Segala puji bagi Allah
Rabb semesta alam. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW, sahabatnya, dan pengikutnya yang senantiasa mengamalkan sunnahnya
hingga akhir zaman.
Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi tugas kuliah yang berjudul “Hukum Menjama’ Sholat
Ketika hujan”
Dalam makalah ini kami
membahas masalah seputar hukum sholat jama’ ketika hujan dengan mencantumkan
pendapat para ulama’ mengenai permasalahan ini secara rinci.
Penyusunan makalah ini
semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung oleh beberapa pihak. Untuk itu
kami ucapkan jazakumullah khoiron kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam menyusun makalah ini.
Namun tidak lepas dari
semua itu, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karena
itu kami mengharapkan adanya saran dan kritik demi perbaikan makalah di masa
mendatang. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak. Amiin
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Segala puji bagi Allah Rabb semesta
alam. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah SAW beserta
para sahabat dan pengikutnya yang senantiasa mengamalkan sunnahnya.
Sholat merupakan ibadah yang sangat mulia. Ia
juga merupakan salah satu kewajiban kaum muslimin bagi yang sudah mukallaf baik
dikerjakan ketika sedang mukim atau safar. Agar sholat kita sah, maka dalam
mengerjakannya harus memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Namun,
pada saat tertentu seseorang tidak akan bisa memenuhi syarat dan rukun yang
telah ditetapkan karena adanya sebab. Di antara sebab-sebab tersebut adalah
ketika ia melakukan safar, saat sakit, atau keadaan-keadaan ketika ia merasa
kesulitan dalam memenuhi syarat dan rukun sholat. Terkadang keadaan seperti ini
menyebabkan ia tidak bisa memenuhi syarat dan rukun sholat tersebut. Sehingga
Allah memberikan keringanan bagi seseorang yang merasa kesulitan untuk memenuhi
syarat dan rukun dalam sholatnya. Dan Allahpun memberikan solusi atas kesulitan
itu dengan disyari’atkannya sholat jama’. Dengan sholat jama’ inilah sholat
seseorang menjadi sah meskipun tidak memenuhi salah satu dari syarat sah
sholat.
Salah satu keadaan yang seseorang itu merasa
kesulitan untuk memenuhi salah satu syarat sah sholat adalah ketika hujan deras
bagi jama’ah yang sholat di masjid. Akan tetapi terkadang seseorang sangat
mempermudah pelaksanaan sholat dalam keadaan hujan dengan menjama’ dua sholat
dalam satu waktu. Meskipun dalam keadaan seperti itu, tidak semua orang
diperbolehkan untuk menjama’ sholat saat hujan.
Dalam makalah sederhana ini, saya akan
membahas tentang hukum menjama’ sholat ketika hujan dan batasan-batasan
seseorang diperbolehkan melakukan keringanan ini. Semoga dengan adanya makalah
ini dapat memberikan pengetahuan mengenai hukum menjama’ sholat ketika hujan
dan batasan-batasannya. Selamat membaca!!!
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu sholat jama’?
2. Apa sebab
diperbolehkannya sholat jama’?
3. Bagaimana hukum sholat
jama’ ketika hujan menurut para ulama’?
4. Bagaimana hukum sholat
jama’ ketika hujan bagi wanita?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian
sholat jama’
2. Mengetahui sebab-sebab
diperbolehkannya sholat jama’
3. Mengetahui hukum sholat
jama’ ketika hujan menurut pendapat para ulama’
4. Mengetahui hukum sholat
jama’ ketika hujan bagi seorang wanita
BAB II
PEMBAHASAN
Sholat merupakan ibadah yang sangat
mulia. Dan ini merupakan salah satu kewajiban kaum muslimin bagi yang telah
mukallaf. Agar sholat kita sah, maka harus memenuhi syarat dan rukun sholat
yang telah disepakati oleh para ulama’. Namun, pada saat tertentu kita tidak
bisa melakukan sholat dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan
karena adanya sebab. Diantaranya adalah ketika seseorang merasa kesulitan untuk
memenuhi syarat dan rukun sholat secara sempurna pada saat turun hujan. Dalam
keadaan seperti ini seseorang diperbolehkan untuk menunaikan sholat dengan cara
menjama’ dua sholat dalam satu waktu. Akan tetapi dalam masalah ini terdapat
batasan-batasan yang harus diperhatikan bagi seorang muslim atas
diperbolehkannya menjama’ sholat ketika turun hujan.
