A. Pendahuluan
Membaca
Al-Qur’an adalah salah satu amal yaumiyah ummat islam yang bernilai
ibadah, baik dengan tujuan menghafalnya, mentadaburinya ataupun mempelajarinya.
Allah memerintahkan kepada hambaNya untuk selalu mebaca Al-Qur’an,
perintah ini tertulis dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
perintah ini tertulis dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
اتْلُ
مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ
تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ
يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (45)
“Bacalah sesuatu yang telah diwahyukan
kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an), dan dirikanlah Shalat. Sesungguhnya
Shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya
mengingat Allah itu lebih besar (lebih utama dari ibadah yang lain). Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” {Al-Ankabut: 45}
Allah juga menjelaskan bahwasanya Allah akan memberikan balasan yang
berlipat ganda bagi para pembaca Al-Qur’an
إِنَّ
الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29)
لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
(30)
“Sesungguhnya
orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan
menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan
diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak
akan merugi”. “Agar
Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka
dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29-30)
عَنْ
عَبْد اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ رضى الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ
وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ
وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ ».
“Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Siapa
yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan
tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak
mengatakan الم satu huruf akan
tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR.
Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6469(
Lalu bagaimana dengan seorang wanita yang dalam keadaan
haid dan dia ingin membaca dan memegang Al-Qur’an karena beberapa alasan
seperti: dalam rangka kegiatan belajar mengajar, takut hafalannya hilang, untuk
persiapan ujian tafsir, atau ingin mendapatkan pahala dll. Bolehkah dalam
keadaan - keadaan tersebut sorang wanita yang haidh memegang atau membaca
Al-Qur’an?
Dalam hal ini terjadi banyak
perbedaan pendapat diantara para ulama tentang hukum membaca ataupun memegang
al-qur’an bagi wanita yang sedang datang bulan
(haid).
B. Pembahasan
1. Hukum Membaca Al-qur’an
Bagi Wanita Haid
a. Hukum membaca al-qur’an secara mutlaq (dengan tujuan ta’abbudiyah) bagi
wanita haid
Jumhur
ulama berpedapat bahwasanya hukumnya haram berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
لاتقرأ الحائض والجنب
شيئا من القرآن
“Seorang yang haid dan junub tidak boleh
membaca suatu apapun dari al-qur’an” (HR:Tirmidzi)[1]
Ada juga di antara mereka yang memperkuat hujjahnya dengan memakai
dalil berikut:
“Adalah Nabi saw tidak melarangnya membaca
al-Qur'an kecuali karena jinabah.” (HR: Ahmad dan Abu Daud)
Ali ia berkata, “Dalam keadaan apapun, selain
junub, Rasul shallallah ‘alaihi wasallam selalu membacakan Alquran kepada kita.(HR
Tirmidzi)
Menurut pendapat para ulama hadits diatas
adalah dho’if karena pada hadits Tirmidzi termasuk didalamnya Yahya bin Anisah
sebagai salah satu periwayatnya sementara Imam Bukhari berpendapat bahwa hal
ini mengindikasikan bahwa hadis tersebut adalah hadis dhoif (Lihat kitab al-Tarikh
al-Kabir), dll.
Dalam menyikapi hadis dhoif di atas, para ulama
juga berbeda pendapat. Dalam kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al
Asqalani, Imam Bukhari memandang bahwa hadist dhaif selamanya tetap dhaif
sehingga tidak bisa dijadikan hujjah
Sementara
ulama-ulama lain seperti Sufyan al-Tsauri, Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad bin
Hanbal, dan Ishak berpendapat bahwa walaupun semua berstatus dhoif dan sebagian hadis kadar kedlaifannya
tidak parah tapi masing-masing saling
menguatkan sehingga hadis tersebut bisa dimasukkan dalam golongan hadis hasan
lighairih( hadis dhoif berubah status menjadi hadis hasan karena
faktor eksternal). Sehingga, larangan wanita haid dan orang junub membaca
Alqur’an tetap berlaku[2]
Menurut pendapat madzhab Zhahiri dalam kitab al-Muhalla karangan
Ibnu Hazm menulis: “Membaca Al-Qur’an, sujud tilawah, memegang mushaf dan
berdzikir pada Allah, baik dengan wudhu maupun tanpa wudhu diperbolehkan bagi
orang yang junub maupun perempuan yang haid.”
