BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Negara Indonesia telah mencapai
kemerdekannya sejak 71 tahun silam. Namun, berbagai problematika yang tiap
tahun melanda Indonesia seakan-akan belum mewujudkan kemerdekaan tersebut. Kemiskinan terus merajalela, pengangguran kian
hari tak ada jalan keluarnya, tindak kriminal dan kejahatan tak pernah absen
dalam media berita, dan korupsi yang terus mengundang tanda tanya.
Tak hanya itu, berita akhir-akhir ini semakin membuat ragu atas
status kemerdekan bangsa ini. Mulai dari fenomena LGBT, sikap aparatis Densus
88 dan segudang masalah lain yang tak mampu membuat kita berhenti mengelus
dada.
Berbagai usaha telah diusahakan guna
menuju kemerdekaaan yang sesungguhnya. Sejak tahun 2004, negara Indonesia telah rutin melaksanakan pemilu
tiap lima tahunnya. Janji dari para calon presiden pun seakan tak hanya sekedar
bualan. Sejak awal tahun 2016, berbagai proyek dan pencanangan program semakin
giat dikerjakan. Tak tanggung-tanggung, untuk menampung aspirasi rakyat,
demonstrasi di berbagai media tetap menjadi langkah yang tetap diterima.
Bagai membudidayakan tanaman yang
sulit dan langka, ia tidak akan tumbuh bila tidak ditanam dengan metode yang
tepat dan di tempat yang sesuai. Maka, usaha untuk menuju Indonesia yang lebih
baik tidak akan pernah menemui ujungnya jika tidak melakukan perbaikan secara
tepat pada kesalahan utamanya.
Islam sebagai yang agama memiliki syariat
yang sempurna, telah menunjukkan secara jelas letak kesalahan utama Negara
Indonesia. Islam pun telah menawarkan jalan keluar dengan menjanjikan hasil
yang akan dicapainya. Sebuah hasil yang telah dibuktikan secara nyata oleh
sejarah dan mampu membawa sebuah negara menuju kemerdekaan yang sesungguhnya.
Berangkat dari hal ini, penulis ingin mencoba membuka mata untuk
melihat masalah yang menimpa Indonesia dalam perspektif Islam. Sebuah tinjauan
ilmiah yang mencoba mengungkapkan letak kesalahan utama negara Indonesia
berikut pencapaian-pencapaian yang dulu telah diraih oleh umat Islam saat
bangsa Indonesia masih tertinggal jauh darinya.
1.2.
Rumusan Masalah
a. Apakah
kesalahan utama Indonesia menurut perspektif Islam?
b. Apakah
hasil yang telah dicapai oleh negara yang menerapkan syari’at Islam?
1.3.Tujuan
Pembahasan
a. Untuk
mengetahui kesalahan utama Indonesia menurut perspektif Islam
b. Untuk
mengetahui hasil yang telah dicapai oleh negara yang menerapkan syari’at Islam
1.4. Manfaat
1.
Secara Teoritis
a)
Menjadi bahan masukan bagi
pihak yang mengemban amanah dalam membawa Indonesia menjadi lebih baik
b) Sumbangan
karya ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan bagi kalangan akademis ataupun
masyarakat pada umunya.
2. Secara Praktis
a) Bagi
para penuntut ilmu dijadikan sebagai bahan bacaan dan referensi.
b) Sebagai
salah satu panduan bagi para pendiri Indonesia mengenai sikap yang harus
dilakukan untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kesalahan Utama Indonesia
dalam Pandangan Islam
Orang bijak pernah berkata, ciri utama seseorang yang menyesal dan
ingin berubah menjadi lebih baik adalah menyadari dan mengakui kesalahan utama
pada dirinya. Begitupun dengan sebuah negara, negara yang tidak mengetahui dan
menyadari letak kesalahan utama dalam negara tersebut, maka negara tersebut
tidak akan pernah menjadi lebih baik.