Pengertian
sholat jama’
Sholat jama’ adalah menggabung
antara sholat dzuhur dan asar atau sholat maghrib dan isya’, baik itu dilakukan
di awal waktu dzuhur atau maghrib dan boleh juga diakhirkan pada waktu asar
atau isya’. [1]
Hukum menjama’
sholat
Diperbolehkan bagi seseorang untuk
menjama’ sholat dzuhur dan sholat asar atau sholat maghrib dan isya’ dalam
keadaan tertentu karena adanya sebab seseorang tersebut merasa kesulitan untuk
bisa melakukan sholat di waktu yang telah ditentukan. Namun akan lebih baik
jika tidak melakukan sholat jama’demi
keluar dari perselisihan pendapat, dan Rasulpun jarang melakukannya. Karena
jika jama’ itu lebih baik niscaya Rasul akan sering melakukannya. Adapun dalil disyari’atkannya sholat jama’ adalah
hadits yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik ra.
“Rasulullah
SAW melakukan perjalanan sebelum matahari condong ke barat, maka beliau akan
mengakhirkan sholat dzuhur hingga waktu asar. Setelah itu beliau akan singgah
sebentar dan menggabung
kedua sholat dzuhur dan asar. Namun, jika matahari sudah lebih condong ke
barat, maka beliau akan lebih dahulu sholat dzuhur baru kemudian untanya.” (HR. Bukhori
dan Muslim)[2]
Sedangkan dalil di perbolehkannya
melakukan sholat jama’ ketika hujan adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas ra.
“Bahwasanya
Rasulullah SAW pernah mengimami kami sholat dzuhur dan asar berbarengan, begitu
juga sholat maghrib dan isya’ berbarengan sewaktu di Madinah.”
Dan Imam Muslim menambahkan pada
waktu itu tidak ada rasa takut atau sedang bepergian. Sehingga dalil ini
menjadi dalil dibolehkannya melakukan sholat jama’ ketika hujan karena Imam
Malik berpendapat tentang hadits ini bahwa pada saat itu sedang hujan sehingga
Rasul menjama’ sholatnya. [3]
Sebab
diperbolehkannya sholat jama’
Sholat jama’ diperbolehkan karena
adanya sebab tertentu. Adalah ketika seseorang merasa kesulitan untuk sholat
dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan atau seseorang tidak
mampu untuk melaksanakan sholat tepat pada waktunya yang telah ditentukan. Ini
adalah suatu keringanan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya. Sehingga
seseoarang harus mengetahui apa yang diperbolehkan dalam menjama’ sholat.
Karena ini bukanlah hal yang remeh dan tidak semua orang boleh untuk melaksanakan
sholat dengan cara jama’.
