BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Masalah
Syariat Islam adalah syariat yang syumul. Islam memiliki dua pilar
esensial, kedua pilar ini mungkin tidak
asing dikalangan kita, yaitu aqidah dan syariah. Syariah yaitu aspek teoritis
(nazari) yang harus diyakini kebenarannya tanpa reserve oleh setiap muslim,
sedangkan syari’ah merupakan aspek
praktis (amali)
yang memuat aturan-aturan yang harus dipatuhi seorang
muslim dalam kehidupannya, baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun antar
sesama manusia.
Syariah memilki aspek esensial yaitu
fiqih. Fiqih yaitu segala hal yang berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf.
Imam Ay-Syairazy ( 2012: 6) menyebutkan
dalam kitabnya Alluma’ fi al-Ushul bahwa fiqih yaitu segala bentuk hukum
yang diketahui dengan jalan ijtihad, hal ini berkaitan dengan ibadah amaliyah. Dalam kesempatan lain, Abdul Wahab Khallaf (
2013: 9) menyebutkan bahwa fiqih adalah kumpulan hukum-hukum syara’ mengenai
perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Fiqih sempat mengalami masa pembekuan. Masa tersebut digambarkan bahwa
ijtihad pada masa itu ditutup rapat meski
saat itu banyak ulama yang memiliki kecakapan yang lebih dalam ijtihad
dibandingkan ulama kontemporer yang ada saat ini. Hal tersebut menjadikan fikih
stagnan, padahal zaman semakin berkembang sehingga memunculkan berbagai masalah
pelik yang butuh akan sebuah penyelesaian.
Terdorong karena keadaan tersebutlah, para ulama kontemporer mencurahkan
usahanya untuk memenuhi kebutuhan zaman. Proses pengerahan usaha yang dilakukan
oleh para mujtahid untuk mendapatkan hukum kontemporer itulah yang disebut
dengan ijtihad. Hal ini seirama dengan apa yang diungkapkan oleh imam
asy-Syatibi dalam al-Muwafaqatnya, “ Ijtihad yaitu usaha seorang mujtahid
dengan cara mencurahkan segala usahanya untuk mendapatkan hukum syar’i”.
(Asy-Syatibi, 2004: 774)
Imam al-qardhawi, seorang ulama kontemporer bermadzhabkan Hanafy untuk menjawab tantangan zaman membentuk
sebuah metode ijtihad atau dapat kita sebut dengan tahqiq manath untuk
menetapkan hukum kontemporer. Hanya saja, hasil atau hukum matang yang al-Qardhawi
tetapkan terkadang menyelisihi yurisprudensi ulama salaf.
Dari sanalah, timbul pertanyaan dibenak penulis mengenai metode ijtihad imam
al-qardhawi yang kemudian akan penulis kaji terkhusus pada masalah hukum safar
wanita tanpa mahram, yang dirasa jauh berbeda dengan yurisprudensi para
ulama sekaliber imam asy-Syafi’i.
1.2. Rumusan
Masalah:
Bagaimana pola
ijtihad beliau dalam masalah hukum safar wanita?
1.3.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pola ijtihad al-Qarhawi dalam masalah hukum safar wanita.
1.4.
Manfaat Penelitian
1.
Secara Teoritis
a. Menjadi bahan masukan bagi pihak yang berkompeten atau berkeinginan
melakukan penalaran
fikih.
b. Sumbangan karya ilmiyah bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, baik dikalangan akademisi maupun masyarakat luas
pada umumnya.
2. Secara Praktis
a. Sebagai tambahan kepustakaan bagi mahasiswa Hidayaturrahman dalam mata
kuliah ushul fikih dan fiqh al-nawazil serta masyarakat ilmiah umumnya,
dalam upaya merangsang dan melebarkan gerak ijtihad yang lebih bertanggung
jawab dan lebih berhasil guna serta merealisasikan slogan Islam Sholihun
likulli Zaman wa Makan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Berbicara mengenai ijtihad merupakan perkara
yang urgent. Sebab, banyak diantara kita yang masih terkungkung dengan
paradigma tertutupnya ijtihad. Adapun faktanya, ijtihad masih terus berkelindan
hingga saat ini dan negara yang pesat pemikiran ijtihadnya adalah London. Bukan
Arab.
