BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Jihad di dalam islam merupakan salah satu amalan mulia,
bahkan memiliki kedudukan paling tinggi. Sebab dengan amalan ini seorang muslim
harus rela mengorbankan segala yang di milikinya berupa harta, jiwa, tenaga, waktu,
dan segala kesenangan dunia untuk menggampai keridhaan Allah SWT.
Sebagaimana
yang Allah SWT firmankan dalam (QS at-Taubah : 111)
karena keutamaan jihad yang begitu tinggi dan mulia, maka
banyak dari para mujahidiin (orang yang melakukan jihad) dengan berbagai cara,
hingga amaliyah Istisyhadiah pun
dilakukan demi meraih keutamaan tersebut. Salah satunya yaitu dengan cara
mengikatkan bahan peledak di tubuh mereka, atau pun ke dalam mobil mereka yang
dipenuhi dengan bahan axplosive, kemudian mereka meledakkan diri di tengah
sekumpulan musuh dengan tujuan memperoleh kesyahidan dan menimbulkan kerugian
dipihak musuh.
Hal itu berdampak negatif bagi kaum muslimin.
Pasalnya jihad seperti ini di indonesia dianggap sebagai teroris. Hingga islam
dicap sebagai radikal. Aktivitas-aktivitas yang berbau keislaman dituduh
radikal sampai-sampai menurut BNPT yang dilansir di KIBLAT.NET[1]
yaitu mengajarkan anak-anak mengaji dan sholat adalah radikalisasi. Hal ini
sangat meresahkan penduduk negeri indonesia, yang mayoritas penduduknya muslim
terbesar se-Asia Tenggara.
Aksi ini menjadi kajian serius seluruh umat
manusia, khususnya di kalangan para ulama. Mereka mulai berfatwa, ada yang pro
dan kontra. Dan mereka mempunyai hujjah tersendiri dalam fatwa-fatwa mereka.
Berangkat dari kasus inilah penulis mencoba memaparkan tentang fatwa-fatwa
ulama seputar hukum amaliyah istisyhadiyah atau yang dikenal sebagai Bom
syahid menurut prespektif syar’i. dan
apa saja syarat-syarat bagi pelaku
amaliyah istisyhadiyah yang telah disepakti oleh jumhur ulama’, Agar tidak menimbulkan madhorot yang lebih besar dikalangan umat
islam itu sendiri.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka
permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana hukum amaliyah istisyhadiyah menurut
prespektif syar’i’ ?
2. Apa saja syarat-syarat amaliyah istisyhadiyah
menurut kesepakatan jumhur ulama’?
1.3. TUJUAN
PENULISAN
1. Untuk mengatahui hukum amaliyah istisyhadiyah menurut
prespektif syar’i’.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat bagi pelaku amaliyah
istisyhadiyah.
1.4. MANFAAT PENULISAN
1. Untuk pribadi sebagai tambahan wawasan keilmuan serta
dapat memahami konsep hukum amaliyah istisyhadiyah menurut prespektif
syar’i’.
2. Untuk Ma’had Aly Hidayaturrahman sebagai sumbangsih
kepustakaan dan sebagai salah satu konsep hukum yang dapat dirujuk..
3. Untuk masyarakat agar memahami sebuah konsep hukum
amaliyah istisyhadiyah menurut prespektif syar’i’. Dan benar-benar
memahami makna sebuah syarat, yang tidak
akan menimbulkan madhorot yang lebih besar
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI AMALIYAH ISYTISHADIYAH
Pengertian Amaliyah Istisyhadiyah
Secara
bahasa
Al ‘Amaliyah berasal dari kata al’amal, jadi Al’
Amaliyah berarti operasi. Sebagaimana arti ‘aqidatul ’amaliyat yang
bermakna doktrin operasi.
Al istisyhadiyah berasal dari masdar kata istasyhada yang
berarti meminta kesyahidan, sedangkan istasyhada terjadi dari wazan istaf’ala
yang berarti meminta sesuatu.[2]
Secara istilah
Secara istilah
‘Amaliyah Istisyhadiyah atau opersi atau aksi syahid adalah perbuatan
khusus yang dilakukan oleh mujahid, dengan kepastian ataupun dengan sedikit
keraguan itu akan menyebabkan musuh terbunuh dan menderita. Dan dia dengan
pasti ataup ragu bahwa dia akan mendapatkan mati syahid dengan terbunuh hanya
untuk Allah SWT.[3]
2.2. PELAKU AMALIYAH
ISTISYHADIYAH PERTAMA DALAM LINTAS SEJARAH
Jika
berbicara tentang sejarah istisyhadiyah pertama kali yang tercatat dalam
sejarah, maka dalam benak kita akan muncul tentang kisah pemuda dalam ash-habul
Ukhdud ( para penghuni parit) yang kisahnya diabadikan dalam (QS : Al-
Buruj : 4-7).
