Makan dan minum merupakan kebutuhan pokok makhluk hidup. Baik
manusia, hewan, maupun tumbuhan. Tidak ada makhluk hidup yang bisa bertahan
tanpa adanya makanan. Terlebih seorang manusia. Demi mendapatkan sesuap nasi,
mereka rela berkorban tenaga, waktu, kehormatan, bahkan nyawa.
Sebagai seorang muslim, Islam telah mengatur dengan sedemikian
sempurna perihal makanan. Nash-nash
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah juga telah gamblang menjelaskan mana makanan yang
halal dan mana makanan yang haram
.
.
Namun, seiring berlalunya zaman, semakin bertambahlah
variasi-variasi atau jenis- jenis makanan. Hal itu membuat status halal haram
sebuah makanan menjadi membingungkan. Karena banyak makanan halal yang
tercampur dengan yang haram, namun kadarnya sangat sedikit, bahkan zat haram
tersebut sampai larut sehingga tak ditemui lagi bau, rasa, maupun warnanya.
Contohnya makanan yang tercampur alkohol, atau makanan yang mengandung wine,
rhum, begitu pula status vaksin yang disuntikkan ke tubuh manusia.
Pada makalah perdana ini, penulis ingin membahas perihal hukum
makanan yang tercampur alkohol. Penulis sadar makalah ini masih banyak
membutuhkan koreksi agar lebih baik, maka penulis berharap akan bimbingan,
saran, dan kritik dari pembaca. Adapun segala kebenaran yang terdapat pada
makalah ini maka itu datangnya dari Allah semata, dan segala kesalahannya maka
itu karena keterbatasan penulis.
B.
PENGERTIAN
1.
ALKOHOL
a)
Definisi alkohol
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) disebutkan bahwa alkohol adalah :
-
Cairan tidak berwarna yang mudah menguap, mudah terbakar, dipakai
di industri dan pengobatan, merupakan unsur yang memabukkan di kebanyakan
minuman keras; C2H5OH; etanol.
b)
Jenis-jenis alkohol
Terdapat
berbagai jenis alkohol, diantaranya :
-
Ethanol.
Alkohol jenis ini merupakan bahan utama yang memabukkan dalam khamr. Dan
konotasi alkohol biasanya untuk alkohol jenis ini.
-
Methanol.
Alkohol jenis ini biasa digunakan untuk mencairkan beberapa jenis zat, juga
dalam parfum ( minyak wangi ), dan bahan bakar. Alkohol jenis ini selain
memabukkan, juga sangat beracun dan dapat mengakibatkan kematian bagi orang
yang meminumnya.
-
Isopropil.
Alkohol jenis ini sangat beracun dan sama sekali tidak digumakan untuk
pembuatan minuman keras, hanya digunakan sebagai bahan pengawet, untuk
sterilisasi, pembersih kulit, dan digunakan di laboratorium dan industri.[2]
c)
Fungsi dan kegunaan alkohol.
-
Sebagai pelarut ( solvent ), misalnya pada parfum, peras,
pewarna makanan dan obat-obatan.
-
Sebagai bahan sintetis ( feedstock ) untuk menghasilkan
bahan kimia lain, contohnya sebagai feedstock dalam pembuatan asam
asetat ( sebagaimana yang terdapat dalam cuka ).
-
Sebagai bahan bakar alternatif.
-
Untuk minuman beralkohol ( alcohol beverage )
-
Sebagai penagkal racun ( antidote )
-
Sebagai penangkal infeksi ( antiseptic )
2.
KHAMR
Khamr secara bahasa
mempunyai tiga makna :
-
Tabir dan penutup. Jika dikatakan : ‘ikhtaromatil mar’ah‘, yaitu
jika ia ( wanita ) menuti kepalanya dan wajahnya khimaar ( kerudung ).