Para ulama’ bersepakat bahwa diperbolehkan
sholat dengan cara jama’ dalam tiga keadaan, yaitu ketika safar, hujan, dan
ketika melakukan ibadah haji di Arofah dan di Muzdalifah. Selain dalam tiga
keadaan tersebut para ulama’ berbeda pendapat dalam hal syarat sahnya sholat
jama’ seperti ketika hujan, sakit, atau lumpur dengan suasana yang gelap.[4]
Madzhab Hanafi, berpendapat bahwa
tidak boleh melakukan sholat jama’ kecuali dalam dua keadaan, yaitu pada saat
musim haji di Arofah dan di Muzdalifah. Mereka berpendapat bahwa waktu-waktu
sholat itu telah ditetapkan secara mutawatir, maka tidak boleh ditinggalkan
hanya karena adanya satu khobar. [5]
Madzhab Maliki, berpendapat bahwa
boleh melakukan sholat jama’ ketika safar, hujan, lumpur dengan
suasana yang gelap, sakit dan ketika pada saat musim haji di Arofah dan di
Muzdalifah. [6]
Madzhab Syafi’i, berpendapat bahwa
boleh melakukan sholat secara jama’ ketika safar, hujan dan ketika musim haji
di Arofah dan di Muzdalifah. Adapun ketika ada lumpur dengan suasana yang gelap
atau angin dengan
suasana yang gelap, maka tidak diperbolehkan untuk melakukan sholat dengan cara
jama’. [7]
Madzhab Hanbali, berpendapat bahwa
sebab diperbolehkannya sholat jama’ adalah ketika safar, sakit, menyusui, tidak
bisa untuk berwudlu atau tayammum untuk setiap sholat, tidak bisa mengetahui
waktu sholat,istihadloh, dan ketika ada suatu udzur atau kesibukan seperti
hujan, lumpur, dan ada angin kencang. [8]
Sholat jama’
ketika hujan
Diantara sebab-sebab yang telah
disebutkan sebelumnya adalah diperbolehkannya menjama’ sholat ketika hujan. Diperbolehkan
melakukan sholat jama’ ketika hujan berdasarkan dalil yang diriwayatkan dari
Ibnu Abbas ra.
“ Bahwasanya Rasulullah pernah
mengimami kami sholat dzuhur dan asar berbarengan, begitu juga sholat maghrib
dan isya’ berbarengan sewaktu di Madinah dan pada saat itu kami tidak sedang
dalam keadaan takut atau safar”
Imam Malik berpendapat bahwa pada
saat itu dalam keadaan hujan. Namun, dalam pembahasan ini, tentunya tidak akan
terlepas dari perbedaan pendapat dikalangan para imam madzhab.
Madzhab Hanafi mengatakan bahwa
tidak diperbolehkan melakukan sholat jama’ ketika hujan karena mereka hanya
memperbolehkan sholat jama’ dal;am dua keadaan, yaitu ketika melakukan ibadah
haji di Arofah dan di Muzdalifah. [9]
Madzhab Maliki mengatakan bahwa
boleh melakukan sholat jama’ ketika hujan pada jama’ sholat maghrib dan isya’
saja dan tidak boleh jika dilakukan pada jama’ sholat dzuhur dan asar.
Kebolehan menjama’ sholat ketika hujan adalah dengan syarat hujan tersebut akan
membasahi bajunya. Jika hujan tersebut tidak deras, maka tidak boleh melakukan
sholat jama’. [10]
Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa boleh melakukan sholat jama’ ketika hujan,
baik itu dilakukan pada jama’ sholat dzuhur dan asar atau pada jama’ sholat
maghrib dan isya’. Dengan syarat sholat tersebut dilakukan di
masjid jami’ dan hujan itu dapat membasahi bajunya jika ia hendak pergi ke
masjid. Sehingga ia diperbolehkan sholat jama’ ketika dalam keadaan hujan. Imam
Syafi’i memperbolehkan sholat jama’ ketika hujan, baik hujan itu deras atau
hanya rintik-rintik saja jika itu dapat membasahi bajunya. [11]
Madzhab Hanbali mengatakan boleh
melakukan sholat jama’ disebabkan hujan pada jama’ sholat maghrib dan isya’
saja dan tidak pada jama’ sholat dzuhur dan asar. Pendapat ini sebagaimana
pendapat Imam Malik. Adapun hujan yang
membolehkan seseorang untuk menjama’ sholatnya adalah ketika hujan tersebut
dapat membasahi bajunya dan bisa menimbulkan kesulitan jika harus keluar rumah
pada saat hujan tersebut. [12]
Waktu sholat jama’ karena hujan
Mayoritas para ulama’ berpendapat