Ayat ini
berkisah tentang Ashabul Ukhdud (penggali parit) sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Muslim[4]
dan Imam at-Tirmidzi[5]
dari riwayat sahabat Shuhaib ar-Rumy Ra. Rosulullah SWT bercerita tentang Ashabul
Ukhdud, “ Dahul ada seorang raja yang memiliki penasihat seorang ahli
sihir yang ternama. Usianya sudah sangat lanjut. Penyihir tersebuthendak
mencari penerus dan pewaris ilmunya yang kelak akan menggantikan
posisinya sebagai penasihat raja. Hingga didapatlah seorang anak laki-laki yang
sangat cerdas. Sayangnya anak tersebut(gulam) sering berbeda pendapat dan
perangai dengan sang penyihir tersebut. Ditengah jalan antara rumahnya dan
istana, terdapat sebuah gua yang dihuni oleh seorang rahib. Setiap ghlam lewat
tempat tersebut ia selalu bertanya beberapa hal kepada sang rahib. Hingga sang
rahib mengaku bahwa dirinya menyembah Allah dan mengesakannya. Lambat laun
Ghulam lebih suka berlama-lama di tempat rahib untuk belajar dan selalu datang
terlambat ke tempat tukang sihir. Hingga suatu saat kerajaan memerintahkan
menjemput ke rumahnya karena hampir saja ia tidak hadir pada suatu hari. Ghulam
memberi tahu perihal ini kepada rahib. Sang rahib menjawab mencarikan
rasionalisasi: jika penyihir itu bertanya di mana engkau, jawab saja aku ada
dirumahku. Jika keluargamu menanyakan keberadaanmu, maka beri tahu mereka bahwa
aku ada di tempat penyihir. Suatu hari , ketika Ghulam sedang berada di jalan
ia menjumpai sekelompok orang terhenti jalannya karena ada binatang buas(singa)
yang menghalangi mereka. Ghulam segera mengambil batu dan berkata: “ Ya Allah,
jika yang dikatakan sang rahib benar, maka izinkan aku membunuh binatang ini.
Jika pa yang dikatakan sang penyihir yang benar maka izinkan aku membunuh
binatang ini. Jika apa yang dikatakan sang penyihir yang benar, maka aku
meminta supaya engkau menggagalkanku membunuh binatang ini. Kemudian ia lempar
batu tersebut dan binatang itu mati seketika. Orang-orang pun terperanjat
setelah tahu bahwa anak kecil itu yangmembunuhnya. Mereka berkata: anak itu
tahu suatu ilmu yang tidak diketahui oleh orang lain. Hingga didengarlah oleah
seorang pejabat kerajaan yang buta, ia mendatangi ghulam dan berkata: jika
engkau kembalikan penglihatanku maka akan aku beri hadiah ini dan itu. Ghulam
menjawab: Aku tak memerlukan itu dari anda. Jika aku bisa mengambalikan
penglihatanmu, apakah engkau akan beriman kepada Dzat yang mengembalikan
penglihatanmu? Dia menjawab: ya. Maka sang buta tersebut dapat melihat dan
beriman pada Rabb ghulam. Berita ini tersiar sampai ke kerajaan. Hingga sang
raja marah besar dan membunuhi siapa saja yang mengikuti ajaran ghulam. Hingga
ditangkaplah sang rahib dan sang buta yang telah melihat. Mereka berdua dibunuh
dengan kejam, yaitu dibelah badannya dengan gergaji. Ghulam yang ditangkap
akhirnya dibawa ka atas gunung bersama beberapa tentara kerajaan untuk dilempar
dari atas gunung. Namun, tak ada yang selamat dari atas gunung kecuali ghulam,
dan ia pun kembali. Sang raja memerintahkan untuk membawa ghulam ke tangah laut
untuk dibuang disana. Badai pun menyerang mereka. Tak ada yang selamat kecuali
ghulam. Ia pun kembali lagi. Setiap makar yang dibuat untuk membunuhnya selalu
gagal. Akhrinya ghulam berkata kepada sang raja : Engkau tak akan bisa membunuhku kecuali dengan menyalibku
didepan rakyatm, kemudian memanahku sambil berkata “ Bismillahi rabbil ghulam
(dengan nama Allah Tuhan anak kecil ini). Setelah disalib dan sang raja mengucap
kata-kata tersebut dengan keras, panah yang meluncur dari busur sang raja
menancap di tubuh ghulam dan menewaskannya sebagai syahid. Orang-orang di
sekitarnya berkata: ghulam tahu ilmu yang tidak diketahui orang lain, kita
harus beriman kepada Tuhannya. Sang raja murka dan memerintahkan untuk menggali
perit dan menyalakan api. Barang siapa yang tak amu meninggalkan agamanya
(agama ghulam)maka akan dilempar ke dalam parit yang menyala-nyala tersebut.