Dalil yang dipakai adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari tentang surat Nabi Muhammad Saw
kepada Heraclius (kaisar Romawi) yang mana dalam surat beliau memuat firman
Allah surat Ai ‘Imran: 64
قُلْ يَا
أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ
بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا
اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (آل عمران: 64)
Katakanlah (Muhammad): “Wahai Ahli
Kitab! Marilah kita menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami
dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu
sama lain tuhan - tuhan selain Allah.jika mereka berpaling maka katakanlah pada
(mereka), ”Saksikanlah bahwa kami adalah seorang muslim” (Ali ‘Imran: 64)[3]
Pendapat
yang paling kuat diantara keduannya adalah pendapat yang pertama karena dalilnya lebih kuat. Adapun
mengenai surat Nabi kepada Heraclius tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena seperti yang kita ketahui pada
umumnya, bahwasanya surat mengandung banyak kata – kata (selain ayat Al-Qur’an)
didalamnya, begitupula dengan isi surat Nabi Muhammad Saw kepada Heraclius
tidak hanya berisi ayat Al-Qur’an (Ali Imran:64), sehingga surat tidak bisa
dihukumi seperti Al-Qur’an, oleh karena itu orang yang berhadats pun tidak
dilarang untu menyentuhnya.
b. Hukum membaca Al-Qur’an bagi wanita haid dengan tujuan menjaga
hafalannya supaya tidak hilang
Dalam madzhab Maliki, dari periwayatan Ahmad
bahwasanya hukum membaca Al-Qur’an bagi wanita haid hukumnya boleh. Karena haid
adalah suatu keadaan yang menghampiri perempuan dan ia tidak mungkin bisa
menolaknya dan masanyapun relatif lama, berbeda halnya dengan wanita yang dalam
keadaan junub, yang mana dia bisa bersegera untuk bersuci. Jika wanita haid
dilarang membaca Al-Qur’an maka hal itu bisa menyebabkan hilangnya hafalannya.[4]
Begitu juga dengan seorang siswa, jika tiba waktu ujian dalam materi
Alqur’ân dan dia sedang haid kemudian masa haidnya lama sehingga tidak mungkin
mengikuti ujian tersebut kecuali bila haidnya berhenti maka tidak mengapa dia
membaca Alqur’ân untuk ujian. Sebab jika dia tidak membacanya tentu ujiannya
gagal dan dia tidak sukses dalam ujian Alqur’ân dan ini membahayakannya. Maka
dalam keadaan ini juga, seorang siswi boleh membaca Alqur’ân untuk mengikuti
ujian.[5]
Dali yang mereka jadikan pijakan adalah tidak
adanya dalil yang shahih mengenai keharaman membaca Al-Qur’an bagi wanita yang
haid, adapun bagi wanita junub banyak periwayatannya sehingga dalil - dalil
tersebut saling menguatkannya.[6]
c. Hukum membaca penggalan ayat – ayat al-qur’an dengan tujuan berdzikir
kepada Allah.
Fuqoha yang menyatakan keharaman membaca
Al-Qur’an bagi wanita haid dan junub adalah jika dia bertujuan ta’abbudiyah.