Ijtihad
merupakan upaya seorang mujtahid dengan cara mengerahkan segala kemampuan yang
ia miliki untuk mengeluarkan hukum yang tidak ada dalil sharih yang
menjelaskanya. - Imam Asy-Syatibi menjelaskan
dalam magnum opusnya “ Al-Muwafaqaat” bahwa ijtihad adalah mengerahkan
segala kesungguhan dan usaha untuk mengetahui hukum syar’I dan merealisasikanya
dalam amal nyata. (asy-Syatibi, 2004: 774).
2.1. Konsep
Ijtihad Kontemporer Menurut al-Qardhawy
Sebelum kita berbicara jauh mengenai pola
ijtihad al-Qardhawi seharusnya kita tahu pengertian ijtihad terlebih dahulu.
Secara etimologi, ijtihad bersumber dari akar kata jahada ( جھد ), berarti kesulitan atau
kesusahan.(Abu Husain, 1979 dalam
Mendra Siswanto, 2011: 47).
Yusuf al-Qardhawi menambahkan dalam kitabnya “al_Ijtihad fi Syari’ah
al-Islamiyyah” (1996: 13), dari
sudut ilmu sharaf, kata ijtihad bentuknya mengikuti wazan (timbangan)
ifti’al ( افتعال ), yang
menunjukkan arti berlebih ( مبالغة )
dalam melaksanakan suatu perbuatan.
Adapun pengertian ijtihad secara istilah,
al-Qardhawi (1996: 13) memberikan
pengertian ijtihad sebagaimana yang dikemukakan oleh imam asy-Syaukani dalam kitabnya ”Irsyadu Fuhul “ yaitu
mengerahkan kemampuan dalam menemukan hukum syar’I yang bersifat praktis dengan
jalan istinbath. (asy-Syaukani, 1996: 5 )
Adapun ijtihad
kontemporer, Imam al-Qardhawi menyebutkan dalam karya beliau “ al-Ijtihad”
bahwa ijtihad pada masalah kontemporer memiliki 3 macam, yaitu:
·
Ijtihad intiqa’i ialah usaha dalam memilih satu pendapat yang terkuat dari beberapa
pendapat yang terdapat dalam warisan fiqih Islam. (al-Qardhawi, 1995: 4)
Metode ijtihad
ini berusaha melakukan komparatif terhadap pendapat-pendapat tersebut dan
meneliti kembali dalil-dalil nash atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan
sandaran pendapat itu sehingga pada akhirnya dapat dipilih pendapat yang
terkuat dalilnya atau alasannya pun sesuai dengan kaidah tarjih.
Substansi ijtihad intiqa'i sebenarnya sudah lama dikenal ulama yang
lazim disebut dengan ijtihad tarjihi, yaitu seorang mujtahid melakukan
ijtihad dengan mengkomparatifkan hasil-hasil ijtihad ulama dalam mazhab tertentu
dan memilih pendapat yang terkuat dengan melakukan tarjih. Hanya saja terdapat
perbedaan antara ijtihad intiqa'i yang dimunculkan oleh Qardhawi dengan ijtihad
tarjihi tersebut. Dalam ijtihad tarjihi yang dikomparatifkan adalah
pendapat-pendapat para ulama dalam kalangan mazhab tertentu, sedangkan dalam ijtihad
intiqa'i yang dikomparatifkan bukan pendapat ulama dalam mazhab tertentu,
tetapi dari berbagai mazhab. Dalam ijtihad intiqa'i, seorang mujtahid
berusaha melepaskan diri dari kungkungan mazhab tertentu, tidak seperti yang
dilakukan mujtahid murajjih.