Hingga ada seorang ibu yang menyusui anaknya sedang ragu-ragu. Sang bayi yang
ada dalam buaiannya pun berkata meyakinkannya : Ibu, bersabarlah. Sesungguhnya
engkau berada dalam pihak yang benar.”
Dari kisah diatas, banyak dari kalangan
muslimin yang memegang dalil ini sebagai syarat diperbolehkannya melakukan amaliyah
istisyhadiyah, sebagaimana yang
dilakukan salaf terdahulu. Namun, hukum tersebut masih mentah dan belum bisa
dijadikan rujukan utama mengenai amaliyah istisyhadiyah tersebut. Karena
para ulama’ juga melihat dari berbagai tinjauan syari’at yang tak lepas dari
maslahat dan madhorotnya.
2.4. HUKUM AMALIYAH ISTISYHADIYAH MENURUT PRESPEKTIF
SYAR’I
Ulama’
Yang Memperbolehkan
1. Imam Al Jashshos Rahimahullah menukil
pernyataan Muhammad bin al-Hasan as-Syaibany sebagai berikut, “ Sesungguhnya
jika seseorang dilemparkan ke dalam 1000 pasukan sendiriran, hal itu tidak
mengapa asalkan ia mengharapkan akan keselamatan dirinya atau kebinasaan musuh.
Tetapi jika tidak, maka menurutku itu makruh baginya. Sebab itu adalah
menyediakan diri untuk binasa tanpa disertai menfaat bagi kaum muslimin. Yang
dilarang adalah jika tindakannya itu tidak mendatangkan kemanfaatan apa-apa.”[6]
2.
Syeikh Muhammad Nashiruddin al Bany Rahimahullah , “ Perbuatan
ini tidak termasuk bunuh diri, karena bunuh diri itu adalah seseorang yang
membunuh dirirnya sendiri untuk mengakhiri hidupnya di dunia ini. Adapun bom istisyhadiyah
bukan tindakan bunuh diri, akan tetapi merupakan jihad fie sabilillah. Namun,
di sana ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu hendaknya operasi ini
tidak dilakukan oleh individualis, akan tetapi hendaknya atas perintah Qo’id
(pemimpin) pasukan. Jika seorang pemimpin merasa membutuhkan pasukan
seperti ini dan melihat bahwa kematian orang tersebut membawa kerugian besar di
pihak lain (musuh), maka pendapatnya wajib ditaati sekalipun orang tersebut
tidak ridho, namun wajib menta’atinya.”[7]
3.
Syeikh Hamud bin ‘Uqla’ asy-Syuaibiy Rahimahullah: “ Operasi istisyhadiyah tersebut
merupakan amalan yang masyru’(disyariatkan
di dalam islam). Jika pelakunya memiliki niat yang ikhlas karena Allah SWT. Dan
operasi ini pun termasuk metode yang paling berhasil dalam jihad fie
sabilillah melawan musuh-musuh Dien ini. Karena, dengan wasilah seperti
itu, terjadilah kerugian dan kerusakan dipihak musuh, baik berupa terbunuh atau
terlukanya orang-orang kafir sekaligus memberikan ketakutan pada mereka dan
merontokkan hati-hati mereka, yang semuanya merupakan maslahat-maslahat
jihadiyah. Masyruiyyat operasi-operasi tersebut dibuktikanmdengan
dali-dalil dari Al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ (kesepakatan para ulama).[8]
5. Fatwa Syeikh Yusuf al-Qardhawy, “ Saya ingin
katakan, bahwa operasi-operasi ini termasuk cara yang paling jitu dalam jihad fie
sabilillah. Dan itu termasuk teror yang disyari’atkan dalam Al-Qur’an (QS
al-Anfal :60).
