Ya. Karena kaum muda
sejatinya memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam akselerasi pembangunan, pun
dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik buruknya suatu negara
dilihat dari kualitas pemudanya, karena generasi muda adalah penerus dan pewaris
bangsa.
Pemuda adalah tonggak negara yang bisa mengarahkannya ke sebuah
kehidupan berlabel sejahtera. Di tangan pemudalah
bangsa ini akan bermuara. Maka tidak berlebihan jika kita mengutip kata Soekarno, “Beri
aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku
sepuluh pemuda niscaya akan kuguncang dunia.”
Pemuda adalah motor penggerak utama perubahan,
dengan sosok yang bersemangat, idealis, kritis, dan berani serta inspirator
dengan gagasannya. Pemuda pun diakui perannya sebagai kekuatan pendobrak
keterpurukan masyarakat, karena mereka memiliki potensi yang sangat besar dalam
melakukan perubahan.
Pemuda dalam sejarah
Berkaca pada sejarah Islam, kita akan melihat,
betapa banyak para intelektual muda yang berperan dalam kemenangan agama ini. Ribuan
tahun lalu, Rasulullah mengangkat Usamah bin Zaid, yang saat itu berumur 18
tahun, sebagai komandan perang, memimpin para sahabat yang usianya jauh
diatasnya.
Lalu, pada abad 14, dunia kembali dicengangkan
oleh aksi seorang pemuda 21 tahun dengan ide fantastisnya. Pemimpin yang
berhasil menaklukkan Konstantin setelah sekian abad ummat Islam berusaha untuk
menaklukkannya. Ya, beliau adalah Sultan Muhammad Al-Fatih, yang keberadaannya
telah diprediksi oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Kota Konstantinopel
akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik
pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik
pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad
4/335].
Di Indonesia
sendiri gerakan pemuda merupakan suatu
hal yang tidak terpisahkan dalam sejarah bangsa. Peran
gerakan pemuda begitu besar bagi bangsa Indonesia. Tahun 1928, Sumpah Pemuda pada Kongres Pemuda II,
yang digerakkan oleh Jong
Islamieten Bond (organisasi pemuda Islam yang berisikan para pelajar dan
mahasiswa) telah menjadi tonggak persatuan pergerakan bangsa Indonesia menuju pembebasan dari imperialisme dan kolonialisme.
Pada tahun 1998, pemuda kembali beraksi. Gerakan
mahasiswa kala itu –meski bukan faktor tunggal- dapat memaksa pemimpin Orde
Baru, Suharto, untuk mundur dari kekuasaannya. Rezim yang telah terbentuk
hampir sepertiga abad itu dapat runtuh oleh para mahasiswa yang bersatu dari
seluruh Indonesia.
Realita hari ini
Jika kita sedikit membuka
mata, maka kita akan menyadari bahwa kemerdekaan Indonesia bukan berarti kemenangan
bangsa. Keadaan bangsa Indonesia masih dalam keterpurukan yang mendalam. Namun
ironinya, tidak semua orang menyadari kemerosotan bangsa ini. Para penjajah
telah mengkamuflase bentuk dan gaya mereka, hingga sekarang orang-orang sulit
membedakan mana kawan mana lawan.
Kini tidak ada lagi kata
“merdeka atau mati”, tidak ada lagi gagasan-gagasan spektakuler untuk kemajuan
bangsa dan negara. Yang ada hanyalah dekadensi moral yang kian hari kian
menjadi, bak kemiskinan.
Semangat yang dulu
digunakan generasi muda untuk membangun bangsa, kini digunakan di jalan yang
menyimpang. Pergaulan bebas menjadi pilihan alternatif bagi pemuda yang berujung
pada narkotika dan sex bebas. Bahkan baru-baru ini, banyak dari mereka yang
melegalkan LGBT yang sudah jelas seluruh agama mengharamkannya.
Sensitifitas akan agama
kian mengikis. Tidak ada jiwa perlawanan saat melihat agama dilecehkan.
Sebaliknya, berfoto dengan turis asing dijadikan sebagai ajang rebutan dan
simbol kebanggaan. Kecenderungan untuk mengadopsi budaya barat lebih dominan di
tengah masyarakat Islam, khususnya kaum muda. Loyalitas terhadap sesama sangat
minim. Solidaritas terhadap saudara seperjuangan kini menjadi sesuatu yang
langka.
Tidak ada kebaikan yang
bisa diharapkan dari orang yang rusak mentalnya. Mereka adalah mayat-mayat
hidup. Keberadaannya tidak berguna, hanya membebani dan menghantui masyarakat.
Maka terlihat jelas betapa
berbanding terbaliknya. Jiwa kaum muda yang penuh dengan gejolak semangat yang
membara, bak pisau bermata dua. Hasratnya untuk melakukan perubahan memuncak. Jika
bisa diarahkan dan digunakan sebaik-baiknya pemuda yang memiliki integritas
tinggi, pasti akan sanggup memajukan peradaban bangsa. Namun, jika kaum
intelektual ini justru berkontribusi dalam dekadensi moral, maka tunggulah
akhir dari bangsa ini.
Satukan barisan
Hal-hal di atas membuktikan, bahwa
kemenangan suatu bangsa tergantung pada pemudanya. Maka, persiapkanlah syarat
kemenangan itu: darah muda, kematangan visi, pengalaman tempur, kepemimpinan
solid, aqidah teguh, dan diplomasi santun.
Wahai pemuda, satukanlah barisan, songsong
peradaban. Jangan biarkan dekadensi moral menggerogoti jiwa anak-anak bangsa.
Tanamkan mental juara di setiap generasi. Hapus sikap lemah, kecil hati dan tidak
percaya diri! Karena itu semua adalah perangai buruk yang tak layak ada dalam
jiwa pemuda. Hidup para pemuda!!
Oleh: Uswatun Hasanah
0 komentar:
Posting Komentar