Adapun jika dia bertujuan untuk berdzikir atau berdoa, seperti membaca
hamdalah, basmalah, atau doa naik kendaraan yang merupakan penggalan ayat
al-Qur’an yang berbunyi:
سُبْحَانَ
الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ
“Maha suci Allah yang telah
menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami semua sebelumnya tidak mampu
menguasai” (Az-zukhruf:13)
maka hukumnya diperbolehkan. Ini adalah
pendapat kebanyakan fuqoha madzhab Hanafi, Syafi’i dan pendapat Imam Ahmad
menurut salah satu riwayat. Pendapat ini pula yang dipegangi oleh fuqoha
madzhab Hanbali.[7]
2. Hukum Memegang Al-Qur’an bagi Wanita Haid
a.
Hukum memegang al-Qur’an yang murni (tanpa
terjemahan atau tafsiran) tanpa alas.
Hampir semua fuqoha sepakat akan hukum
pelarangan menyentuh Al-Qur’an secara langsung tanpa alas.
Dalil – dalil yang dijadikan landasan adalah:
·
Firman Allah:
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا
يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79)
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah
bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfudz), tidak
menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan” (Al-Waqi’ah: 77-79)
·
Hadits yang diriwayatkan dari kakek Amru bin
Hazm bahwa Nabi Saw mengirim surat kepada penduduk Yaman. Diantara isinya
berbunyi, “Jangan menyentuh Al-Qur’an selain orang yang dalam keadaan
bersuci” [8]
Akan tetapi masalah diatas adalah perkara
ikhtilafi, karena ada sebagian kecil ulama yang berpendapat membolehkannya.
Untuk lebih berhati – hati dan menghidarkan diri dari ikhtilaf para ulama,
sebaiknya kita menghindari memegang Al-Qur’an secara langsung, kecuali jika
dalam keadaan darurat, itupun harus menggunakan alas.[9]
b.
Hukum memegang al-Qur’an yang murni (tanpa
terjemahan atau tafsiran) dengan
menggunakan alas
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai
kebolehan menyentuh Al-Qur’an dengan menggunakan alas, yakni:
1.
Jika
alasannya itu menyatu dengan mushaf seperti sampulnya, maka tidak boleh.
Sedangkan jika alasnya terpisah dari Al-Qur’annya seperti
kaos tangan, tas ataupun kain, maka
hukumnya boleh. Ini pendapat fuqoha madzhab Hanafi, sebagian fuqoha madzhab
Maliki dengan mengecualikan guru dan murid saat belajar mengajar, dan menurut
pendapat Imam Ahmad dari riwayat yang masyhur.
Alasan mereka, jika alas (pembungkus) itu menyatu dengan
mushaf maka ia termasuk bagian darinya. Karena, jika mushaf itu dijual maka
pembungkusnya termasuk kedalamnya, meskipun tidak disebutkan dalam akad.
Berbeda halnya jika tidak menyatu, maka ia tidak termasuk bagian darinya.
2.
Tidak boleh sama sekali menyentuh mushaf
meskipun dengan pembungkus. Ini pendapat fuqoha madzhab Syafi’i dan pendapat
Imam Ahmad meurut satu riwayat.
Alasan mereka, segala sesuatu yang menjadi pembungkus
atau alas mushaf, baik yang menyatu ataupun yang tidak terpisah adalah bagian
dari mushaf dan dinisbatkan kepada mushaf.
3.
Dibolehkan
secara mutlak menyentuh mushaf dengan alas atau pembungkus. Ini adalah pendapat
sebagian fuqoha madzhab Syafi’I dan sebagian fuqoha madzhab Hanbali.
Alasan mereka,
larangan menyentuh mushaf adalah menyentuhnya secara langsung. Jika ada tabir
atau pembungkus yang melapisinya, maka itu bukan lagi menyentuhnya secara
langsung sehingga tidak terlarang.
Pendapat yang paling kuat diantara tiga pendapat tersebut adalah
pendapat yang pertama yang merinci antara alas yang menempel dan yang terpisah.