bahwa diperbolehkannya sholat jama’ karena hujan itu dengan jama’ taqdim, yaitu
melakukan sholat pada waktu sholat yang pertama. Namun, Imam Syafi’i mengatakan
dalam qoul qodimnya bahwa boleh melakukan sholat jama’ karena hujan pada waktu
sholat yang kedua atau dengan jama’ ta’khir. Karena beliau mengkiaskan seperti halnya ketika safar yang boleh
melakukan jama’ taqdim atau jama’ ta’khir. Akan tetapi, dalam qoul jadidnya
beliau mengatakan bahwa tidak boleh melakukan sholat jama’ karena hujan dengan
jama’ ta’khir. Beliau membedakan antara sholat jama’ yang dilakukan karena
safar dan hujan adalah dengan keadaan keduanya yang berbeda. Safar itu sifatnya
terus-menerus sedangkan hujan tidak sebagaimana halnya safar, karena hujan bisa
sewaktu-waktu berhenti. Oleh karena itu, menjama’ sholat ketika safar itu boleh
dengan jama’ taqdim atau dengan jama’ ta’khir. Sedangkan menjama’ sholat ketika
hujan hanya boleh dengan jama’ taqdim karena dikhawatirkan hujan akan berhenti
sebelum masuk waktu sholat yang kedua. [13]
Apabila sekiranya hujan itu akan
berhenti sebelum waktu sholat asar atau sebelum masuk waktu sholat yang kedua,
maka tidak diperbolehkan untuk menjama’ sholat dzuhur dan asar. Akan tetapi,
diperbolehkan untuk melakukan sholat dzuhur di akhir waktunya. Sebagaimana
halnya seorang musafir yang berniat sholat jama’ dengan mengakhirkan sholat
dzuhur kemudian ia bermukim sebelum masuk waktu asar. Maka, hal ini tidak
diperbolehkan dan ia harus mengerjakan sholat dzuhur di akhir waktu. [14]
Dalam Madzhab Hanbali
disebutkan bahwasanya menjama’ sholat karena adanya hujan dilakukan pada waktu
sholat pertama, karena, tindakan mengakhirkan sholat pertama hingga sholat
kedua hanya akan menambah kesulitan dan keluar pada cuaca yang gelap, atau juga
terlalu lama menunggu di dalam masjid hingga masuk waktu sholat isya’. Namun,
jika jama’ah memilih untuk mengakhirkan sholat jama’ maka diperbolehkan.[15]
Bagaimana jika
hujan berhenti di tengah sholat?
Berhentinya hujan memang tidak bisa
diterka. Karena itulah para ulama’ berbeda pendapat mengenai syarat sahnya
sholat jama’ yang dilakukan ketika hujan. Terkadang ditengah kita melakukan
sholat jama’ tersebut hujan berhenti atau ketika kita sudah menyelesaikan
sholat jama’ tersebut hujan berhenti sebelum memasuki waktu sholat yang kedua.
Lantas, bagaimana hukum sholat jama’ yang telah kita lakukan?
Perlu kita ketahui bahwasanya sebelum melaksanakan sholat jama’ karena hujan
tentu ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Sebagaimana dalam sholat
safar juga harus ada ketentuan atau syarat yang harus dipenuhi sebelumnya. Adapun
syarat diperbolehkannya sholat jama’ taqdim ketika hujan adalah jika hujan itu
turun ketika mengucapkan salam pada sholat yang pertama dan hujan itu terus
turun sampai awal waktu sholat yang kedua. Hujan itu harus sepanjang itu, namun
tidak mengapa bila terputus kurang dari itu. [16]
Apabila seseorang mengerjakan
sholat jama’ karena sebab hujan setelah hujan turun dan hujan tersebut berhenti
setelah salam sholat yang pertama, maka sholat jama’ yang telah diniatkan
menjadi gugur dan ia harus mengerjakan sholat asar pada waktu yang telah
ditetapkan. Namun, apabila hujan berhenti setelah salam sholat yang kedua atau hujan berhenti ditengah melakukan sholat jama’, maka tetap boleh meneruskannya dan sholatnya sah serta tidak perlu
mengqodlo’nya. [17]
Apabila seseorang tersebut ragu akan waktu berhentinya hujan setelah ia
melakukan sholat yang pertama, maka sholat jama’ yang telah diniatkan
sebelumnya menjadi batal karena ia ragu akan sebab diperbolehkannya sholat
jama’. [18]
Dan apabila seseorang memperkirakan bahwa hujan itu akan berhenti sebelum
masuk waktu sholat yang kedua, maka ia tidak boleh untuk menjama’ sholatnya.