Adapun kriteria yang digunakan
untuk melakukan tarjih, menurut al-Qardhawi seperti berikut:
1/
Mempunyai relevansi dengan kehidupan sekarang
2/ Lebih memprioritaskan untuk merealisasikan
maksud-maksud syara‟
3/ Untuk kemaslahatan manusia
4/ Menolak
bahaya. (al-Qardhawi, 1985: 120-121 dalam Repelita, t.th: 7)
·
Ijtihad Insya’i yaitu pengambilan konklusi hukum baru dari suatu persoalan
yang belum pernah diperkenalkan oleh ulama-ulama terdahulu.
·
Diantara dua bentuk ijtihad diatas terdapat ijtihad integrative, yaitu
memilih pendapat para ulama terdahulu yang dianggap lebih relevan dan kuat, namun terkadang
ditambah dengan unsur ijtihad baru yang muncul akibat adanya kemajuan
ilmu dan teknologi. (al-Qardhawi, 1985: 47 dalam
Mendra Siswanto, 2011: 64)
2.2. Prinsip Ijtihad al-Qardhawy
Dalam melakukan suatu ijtihad, Imam al-Qardhawi memilki beberapa prinsip
yang senantiasa beliau lazimi. Hal ini ditujukan agar ijtihad yang beliau kemukakan sesuai dengan
procedural Syar’i. Dia berpegang pada prinsip bahwa nash berlaku umum selama
tidak ada dalil yang mentakhsisnya, menghormati consensus para ulama yang pasti
kebenaranya, mengfunsikan analogi yang benar (qiyas), Mempertimbangkan tujuan
dan manfaat (maqashid syariah). Oleh karena itu, beliau mengatakan bahwa tempat
terjadinya ijtihad ada pada dalil yang tidak termasuk kategori qath’I tsubut
maupun dalalah, baik permasalahan tersebut berupa permasalan ushuliyah maupun
I’tiqdhiyah. (Al-Qardhawi, 1996: 67)
BAB III
POLA IJTIHAD AL-QARDHAWI DALAM HUKUM SAFAR WANITA TANPA MAHRAM
Pada dasarnya,
untuk mendapatkan aplikasi beliau terhadap konsep ijtihad yang beliau tawarkan
untuk menjawab tantangan zaman sangatlah banyak. Kita dapat menemukanya
diberbagai literature ilmiyah karangan beliau, diantaranya pada kitab
al-Ijtihad dan Fiqih Aqaliyyah Muslimah.
Pada kesempatan kali ini penulis hanya
memaparkan satu hasil ijtihad beliau yang berkaitan dengan kebolehan seorang
wanita bersafar sendirian dengan jarak
safar yang jauh berdalilkan
kondisi ril sekarang yang sudah relative aman.
3.1. Istidlal al-Qardhawi dalam
Hukum Safar Wanita tanpa Mahram al-Qardhawi
Al-Qardhawi, sebagai seorang ulama kontemporer yang mengerti akan
seluk-beluk ijtihad tidak akan mungkin berijtihad dengan hawa nafsu. Tentunya,
ijtihad yang beliau lakukan disandarkan pada dalil-dalil yang dapat diakui
keontetikanya. Terkhusus dalam masalah hukum safar wanita, al-Qardhawi
memberikan kelonggaran hukum yaitu dengan fatwa diperbolehkanya seorang wanita
bersafar sendirian tanpa mahram.
Mengenai hal diatas, al-Qardhawi menyebutkan bahwa yang menjadi dalil
diperbolehkannya wanita bepergian tanpa disertai muhrim –apabila keadaan
aman—atau bersama dengan orang-orang yang dapat dipercaya ialah:
Pertama : apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya bahwa Umar
Radhiyallahuanhu mengizinkan istri-istri Nabi shalallahu’alaihi wa salam untuk
menunaikan kewajiban haji mereka yang terakhir, lalu Umar mengutus Utsman bin
Affan dan Abdurrahman bin Auf, dan Istri-istri Nabi shalallahu’alaihi wa salam
sepakat untuk melakukan hal itu tanpa ada seorang pun sahabat yang
mengingkarinya. Dengan demikian, hal ini dianggap sebagai ijmak.