Semua pendapat diatas adalah ijtihad fuqoha, bukan berdasarkan dalil yang
syar’i. Meskipun demikian sebagai sikap kehati – hatian, pendapat yang merinci
(pendapat pertama) ini lebih proporsional, tidak berlebih – lebihan dan tidak
juga menyepelekan.[10]
c.
Hukum memegang Al-Qur’an terjemahan atau yang ada tafsirannya
tanpa menggunakan alas
Mushaf
yang dilarang untuk disentuh secara langsung oleh orang yang sedang berhadats
kecil atau besar (termasuk Haidh) adalah mushaf yang mengandung ayat-ayat
Qur’an saja, baik itu 30 juz atau sebagiannya saja.[11]
Imam Nawawi rahimahullah dalam Al
Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian
tafsirnya daripada ayat Al Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir semacam itu,
maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam
itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.”
Dalam hal ini Al
Qur’an terjemahan dalam bahasa non Arab, tidak dihukumi seperti mushaf
yang mana disyaratkan dalam hadits untuk tidak menyentuhnya kecuali dalam keadaan suci. Namun dihukumi
sama dengan menyentuh kitab tafsir. Karena seperti yang biasa kita ketahui,
pada umumnya isi dari Al-Qur’an terjemahan lebih banyak mengandung kajian
terjemahannya daripada ayat Al-Qur’an itu sendiri. Akan tetapi, jika isi Al
Qur’annya lebih banyak atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, maka
seharusnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats.[12]
Syaikh Utsaimin menjelaskan dalam kitab Majmu’ fatawa wa Rasail Al-Utsaimin
juz.11 hal.215 “Apabila isinya berimbang antara tulisan ayat al-Qur’an dan
tafsir maka hukumnya tidak boleh disentuh oleh orang yang berhadats,
berdasarkan kaidah: jika berkumpul hal yang membolehkan dan melarang, dan tidak
ada pembeda yang menguatkan salah satu sisi maka dikuatkanlah sisi yang
melarang.”[13]
Dalam masalah ini juga ada sebagian ulama yang
berpendapat bahwa mushaf Al-Qur’an yang tertulis dengan selain huruf Arab,
seperti buku yasinan yang banyak ditulis dengan tulisan latin, maka
diperbolehkan menyentuhnya bagi orang yang berhadats.[14]
d.
Hukum memegang Al-Qur’an dalam kegitan belajar mengajar
Menurut
pendapat madzhab Hanafi ada rukhsoh bagi wanita haidh yang ingin mempelajari atau
mengajarkan Al Qur’an di saat jam mengajar untuk menyentuh mushaf baik
menyentuhnya secara langsung ataupun menggunakan alas, baik menyentuh seluruh
mushaf atau sebagiannya atau cuma satu lembaran yang tertulis didalamnya ayat
Al Qur’an. [15]
Namun hal ini tidak berlaku pada orang yang junub. Karena orang yang junub dia
mudah untuk menghilangkan hadatsnya dengan mandi sebagaimana ia mudah untuk
berwudhu. Beda halnya dengan wanita haidh, ia tidak bisa menghilangkan
hadatsnya begitu saja karena yang ia alami adalah ketetapan Allah. Demikian
pendapat dari ulama Malikiyah (kitab Al-Mawsu’ah jilid 2).
Akan tetapi yang jadi pegangan ulama Malikiyah, boleh bagi orang
yang junub (laki-laki atau perempuan, kecil atau dewasa) untuk membawa Al
Qur’an ketika mereka hendak belajar karena keadaan yang sulit untuk bersuci
ketika itu. Ia dibolehkan untuk menelaah atau menghafal Al Qur’an ketika itu.[16]
C. Penutup
Dari makalah diatas bisa disimpulkan
bahwasanya hukum membaca atau memegang Al-Qur’an bagi wanita haid adalah
perkara ijtihadiyah atau khilafiyah. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum
hal ini, kita boleh memilih mana saja yang menurut kita paling mendekati pada
kebenaran berdasarkan dalil yang syar’i. Akan tetapi alangkah baiknya jika kita
lebih berhati – hati dalam memilih pendapat tersebut, tidak ketat, dan tidak
pula meremehkan, karena sebaik – baik perkara adalah yang pertengahan.