-
Bercampur. Diantaranya seperti perkataan yang banyak beredar, ‘ hanii’an
marii’an ghaira daain mukhaamirin..’; artinya : bercampur.
-
Matang. Diantaranya seperti perkataan : ‘ khamaratal ‘ajiin’; yang
artinya : engkau membiarkannya hingga waktu matang.
Dari ketiga makna ini, diambillah kata al-khamrah, karena ia
menutupi akal, mencampurkannya atau mengacaukannya.
Adapun definisi secara syar’i, maka ia nama untuk segala macam minuman
yang dapat mengacaukan akal dan menutupinya. Hal ini berdasarkan hadits, ‘
Segala sesuatu yang memabukkan adalah khamr, dan semua jenis khamr adalah
haram.[4]
C.
APAKAH HUKUM ALKOHOL SAMA DENGAN KHAMR?
Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa alkohol dan khamr adalah
berbeda. Alkohol bukanlah mutlak termasuk khamr. Alkohol adalah salah satu
unsur terpenting dalam khamr yang memabukkan. Akan tetapi, karena alkohol
adalah zat utama yang menyebabkan terjadinya dampak mabuk dalam khamr, maka
hukum alkohol dapat disamakan dengan khamr.
Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hal ini:
Pendapat pertama:
Alkohol sama dengan khamr. Ini merupakan pendapat mayoritas para ulama
kontemporer. Dan fatwa Dewan Ulama Kerajaan Arab Saudi, No. 8684, yang
berbunyi: “ Segala sesuatu yang bila diminum dalam jumlah bsar mengakibatkan
mabuk maka zat tersebut dinamakan khamr, baik dalam jumlah sedikit ataupun
banyak, baik dibri nama alkohol ataupun diberi nama yang lain. Zat tersebut
wajib ditumpahkan dan haram digunakan untuk kepentingan apapun: sebagai
pembersih, campuran parfum, bahan bakar dan lain sebagainya”.
Pendapat kedua: Alkohol
adalah khamr. Pendapat ini didukung oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan
beberapa ulama kontemporer. Argumen pendapat ini bahwa terdapat perbedaan
antara khamr dan alkohol. Khamr terbuar dari hasil fermentasi buah segar
seperti anggur, kurma, gandum, dan biji-bijian. Sedangkan alkohol berasal dari
kayu, akar dan serat tebu, kulit jeruk dan lemon dan juga terdapat dalam setiap
adonan. Sekalipun alkohol adalah zat utama yang menyebabkan mabuk pada khamr
akan tetapi alkohol tidak dinamakan khamr.
Namun sebagaimana telah kita ketahui, dalam sebuah hadits
diriwayatkan bahwa Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كل مسكر خمر وكل مسكر حرام
“ Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang
memabukkan adalah haram”.(
HR.Muslim )
Dalam hadits ini Nabi menamakan segala sesuatu yang memabukkan
dengan khamr –sekalipun nama asli zat tersebut bukanlah khamr- dan Nabi juga
menyamakan hukum segala yang memabukkan dengan khamr, yaitu haram. Maka
berdasarkan hadits ini alkohol menurut syari’at dinamakan khamr dan hukumnya
sama dengan khmr, karena alkohol merupakan unsur utama yang memabukkan dalam
minuman khamr.[5]
D. NAJISKAH
ALKOHOL ITU?
Pendapat pertama: semua ulama dari
madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menghukumi khamr adalah najis.
Mereka berdalih dengan firman Allah,
ياْيها الذين ءامنوا إنما الخمر و الميسروالأنصاب و الأزلام رخس من عمل
الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون
“ hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, ( berkorban
untuk ) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah rijs termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatn-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan”. ( Al-Maidah:90 )[6]
Allah menamakan khamr dengan rijs yang berarti kotoran, dan Allah
juga memerintahkan untuk mnghindari khamr tersebut, dan sesuatu yang kotor yang
diperintahkan untuk menghindari adalah najis.[7]
Pendapat kedua: sebagian ulama diantaranya Al-Muzani, Daud Zahiri, Syaukani, dan beberapa
ulama kontemporer, seperti: Ahmad Syakir, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan
Al-Albani berpendapat bahwa khamr tidak najis.
