Pondok pesantren adalah tempat dimana seorang menimba ilmu, memahami ilmu agama. Kita akan menyaksikan pemandangan yang menyejukkan, wajah-wajah teduh menjadi pemandangan setiap saat. Pondok pesantren tersebar diseluruh Indonesia, entah itu di Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Lampung, Medan, dan lain sebagainya.
Pondok pesantren sudah terlahir sejak dulu,
bahkan sebelum merdekanya negara ini, Pondok Nurul Bayan misalnya. Tapi, baru-baru ini, Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme atau yang sering kita sebut BNPT, mengeluarkan pernyataan
terhadap beberapa pondok pesantren yang dianggap ajarkan radikalisme. Lalu,
apakah kita terima pernyataan ini?, apakah kita menyetujui pernyataan mereka
begitu saja?, bahwa pondok pesantren adalah sarang radikalisme.
BNPT berdalih bahwa orang yang
mempunyai pemikiran radikalisme akan menjadikan seseorang sebagai teroris.
Apakah hal ini benar? Parahnya, mereka
mengeluarkan pernyataan ini, bukanlah dengan bukti yang valid, tapi hanya
berdasarkan dugaan. Padahal kita tahu, bahwa pernyataan ini, mengakibatkan
pandangan buruk orang-orang terhadap pondok pesantren. Seperti yang dikatakan
oleh Sholeh di Jakarta, "Pengungkapan
nama-nama ponpes tersebut penting supaya tidak menimbulkan kekhawatiran di
kalangan masyarakat. Terutama bagi orang tua yang mengirimkan anaknya belajar
di sana." Ini adalah salah satu
pernyataan dari warga akibat dari vonis tersebut.
Ya. Banyak orang tua yang takut
menyekolahkan anaknya dipondok pesantren, adalah akibat
pernyataan tersebut, padahal belajar agama itu penting bagi kehidupan kita.
Pondok tertuduh
Diantara
nama pondok pesantren yang tertuduh mengajarkan radikalisme yaitu: 1)Al-Mukmin
Ngruki, Sukoharjo. 2)Darusy Syahadah,
Boyolali. 3)Al-Ikhlas, Lamongan. 4)Al-Islam, Lamongan. 5) Al-Muttaqin, Cirebon.
6) Al-Muaddib, Cilacap. 7) Nurul Bayan, Lombok Utara. 8) Al-Anshor, Ambon. 9)
Wahdah Islamiyah, Makasar. 10) Darul Aman, Makasar. 11) Islam Amanah, Poso. 12)
Missi Islam Pusat, Jakarta Utara. 13) Nurul Islam, Ciamis. 14) Darussaadah,
Boyolali. Dan masih banyak lagi.
Sudah
banyak pondok pesantren yang meminta klarifikasi dan pencabutan pernyataan
tersebut kepada BNPT. Endro Sudarsono sekretaris, The Islamic Study and
Action Center (ISAC) menegaskan “Kesimpulan
BNPT didasari pada oknum pelaku yang dianggap radikal, tidak bisa disimpulkan
dan tidak bisa digeneralisasi bahwa pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam dinyatakan terlibat radikalisme.” Begitupun ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) NTB mengatakan kepada BNPT melalui Republika, “Tolong (data
BNPT) dikoreksi, saya tahu persis menyangkut Pondok Pesantren Nurul Bayan.
Catatan BNPT sendiri tidak pernah memberikan klarifikasi”. Abdul Manan
Latucansina, salah satu pengurus Forum Komunikasi Penanggulangan Teroris (FKIP)
meminta perhatian serius BNPT mengenai data ponpes yang dituding mengajarkan
paham radikal, "FKPT yang lahir dari
rahim BNPT tidak pernah dapat laporan adanya ajaran teroris di ponpes Alanshar.
Seharusnya, sebelum BNPT mengumumkan nama ponpes itu, harus juga koordinasi dengan kami di daerah. Apa benar
ponpes yang dituduh itu ajarkan paham radikal? Jika tidak terbukti, BNPT harus
bertanggungjawab," ujar Latuconsina.
Jika kita kaji –dan menurut pengakuan BNPT
sendiri-, tujuan utama BNPT mengeluarkan pernyataan tersebut adalah untuk
mencegah terjadinya tindak terorisme. Tapi pertanyaannya adalah, apakah radikalisme berarti menjadikan seseorang
menjadi teroris? sedangkan makna radikalisme
sendiri masih diperdebatkan dikalangan mereka.
Pernyataan
BNPT tersebut sungguh berakibat fatal. Dari hilangnya kepercayaan masyarakat
terhadap pondok pesantren, hingga tercipta dalam mindset masyarakat, bahwa
pondok pesantren adalah sarang dari para teroris. Sudah tentu pesantren telah
meluluskan ratusan hingga ribuan santri. Jikalau memang salah satu diantara
alumni pondok pesantren terlibat kasus terorisme, apakah kemudian kita
membenarkan pernyataan dari BNPT bahwa
pondok pesantren adalah sarang teroris?. Jika itu patokannya, maka sudah sepatutnya
banyak universitas yang dinyatakan sebagai sarang koruptor, karena para
koruptor negeri ini adalah alumni universitas-universitas yang ada.
Lalu
bagaimana dengan kita? Saat mengetahui hal ini, apakah kita diam saja? Setelah
banyak pondok pesantren yang meluncurkan surat resminya untuk BNPT, meminta dan
menuntut pencabutan pernyataan tersebut. Apakah kita diam mematung? Apa sikap
kita akan hal ini? Apakah hanya mengoceh tanpa arti? Merasa diri tak mampu
merubah pernyataan ini? Perlu di ingat, bahwa pernyataan ini tak berarti jika
bertolak belakang dengan kenyataan. Buktikan bahwa para alumni pondok pesantren
maupun santri bukanlah seperti yang dituduhkan oleh BNPT. Kitapun mencintai
perdamaian, dan membenci kedholiman. Kita bersekolah di pondok hanya karena, ingin
menjadi sholih dan sholihah!.
Writted by : Fina Nafsia
0 komentar:
Posting Komentar