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur konsep hidup dari
permasalahan yang sepele hingga masalah yang menyangkut kenegaraan. Hingga
masalah yang tiap tahun melanda Indonesia, Islam mampu membeberkan letak
kesalahan utama dan memberikan solusinya. Adapun beberapa hal yang menjadi
kesalahan utama Indonesia menurut pandangan Islam adalah sebagai berikut.
2.1.1. Sistem
Pemerintahan yang Demokratis
Semenjak kemerdekaan negara Indonesia hingga saat ini, sistem
pemerintahan Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan. Namun secara
garis besar, sistem pemerintahan yang dianut Negara Indonesia hingga sekarang
adalah sistem pemerintahan demokratis. Hal ini seperti terdapat dalam pasal 1
ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Menurut Rahayu (2007:129) dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan:
Perjuangan Menghidupi Jati Diri Bangsa, sistem pemerintahan demokrasi adalah
sistem pemerintahan yang berdasarkan nilai-nilai falsafah pancasila, yaitu
dari, oleh, dan untuk rakyat berdasarkan nilai-nilai pancasila.
Melihat pengertian dari sistem pemerintahan demokrasi tersebut,
kita sebagai seorang muslim yang memiliki pemahaman akidah yang benar dapat
mengkritisi sistem ini menurut perspektif Islam. Sistem yang menggunakan slogan
‘dari, oleh, dan untuk rakyat’ tentunya mengandung sebuah konsekuensi yang
dapat merusak akidah seseorang. Sebuah konsekuensi yang menjadikan sekelompok
manusia bernama rakyat sebagai penentu hukum dalam sebuah tatanan negara.
Setiap orang yang berpikir secara logika pasti akan menyetujui
bahwa saat seseorang telah menciptakan suatu produk maka tidak ada yang lebih
berhak untuk memberikan prosedur penggunaan untuk produk tersebut kecuali sang
pencipta sendiri. Dan para manusia cerdas juga telah sepakat bahwa pencipta
negara Indonesia ini bukanlah sebuah instansi bernama rakyat. Sehingga,
konsekuensi logis dari hal tersebut adalah penentu hukum mutlak di Indonesia
ini adalah sang pencipta Indonesia yang tidak lain adalah Allah SWT Yang Maha
Esa[1]
dan bukan sebuah instansi bernama rakyat.
Hal ini
sebagaimana yang tercantum dalam Qs. al-A’raf ayat 54,
أَلَا لَهُ ٱلۡخَلۡقُ وَٱلۡأَمۡرُۗ
تَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٥٤
“...Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah SWT. Maha Suci Allah SWT, Tuhan
semesta alam”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah seperti dikutip Samudra (2009:177)
menjelaskan ayat tersebut dalam perkatannya, “Hak Allah SWT itu ada dua,
mencipta dan memerintah. Betapa banyak manusia tersamar atas mereka hak-hak
memerintah, keagamaan, keimanan dengan hak-hak penciptaan, kekuasaan kauniyah
(yang berhubungan dengan keadaan alam), padahal sesungguhnya mencipta dan
memerintah hanyalah milik Allah SWT yang Mahasuci”.
Lebih lanjut, Samudra mengatakan (2009:177) dengan tegas bahwa
sesungguhnya mencipta, memelihara dan mengatur adalah mutlak hak Allah SWT,
manusia tidak memiliki sedikit pun wewenang dalam mengatur hak sesama manusia
kecuali dengan izin Allah SWT dan itu semua adalah hak Allah SWT, tetapi memang
manusia telah merampas hak-hak Allah SWT.
Itulah negara Indonesia. Sebuah negara dengan sistem pemerintahan
yang sesungguhnya telah merampas hak mutlak Allah SWT, sang pencipta negara
Indonesia. Sebuah negara yang menolak untuk menjalankan sistem pemerintahan
dengan prosedur yang telah disyariatkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Sedangkan menurut perspektif Islam, sistem pemerintahan yang
seharusnya diterapkan sebuah negara sangatlah jauh dari apa yang telah dianut
oleh bangsa Indonesia. Rasulullah SAW, sebagai role model yang
seharusnya dijadikan panutan hidup, telah memberikan contoh terbaik dalam
mengatur sistem pemerintahan suatu negara.
