Dalam masalah najis, ulama’ fiqih membagi najis menjadi dua golongan. Yakni yang disepakati kenajisannya dan yang diperselisihkan. Diantara dua golongan diatas, benda benda yang dihukumi najis dikelompokkan menjadi najis mutlak dan najis yang ma’fu (dimaafkan). Benda yang dihumi najis mutlak maka hukumnya secara umum adalah najis. Sedangkan benda najis yang ma’fu adalah benda benda najis yang dima’afkan kenajisannya berdasarkan sebab tertentu.
Diantara benda najis yang disepakati kenajisannya oleh ulama’dan yang dihukumi najis mutlak lalu dima’afkan berdasarkan sebab tertentu diantaranya adalah darah dan nanah. Sedangkan, najis yang diperselisihkan hukum kenajisannya oleh para ulama’ diantaranya adalah bangkai hewan yang tidak memiliki aliran darah.
2.1
Darah dan
Nanah yang Dimaafkan.
A.
Madzhab
Hambali
Ulama madzhab hanafi berpendapat
bahwa najis mugholadhoh (berat) maupun mukhofafah (ringan) yang dimaafkan adalah jika kadarnya sedikit .
Mereka menentukan kadar sedikitnya
adalah kurang dari satu dirham(3,17 gr) yaitu yang beratnya sama dengan 20
qirot(untuk najis yang kering),tetapi untuk najis yang cair tidak sampai
segenggam telapak tangan . Tetapi menunaikan sholat dengan najis yang sedikit
meskipun termasuk najis yang dimaafkan tetap haram. Najis mukhofafah yang
terkena pakaian ,dianggap sedikit ketika tidak sampai seperempat dari pakaian
tersebut.
Darah yang mengenai tubuh tukang
sembelih ataupun pakaiannya adalah sama hukumnya dengan air kencing yang
sedikit.
B.
Madzhab Maliki
Najis yang
dimaafkan menurut madzhab ini sebagaimana yang di sebutkan Syeikh WahabahAz-Zuhaili
adalah kadar yang sedikit dari darah dan nanah binatang darat dan manusia,
yaitu jika ukurannya sekadar satu dirham al-bighali. Artinya sekedar satu
bulatan hitam yang terdapat pada kaki depan binatang bighal (hasil silang kuda
dan keledai), ataupun kurang dari itu.
Ketetapan ini
tetap berlaku meskipun darah atau yang semacamnya itu keluar dari tubuh orang
itu sendiri ataupun dari orang lain, dan baik darah atau yang semacamnya itu
keluar dari manusia ataupun binatang, meskipun dari babi. Begitu juga sama saja
baik tempat yang terkena darah itu pakaian ataupun badan ataupun tempat
lainnya.
Ketentuan
madzhab ini adalah najis jenis apapun yang susah untuk dihindari ketika shalat
atau masuk mesjid itu dimaafkan. Tapi tidak pada yang jatuhmakanan ataupun
minuman, maka ia akan menyebabkan najis, sehingga makanan dan minuman itu tidak
boleh dimakan dan diminum.
Bekas bisul sejak mulai mengalir
juga dimaafkan, jika memang bisul itu banyak, baik mengalir dengan sendirinya
atau karena dipencet maka tetap dimaafkan. Jika bisul hanya sebesar biji, maka
air yang mengalir darinya adalah dimaafkan. Kecuali jika dipencet tanpa ada
keperluan tidak dimaafkan kecuali jika kadarnya tidak melebihi satu dirham.
C.
Madzhab Syafi’i
Tidak ada najis yang dimaafkan
kecuali najis yang tidak kasat mata , seperti darah yang sedikit dan percikan
air kencing yang sedikit. Dimaafkan juga najis yang banyak dan sedikit yaitu
darah jerawat atau bintik – bintik, darah binatang yang darahnya mengalir,
semuannya dimaafkan karena sulit menghindarinya. Begitupula kadar najis yang
sedikit juga dimaafkan, namun kadar sedikit ini ditentukan berdasar kebiasaan,
Imam Asy-Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm mengatakan standar sedikit yang
dimaafkan adalah kadar yang menurut kebiasaan sedikit. Dan pendapatnya dalam
qaul qadim adalah yang tidak sampai satu telapak tangan.
Adapun darah anjing dan babi tidak dimaafkan ,
meskipun kadarnya sedikit karena hukumnya najis mugholadoh.
Sisa darah
dalam daging, urat-urat dan tulang hewan yang telah disembelih, atau darah ikan
atau darah yang tampak ketika memasak daging, maka hal itu tidak mengapa. Dalilnya:
Aisyah r.a
berkata: “Kami pernah makan daging, sedang padanya masih terdapat darah yang
menempel pada kuali.”
