Sudah satu bulan lebih rakyat Madhaya menderita krisis gizi buruk dan kelaparan. Puluhan bahkan ratusan jiwa meninggal dunia dalam tragedi ini. Berita ini sungguh membuat miris bagi siapa saja yang mendengarnya. Tak terkecuali umat Islam di seluruh dunia. Mereka yang memiliki hati nurani pasti akan tergerak hatinya untuk membantu penduduk di negeri dengan konflik yang terus memanas tersebut. Namun hari ini, untuk membantu mereka tak semudah membalikkan telapak tangan.
Pemblokadean yang terjadi selama beberapa minggu, menyulitkan para
relawan utuk memsukkan bantuan bagi korban krisis kelaparan di Madhaya. Maka, partisipasi
umat ini tak cukup hanya sekedar membantu rakyat Madhaya secara materi semata,
tapi juga tenaga dan pikiran dengan berkonsentrasi mendo’akan mereka. Krisis
ini diperparah dengan tindakan PBB sebagai sekjen perdamaian dunia yang tidak
mampu mengatasi masalah ini dengan baik. Yang mereka lakukan justru mengubur berita
ini hidup-hidup. Selain itu, terjadi simpang siur dalam pemberitaan media
tentang dalang sebenarnya dibalik pemblokadean yang terjadi. Berikut ulasan
singkatnya.
Derita Madhaya
Organisasi Program Pangan Dunia telah mengumpulkan data korban
meninggal dunia akibat kelaparan di Madhaya, seperti disebutkan di sebuah daerah
pedesaan Damaskus, sebanyak 30 orang sejak awal bulan Januari 2016 hingga hari
Jum’at tanggal 15 Januari 2016. Ya. Madhaya adalah salah satu daerah di negeri
Suriah sana yang hari ini dilanda krisis kelaparan dan gizi buruk. Hal ini
akibat blokade kejam yang terjadi di perbatasan kota Madhaya sejak Juli 2015
lalu. Berbagai kisah pilu meninggalnya puluhan warga Madhaya tak henti-hentinya
menyambangi media-media informasi. Membuat setiap orang yang memiliki hati nurani
tergerak untuk mengulurkan tangannya untuk sekedar meringankan beban mereka.
Menurut salah satu dugaan, bahwa pelaku blokade kota Madhaya adalah
rezim yang berkuasa di negeri Suriah sendiri. Akibat blokade tersebut, penduduk
tidak bisa mendapatkan sesuap makanan
sebagai penegak tulang punggung. Mereka terpaksa harus mengais-ngais sisa
sampah yang kotor dan tak punya standar gizi makanan yang baik untuk dikonsumsi.
Bahkan mereka terpaksa harus memakan kucing dan rumput untuk mengganjal perut.
Jika mereka memaksa keluar dari kota tersebut untuk mencari makanan, nyawanya
terancam oleh para penjaga ‘penjara kota’. Begitulah penduduk Madhaya menyebut
kota mereka hari ini. Para penjaga itu sewaktu-waktu mampu memusnahkan nyawa
mereka dan melumatnya dengan senjata para penjaga hanya dalam hitungan detik.
Seperti seekor ular kobra raksasa yang tak butuh waktu lama untuk melumpuhkan
mangsanya.
Sebagaimana yang dilaporkan oleh Kiblat.net pada laporan beritanya
tanggal 6 Januari 2016. Berita tersebut berkisah tentang Ummu Ahmad, salah
seorang ibu dan delapan orang anaknya yang hanya makan sehari sekali. Mereka
hanya hidup dari bantuan tepung. Setelah gencatan senjata usai, mereka tak
memiliki apa-apa lagi. Harta mereka habis dibombardir oleh musuh. “Di sini kami
bagaikan tahanan di penjara besar. Kami tidak bisa keluar masuk kota. Setiap
usaha untuk menyelinap keluar kota untuk mencari makanan, justru yang
didapatkan adalah kematian. Seperti yang terjadi terhadap banyak warga kota
ini,” kisahnya sedih. Tak hanya itu.
Harga pangan di Madhaya meroket hingga delapan puluh dolar untuk satu kilo
beras saja. Penderitaan ini ditambah musim dingin yang membekukan bumi Madhaya
selama beberapa bulan terakhir.
Lengkap sudah
penderitaan umat Islam di Madhaya. Musuh Allah tak akan henti-hentinya menyiksa
hamba Allah yang mempertahankan dan tidak menggadaikan keimanannya walau hanya
untuk mengatakan Bashar Assad sebagai tuhan. Tidak. Bahkan para pejuang oposisi
yang mencoba membantu mereka pun belum
sanggup menyelamatkan nyawa-nyawa mereka dari ancaman kelaparan dan gizi buruk.