Rasulullah SAW dilahirkan dan akhirnya diutus oleh Allah SWT
menjadi Nabi dan Rasul-Nya di Kota Mekkah. Ditinjau dari segi politik, orang
yang berhak menjadi penguasa di kota tersebut adalah para pemuka kaum Quraisy
yang juga memimpin dan mengatur Ka’bah kala itu. Untuk menentukan hukum-hukum
yang berlaku, mereka bermusyawarah di suatu tempat yang bernama Darun Nadwah.
Di dalamnya para pemuka Quraisy saling bertukar pendapat untuk menentukan suatu
perkara. Tak heran, kantor ini memiliki kesamaan fungsi dengan Kantor MPR/PDR
saat ini.
Mengenai sistem pemerintahan Kota Makkah pada zaman dahulu,
Shafiyurrahman (2010:17-18) menjelaskan secara singkat dalam bukunya arRahiqul
Makhtum. Setelah wafatnya salah satu pemuka Quraisy yang bernama Abdu
Manaf, terjadi persengketaan antara keturunannya dan keturunan saudaranya.
Kedua kubu tersebut menginginkan kedudukan yang dulu diduduki oleh orangtua
mereka. Tetapi mereka segera berdamai dan sepakat untuk membagi
kedudukan-kedudukan yang dulu dimiliki oleh orang tua mereka. Sebagian dari
mereka mengambil beberapa bagian dan sebagian yang lain mengambil bagian yang
lain pula.
Dengan begitu mereka telah membentuk satu pemerintahan kecil, atau
pemerintahan kecil yang demokratis. Ada pembatasan masa jabatan dan
bentuk-bentuk pemerintahan yang menyerupai sistem pemerintahan pada zaman
sekarang, yang dikenal dengan istilah parlemen dan majelis parlemen.
Rasulullah SAW telah hidup dan berkembang di dalam Kota Makkah yang
demokratis. Beliau SAW menunjukkan kepada kita mengenai sikap terbaik dalam
menghadapi sistem pemerintahan yang demikian. Sejarah pun telah menceritakan
kepada kita tentang sikap beliau yang begitu antipati terhadap sistem ini,
sekalipun beliau diangkat sebagai orang nomor satu di dalamnya.
Shafiyurrahman (2010:109-110) mengisahkan, setelah diutusnya
Rasulullah SAW, maka para pemuka Quraisy, sang pemegang kekuasaan, yang juga
kerabat Rasulullah SAW merasa sangat terganggu dengan ajaran yang dibawa
Rasulullah SAW.
Mereka mengerahkan berbagai cara untuk menghentikan dakwah
Rasulullah SAW dalam menyebarkan agama Islam. Hal ini mereka lakukan karena
sangat khawatir akan terjadinya bahaya besar yang bisa mengancam eksistensi
paganisme yang begitu mereka jaga dan lestarikan.
Setelah menempuh berbagai cara yang terus menerus menemui
kegagalan, maka salah seorang pemuda Quraisy, Uthbah bin Rabi’ah, berinisiatif
ingin menawarkan beberapa penawaran kepada Rasulullah SAW agar mau menghentikan
dakwahnya.
Tatkala Uthbah telah berada dihadapan Rasulullah SAW, dia berkata,
“Wahai putra saudaraku, jika dengan dakwah yang engkau lakukan ini, engkau
menginginkan harta kekayaan, maka akan kami kumpulkan harta kekayaan yang ada
pada kami untuk diserahkan kepadamu, sehingga engkau menjadi orang yang terkaya
di kalangan kami. Jika engkau menginginkan kehormatan dan kemuliaan, maka kami
akan kami mengangkatmu sebagai pemimpin, dan kami tidak akan memutuskan
persoalan apa pun tanpa persetujuanmu. Jika engkau ingin menjadi raja, kami
bersedia menobatkanmu sebagai raja kami. Jika engkau tertimpa penyakit yang
tidak mampu engkau obati sendiri, maka kami akan mencarikan obat bagimu dan
kami juga siap mengeluarkan biaya hingga engkau sembuh. Terlalu mudah bagi
pelayan kami untuk mencari seseorang yang mampu mengobatimu.”