Dalam kitab Sahih
Bukhari disebutkan: “Bahwa orang-orang muslim pada permulaan datangnya
Islam, mereka mengerjakan shalat dalam keadaan luka. Seperti Umar bin Khaththab
yang mengerjakan shalat, sedang darah lukanya mengalir”.
Darah nyamuk,
kutu kepala atau binatang kecil lainnya yang darahnya tidak mengalir juga
dihukumi ma’fu.
D.
Madzhab
Hambali
Menurut madzhab ini, kadar najis yang sedikit
meskipun tidak terlihat oleh mata sepeti kotoran yang melekat padalalat dan
yang semisalnya tidak dimaafkan.
Firman Allah subhaanahu wata’ala:
“Dan bersihkanah pakaianmu”.
Dan juga berdasarkan perkataan Ibnu
Umar “Kami disuruh membasuh najis tujuh kali”.
Namun, madzhab ini memaafkan jumlah
yang sedikit dari darah, nanah (ash-shadid), dan air luka, selagi tidak
mengenai bahan cair atau makanan, karena sulit menghindar dari benda-benda
najis itu. Hukum ini adalah jika najis najis tersebut berasal dari makhluk
hidup yang suci semasa hidupnya, baik itu manusia atau binatang yang dagingnya
boleh dimakan seperti unta dan lembu, ataupun tidak boleh dimakan dagingnya
seperti kucing, selagi tidak keluar dari kemaluan depan (qubul) ataupun
kemaluan belakang (dubur). Oleh sebab itu, jika najis itu keluar dari binatang
yang dihukumi najis seperti anjing dan babi, keledai dan bighal, ataupun ia
keluar dari salah satu saluran (kemaluan depan ataupun belakang) termasuk juga
darah haid, nifas, dimaafkan juga bekas darah atau semacamnya seperti nanah
yang banyak jatuh ke atas suatu benda, kemudian diusap. Karena, kadar yang
tersisa sesudah ia diusap adalah sedikit.
Di antara benda-benda yang dianggap oleh ulama madzhab Hambali sebagai suci ialah darah yang masih ada dalam urat-urat daging binatang yang boleh dimakan dagingnya. Karena, darah-darah itu tidak mungkin dihindari, darah ikan, darah orang yang mati syahid yang masih berada di badannya meskipun jumlahnya banyak, darah kepinding, kutu, nyamuk, lalat, dan binatang lainnya yang darahnya tidak mengalir, hati dan limpa binatang yang boleh dimakan dagingnya “dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah".
Di antara benda-benda yang dianggap oleh ulama madzhab Hambali sebagai suci ialah darah yang masih ada dalam urat-urat daging binatang yang boleh dimakan dagingnya. Karena, darah-darah itu tidak mungkin dihindari, darah ikan, darah orang yang mati syahid yang masih berada di badannya meskipun jumlahnya banyak, darah kepinding, kutu, nyamuk, lalat, dan binatang lainnya yang darahnya tidak mengalir, hati dan limpa binatang yang boleh dimakan dagingnya “dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah".
2.2
Hukum Bangkai
Hewan yang Tidak memiliki Aliran Darah
Seluruh ulama’ madzhab bersepakat bahwa
bangkai binatang air seperti ikan dan binatang laut yang lain adalah bersih,
karena Nabi SAW bersabda :
أحِلَّتْ لَنَا
مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ : السَّمَك وَ الجَرَدَ وَ الكَبِدُ وَ الطِّحَالُ
“
dihalalkan untuk kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah; ikan dan belalang,
hati dan limpa”. (HR. Ibnu Majah)
Pengertian bangkai menurut ulama’
madzhab Syafi’i dan Maliki ialah binatang yang hilang nyawanya tanpa sembelihan
yang sah menurut syari’at seperti sembelihan orang majusi, orang yang sedang
berihram, sembelihan dengan menggunakan tulang, dan begitu pula binatang yang
tidak halal dimakan jika disembelih. Madzhab Maliki mengatakan bahwa semua
binatang yang disembelih dilehernya ataupun disembelih pada pangkal lehernya
atau dengan cara melukainya, maka hukumnya adalah bersih, asalkan
binatng-binatang tersebut adalah binatang tidak haram dimakan. Namum binatang yang
tidak boleh dimakanseperti keledai, bighaldan kuda, menurut pendapat mereka
sembelihannya adalah tidak memberi dampak apa pun, oleh sebab itu binatang
tersebut dihukumi najis. Adapun menurut ijma’ bangkai belalang dan ikan adalah
suci.
Para fuqoha’
berselisih pendapat mengenai bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir,
diantaranya sebagai berikut.
A.
