Indonesia merupakan negeri tropis yang sangat
strategis. Negeri tempat para santri tumpah ruah, masjid berlimpah-limpah. Para
wirausahawan Islam yang singgah di Nusantara pada abad ketujuh silam, ternyata
mampu mengantarkan Indonesia menjadi negeri dengan mayoritas muslim terbesar di
dunia saat ini.
Ya.
Islam yang dibawa masuk oleh para pedagang Arab yang singgah di Nusantara kala
itu, diterima oleh rakyat Nusantara secara sukarela. Kendala bahasa, budaya,
dan agama tidaklah menjadi penghalang bagi dakwah mereka. Karena ternyata,
akhlaq Islam yang senantiasa menghiasi keseharian merekalah yang memikat jutaan
penduduk pribumi untuk mengikuti ajaran Islam. Keteladanan dan akhlaq mulia sudah
lebih dari cukup untuk menaklukkan hati pribumi.
Tidak sampai disini, darah Islam yang mengalir
di tubuh rakyat Indonesia, ternyata mampu membebaskan Indonesia setelah ratusan
tahun berada di tangan para penjajah. Ya. Karena mereka yang berjuang untuk
kemerdekaan tak hanya bervisi ingin membebaskan negeri,namun lebih karena
menganggap ini sebagai jihad, sebuah cita tertinggi yang mampu taklukkan musuh
sebesar apapun itu.
Krisis Moral Mengancam Indonesia
Waktu berputar, zaman kian berubah. Kini, predikat
Indonesia sebagai negeri dengan mayoritas muslim terbesar nampaknya hanya
sebatas data yang didapat dari sensus penduduk. Ya, agama mereka Islam, tapi perilaku
mereka sama sekali tidak meunjukkan akhlaq seorang muslim. Krisis moral yang
terjadi di kalangan masyarakat Indonesia menjadi ancaman terbesar yang dialami
oleh Indonesia saat ini.
Figur guru yang dulunya merupakan sosok yang
patut ‘digugu dan ditiru’, kini tak lebih dari seorang penceramah di sekolah.
Sebatas mentransfer ilmu. Tidak ada sikap yang bisa dijadikan teladan, apalagi nilai
akhlaq yang diajarkan. Di luar jam sekolah, ia bisa berubah menjadi apa saja,
lupa dengan predikat ‘guru’ yang melekat pada dirinya. Lupa bahwa masa depan
ratusan murid tepikul di pundaknya.
Eksploitasi anak juga marak terjadi di negeri
ini. Merampas kebebasan anak, kids trafficking, memeras tenaga anak
untuk dipekerjakan di jalanan, bahkan pelecehan seksual terhadap anak bukan
merupakan hal yang asing lagi di negeri ini. Dan yang lebih ironi, hal-hal tersebut justru dilakukan oleh orang-orang
terdekat mereka.
Hampir setiap hari, stasiun televisi
memberitakan kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat dalam negeri.
Entah sudah berapa milyar hak rakyat yang masuk ke kantong mereka. Berkat aksi
mereka, kini Indonesia berhasil masuk nominasi sebagai negara dengan koruptor
tertinggi di Asia. Hukuman yang ditetapkan Indonesia masih dinilai cukup ringan
sehingga tidak menimbulkan efek jera, baik untuk diri yang bersangkutan maupun orang
lain. Ironinya, di sisi lain, para polisi justru sibuk menghakimi seorang warga
yang terpaksa mencuri ayam tetangganya demi sesuap nasi.
Banyaknya investor-investor asing yang
menanamkan saham dan menawarkan produk mereka di Indonesia, serta tren
materialisme yang mereka bawa, ditambah lagi dengan akses informasi yang
terbuka luas, menjadikan masyarakat terpengaruh gaya konsumtif. Gaya hidup
mewah yang sekedar mengedepankan keinginan tanpa memikirkan keadaan sekitar dan
masa depan. Padahal, jika mereka mau melihat sedikit ke sekitar, akan ada
ribuan tangan yang dapat mereka bantu penghidupannya.
Banyaknya budaya barat yang masuk juga seakan
mendoktrin masyarakat agar mengikuti budaya mereka. Akibatnya, pergaulan bebas
yang berujung pada hubungan seksual terlarang dianggap sebagai hal yang biasa.
Prostitusi dilokalisasi, karena dinilai hal tersebut merupakan solusi terbaik
daripada zina di sembarang tempat.
Fenomena lesbian, gay, biseksual, dan transgender
yang mencuat akhir-akhir ini juga merupakan isu yang memprihatinkan bagi
masyarakat Indonesia. Ironinya, penyakit yang dianggap sebagai aib, bahkan oleh
pengidapnya ini, ternyata masih dikontroversikan oleh para petinggi negeri.
Bukan sebagai penyakit, namun sebagai hak asasi. Akhirnya, para pengidap LGBT yang sejatinya hanya
berjumlah sekitar 3% dari populitas negeri, kini bersemangat meramaikan media
sosial, menunjukkan diri. Membuat isu yang menunjukkan seolah-olah mereka
adalah komunitas besar yang patut diperjuangkan hak asasinya.
Tindakan Antisipasi Hadapi Krisis Moral
Sebagai orang-orang yang teguh memegang moral,
kita harus optimis. Sekuat apapun krisis moral ini dilancarkan, pasti tetap
bisa dihentikan.
Kesadaran diri secara personal menjadi kunci
awal disini. Selalu mawas diri, agar jangan sampai terjebak dalam arus yang
tampak menggiurkan ini. Peringatkan pula orang-orang terdekat kita, agar tak
mudah terjerumus oleh akhlaq-akhlaq tercela yang ditawarkan oleh lingkungan.
Pendidikan berbasis Islam yang mengedepankan
akhlaq dari sekedar mentransfer ilmu juga merupakan alternatif baik untuk
membendung dekadensi moral ini. Putra-putra bangsa yang dikenalkan kepada
akhlaq mulia sejak kecil diharapkan mampu untuk membawa perubahan di masa yang
mendatang.
Teknologi informasi yang berkembang pesat,
yang meniadakan sekat antar ruang, hendaknya dijadikan sarana untuk menuju perubahan
yang lebih baik. Tulisan-tulisan yang membangun sungguh sangat diperlukan.
Berapa banyak tulisan yang berhasil menggerakkan orang.
Berkacalah
pada sejarah. Karena sejarah merupakan salah satu poros berkembangnya suatu
negeri. Sungguh tidak etis jika tetesan darah para pahlawan yang berjuang
membebaskan Indonesia dulu, kini dibalas dengan rusaknya moral para cucu bangsa
di tanah yang sama.
Kesimpulan dan Saran
Era globalisasi memang menyebabkan masyarakat
terjebak dalam krisis moral yang begitu menggiurkan. Krisis moral kini menjadi
penjajah dan ancaman terbesar bagi Indonesia. Namun, kita harus optimis, bahwa sebobrok
apapun, krisis moral ini pasti bisa diatasi. Karena kejahatan, selamanya tidak
akan menang.
Lakukan perubahan, mulai dari skala kecil,
karena bagaimanapun itu lebih baik dari sekedar menonton, kemudian mencaci. Mengutip
prinsip kaizen yang merupakan pondasi kemajuan Jepang, “Perubahan kecil, tampak
tak berarti, berkesinambungan, dan tanpa henti.” Mari berbenah !
0 komentar:
Posting Komentar