Akan tetapi diperbolehkan untuk melakukan sholat dzuhur di akhir waktunya.
Siapa yang
diperbolehkan untuk melakukan sholat jama’ ketika hujan?
Apabila jalan menuju masjid itu
beratap dan hujan itu tidak menyebabkan seseorang tersebut kesulitan untuk
sholat berjama’ah di masjid atau sholat di rumah baik itu dilakukan secara
sendiri atau berjama’ah, atau seorang wanita yang mengerjakan sholatnya di
rumah, maka ada beberapa pendapat mengenai boleh tidaknya mereka melakukan
sholat jama’ ketika hujan.
Pendapat pertama, bahwa mereka
boleh melakukan sholat jama’ ketika hujan karena adanya keringanan baginya
untuk melakukan sholat jama’ tersebut yang disebabkan oleh adanya hujan.[19]
Pendapat kedua, tidak boleh bagi
mereka melakukan sholat jama’ ketika hujan karena mereka tidak mendapatkan
kesulitan untuk mengerjakan sholat. Dan ini adalah pendapat yang paling
benar. [20]
Adapun jika jalan menuju masjid
tersebut beratap, maka ada yang berpendapat bahwa ia tidak boleh melakukan
sholat jama’ karena tidak ada kesulitan baginya. Adapula yang mengatakan bahwa
ia boleh melakukan sholat jama’ ketika hujan karena ia ingin sholat berjama’ah
bersama imam. Dan ini adalah pendapat yang rojih. [21]
Seseorang yang ia udzur dengan
meinggalkan sholat jama’ah karena hujan atau sakit, dan seseeorang yang
meninggalkan sholat jama’ah tanpa ada udzur apapun, serta seseorang yang tidak
ada anjuran untuk berjama’ah, maka ia tidak boleh melakukan sholat jama’ ketika
hujan. Karena mereka bukan ahlul jama’ah. Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwasanya kebolehan sholat jama’ ketika hujan adalah
ketika dilaksanakan di masjid jami’ secara berjama’ah. [22]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Telah kita ketahui bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya kecuali
sesuai dengan kemampuan hamba dalam menjalankan syari’atnya. Sehingga Allah
memberikan keringanan bagi hamba-Nya dengan adanya syari’at sholat jama’ ketika
ia merasa kesulitan dalam melaksanakan sholat. Salah satu sebab diperbolehkan
melakukan sholat jama’ adalah ketika turun hujan. Terkadang hujan menjadi sebab
seseorang merasa kesulitan untuk pergi ke masjid dalam rangka sholat
berjama’ah. Oleh karena itu, seseorang diperbolehkan menjama’ sholat karena
sebab hujan jika hujan itu bisa membasahi bajunya ketika dia pergi ke masjid.
Namun, perlu diketahui bahwa tidak semua orang boleh melakukan keringanan ini.
Karena kebolehan ini hanya diperuntukkan bagi seseorang yang merasa kesulitan.
Jika seseorang itu melaksanakan sholat di rumah yang ia tidak ada kesulitan
dengan adanya hujantersebut, maka ia tidak diperbolehkan menjama’ sholatnya.
Sebagaimana seorang wanita yang ia sholat di rumahnya atau seorang laki-laki
yang ia sholat sendirian di rumahnya, maka tidak ada keringanan baginya untuk
melaksanakan sholat jama’ ketika hujan.
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini. Sehingga penulis berharap kepada para pembaca yang budiman untuk
memberikan kritik dan saran yang membangun untuk kebaikan makalah di masa yang
akan datang.semoga makalah ini bermanfa’at bagi penulis khususnya dan bagi para
pembaca pada umumnya. Amiin
Sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, sahabat,
dan pengikutnya yang senantiasa mengamalkan sunnahnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-‘Azzaaziy, ‘Aadil bin Yusuf, Tamaamul Minnah, cet. Ke-2, jil. 1,
( Kairo: Daarul ‘Aqiidah, 2009)
2.
