Seluruh tubuh wanita adalah aurat, dari ujung kepala sampai ujung kaki, kecuali yang biasa nampak, Secara khusus islam memerintahkan untuk wanita yang sudah baligh, untuk menutupi seluruh auratnya dari laki-laki yang bukan mahramnya kecuali yang biasa nampak yaitu wajah dan telapak tangan.
Aurat wanita tidak
boleh diperlihatkan ke laki-laki yang bukan mahramnya,
akan tetapi aurat wanita juga memiliki batasan untuk laki-laki mahramnya, kecuali suami, saat Islam berbicara dengan tegas bahwa seorang wanita boleh memperlihatkan seluruh aurat tubuhnya hanya pada suaminya, itu menunjukkan bahwa setiap wanita memiliki batas-batas aurat pada orang selain suaminya, baik itu keluarganya maupun sesamanya.
akan tetapi aurat wanita juga memiliki batasan untuk laki-laki mahramnya, kecuali suami, saat Islam berbicara dengan tegas bahwa seorang wanita boleh memperlihatkan seluruh aurat tubuhnya hanya pada suaminya, itu menunjukkan bahwa setiap wanita memiliki batas-batas aurat pada orang selain suaminya, baik itu keluarganya maupun sesamanya.
Namun tidak sedikit dari wanita muslimah
yang beranggapan bahwa aurat wanita wajib ditutup hanya di hadapan laki-laki
lain jenis yang bukan mahram, sehingga sebagian mereka berfikir bahwa tidak ada
batasan aurat di depan sesama wanita, padahal islam mengabarkan tentang
kehati-hatian membuka aurat di hadapan wanita, baik wanita muslimah atau wanita
non muslimah. Lalu jika ada batasan aurat wanita muslimah di hadapan wanita
kafir, yang manakah yang wajib kita tutup, dan seberapakah batasan pergaulan
kita terhadap mereka???
Di makalah ini penulis akan mencoba
menjelaskan batasan aurat di hadapan wanita non muslimah
1.
Pengertian Aurat
Aurat
secara etimologi berasal dari kata عار ,
dari kata tersebut muncul derivasi kata bentukan baru dan makna baru pula.
Bentuk ‘awira (menjadikan buta sebelah mata), ‘awwara (menyimpangkan,
membelokkan dan memalingkan), a’wara (tampak lahir atau auratnya), al-‘awaar
(cela atau aib), al-‘wwar (yang lemah, penakut), al-‘aura’ (kata-kata
dan perbuatan buruk, keji dan kotor), sedangkan al-‘aurat adalah segala
perkara yang dirasa malu.[1]
Pendapat
yang lain juga dinyatakan aurat secara bahasa adalah kecacatan atau aib pada
sesuatu.[2]
Sedangkan secara istilah syara’ adalah sesuatu yang wajib disembunyikan
dan diharamkan melihatnya.[3]
2.
Kewajiban Menutup
Aurat
Islam mengajarkan bahwa pakaian adalah sarana untuk menutup aurat
bukan sebagai perhiasan, dan islam mewajibkan untuk seluruh kaum adam dan hawa
untuk menutup anggota tubuhnya yang menarik perhatian lawan jenisnya.
Allah SWT berfirman :
وقل لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ
جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ
التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ
الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ
بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى
اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada orang laki–laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allâh maha mengatahui apa yang mereka perbuat." Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera–putera mereka, atau putera–putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allâh, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nûr/24:31)
“Sesungguhnya
wanita itu adalah aurat, setiap kali mereka keluar, syeitan akan
memperhatikannya.” (HR. Bazzar & At- Tirmizi)
Bahwa
Asma’ bint Abi Bakr (kakaknya) bertemu Nabi s.a.w. dalam keadaan pakaiannya tipis
sehingga nampak kulit badannya, lalu Nabi s.a.w. pun bersabda: “Wahai Asma’,
seorang perempuan yang telah sampai haidh (baligh) tidak boleh dilihat
(hendaklah bertutup) pada badannya melainkan ini dan ini” (sambil baginda
menunjukkan ke arah wajah dan kedua pergelangan tangannya).” (HR Abu-Dawud)
Sudah
sangat jelas bahwa hukum menutup aurat di hadapan lelaki yang bukan mahram
adalah wajib, dan haram untuk menampakannya. Akan tetapi Islam juga memberi
batasan kepada kita wanita muslimah bahwasanya ada batasan aurat wanita
muslimah di hadapan sesamanya baik wanita muslimah atau wanita kafir.