Kedua : Riwayat Imam Bukhari dan
Imam Muslim dari hadits Adi bin Hatim, bahwa Nabi SAW bercerita kepadanya
mengenai masa depan Islam dan perkembangannya, menjulangnya menara islam di
muka bumi, diantara yang beliau katakan ialah
:
“Kelak akan ada wanita dari kota Hirah (Irak) yang pergi mengunjungi
Baitullah tanpa disertai suami, dengan tidak merasa takut kecuali kepada
allah.” (HR. Bukhori)
Kabar tersebut tidak semata-mata menunjukkan akan terjadinya peristiwa itu,
bahkan lebih dari itu, yakni menunjukkan diperbolehkannya wanita pergi haji
tanpa disertai suami bila memang kondisinya aman. Karena hadits ini beliau
ucapkan dalam rangka memuji perkembangan Islam dan keamanannya.(al-Qardhawi, 1996: 335 dalam
Mendra Siswanto, 2011: 117)
Mengenai masalah ini al-Qardhawi mengemukakan dua kaidah penting, yaitu :
Pertama : Pada prinsipnya
hukum-hukum muamalah itu melihat kepada makna dan maksud (tujuannya). Berbeda
dengan hukum-hukum ibadah, yang prinsipnya adalah mengabdi dan melaksanakan
perintah, tanpa melihat makna dan tujuannya, demikian alasan dan argumentasi
yang diajukan Imam Asy Syathibi.
Kedua : sesuatu yang diharamkan
karena dzatnya tidak dimubahkan (diperbolehkan) kecuali karena darurat,
sedangkan sesuatu yang diharamkan karena untuk membendung jalan (saddadz
dzari’ah) diperbolehkan karenan adanya kebutuhan. Dalam hal ini tidak
diragukan lagi bahwa perjalanan yang dilakukan wanita tanpa disertai mahram
termasuk sesuatu yang diharamkan karena untuk membendung penyebab (mencegah
kepada haram karena dzatnya).(asy-Syatibi, t.th: 211 dalam Mendra Siswanto,
2011: 119)
Perlu diperhatikan bahwa bepergian pada zaman kita sekarang ini tidak sama
dengan bepergian tempo dulu yang penuh dengan bahaya karena harus melewati padang pasir, dihadang perampok, dan sebagainya.
Bahkan bepergian sekarang sudah menggunakan alat-alat transportasi yang
biasanya memuat banyak orang, seperti kapal laut, pesawat terbang, dan bus. Hal ini menimbulkan rasa percaya diri dan menghilangkan kekhawatiran terhadap kaum wanita, karena ia tidak
sendirian berada di suatu tempat. Karena itu tidak mengapa seorang wanita pergi menunaikan haji dalam suasana
yang penuh ketenangan dan keamanan ini.(al-Qardhawi, t.th: 446)
3.2. Pola Ijtihad al-Qardhawi dalam Hukum
Safar Wanita tanpa Mahram
Dalam kasus ini, al-Qardhawi berusaha mencari
dan merealisasikan adanya illat serta melakukan pendekatan maqashidy. Hal ini
dilakukan guna mengetahui apakah pada zaman sekarang dapat diterapkan larangan
yang termaktub dalam hadits Rasul atau tidak. Berdasarkan ijtihad istinbathy
beliau tidak menemukan illat atau maqashid syariah dari hukum tersebut.