Penamaan
operasi ini dengan nama “bunuh diri” adalah keliru dan menyesatkan. Sebab,
orang yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya
sendiri. Sementara pejuang ini mempersembahkan dirinya sebagai korban demi
agama dan ummatnya.
Bahkan Syeikh al-Qardhawy menguatkan
pendapatnya dengan pandangan ulama’ klasik yang juga memperbolehkan aksi jenis
bom syahid. Seperti pandangan Imam al- Jashash, Imam al-Qurthubi, Imam ar-Razi,
Imam Ibnu Katsir, Imam ath-Thabari, Imam Ibnu Taimiyah, Imam asy-Syaukani,
Syeikh Rasyid Ridha, dan yang lainnya.[9]
ULAMA’ YANG
TIDAK MEMPERBOLEHKAN
1. Syaikh Muhammad bin Shalih Al U’tsaimin Rahimahullah,
beliau berkata, “ Diperbolehkan seseorang mencelakakan dirinya untuk
kemaslahat kaum muslimin secara umum, sebagaimana yang dilakukan anak muda
dalam kisah Ashabul Ukhdud karena dengannya manusia beriman kepada Allah
dan ia tidak kehilangan apapn karena ia telah mati, dan pasti akan mati cepat
atau lambat.
Adapun
perbuatan bunuh diri yang di lakukan sebagian orang dengan membawa bahan
peledak kemudian masuk ke dalam komunitas orang-orang kafir lalu ia
meledakkannya, maka sesungguhnya ini adalah termasuk bunuh diri dan kita
berlindung kepada Allah. Dan barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri ia akan
kekal dineraka, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits.
Hal ini
disebabkan karena melakukan bunuh diri bukan untuk kemaslahatan islam. Jika ia
melakukan bunuh diri dan bisa membunuh sepuluh, seratus atau dua ratus orang,
hal ini tidak memberi kemanfaatan terhadap islam . dan manusia tidak masuk
islam karenanya, lain dengan kasus pemuda tadi. Jangan sampai hal ini dijadikan
alasan oleh musuh untuk dapat membunuh lebih banyak kaum muslimin – bahkan ini
adalah haram-.
2.
Lembaga Perkumpulan Ulama’ Besar Saudi Arabia mengeluarkan fatwa,
intinya adalah bahwa menghalalkan darah, perusak kehirmatan, perampas harta
milik orang tertentu atau orang umum, peledakan di tempat-tempat hunian, serta
di angkutan-angkutan umum, dan perusakan bangunan-bangunan dan semisalnya
adalah haram menurut Syari’at islam berdasarkan ijma’ (kesepakatan)kaum
muslimin. Sebab di dalamnya terdapat perusakan terhadap kehormatan jiwa-jiwa
seorang muslim. Islam mengharamkan perusakan terhadap semua ini dan sangat
menekankan pengharamannya. Bahkan diantara hal terakhir yang disampaikan oleh
Rosulullah SAW kepada umatnya yang artinya : “ Sesungguhnya darah-darah kalian
dan kehormatan kalian haram atas kalian, seperti haram (mulia)nya hari kalian
(hari haji wada’) ini, di abulan ini dan di negeri (tanah haram) kalian ini.[10]
3. Syeikh Musthafa as-Sualaimani berkata, “
Semua orang pasti sudah mengetahui sikap Ahlus-Sunnah wal Jamaah di
dalam masalah-masalah seperti ini. Ahlus-Sunnah menegaskan, bahwa
cara-cara seperti itu adalah fitnah sesat dapat menimbulkan malapetaka dan
dapat menghalangi orang dari agama Allah SWT. Kemudharatan yang ditimbulkan
adalah lebih besar daripada faedah yang dihasilkan. Walaupun oknum-oknum
pelakunya berbuat dengan ikhlas semata-mata untuk membela Islam. Betapa banyak
orang-orang yang tidak bersalah ikut terbunuh. Betapa banyak umat Islam yang
menjadi korban kekejian karena telah dianggap kafir. Semua itu dilakukan tanpa
ada rasa takut ataupun segan. Betapa banyak anak-anak dan kaum wanita yang
tidak tahu menahu menjadi korban, akibat ucapan-ucapan yang tidak bertanggung
jawab lagi jauh menyimpang dari pedoman Ahlus- sunnah yang tidak
bertanggung jawab lagi jauh menyimpang dari pedoman Ahus-Sunnah wal Jama’ah di
dalam memahami dalil.”[11]
2.6. SYARAT-SYARAT MELAKUKAN AMALIYAH
ISTISYHADIYAH
1. Ikhlas semata karena Allah SWT, bukan karena
duniawi.