Disisi lain,
pemberitaan media justru membuat semakin memanas kondisi di sana. Berita yang
simpang siur tentang dalang dibalik pemblokadean di kota Madhaya sehingga
menyulitkan akses pengiriman bantuan bagi warganya. Banyak media informasi yang
mengatakan pelaku pemblokadean ini adalah pihak oposisi yang tak mengijinkan
bantuan masuk. Bahkan media-media itu mengatakan bahwa bantuan yang masuk, akan
mereka jual kepada siapa yang mampu membelinya. Foto-foto warga Madhaya yang
hanya tinggal sisa tulang dengan kulit mereka yang beredar dianggap palsu oleh
beberapa media sehingga memicu kemarahan oraganisasi HAM dunia HRW dan Amnesty
International.
Semua
pemberitaan ini mungkin akan menciptakan tanda tanya di benak para pembela
kemanusiaan. Mengapa tragedi kehancuran umat manusia ini dimainkan oleh pihak
yang tidak bertanggungjawab?. Bisa jadi yang mereka cari adalah teralihkannya
konsentrasi umat pada hal lain. Atau mereka hanya ingin mengadu domba umat
dengan para pejuang yang ada disana. Semuanya mungkin terjadi dikarenakan ada
pihak-pihak yang sengaja menumpangi pemberitaan tragedi kelaparan ini untuk
kepentingan pribadi dan kelompok. Bahkan negara seperti Rusia, ikut-ikutan
menceburkan diri dalam konflik Suriah ini. Rusia justru menolak menghadiri
pertemuan Dewan PBB untuk membahas krisis ini. Hal ini seperti yang dilansir
oleh KoranSindo.com. Rusia menganggap pertemuan ini hanya akan menghalangi
pembicaraan perdamaian yang akan datang.
Rusia dalam
konflik Suriah juga berperan membela Bashar Assad dalam pertempuran melawan
umat Islam di sana. Jika perdamaian itu tidak mungkin terjadi, lalu perdamaian
apa yang mereka maksud?. Apakah perdamaian dengan tetap menempatkan umat Islam
dalam titik paling rendah di bawah kekuasaan kaum Komunis dan Syi’ah?. Mereka
kaum kafir yang nampaknya seakan bersatu-padu, namun sejatinya mereka berpecah
belah.
Blokade Kejam
Blokade kejam di perbatasan kota Madhaya mengakibatkan krisis
kelaparan melanda rakyatnya. Sedangkan pelaku hal tersebut belum bisa
dipastikan secara pasti. Sebagian media mengatakan yang melakukan adalah kaum
oposisi Suriah yang mencegah bantuan masuk ke Madhaya. Media tersebut juga
mengatakan para oposisi pasti menjual setiap bantuan yang masuk kepada siapa
yang mampu membelinya. Sebagiannya lagi mengatakan, pemblokade daerah tersebut
adalah tentara Hizbullah Lebanon. Media yang memberitakan hal tersebut juga
menyebutkan mereka membunuh rakyat Madhaya yang hendak mencari makanan keluar
kota.
Kekejaman tindakan blokade ini terus megancam kelangsungan hidup
manusia di sana. Dan total masa pengepungan di Madhaya adalah tujuh bulan
lamanya. Terhitung sejak bulan Juli 2015 hingga bulan Januari 2016. Korban yang
berjatuhan sudah tak terhitung lagi jumlahnya.
Sebenarnya tidak hanya Madhaya yang mengalami tragedi ini. Di
daerah lain berjuta-juta nyawa juga telah melayang akibat kejahatan rezim Bashar
Assad. Banyak yang tidak memahami bahwa peperangan yang terlibat antara rakyat
Suriah dengan pemerintahannya bukanlah konflik politik semata. Namun, konflik
aqidah-lah yang melatarbelakangi terjadinya revolusi besar-besaran Suriah.
Membuang wajah
Seharusnya penguasa dunia adalah orang yang peduli terhadap
kelangsungan generasi manusia dan selalu membela hak-hak asasi manusia. PBB
dalam hal ini masih juga belum mampu memainkan perannya sebagai dewan perdamaian
dunia. Masih banyak manusia di penjuru dunia ini yang masih belum terpenuhi
hak-haknya. Mereka tetap dalam keadaan tertindas oleh manusia lainnya. Bahkan
pemusnahan sebagian etnis manusia atas manusia lain masih terjadi di berbagai
belahan bumi.
Seperti halnya Madhaya. Terlebih lagi negeri Suriah, yang hari ini
direvolusi oleh penguasanya dengan cara yang merendahkan peri kemanusiaan.
Pemerintah mengancam rakyatnya dengan serbuan peluru dan bom. Serta menyiksa
siapa saja yang tidak mau tunduk terhadap penguasanya yang lalim. Dan menganggap
dirinya adalah penguasa tertinggi alam semesta, tidak ada yang lebih tinggi
lagi selain dia. Madhaya yang sampai detik terakhir ini masih banyak korban berjatuhan.
Namun, pemimpin dunia justru membuang mukanya dari berbelas kasih terhadap
penderitaan mereka. Kelaparan yang hampir mencekik leher-leher anak-anak,
balita, wanita bahkan lansia, tidak sedikitpun meluluhkan hati para pemimpin
dunia dalam barisan PBB.