Namun, jika beliau menggunakan ijtihad tatbiqy dapat beliau ketahui
bahwa ide hukum yang terdapat dibalik nash hadis itu tidak dapat diterapkan
pada kasus wanita bepergian di zaman ini, karena situasinya sudah berubah, maka
hukumnya pun berubah. Dalam kitab kaifa nata'amalu ma al-sunnati
al-nabawiyah, al-Qardhawi membahas hadis ini dalam konteks memahami hadis
menurut sebab, latar belakang dan maksudnya, fahm al-haditsi fi
dhau'i asbabiba wa mulabasatiha wa maqashidiha. Dalam kitab “Syari'at
al-Islam shalihah li tathbiqi fi kulli zaman”, beliau menempatkan hadis ini pada kelompok
hadis-hadits temporal atau kondisional sama seperti hadis al-a'immati min quraisy (kepala
Negara mesti dari kaum quraisy).
Dari sini dapat dipahami bahwa hadis yang
melarang wanita bepergian jika tidak ditemani oleh mahramnya hanya berlaku pada
zaman Nabi saja, tidak dapat diterapkan pada zaman kontemporer ini. Pendapat
ini dikemukakan al-Qardhawi sesuai dengan prinsip yang dipegangnya, yakni
memberi kemudahan kepada umat, ia tidak mau mempersulit. Jika wanita dalam
setiap perjalanan mesti ditemani oleh suami atau mahramnya, maka hal itu akan
menimbulkan kesulitan. Padahal hukum Islam selalu berorientasi pada kemudahan
dan menghilangkan kesulitan.(al-Qardhawi, 1996: 335 dalam
Mendra Siswanto, 2011: 118-119)
3.3. Analisis
Fatwa al-Qardhawi dalam Hukum Safar Wanita tanpa Mahram
Hukum safar
wanita merupakan hal yang urgent, sebab semua wanita pasti melakukan aktifitas yang satu ini. Hanya
saja, bagaimana jika safar mereka tanpa didampingi mahram? Hal ini tentu
menjadi suatu yang berbeda. Ulama mutaqaddimin sepakat bahwa hukum safar
wanita tanpa mahram adalah haram, hal ini sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab turats para
ulama. Diantaranya adalah kitab al-Mughni karya Ibnu qudamah, beliau
menyebutkan dalam kitabnya bahwa seorang wanita haram bepergian sendirian walau
untuk menuanaikan ibadah haji. (Ibnu Qudamah, t.th: 31). Madzhab
Syafi’I, madzhab Maliki maupun Hanafy
juga menyebutkan hal yang sama. (Ibnu Rusyd, t.th: 454)
Menimbang
pendapat al-Qardhawi dalam masalah ini merupakan hal yang signifikan.
Hal ini disebabkan, jika fatwa tersebut diterapkan, akan melonggarkan para
muslimah bersafar bebas tanpa mahram baik ketika ada keperluan maupun tidak.
Keumuman fatwa yang beliau keluarkan dapat berdampak buruk untuk kelangsungan
wanita dimasa mendatang.
Setelah
penulis melakukan kajian yang lebih
mendalam, penulis dapati bahwa pada dasarnya hukum syar’I tidak akan
berubah sebab sifatnya yang tsabit. Hukum syar’I tidak dapat dipengaruhi
oleh perubahan situasi dan kondisi zaman. Dari dasar diatas muncul dasar kedua,
hukum syar’I yang berkaitan dengan halal, haram, mubah, sunnah bersifat tetap
dan tidak berubah. Kemudian dari dua dasar tersebut memunculkan dasar ketiga
yaitu pada asalnya hukum itu tetap dan tidak berubah yang berubah hanya
penerapanya.
Flashback pada
kesimpulan hukum al-Qardhawi yang mengatakan bahwa hukum safar tanpa mahram
diperbolehkan dengan sebab situasi yang sudah aman, kendaraan atau
transportasi modern yang dapat
menimbulkan rasa nyaman bagi para wanita ketika perjalanan membuat penulis
sedikit keras berfikir. Sebab, pada dasarnya
dalam mentahqiq sebuah manath pada fiqih nazilah atau
kontemporer banyak kaidah yang perlu diperhatikan yang diantaranya adalah
perubahan zaman, perkembangan teknologi yang semakin canggih, adat masyarakat
yang berubah dan lain sebagainya. Hanya saja, apakah hukum yang tersirat dan
masyru’ tersebut lantas dikesampingkan bahkan dibuang begitu saja tanpa
melanggengkan hukum asal? Inilah yang menjadi centra topic penulis.