2. Hendaknya melakukan operasi ini untuk
menegakkan kalimat Allah SWT dan untuk menolong Dien-Nya.
3. Memberikan ketakutan pada pihak musuh.
4. Menambah kekuatan kaum muslimin.
5. Hendaknya atas perintah Qoid (pemimpin)
tidak melakukannya sendiri.
6. Memperhatikan manfaat dan madhorotnya bagi kaum
muslimin.
7. Menjauhi membunuh anak kecil, wanita dengan sengaja.
8. Tidak mengapa menghancurkan bangunan dan
sarana-sarana pengambangan kejahatan mereka.
9. Jangan
sampai pihak yang terbunuh dari pihak kaum muslimin lebih banyak dari pihak
musuh. Bahkan ini haram dilakukan.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan diatas dapat kita simpulkan beberapa point ini :
1. Para jumhur ulama’ sepakat memperbolehkannya
melakukan amaliyah istisyhadiyah bahkan disyariatkan oleh Allah SWT
dalam QS: at-Taubah : 111, meskipun ada beberapa ulama’ yang tidak
memperbolehkan. Namun yang dimaksud tidak diperbolehkan adalah bunuh diri untuk
kepentingan dirinya serta amaliyah istisyhadiyah yang menyebabkan
madhorot yang lebih besar bagi kaum muslimin.
2. Para pelaku amaliyah istisyhadiyah harus
memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati oleh jumhur ulama’ diatas, yang
intinya ada 4 point :
a. ikhlas karena Allah SWT.
b. Memberikan rasa takut pihak musuh.
c. Menambah kekuatan kaum muslimin.
d. hendaknya maslahatnya harus lebih besar
dibandingkan dengan madhorotnya.
3.2. SARAN
1. Setelah kita mengetahui hukum
diperbolehkannya melakukan amaliyah istisyhadiyah, Maka tidak selayaknya
amalan tersebut dilakukan hanya mengharapkan kesyahidan saja, melainkan
memberikan fidah bagi kaum muslimin dan mujahidin.
2. Bagi yang ingin melakukan amaliyah
istisyhadiyah ini diharapkan harus memenuhi syarat-syarat yang telah
disepakati para ulama tersebut, dan sudah seyogyanya kita lebih berhati-hati
lagi, dalam melakukan tindakan yang
menyebabkan timbulnya dampak negative yang lebih besar yang akan mengenai
saudara sesama muslim.
3.3. PENUTUP
Pada akhir penutupan ini tak ada kata yang pantas saya ucapkan selain rasa
syukur kepada Rabb semesta Alam. Atas kehendak-Nya saya dapat menyelesaikan
makalah ini. Saya pribadi sangat berharap saran dan kritik yang membangun
sebagai penyempurna makalah yang saya buat ini. Tak lupa saya ucapkan
Jazakumullah Khairan Katsiran bagi siapa saja yang berpartisipasi dalam
pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini sebagai ladang amal kebaikan kita
kelak di Akhirat. Wallahu A'lam bishshowab.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shobabuthy, Ishom, dkk, Shahih
muslim bi syarhi an-Nawawy, Cet 3,(Kairo: Darul hadits, 1998), jld. 9, cet.3, hlm. 357-359
Bakar al Jashshosh, Abu, Ahkamul Qur`an, cet 1, ( Beirut: Darul Fikr, 2001), Jld 3,
hlm. 262-263
Fachry,
M, In The Heart Of Al- Qaida,
cet-1, ( Ar-Rahmah Media : Jak-sel) ,
2008, hlm. 173
Fatawa An-Nadiyah lil-‘Amaliyyat
al-Istisyhadiyah, cet. Ke -2.
Hamud
bin ‘Uqla asy-Syuaibi, Muhammad, dkk, Wasiat Para Syuhada’ WTC, ( Klaten:
Kafayeh Cipta Media, 2007), hlm. 10-11.
