa
Qudamah, Ibnu, alih bahasa: Amir Hamzah, Al-Mughni,
Jilid.3, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007
Salim, Abu Malik Kamal bin Sayyid, alih bahasa: Asep Sobari, Lc., Fiqih
Sunnah Untuk Wanita, Cet. Ke-4, Jakarta: Al-‘Itishom, 2010
[1] Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa: Umar Mujtahid, Lc. dan Abdurrahim, Lc.,
300 Dosa Wanita Yang Dianggap Biasa, (Solo: Kiswah Media, cet. 1, 2010)
hal. 359
[2] HR. Muslim ( 3 / 2203 )
[3] ‘Abdul Lathif bin Hajis Al-Ghomidi, alih bahasa: Abu Hanan Dzakiyya, 100
Dosa Yang Diremehkan Wanita,(Solo: Al-Qowwam, cet. 2, 2007) hal. 164
[4] HR. Bukhori (2/1291), dan Muslim (3/2200)
[6] Abu ‘Ubaidah Usamah bin Al-jamaal, alih bahasa: Arif Rahman Hakim, Lc., Shohih
Fiqih Wanita Muslimah, (Surakarta: Insan Kamil, cet. 1, 2010) hal. 116
0 komentar:
Posting Komentar