3. Batasan Aurat wanita di hadapan sesamanya, baik muslimah atau wanita kafir
Para
ulama sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh membuka auratnya di depan
laki-laki yang bukan mahramnya, akan tetapi di perbolehkan membuka sebagian
anggota badannya, seperti kepala, leher, lengan dan betis di depan laki-laki
mahramnya.
Tetapi
para ulama berbeda pendapat tentang aurat wanita yang boleh di buka di depan
wanita muslimah, mayoritas ulama dari Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah
serta pendapat shohih dari Hanafiyah, bahwa aurat wanita di depan wanita
muslimah adalah antara pusat dan lutut.[4]
Tapi
tentunya islam mengabarkan ke seluruh wanita muslimah harus adanya
kehati-hatian dan kewaspadaan terhadap auratnya, walaupun di hadapan wanita
muslimah, karna sesungguhnya kecerobohan itu mendatangkan mudhorat yang sangat
besar, antara lain: timbulnya rasa simpati atau bahkan suka antara wanita dengan
wanita, dan di takutkan juga wanita lain yang melihat auratnya, menceritakan
auratnya kepada orang lain, apalagi kepada yang bukan mahram.
Jika
kepada wanita muslimah saja kita sangat di anjurkan untuk hati-hati apalagi
kepada wanita kafir, karna sesungguhnya aturan mereka berbeda dengan aturan
kita, maka jagalah aurat yang selama ini selalu kita jaga bukti taat kita kepada aturan Allah dan RasulNya,
dan kesetiaan menjaganya untuk kita berikan kepada pelengkap tulang rusuk kita.
Para
ulama juga berbeda pendapat tentang aurat wanita muslimah di depan wanita
kafir, apakah sama dengan aurat di depan laki-laki bukan mahram, atau sama
dengan auratnya di depan wanita muslimah ?
Pendapat
pertama:
Menurut
Hanafiyah, Malikiyah,dan sebagian ulama dari Syafi’iyah, seperti Al-Baghawi dan
An-Nawawi. Aurat wanita muslimah di
depan wanita kafir sebagaimana aurat wanita di depan laki-laki bukan mahramnya.[5] Di
antara dalilnya adalah sebagai berikut:
Pertama:
Firman Allah dalam surat an-Nuur ayat 31. “ janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putra-putra saudara-saudra perempuan mereka,atau wanita-wanita
mereka,”
Ibnu
katsir menjelaskan di dalam tafsirnya: أو نسائهنّ)") yaitu
seorang wanita muslimah boleh memperlihatkan perhiasannya yang tampak di depan
wanita muslimah,tetapi tidak boleh di depan wanita ahli dzimmah (wanita kafir).
Walaupun hal itu (membeberkan) terlarang bagi semua wanita, tetapi lebih
terlarang bagi wanita kafir, karena tidak ada yang melarang mereka berbuat
seperti itu. Berbeda dengan wanita muslimah, karena dia mengetahui bahwa hal
itu telarang, sehingga dia tidak berani melakukannya.”[6]
Larangan
tersebut terdapat di dalam hadits Abdullah bin Mas’ud Ra bahwa Rasululoh Saw
bersabda:
لاّ تًباّ شِرّ المّرأة
المرأة, فتصفها لزوجها كأنّه ينظر اليهاى
“Janganlah
seorang perempuan bersentuhan dengan perempuan lain, kemudian menceritakan
auratnya kepada suaminya, seakan-akan dia melihatnya” (HR.