Madzhab
Hanafiyah
Ulama’ madzhab Hanafi menyatakan bahwa
kematian seekor binatang yang hidup didalam air, maka ia tidak menyebabkan air
itu menjadi najis seperti ikan, katak dan kepiting yang mati didalam air.
Tetapi, daging bangkaibinatang yang berdarah mengalir dan juga kulitnya
(sebelum disamak) adalah najis. Binatang apa saja yang darahnya tidak mengalir,
jika jatuh kedalam air, maka ia tidak menyebabkan air itu menjadi najis seperti
lalat, kalajengking, dan yang seumpamanya. Karena, terdapat hadits yang
berkaitan dngan masalah lalat,
“ jika terjatuh sekor lalat kedalam
minuman salah seorang diantara kamu, maka hendaklah ia menenggelamkannya, kemudian
membuangnya. Karena, sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit,
dan pada sayap yang satu lagi terdapat penawar.” (HR. Bukhori)
Oleh sebab itu, jelas bahwa bangkai binatang
air dan bangkai binatang yang darahnhya tidak mengalir adalah suci menurut
ulama’ madzhab Hanafi. Madzhab Maliki juga berpendapat sama dengan madzhab
Hanafi .
B.
Madzhab
Syafi’i
Ulama’ madzhab syafi’I mengatakan bahwa
bangkai ikan, belalang, dan seumpamanya yang dari jenis binatang laut adalah
suci. Tetapi, bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir seperti lalat,
kepinding,kumbang, kalajengking, lipas, dan semacamnya dihukumi najis menurut
pendapat ulma’ madzhab syafi’I.
Walaupun begitu, ulma’ madzhab syafi’I
berkata bahwa bangkai ulat seperti bangkai ulat cuka atupun bangkai ulat buah
apel dihukumi najis. Tetapi, ia tidak membuat cuka dan buah apel itu menjadi
najis, karna amat susah untuk mnghindarkan dari ulat tersebut. Malahan ulat
tersbut boleh dimakan bersama cuka ataupun bersama buah apel tersebut, sebab
memisahkan diantara keduanya sulit.
C.
Madzhab Hambali
Ulama’ madzhab hanbali menyatakan bahwa
binatang yang darahnya tidak mengalir. Apabila berasal dari benda-benda yang
bersih, maka ia dihukumi bersih baik hidup maupun mati. Tetapi jika ia berasal
dari benda-benda yang najis seperti ulat kebun dan juga lipas, maka ia dihukumi
najis baik hidup maupun mati. Karena kelahirannya berasal dari benda najis,
maka ia juga dihukumi najis seperti anak anjing dan juga babi yang dihukumi
najis karena dilahirkan dari induk yang najis.
Wallahu a’lam.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat kita ambil bahwasannya hukum benda benda najis tergantung pada
jumlahnya. Apabila darah dan nanah yang jumlahnya sedikit adalah ma’fu, yakni
jika tidak dapat dihindari dan tidak kasat penglihatan mata. Begitu pula hukum
hewan yang tidak memiliki aliran darah, maka apabila terjatuh dalam cairan
tidak membuatnya najis selama tidak merubah air. Bangkai binatang air dan juga bangkai binatang lainnya yang tidak
mempunyai darah adalah bersih menurut pendapat fuqoha’, kecuali ulama’ madzhab
Syafi’iyang mengatakan bahwa binatang yang darahnya tidak mengalir adalah najis
berdasarkan firman Allah SWT,
“diharamkan bagimu (memakan) bangkai….”[al-Maidah
: 3]
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan
bahwasannya Allah menurunkan hukum untuk mengatur manusia dan menghantarkannya
kepada maslahat. Dan atas dasar maslahat pula Allah memberikan rukhsoh
(keringanan hukum) supaya manusia mampu mengamalkan hukum hukumnya sesuai kadar
kemampuannya. Oleh karena itu kita sebagai umat manusia selayaknya mengamalkan
hukum yang telah Allah tetapkan kepada manusia, khususnya untuk berhati hati terhadap najis yang telah
ditetapkan oleh syari’at demikian pula supaya kita memahami rukhsoh pada
ketentuan najis.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili,Wahabah.
(2010). Fiqih Islam Wa Adillatuh. Jakarta: Gema Insani Darul Fikr. Jld.1
Abi Bakr,
Taqiyuddin. (1971). Kifayatul Akhyar Fi HAlli Ghoyatil Ikhtisor. Beirut:
Daarul Fikr Al-Ilmiyah. Jld.1
Qudamah, Ibnu.
(2007). Al-Mughni. Jakarta: Pustaka Azzam. Jld.1
Isnawati. (2014). Najis Yang Dimaafkan.
[Online]. Tersedia: http://www.rumahfiqih.com/khazanah/x.php?id=2 [10 November
2015]
0 komentar:
Posting Komentar