Begitu fantastis penawaran yang ditawarkan oleh pemuda Quraisy satu
ini. Ia telah menawarkan suatu lompatan besar yang mampu menjadikan seseorang
menjabat sebagai presiden Mekkah, bahkan melalui jalan aklamasi.[2]
Namun begitu, jawaban yang dilontarkan Rasulullah SAW kala itu mampu
menjatuhkan martabat pemuda tersebutnya sekaligus mampu menunjukkan begitu
bijaksana dan piawainya beliau dalam masalah kepemimpinan.
Shafiyurrahman (2010:111) mengisahkan, ketika Uthbah telah
menyelesaikan perkataannya, maka Rasulullah SAW menolaknya dengan jawaban yang
sungguh tak terduga. Rasulullah SAW tidak menjawabnya kecuali beliau membacakan
kepada Uthbah Qs. Fushshilat dari ayat 1 hingga sampai pada ayat sajdah lalu
beliau sujud. Sebuah jawaban yang menyiratkan betapa rendahnya tawaran yang
disodorkan kepada beliau bila disandingkan dengan balasan yang kelak
diterimanya di akhirat.
Hal ini beliau lakukan karena beliau paham benar akan konsekuensi
menjadi seorang presiden dalam pemerintahan yang demokratis. Beliau mengetahui
bahwa hal itu tidak akan membawa beliau ke dalam kehidupan yang menjanjikan
kebahagiaan hakiki. Sebaliknya, beliau pun telah meyakini dan membenarkan
sistem pemerintahan yang telah Allah SWT wahyukan kepadanya, yaitu sebuah
Pemerintahan Islami dan bukan Pemerintahan Demokratis.
2.1.2. Pemilu
yang Wajib bagi Seluruh Rakyat
Ketika sebuah sistem dari suatu negara sudah tidak sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan, maka dipastikan segala program yang bersumber darinya
juga tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Sistem yang diterapkan
dalam negara Indonesia bukanlah sistem yang sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan oleh Allah SWT, maka apapun program yang berasal darinya tak akan
menghantarkan Indonesia menuju kebahagiaan hakiki yang diharapkan setiap
manusia.
Adapun kesalahan kedua negara ini –setelah sistemnya yang
demokratis– adalah hal-hal yang berhubungan sistem yang digunakan dalam memilih
seorang pemimpin. Satu hal yang memiliki urgensi tersendiri dalam suatu tatanan
negara. Karena, jika suatu negara gagal dalam menentukan orang yang berhak
menjadi pemimpinnya, maka negara tersebut juga gagal dalam memakmurkan rakyat-rakyatnya.
Sejak kemerdekaan Indonesia 71 tahun silam, negara ini telah
mempunyai presiden dan wakil presiden. Seiring berjalannya waktu, Indonesia
telah mengalami beberapa kali perubahan dalam sistem pemilihan presiden. Hingga
pada pemilu 2004, peraturan pemerintah pusat mengatakan seluruh warga Indonesia
diharuskan untuk menyumbangkan suaranya dalam proses pemilihan tanpa
terkecuali.
Tak tanggung-tanggung, Majelis Ulama Indonesia tak segan
mengeluarkan fatwa haram bagi orang-orang yang memilih jalur golput. Hal ini
seperti dilansir oleh Tabloid Reformata Edisi 101 (2009:3). “Wajib bagi bangsa
Indonesia untuk memilih pemimpin. Kalau yang dipilih ada namun tidak dipilih ,
menjadi haram,” demikian bunyi fatwa Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Yaqub, MA,
selaku Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI saat menetapkannya pada tanggal 25 Januari
2009.