Bukhori dan Muslim)[7]
Begitu
teganya wanita muslimah yang dengan santainya menceritakan aurat wanita lain di
depan suaminya, dengan penjelasan yang detail dan gamplang hingga seakan-akan
sang suami melihatnya, hal ini sangat dilarang Allah Swt karena menimbulkan
fitnah dalam rumah tangga, yang bahkan bisa menimbulkan perselingkuhan. Maka
kita sebagai wanita muslimah hendaknya menjaga aurat baik di depan siapa pun,
dan menjaga lisan dari pembicaraan laghwun atau malahan memicu mudharat atau
perzinaan.
Kedua:
Umar bin Khatab Ra menulis surat kepada Abu Ubaidah bin Jarrah Ra yang berisi, “telah
datang kepadaku berita bahwa wanita-wanita (muslimah) masuk ke pemandian umum
yang di dalamnya terdapat wanita-wanita ahlul kitab, maka laranglah mereka
berbuat seperti itu”[8]
Ibnu
‘Imad dalam Hasyatu Ar-Ramli menjelaskan, ”Pelarangan tersebut hendaknya
hanya berlaku pada wanita muslimah yang memperlihatkan badannya melebihi apa
yang biasa terlihat ketika sedang bekerja/beraktifitas. Adapun jika yang
terlihat (kepala, leher, lengan, betis), maka tidak ada larangannya, karena hal
itu boleh dilihatkan kepada wanita kafir.”
Pendapat
kedua
Aurat
wanita muslimah di depan wanita kafir sebagaimana aurat wanita di depan wanita
lainnya. Ini pendapat sebagaian dari
Malikiyah seperti Ibnu al-Arabi dan sebagian Syafi’iyah, seperti Imam Al-Ghozali,
ar-Razi, dan dari Hanabilah, seperti Ibnu Qudamah, Syekh Abdul Aziz bin Bas,
Syekh Ibnu al-Utsaimin,[9]
dengan dalil, sebagai berikut:
Pertama
: Yang di maksud ( أو نسائهنّ
) menurut
Syekh Muhammad Sholih Al-Utsaimin pada
ayat di atas adalah semua wanita, baik wanita muslimah atau wanita kafir. Dan
boleh bagi wanita muslimah membuka rambut dan wajahnya di depan wanita kafir,
karena tidak ada perbedaan antara wanita
yang satu dengan yang lainnya, sama seperti halnya laki-laki di depan laki-laki
lain, baik di antara wanita muslimah atau wanita kafir.[10]
Kedua : Dahulu
wanita-wanita Ahlu Kitab sering mendatangi istri Nabi Muhammad SAW dan mereka
tidak menggunakan hijab ketika menemui mereka. Nabi pun tidak memerintahkan
mereka untuk memakai hijab. Di antaranya adalah ketika perempuan Yahudi
berkunjung ke ru
mah Aisyah menanyakan sesuatu hal. Begitu juga ketika Asma’
binti Abu Bakar di datangi ibunya yang masih kafir, kemudian beliau bertanya kepada
Rasulullah tentang kebolehan menyambung silaturahim dengannya. Kedua hadits ini
terdapat di hadits Shahih Bukhori dan Muslim.
Ketiga :
Terjadi perbedaan illat antara wanita muslimah harus berhijab ketika
berada di depan laki-laki yang bukan mahramnya dengan ketika ia tidak berhijab
di depan wanta kafir
Keempat
: pendapat ini lebih fleksibel dan lebih dekat dengan realita di masyarakat
yang mana masih sangat susah seorang wanita muslimah tidak bertemu dengan
wanita kafir di toilet, atau di tempat-tempat lain yang di khususkan wanita.
Kehati-hatian
yang kita butuhkan untuk menjaga aurat yang kita miliki, walaupun di hadapan
sesama wanita, karena ini titipan Allah yang harus kita jaga untuk kita
serahkan seutuhnya kepada pelengkap tulang rusuk kita. Allahu a’lam.