Sepandai-pandai seseorang menyembunyikan bangkai pasti akan tercium
juga bau busuknya. Majalah Foreign Policy pun tak segan-segan untuk membeberkan
dokumen yang disembunyikan oleh PBB tentang krisis yang telah melanda Madhaya. Isu
ini bisa saja menjatuhkan Dewan Keamanan PBB sendiri dalam urusan mengamankan hak
asasi manusia. Atau akan muncul stigma, bahwa PBB dihitung lambat dalam menanggulangi
urusan krisis ini. Perdamaian yang digembar-gemborkan dunia barat beserta para
punggawanya belum menemui titik terang bagi rakyat Suriah yang setiap hari
mendapat ketertindasan dari penguasanya sendiri. Kalau pun PBB ingin membela
hak asasi rakyat Suriah, PBB seharusnya menjatuhkan hukuman setimpal kepada
pemerintah Suriah yang telah membumihanguskan rakyatnya sendiri dengan
cara-cara yang melanggar aturan perang dunia. Seperti yang banyak terjadi,
ternyata Bashar Assad dan para tentaranya menggunakan bom kluster yang sudah
jelas keharamannya dalam larangan international. Sama halnya ketika Israel
menggunakan bahan peledak terlarang tersebut untuk menghancurkan bumi Palestina.
Namun, pada kenyataannya PBB tidak menurunkan tindakannya kecuali hanya kecaman
dan kecaman yang tidak ada pengaruhnya bagi kekuatan rezim Bashar Assad. Justru
rezim ditaktor itu semakin kuat saja dengan bantuan sekutunya, Rusia.
Tiada hari tanpa demonstrasi rakyat menuntut kebebasan. Dan tiada
hari tanpa ratusan korban jiwa yang mati sia-sia. Maka, di pundak dewan
keamanan dunia-lah nyawa-nyawa mereka dipikul. PR besar untuk dewan PBB, yaitu
mendamaikan rakyat dunia tanpa ada pertumpahan darah dan pemusnahan sebagian
etnis manusia. Dan cara tersebut hanya mungkin bisa terwujud jika umat manusia
mengambil Islam sebagai jalan yang ditempuh untuk menuju perdamaian dunia.
Sedangkan Islam sendiri tidak akan jaya kecuali dengan dakwah dan pertumpahan darah.
Menyikapi
Lalu bagaimana umat Islam menyikapi kabar yang tersebar? Yaitu
tentang simpang siur pelaku blokade Penjara Kota tersebut. Begitulah warga
menyebut Madhaya yang selalu dalam pengawasan para penjaga di perbatasan. Jika
umat Islam mau menyadari, bahwa musuh utama mereka pada perang Suriah kali ini
adalah kaum kafir dari kalangan Syi’ah. Agama kotor tersebut tidak bisa lepas
dari anutan yang dipercayai oleh penguasa Suriah sendiri, Bashar Assad dan bala
tentaranya juga para sekutunya. Seperti Hizbullah Lebanon dan tentara milisi
dari Iran. Di belakang mereka juga masih ada yang memboncengi konflik ini.
Rusia pun masih enggan hengkang dari bumi bagian negeri Syam itu.
Jika kita mau menilisik, media-media yang pro Bashar Assad pasti
akan memberitakan pihak oposisi-lah yang menjadi pelaku pemblokadean di Madhaya
sehingga bantuan tidak mampu menembus tembok blokade tersebut. Fitnah apapun
mereka coba untuk mengalihkan pembelaan umat terhadap para pejuang yang pada
hakikatnya merekalah yang menyertai dan peduli pada rakyat Madhaya ketika
krisis kelaparan itu terjadi. Maka, sebaiknya kita meng-crosscheck lagi
media berita yang kita baca. Jangan sampai kita latah hanya ikut-ikutan media
tanpa mencari tahu kebenaran. Karena seorang muslim sangat dianjurkan untuk menimbang
setiap berita yang didengarnya, untuk kemudian mengikuti yang paling benar
diantara berita-berita tersebut. Agar terhindar dari cap sebagai pendusta hanya
karena mengutarakan semua apa yang didengarnya mentah-mentah.
Kita perlu membuka mata dan hati kita untuk sedikit peduli dengan
saudara kita yang tertindas di negeri Madhaya. Bukan hanya di Madhaya, tapi
juga seluruh elemen kaum muslimin yang sedang tertimpa musibah. Juga mereka
yang dihinakan oleh para musuh Allah U. Dan yakinlah dengan selalu berdo’a, bahwasanya Allah pasti akan
membalik keadaan mereka dengan dihinakan sehina-hinanya. Tidak hanya di alam
dunia, tapi juga di alam akhirat kelak.
Kepedulian kita hendaknya tidak berhenti hanya dengan memanjatkan
do’a. Walaupun itu juga salah satu peran penting dalam terkabulnya permohonan.
Namun, ada yang lebih penting lagi untuk dilakukan. Yaitu uluran tangan kita
untuk sekedar menggadeng mereka dan memberikan sedikit harapan hidup dan
sambungan napas. Karena yang sedikit ini pasti akan lebih berarti dari pada
tidak sama sekali.
Writted by : Eva Zulaikha
0 komentar:
Posting Komentar