Sebagai bentuk kahati - hatian penulis akan
menuliskan pendapat yang menurut penulis hujjahnya paling kuat, tidak
berlebihan dan tidak pula meremehkan. Yakni, haram hukumnya bagi wanita haid
yang memegang ataupun membaca Al-Qur’an dengan tujuan ibadah.
Ada rukhsoh bagi wanita haid yang ingin
memegang secara langsung atau membaca Al-Qur’an (murni tanpa tarjamah) saat
majlis ilmi atau dengan tujuan menjaga hafalannya supaya tidak hilang, akan tetapi
alangkah baiknya jika kita memegang mushaf menggunakan alas atau mushaf yang
dipegang adalah mushaf tarjamah.
Mushaf yang dilarang dipegang oleh orang –
orang berhadats adalah mushaf yang murni berisi ayat Al-Qur’an atau mushaf yang
isinya lebih banyak ayat Al-Qur’annya dari pada terjemahannya atau
keterangannya. Jadi mushaf terjemahan yang didalamnya lebih banyak
terjemahannya, keterangannya, atau tulisan lain selain ayat Al-Qur’an hukumnya
seperti kitab tafsir, fiqih, dll yang boleh dipegang oleh orang yang berhadats.
Daftar Pustaka
Al-Qur’anul Karim. (2010). Bandung: cv. Jabal
Raudlatul Jannah.
Maktabah Shamela.
Al-‘Ainiy, Abu Muhammad Mahmud bin Ahamad. Al-binayatu fi Syarhi al-Hidayati.
Dimasyqo: Darul Fikr.
Ad-Dimasyqo, ‘Alaud Din Abul Hasan Ali bin
Muhammad Ibnu Abbas al-Bu’la. (1329).
Kitabu al-Ikhtiyaroti al-‘Amaliyati. Mesir: Kurdistan Al-Amaliyah.
Al-Husaini, Imam
Taqiyuddin Abu Bakar. (2012). Kifayat Al-Ahyari. Beirut: Darul
Kutub Al-‘Ilmiyah.
Al-Maliky, Al-Imam Al-hafidz Ibnul ‘Azliy. ‘Aaridlotul
Ahwadzi. Beirut: Darul Kutub
Al-‘Ilmiyah.
Az-Zuhaily, Prof. Dr. Wahbah. (2007). Fiqih
Islam Wa Adillatuhu. Dimasyqo: Darul
Fikr.
Ibrahim, As-Syaikhu Muhammad Bin. (1429 H.). Fatawa
Al-Mar’atu Al-Muslimatu.
Riyadh: Dar Adlwaus Salaf.
Salim, DR. Ahmad. (2011). Hukum Fiqih
Seputar Al-Qur’an. terj. Jakarta: Ummul Qura.
[1] Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini, Kifayat Al-Ahyari, (Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, 2012 ), jilid 1, hal. 120
[4]‘Alaud Din Abul Hasan Ali bin Muhammad Ibnu
Abbas al-Bu’la ad-Dimasyqo, Kitabu al-Ikhtiyaroti al-‘Amaliyati, (Mesir:
Kurdistan Al-Amaliyah, 1329), hal. 17
[6]Al-Imam Al-hafidz Ibnul ‘Azliy Al-Maliky, ‘Aaridlotul Ahwadzi (Beirut: Darul
Kutub Al-‘Ilmiyah) juz 1, hal. 213,214
[15] Prof. Dr.
Wahbah az-Zuhaily, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Dimasyqo: Darul Fikr, 2007), jilid 1, hal. 626
Writted by : Jihan Kholilah
0 komentar:
Posting Komentar