Tampaknya ada yang terlewat dalam benak para ulama yang menduduki
kursi Majelis Ulama Indonesia. Seorang manusia cerdas seharusnya dapat melihat
adanya ketidakseimbangan yang terjadi dalam pelaksanaan pemilu dengan jalan
seperti ini, sekalipun ia dilabeli dengan asas Luber Jurdil (Langsung, Umum,
Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil).
Bila kita menggunakan logika dasar kita, apakah akan menjamin
pemimpin yang terpilih adalah yang terbaik dengan diikutsertakannya seluruh
rakyat Indonesia dalam pemilu? Tentu tidak.
Presentase orang yang berpendidikan menengah ke atas di Indonesia
tidak dapat dikatakan lebih banyak dari orang yang tidak berpendidikan. Dan
dari mereka yang berpendidikan menengah ke atas, tidak semua mumpuni dalam
memilih siapa pemimpin yang berhak dan pantas menjadi pemimpin. Lalu bagaimana
dapat terpilih pemimpin yang terbaik, sedangkan para pemilihnya saja mayoritas
bukan berasal dari kalangan orang-orang terbaik dalam memilih sebuah pilihan?
Melihat kembali kepada prosedur Allah SWT dan melihat bagaimana
syariat Islam mengatur pelaksanaan pemilihan seorang pemimpin, maka kita akan
menemukan sebuah bentuk problem solving terbaik. Sepeninggal Rasulullah
SAW SAW, para sahabat memberikan contoh dalam menentukan pengganti beliau SAW,
yaitu dengan jalan musyawarah di antara para sahabat terpilih yang memang
mumpuni dan bukan dengan jalan pemilu yang melibatkan asal orang, apalagi
menyertakan seluruh rakyatnya dalam hal tersebut.
Hal ini seperti yang dikisahkan oleh Ibnu Katsir (2004:336) saat
pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan. Khalifah pada masa sebelumnya, Umar bin
Khattab r.a, telah menetapkan pengangkatan khalifah dibawah Majelis Syura yang
beranggotakan enam orang. Dan keenam orang tersebut adalah para calon khalifah
yang tentunya memiliki kapabilitas tinggi dalam urusan negara. Sehingga,
terpilihlah Utsman bin Affan r.a sebagai khalifah menggantikan Umar bin Khattab
r.a. seorang sahabat yang sekaligus menantu dari Rasulullah SAW. Seorang
khalifah pilihan yang terpilih dengan jalan Majelis Syura dan bukan dengan
mengikutsertakan seluruh rakyat dalam proses pemilihannya.
2.1.3. Hukum
yang Bersumber dari Suara dan Aspirasi Rakyat
Setelah sistem negara dan proses pemilihan pemimpin, maka hal yang
layak dikritisi selanjutnya adalah produk yang dihasilkan dari keduanya. Yaitu,
hukum-hukum yang berlaku dalam negara tersebut. Karena ketepatan negara dalam
menentukan sebuah hukum dapat mempengaruhi eksistensi keamanan dalam suatu negara.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Indonesia merupakan salah
satu negara yang menerapkan sistem demokrasi, maka tidak mengherankan jika
hukum-hukum yang berlaku di dalamnya adalah hasil suara rakyat, sesuai dalam
slogannya, “dari, oleh, dan untuk rakyat”. Samudra (179:2009) mengomentari hal
ini dalam bukunya, “...budak-budak demokrasi menjadikan rakyat sebagai pemilik
kedaulatan, kedaulatan di tangan rakyat, yang lain berteriak bahwa ‘suara
rakyat adalah suara Tuhan’.”
Maka kita dapat melihat kenyataannya dalam salah satu contoh hukum
yang berlaku di Indonesia. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, buku yang
menjadi rujukan dalam menentukan hukum pidana di Indonesia, disebutkan bahwa
hukuman bagi para peminum minuman keras dengan segala jenis tindakan dan
kriterianya adalah minimal denda sebanyak dua ratus dua puluh lima rupiah atau
penjara selama tiga hari dan batas maksimalnya adalah denda sebanyak empat ribu
lima ratus rupiah atau penjara selama tiga bulan.