Pendapat ini dikuatkan oleh beberapa dalil, diantaranya:
Diriwayatkan bahwa seorang
laki-laki datang menghadiahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam segentong arak, Rosulullah bersabda, “
Tidakkah engkau tahu bahwa Allah telah mengharamkan arak?
Laki-laki itu menjawab, “Tidak”.
Lalu laki-laki itu berbisik kpada teman di dekatnya. Dan Nabi bertanya, “
Apa yang engkau bisikkan kepada temanmu?”.
Ia menjawab, “Aku perintahkan dia untuk menjualnya”.
Maka Nabi bersabda,”Sesungguhnya Allah telah mengharamkan minum khamr dan
Allah juga telah mengharamkan menjualnya”. Lalu laki-laki itu membuka tutup
gentong dan menumpahkan khamr ke tanah. (HR.Muslim)
Saat orang tersebut menumpahkan khamrnya Nabi hanya diam dan tidak
menganjurkannya untuk menumpahkannya ke tempat yang agak jauh dan juga tidak
memerintahkan para sahabat untuk membersihkannya, sebagaimana beliau
memerintahkan para sahabat untuk membersihkan lantai saat serang Arab Badui
kencing di dalam masjid. Sikap Nabi tersebut menunjukkan bahwa khamr tidaklah
najis.
Muhammad Nashiruddin Albani berkata: “ Inilah pendapat yang kuat
berdasarkan kaidah ‘asal sgala sesuatu adalah suci, sedangkan tidak ada dalil
yang memalingkannya”.[8]
Adapun maksud kata rijs dalam ayat yang digunakan oleh pendapat
pertama, maka maksudnya bukanlah kotor secara hakikatnya melainkan bersifat
maknawi. Karena kata tersebut diiringkan dengan judi, berhala, dan undian, yang
tidak disifatkan najis secara hakikatnya. Sebagaimana firman Allah:
فاجتنبوا الرجس من الأوثان و اجتنبوا قول الزور
Patung-patung
adalah kotor secara maknawi, tetapi tidak najis menyentuhnya.
E.
HUKUM MAKANAN YANG MENGANDUNG ALKOHOL
Setelah memahami
beberapa pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1.
Alkohol bukanlah benda najis, maka boleh digunakan untuk pemakaian
luar ( bukan diminum ) seperti untuk pembersih luka dan pembunuh bakteri, serta
dapat digunakan untuk minyak wangi.
2.
Adapun penggunaannya untuk minuman dan makanan atau obat yang
diminum maka hal itu diperinci sebagai berikut:
a)
Apabila kadar alkohol yang dicampurkan ke dalam makanan/minuman
banyak sehingga tidak terurai, masih terdapat bau, rasa, warna, rasa,serta
masih memiliki pengaruh memabukkan maka itu hukumnya haram karena itu termasuk
khamr.
Sedangkan
hukum keharaman khamr, para ulama telah sepat tentang keharamannya, sebagaimana
dikutip dari perkataan Ibnu Hazmi, “ Barangsiapa yang sengaja merendam ikan
dengan khamr, lalu ditambah garam untuk dibuat Murry ( sejenis lauk ), sungguh
dia wajib diberi sanksi hukuman, karena khamr tidak halal digunakan untuk
apapun juga, serta tidak halal dicampurkan ke dalam apapun juga, khamr hanya
boleh ditumpahkan”. [10]
b) Apabila kadar alkohol yang dicampurkan ke
dalam makanan/minuman sedikit sehingga terurai, serta tidak terdapat lagi bau,
rasa, warna, dan tidak menimbulkan efek mabuk, pada keadaan ini terdapat
perbedaan pendapat.