Kesimpulan:
Dari keterangan di atas, disimpulkan bahwa pendapat yang lebih sesuai dengan kemaslahatan mayoritas wanita muslimah, adalah bolehnya membuka sebagian auratnya, seperti kepala, leher, lengan, dan betis di depan wanita kafir. Karena kalau hal itu dilarang maka akan memberatkan mereka, sebagaimana pernah disampaikan oleh al-Alusi di dalam tafsir Ruh al-Ma’ani
Ibnu Hajar
al-Atsqolani juga berkata : “Yang lebih shahih adalah haram wanita kafir
melihat aurat wanita muslimah yang tidak biasa dibuka ketika bekerja, kecuali
dia sebagai tuannya, atau mahramnya. Dan peristiwa datangnya wanita dzimmiyah
(kafir) kerumah istri-istri Rasulullah yang terdapat didalam hadits-hadits
shahih cukup sebagai dalil bahwa mereka boleh melihat sebagian anggota badan
wanita muslimah yang sering terliht ketika bekerja”
Adapun pendapat
ulama-ulama terdahulu untuk tidak membuka jilbabnya di depan wanita kafir bisa
dimaknai sebagai suatu anjuran. Bagi wanita muslimah yang mampu menjaga diri
dan tidak membuka aurat mereka sama sekali di depan wanita kafir tentunya hal
itu lebih baik. Wallahu A’lam.
Demikian makalah yang akhirnya dapat dituntaskan penulis, penulis
sangat berharap semoga dengan sedikitnya penjelasan ini bisa membantu para
wanita muslimah yang mungkin masih ada yang bingung dan bertanya-tanya tentang
batasan aurat di hadapan wanita kafir. Semoga tulisan ini bisa menghadirkan
manfaat yang besar untuk para pembaca.
Daftar pustaka
Warson, Ahmad Munawwir, Kamus Munawwir Arab-Indonesia, cet ke4, Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997
Anis, DR Ibrahim dkk, Mu’jamul Wasath, jilid 1-2
Az-Zuhaili,
Prof DR Wahbah, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, cet
ke 4, 1431H/2013M jilid 1, Penerbit Darul Fikr,
Muhyiddin, Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Muhadab, jilid 4
Majalah Ar-Risalah vol XXXIX, Edisi:173, hal:30-31
Amaddi, Hafidz, Kitab Tafsir
Ibnu Katsir, jilid 10
Abi, Arsyaf Muhammad, Fatawa Mar’atul Muslimah, juz 1, hal:
756
[1] al-Munawwir
Kamus Arab-Indonesia, Ahmad Warson Munawwir Pustaka Progresif, Surabaya,
1997, hlm.
984-985
[2] Mu;jamul Wasath, DR Ibrahim Anis dkk, Jilid 1-2 hal: 667
[3] Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Prof DR Wahbah Az-Zuhaili, Jilid 1, hal:
614, Penerbit Darul Fikr, cet ke 4, 1431H/2013M
[4] Al-Majmu’ Syarh Muhadab, Imam Muhyiddin An-Nawawi, jilid 4, hal: 189
[5] Majalah Ar-Risalah vol XXXIX, Edisi:173, hal:30-31
[6] Kitab Tafsir Ibnu Katsir, Hafidz Amaddi Din bin Fida’ Bin Katsir
Damasqo, jilid 10, hal:220
[7] HR. Bukhori dan Muslim
[8] Kitab Tafsir Ibnu Katsir, Hafidz Amaddi Din bi Fida’ Bin Katsir
Damasqo, jilid 10, hal:221
[9] Ar-Risalah Edisi 173, vol, XXIX, 1437H/2015M, hal: 30-31
[10] Fatawa Mar’atul Muslimah, Abi Muhammad Asryaf bin Abdul Maqsud,
juz 1, hal: 756
Writted by : Yunika Sari
0 komentar:
Posting Komentar