Hasan
Musthafa bin ismail as-Sulaimani al-Mishri, Abul, Silsilah al-Fatawa
asy-Syariyyah, cet. 1, (Pustaka
at-Tibyan, 2000 M), hlm. 98-98
http://diarysangterroris.blogspot.co.id/2009/07/istisyadiyahistimata-dalam-islam.html at
14:36 pm 13 mei 2016.
http://www.kiblat.net/2015/06/11/bnpt-mengajarkan-anak-anak-mengaji-dan-salat-adalah-radikalisasi/
Kamis, 11 Juni 2015 18:36 WIB
https://errozzelharb.wordpress.com/2011/01/21/amaliyah-istisyhadiyah-operasi-mencari-syahid-menurut-tinjauan-syar%E2%80%99i/,
I’sa Muhammad bin I’sa bin Saurah, Abi, Sunan
at-Tirmidzi, Cet 1, (Beirut: Darul Fikr, 2009), jld. 5, hlm. 223-225.
Qordhowi, Yusuf, Fatawa Mu’ashirah, Cet.1, (Kairo:
Darul Qalam), jld. 3, hlm. 503-505
[1]
http://www.kiblat.net/2015/06/11/bnpt-mengajarkan-anak-anak-mengaji-dan-salat-adalah-radikalisasi/
Kamis, 11 Juni 2015
18:36 WIB
[2] http://diarysangterroris.blogspot.co.id/2009/07/istisyadiyahistimata-dalam-islam.html at 14:36 pm 13 mei 2016.
[3]
M. Fachry, In The Heart Of Al-
Qaida, cet-1, ( Ar-Rahmah Media :
Jak-sel) , 2008, hlm. 173
[4] Ishom as-Shobabuthy, dkk, Shahih
muslim bi syarhi an-Nawawy, Cet 3,(Kairo: Darul hadits, 1998), jld. 9, cet.3, hlm. 357-359
[5]
Abi I’sa Muhammad bin I’sa bin Saurah, Sunan
at-Tirmidzi, Cet 1, (Beirut: Darul Fikr, 2009), jld. 5, hlm. 223-225.
[6]
Abu
Bakar al Jashshosh , Ahkamul Qur`an, cet 1, ( Beirut: Darul Fikr, 2001), Jld 3,
hlm. 262-263
[7] Dalam ceramah beliau, Silsilah…al-Huda wa
an-Nur, kaset no. 134. Lihat dalam Fatawa An-Nadiyah lil-‘Amaliyyat
al-Istisyhadiyah, cet. Ke -2 hal. 5.
[8] Syeikh Muhammad Hamud bin ‘Uqla
asy-Syuaibi, dkk, Wasiat Para Syuhada’ WTC, ( Klaten: Kafayeh Cipta Media,
2007), hlm. 10-11.
[9] Yusuf Qordhowi, Fatawa Mu’ashirah,
Cet.1, (Kairo: Darul Qalam), jld. 3, hlm. 503-505
[10] Dalam sebuah booklet yang dikeluarkan
dari markaz al Imam al Bani, yordania
tentang Bayan Ha’iah Kibaril Ulama fii Dzammi al-ghuluw fii at-takfir
. lembaga ini diketuai oleh syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Fatwa
tersebut dikeluarkan 9 bulan sebelum beliau wafat dan dimuat dalam al-Buhuts
al-Islamiyah Edisi 56 Shafar 1420 H setelah beliau wafat. Kemudian disajikan
ulang dan diberi catatan oleh syeikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid
al-Halabi al-Atsari. Lihat majalah as-Sunnah Edisi 12/VII/1424H/20014M dalam
kolom Waqi’una Bermula Dari Pengkafiran, akhirnya peledakan, Hal. 45-50
( diakses dari
https://errozzelharb.wordpress.com/2011/01/21/amaliyah-istisyhadiyah-operasi-mencari-syahid-menurut-tinjauan-syar%E2%80%99i/,
Posted on Januari 21, 2011 at 3:19 am)
[11]
Abul Hasan Musthafa bin ismail
as-Sulaimani al-Mishri, Silsilah al-Fatawa asy-Syariyyah, cet. 1, (Pustaka at-Tibyan, 2000 M), hlm.
98-98
By : Hasna' Amatillah
0 komentar:
Posting Komentar