Pendapat pertama: Menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i makanan/ minuman ini
tidak halal, karena telah bercampur alkohol ( khamr ), dan alkohol adalah (
khamr ) adalah najis, maka hukum minuman/makanan ini pun berubah menjadi najis
dan tidak boleh dikonsumsi serta tidak boleh diperjual belikan.
Pendapat kedua: Menurut sebagian
ulama dalam madzhab Hanbali, Abu Yusuf ( murid langsung Abu Hanifah ) dan Ibnu
Hazmi bahwa makanan/minuman yang telah bercampur khamr ( alkohol ) hingga
larut/terurai dalam makanan, tidak terdapat lagi bau, rasa, warna, serta tidak
menimbulkan efek memabukkan, maka hukumnya halal dikonsumsi dan halal dijual
belikan.
Mereka beralasan
bahwa khamr diharamkan karena memabukkan, sedang makanan/minuman yang dicampur
alkohol kemudian larut/terurai tidak lagi memabukkan. Ini menunjukkan bahwa
khamr telah berubah menjadi wujud menjadi zat lain. Dengan dmikian makanan yang
yang sjak awalnya halal tidak terpengaruhi hukumnya oleh campuran alkohol yang
kemudian terurai/larut.[11]
Sebagaimana pula
dinukil dari perkataan Ibnu Taimiyah, ” Apabila khamr terurai didalam air
maka orang yang meminum air tersebut tidak lagi dinamakan meminum khamr”.[12]
Hal yang
menguatkan kehalalannya sekalipun mengandung alkohol adalah karena yang
diharamkan adalah makanan/minuman yang dalam jumlah besar memabukkan maka
sekalipun jumlahnya kecil tetap diharamkan, sesuai dengan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
ما اْسكر كثيره فقليله حرام
“ Sesuatu yang
memabukkan dalam jumlah besar maka hukumnya haram sekalipun dalam jumlah
kecil.” ( HR.Abu Dawud
)
Kenyataannya,
makanan ini tidak memabukkan bila dikonsumsi dalam jumlah besar, dengan dmikian
maka hukumnya halal dan boleh diperjualbelikan.[13]
F.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Qur’an Al-Karim
2.
Andalusy,al-, Abi Muhammad bin Ahmad, Al-Muhalla, jilid.12, cet. ke-1,
Beirut-Lebanon: Daar Al-Kotob Al-ilmiyah, 2003 M.
3.
Kharany,al-, Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah, Majmu Fatawa, jilid.20,
Kairo: Daar Al-Hadits, 2006 M.
4.
Izazy,al-, Abu Abdirrahman Adil bin Yusuf, Tamamul Minnah,
jilid.1, cet.ke-2, Iskandariyah: Darul Aqidah, 2004 M.
5.
Tarmizi, Erwandi, Harta Haram Mu’amalat Kontemporer,
cet.ke-5, Bogor- PT. Berkat Mulia Insani, 2013 M.
6.
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[2] Erwandi Tarmizi, Harta Haram Mu’amalat Kontemporer, hal.78
[3] Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi, Fiqih Kontemporer,
hal.275-276
[4] http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2011/02/minuman-yang-mengandung-alkohol-khamr.html
[5] Erwandi Tarmizi, Harta Haram Mu’amalat Kontemporer, hal.79-80
[6] Qs.Al-Maidah : 90
[7] Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi, Fiqih Kontemporer,
hal.277
[8] Abu Abdirrahman ‘Adil bin Yusuf Al-izazy, Tamamul Minnah,
hal.55
[9] Qs. Al-Hajj : 30
[10] Abi Muhammad Ali bin Ahmad Al-Andalusy, Al Muhalla, jilid XII,
hal 378
[11] ibid
[12] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, jilid XXI, hal.501
[13] Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi, Fiqih Kontemporer,
hal.277
Writted by : Himmatur Rasyidah
0 komentar:
Posting Komentar