Menggelikan! Itulah kata yang pantas diucapkan setelah mengetahui
betapa bobroknya bangsa ini menentukan sebuah hukum pidana. Menurut akal sehat
manusia, adakah pemabuk yang jera setelah ditegakkan hukum semacam itu
kepadanya? Itulah Indonesia.
Bukan hanya penetapan hukuman yang terkesan sangat meremehkan atau
bahkan mengejek, sikap seorang gubernur di ibukota negara ini juga membuat kita
harus mengelus dada. Hal ini seperti dilansir oleh merdeka.com pada April 2015,
Basuki atau akrab disapa Ahok bingung dengan adanya larangan mendapat keuntungan
dari penjualan minuman keras (bir). “Kami punya saham, kita lanjut aja, bir
salah di mana? Ada orang mati karena minum bir? Orang mati kan minum oplosan
cap topi miring lah, apalah macem-macem, spiritus campur kelapa muda. Ada
enggak orang minum bir mabok?" ujarnya di Balai Kota DKI Jakarta, Senin
(6/4).[3]
Itulah sikap sang gubernur Jakarta tahun lalu yang tampaknya
menutup mata dari para peminum minuman keras di sekitarnya. Menjawab
pertanyaannya yang meragukan adanya orang minum bir yang mabuk, ahli pembuat
bir dari Paulaner Brauhaus berkata kepada CNN Indonesia, “Orang Indonesia dan
orang luar negeri itu punya tujuan berbeda saat minum bir, kebanyakan orang
sini itu kalau minum bir tujuannya ya memang untuk mabuk."[4]
Kini muncul sebuah pertanyaan, bukankah akar dari setiap tindak
kejahatan adalah hilangnya kesadaran manusia alias mabuk hingga akhirnya ada
yang mati terbunuh karenanya? Biarlah Bapak Gubernur sendiri yang menjawabnya.
Adapun Islam dengan syariat qishas dan penegakkan hudud
telah menetapkan hukuman yang lebih layak bagi para pemabuk dan membuat
jera bagi pelaku dan orang-orang sekelilingnya. Abu Malik Kamal (2003:78)
menjelaskan bahwa hukuman bagi para peminum khamr atau minuman keras
yang dapat memabukkan adalah dicambuk sebanyak empat puluh kali cambukan
menurut pendapat madzhab Syafi’i, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, Daud,
Ibnu Hazm, dan beberapa orang sahabat.
Sedangkan menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam
Ahmad bin Hanbal adalah dicambuk sebanyak delapan puluh kali cambukan. Sebuah
hukuman yang mampu membuat para pemabuk dan orang-orang yang menyaksikan
pelaksanaan hukuman tersebut berpikir dua kali untuk mengulangi perbuatan
tersebut.
Selain menyangkut masalah hukuman bagi para peminum minuman keras,
masih terdapat hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh bangsa Indonesia dan menuai
kecaman dari banyak kalangan. Berbeda dengan hukum Islam, sebuah syariat Islam
yang diturunkan langsung oleh sang pencipta dunia ini, Allah SWT, tidak akan
salah apalagi menuai kecaman. Karena, tidak ada yang lebih mengerti dan
memahami prosedur untuk sebuah produk kecuali penciptanya sendiri.
2.2. Kejayaan Negara Islam[5] dalam Lintas Sejarah
Islam
tidak asal bicara dan melancarkan kritiknya. Setelah memberikan kritik atas
beberapa hal yang menjadi letak kesalahan utama dalam tatanan negara Indonesia,
maka Islam telah memberikan jalan keluar yang tepat atas masalah-masalah yang
ada.