Hadits yang
berbunyi “ Janganlah seorang wanita sehari semalam bersafar kecuali bersama
mahramnya” merupakan hadits shahih. Dalam literature fiqih, hukum safar
wanita juga banyak disinggung dan masuk pada ranah serta bab Haji. Kata
larangan dalam ranah kajian Ushul merupakan pertanda bahwa sesuatu yang
dilarang tersebut adalah haram, atau paling tidak mejadi makruh jika ditemui qarinah
didalamnya. Pada hadits ini, tidak ditemui qarinah yang memalingkan
makna haram menjadi makruh. Dari sinilah, dapat ditarik sebuah hipotesa bahwa
hukum safar tanpa mahram adalah haram.
Jika al-Qardhawi mengatakan bahwa safar wanita
tanpa mahram diperbolehkan, maka seolah-olah beliau telah merubah ketentuan
syariat yang telah disepakati ulama akan keharamanya walau mungkin yang
dimaksud oleh al-Qardhawi adalah penerapanya yang berubah. Hal ini memang belum
menjadi ijmak dikalangan ulama, sebab terdapat satu ulama yang menyelisihi
pendapat tersebut. Beliau menyatakan bahwa hukum safar wanita tanpa mahram
bukanlah suatu yang diharamkan. Jika kita katakan setuju dengan pendapat yang
membolehkan dengan alasan seperti diatas maka sudah selayaknya kita tidak
menafikkan apa yang sudah menjadi kesepakatan para ulama terdahulu maupun
kontemporer selain al-Qardhawi. Disisi lain, jika kita menafikkan hukum asal
maka kita tidak jauh berbeda dengan para perusak nilai Islam, JIL.
Pada
kesempatan lain, al-Qahthani menyebutkan dengan gaya bahasanya yang aksiologis
bahwa proses berfikir maqashidi atau berasaskan maslahat dalam penetapan
hukum suatu kasus harus melalui tiga hal:
Pertama, menetapkan
maslahat syar’iyyah (kemaslahatan hukum) dengan beberapa catatan. Yaitu,
kemaslahatan yang dituju adalah kemaslahatan yang termasuk dalam konsepsi
maqashid syariah, tidak bertentangan dengan nash Qur’an maupun sunnah, bersfat
pasti atau diatas tingkatan dhann (praduga).
Kedua,
mempertimbangkan kaidah menghilangkan kesempitan atau penderitaan (al-haraj)
yang mengantarkan pada beratnya beban hidup, dengan beberapa catatan. Yaitu,
penderitaan tersebut bersifat nyata, tidak bertentangan dengan nash dan
bersifat universal.
Ketiga,
mempertimbangkan akibat atau konsekuensi dari penerapan hukum yang ditetapkan,
yakni apakah dengan ditetapkanya hukum tersebut kemaslahatan yang dikehendaki
syara’ tercapai atau tidak. (al-Qahthani, 2003: 328-334 dalam
Mawardi, 2010: 237-238)
Melihat tiga
hal diatas, maka dapat ditarik hipotesa bahwa pendapat yang benar dan sesuai
dengan kondisi zaman adalah pendapat yang tetap mengharamkan hukum seorang
wanita bersafar sendirian tanpa mahram, namun jika pada kondisi tertentu
penerapan hukum dapat berubah. Diantara kondisi-kondisi yang menyebabkan safar
seorang wanita sendiri tanpa mahram adalah jika safar yang dilakukan adalah
safar wajib, seperti haji nadzar dengan restu suami maupun maupun berkunjung
kerumah orang tua dengan syarat tidak ada mahram yang dapat menemaninya. Adapun
jika masih didapati mahram yang dapat menemaninya maka hukum safar wanita
sendirian tanpa mahram tetap pada keharamanya. Hal inilah yang membedakan kita
sebagai seorang muslim dengan JIL. Sebab, yang dilakukan JIL ketika mendapati
dalil adalah langsung merubahnya dengan menafikan hukum asal. Wallohu Ta’ala
A’lam bi ash-Shawab.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1.