Al-Baghowiy, Abu Muhammad Al-Husain, At-Tahdziib Fii Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’iy,
cet. Ke-1, jil. 2, (Beirut-Lebanon: Daarul Kutub Al-‘Ilmiyah, 1997)
3.
Al-Maqdisiy, Ibnu Qudamah, Al-Mughniy ‘alaa Mukhtashor Al-Khiroqiy,
cet. Ke-1, jil. 1, (Beirut-Lebanon: Daarul Kutub Al-‘Ilmiyah, 2008)
4.
Al-Mujaawiy, Musa bin Ahmad, Asy-Syarhul Mumti’ ‘alaa Zaad Al-Mustaqni’,
cet. Ke-1, jil. 2, (Kairo: Jannatul Afkaar, 2008)
5.
An-Nawawiy, Al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab, cet. Ke-8, jil. 5,
(Beirut-Lebanon: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, 2011)
6.
Asy-Syarbiniy, Al-Khotiib, Al-Iqnaa’ fii Halli Alfaadzi Abi Syujaa’,
cet. Ke-4, jil. 1, (Beirut-Lebanon: Daarul Kutub Al-‘Ilmiyah, 2011)
7.
Az-Zuhailiy, Prof. Dr. Wahbah, Terjemah Fiqh Islam wa Adillatuhu,
cet. Ke-10, jil. 2, (Jakarta: Gema Insani, 2007)
[1] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhayli, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, terj.
(Jakarta: Gema Insani, 2010), jilid 2,
hlm. 450
[3] Imam Abu Muhammad
Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghowiy, At-Tahdzib Fii Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i,
(Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1997), jilid 2, hlm. 317 dan 318
[4] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaily, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, terj.
(Jakarta: Gema Insani, 2010), jilid 2, hlm. 451
[9] Imam An-Nawawiy, Al-Majmuu’ Syarhil Muhadzdzab, (Beirut: Darul Kutub
Al-‘Ilmiyah, 2011), jlid 5, hlm. 356
[10] Imam An-Nawawiy, Al-Majmuu’ Syarhil Muhadzdzab, (Beirut: Darul Kutub
Al-‘Ilmiyah, 2011), jilid 5, hlm. 363
[11] Al-Khotib Asy-Syarbini,
Al-Iqnaa’ fii Halli Alfaadzi Abi Syujaa’,
(Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, 2011), jilid 1, hlm. 370
[12] Ibnu Qudamah Al-
Maqdisiy, Al-Mughniy ‘alaa Mukhtashor Al-Khiroqiy, (Beirut: Daarul Kutub Al-‘Ilmiyah, 2008), jilid 1,
hlm.
[13] Al-Baghowiy, At-Tahdziib
fii fiqh Al-Imam Asy-Syafi’iy, (Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, 1997),
jilid 2, hlm. 318
[15] Prof. Dr. Wahbah
Az-Zuhailiy, Fiqh Islam wa Adillatuhu, terj, (Jakarta: Gema Insani, 2010), jilid 2, hlm.
456
[16] Prof. Dr. Wahbah
Az-Zuhailiy, Fiqh Islam wa adillatuhu, terj, (Jakarta: Gema Insani,
2010), jilid 2, hlm. 453
[17] Abu Abdir Rohmaan ‘Aadl
bin Yusuf Al-‘Uzzaaziy, Tamaamul Minnah, (Kairo: Daarul ‘Aqiidah, 2009),
jilid 1, hlm. 456
[18] Al-Baghowiy,
At-Tahdziib fii Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’iy, (Beirut: Daarul Kutub Al-‘Ilmiyah, 1997), jilid 2, hlm. 318
[21] Imam Musa Salim
Al-Mujaawiy, Asy-Syarhul Mumti’ ‘alaa Zaad al-Mustaqni’, (Kairo:
Jannatul Afkaar, 2008), jilid 2, hlm. 200
0 komentar:
Posting Komentar