Sejarah telah mencatat
kebijakan-kebijakan yang dahulu telah diterapkan para pendiri Negara Islam
dalam membentuk dan mengembangkan negaranya. Tentunya buah dari sistem pemerintahan yang telah digariskan oleh
Allah SWT dan RasulNya ini tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Hampir
tak pernah ditemukan dalam sejarah sebuah kedamaian, keseimbangan, dan
ketentraman yang serupa apalagi melebihi dari yang telah diraih oleh kekuasaan
Islam saat itu.
2.2.1.
Perekonomian yang Merata di Seluruh Lapisan Masyarakat
Ketika umat manusia hidup dalam pemerintahan yang islami, mereka
akan merasakan aman dan tentramnya suatu negara. Dan tolak ukur keamanan dan
ketentraman suatu negara dapat dilihat dari sistem perekonomian pada negara
tersebut. Ketika sistem perekonomian suatu negara dikatakan baik dan masyarakat
yang hidup di dalamnya hidup berkecukupan, maka akan didapati sebuah negara
yang terbebas dari berbagai tindak kriminal dan kejahatan. Dan saat itulah akan
tercipta negara yang benar-benar aman dan tentram.
Dan negara yang dahulu pernah mewujudkan hal tersebut adalah Negara
Islam. Sejak diutusnya Rasulullah SAW hingga Rasulullah SAW menjadi penguasa
dunia, bahkan berlanjut hingga beberapa dinasti setelahnya, umat manusia kala
itu menggunakan dinar dan dirham sebagai mata uang mereka, sebagaimana yang
diutarakan oleh Hassan (2005:31-37) dalam bukunya, Mata Uang Islam.
Dengan dibalut sistem pemerintahan yang dinamis dan mengayomi
setiap lapis masyarakat, maka lenyaplah kesenjangan ekonomi yang biasanya
terjadi diantara masyarakat. Bahkan, ada peristiwa pada masa pemerintahan
Khalifah Umar bin Abdul Aziz[6]
yang tak pernah terjadi sebelum dan setelahnya sepanjang sejarah.
Telah terjadi pada zaman tersebut harta kekayaan yang merata di
setiap penduduk tanpa terkecuali hingga seorang petugas pembagi zakat tidak
menemukan orang-orang yang berhak menerima zakat. Hal ini berarti petugas
tersebut tidak menemukan dalam daftar pencariannya seseorang yang berada di
bawah garis kemiskinan.
Ibnu Abdil Hakam seperti dikutip ash-Shallabi (2014:292)
menceritakan, salah seorang anak dari Zaid bin al-Khattab pernah berkata, “Umar
bin Abdul Aziz hanya menjabat sebagai khalifah selama dua setengah tahun atau
tiga puluh bulan saja. Namun, hasil dari kepemimpinannya sungguh terlihat. Bahkan,
ketika seorang yang datang dengan membawa uang yang begitu banyak ingin
menyerahkan uangnya untuk dibagikan kepada orang-orang fakir, dia merasa sangat
kesulitan bertemu dengan orang-orang fakir. Ketika dia mengingat-ingat kaum
fakir yang pernah dia sumbangkan hartanya dan mencarinya, dia tidak
menemukannya kembali. Akhirnya ia pulang dengan harta yang tidak berkurang
sedikit pun. Hal ini tidak lain karena Umar bin Abdul Aziz sudah memberikan
kecukupan kepada seluruh masyarakat ketika itu.”
Itulah masa kejayaan umat Islam yang mengundang decak kagum para
sejarawan dunia. Bentuk pencapaian yang begitu luar biasa hingga negara-negara
maju saat ini pun sangat jarang yang mencapainya mengingat tak ditemukan
kembali sebuah negara yang kini menerapkan sistem perekonomian Islam.
Terdapat perbedaan yang begitu mencolok bila kita bandingkan dengan
apa yang telah diraih oleh bangsa Indonesia, bahkan sejak awal kemerdekaannya.
Terlalu jauh menuju ke sana, bangsa Indonesia -dengan sistem perekonomianya-
kini masih disibukkan dengan kemiskinan dan kejahatan yang kian merebak
dimana-mana. Apalagi untuk hilangnya orang-orang miskin dari daftar penemuan,
suatu hal yang seakan-akan jauh dari kenyataan.