Ijtihad kontemporer al-Qardhawi memilki 3 kategori: Intiqa’I,
insya’I dan integratif antar keduanya
2.
Al-Qardhawi tidak berijtihad
kecuali pada tempat yang merupakan salah
satu bentuk kebolehjadian (dhzanny)
3.
Model ijtihad yang digunakan beliau
dalam masalah hukum safar wanita tanpa mahram adalah bentuk ijtihad tathbiqy
yang lebih melihat pada realita sosial yang ada.
4.
Hasil ijtihad beliau memang
menyelisihi produk hukum ulama salaf, tapi karena dalil yang digunakan adalah
dalil dhanny maka beliau tidak terlalu salah.
5.
Sebagai bentuk kehati-hatian
penulis mengambil jalan tengah yaitu yang membolehkan jika dharurat dan pada safar
wajib
4.2. Saran
Mengakhiri tulisan ini,
penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Diharapkan kepada semua pihak yang concern pada perkembangan
hukum Islam untuk bersikap
moderat dalam menetapkan suatu hukum. Sikap ini menuntut untuk tidak terlalu cepat
menghalalkan sesuatu dan tidak tergesa-gesa mengharamkan sesuatu sebelum melakukan kajian mendalam dengan melakukan tinjauan dari berbagai dimensi. Sikap seperti ini sejalan dengan anjuran al-Qur’an dalam
banyak ayat, diantaranya surat
al-Baqarah ayat 143.
2.
Diharapkan kepada peminat dan pemerhati hukum Islam hendaknya bersikap
terbuka dan tidak
berpikiran sempit. Sebagaimana perkataan DR. Ahmad ar-Raisuni bahwa fiqih Islam
harus dinamis.
DAFTAR PUSTAKA
Kholaf, Abdul Wahab, ‘Ilmu Ushul al-Fiqhi,
(Dar Kutub Ilmiyyah: Lebanon, 2013 M)
Mawardi, Imam Ahmad, Fiqih
Minoritas, Fiqih al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqashid al-Syari’ah dari Konsep ke
Pendekatan, ( Yogyakarta: LKIS, 2010 M)
Qaradhāwī, Yūsuf al-, Al-Ijtihād fī
al-Syarī’ah al-Islāmiyyah ma’a Nazharāt Tahlīliyyah fī al-Ijtihād al-Mu’āshir.
(Kuwait: Dar al-Qalam, 1996 M)
Qudamah, Ibnu, al-Mughni, Jilid 3, (Mekah: Maktabah al-Tijariyah, t.th.)
Repelika, Metode Ijtihad Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirah,
(tp: t.tp, t.th)
Rusyd, Ibnu, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayatal-Muqtashid, Juz 1,
(Indonesia: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.)
Siswanto, Mendra, Pola Penalaran
Yusuf al-Qardhawi dalam Masalah-Masalah Kontemporer, (Riau: UIN SUSKA, 2011
M)
Syairazi, Abi Ishaq Ibrahim bin Ali
bin Yusuf as-, al-Luma’ fi Ushul al-Fiqhi, (Dar Kutub Ilmiyyah: Lebanon,
2012 M)
Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa
al-Lakhami al-Gharnathy al-, (Dar Kutub
Ilmiyyah: Lebanon, 2004 M)
Syaukani, Muhammad bin Ali bin
Muhammad al-, Irsyad al-Fuhul, (Dar al-Fikr: t.tp, t.th)
Zakaria, Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin, Mu’jam
Maqayis al-Lughat, Juz 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979 M)By : 'Inayah Nazahah
0 komentar:
Posting Komentar