2.2.2. Jiwa dan
Raga yang Tak Mudah Sakit
Selain sektor ekonomi yang belum pernah ada
bandingannya dalam sejarah, umat Islam kala itu juga telah membuat para tabib
menggelengkan kepalanya. Dikisahkan bahwa raja Mesir yang bernama Muqauqis
pernah mengutus seorang tabib agar membuka praktek di kota Madinah. Setelah
sang tabib menetap di kota Madinah hingga beberapa bulan lamanya, ternyata
tidak seorangpun yang datang berobat kepadanya sekalipun publikasi tentang
keberadaan tabib ini cukup gencar.
Hingga
akhirnya ia merasa frustasi dan hendak kembali lagi ke Mesir negeri asalnya
karena di kota Madinah jasanya tidak dibutuhkan. Sebelum ia pulang ke negeri
Mesir, dengan penuh penasaran ia datang kepada Rasulullah SAW untuk menanyakan
perihal penduduk Madinah yang tak satu pun berobat kepadanya. Rasulullah SAW
menjawab, “Kami ( ummat islam ) di Madinah ini tidak makan sebelum lapar, dan
segera berhenti makan sebelum benar-benar kenyang, kami selalu melakukan shalat
dengan khusyu’ yang semua gerakan shalat itu dapat menyehatkan serta dapat
menenangkan hati kami sehingga kami tidak mudah terserang penyakit”.[7]
Subhanallah, inilah salah satu dari hikmah yang akan
dirasakan oleh siapapun yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Sekali lagi, negara Indonesia belum memilikinya. Sehingga, tak heran jika masih
dijumpai banyak penderita penyakit yang tidak lekas sembuh lantaran kurangnya
fasilitisas kesehatan yang memadai.
Begitulah, sejarah telah membuktikan. Saat prosedur dari suatu
produk dijalankan sebagaimana mestinya maka keteraturan, keamanan, dan
ketentraman akan terus menyelimuti dunia ini. Dan saat prosedur yang seharusnya
tidak ditaati, maka berjalanlah dunia ini tidak sebagaimana mestinya.
Samudra (2009:177) mengungkapkan hal tersebut dalam bukunya dengan
mengatakan, “Inilah al-Islam. Sempurna, sesuai dan hanya sesuai, benar, pasti
benar, untuk seluruh manusia dan kemanusiaan. Di dalamnya terdapat hukum yang
jika dilaksanakan niscaya manusia berjaya dunia akhirat.”
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Untuk menuju sebuah negara yang lebih
baik, maka langkah yang paling utama untuk dikerjakan adalah mengetahui hal-hal
yang menjadi kesalahannya untuk kemudian diperbaiki dengan cara yang tepat.
Dari pemaparan diatas, maka beberapa
hal yang menjadi kesalahan utama Negara Indonesia dan harus diperbaiki dengan
tepat adalah sebagai berikut:
1.
Sistem Pemerintahan yang
masih menganut sistem demokrasi.
2.
Pelaksanaan pemilihan
seorang presiden yang menggunakan metode pemilu (pemilihan umum) dengan
mewajibkan seluruh rakyat, baik yang memiliki kapabilitas maupun tidak dalam
urusan negara.
3.
Penerapan hukum yang
bersumber dari suara dan aspirasi rakyat yang bukan merupakan pencipta dan
pemilik mutlak negara ini.
3.2. Saran
Setelah
mengetahui letak kesalahan utama negara ini, maka hal paling diharapkan kepada
para pembesar negara ini adalah agar segera memperbaiki negara ini dengan
metode yang paling tepat. Sebuah metode yang telah terbukti secara fakta dan
sejarah dapat membawa Indonesia menjadi lebih baik.
Sejarah telah
membuktikan bahwa negara yang menerapkan syari’at Islam di dalamnya akan
membawa negara tersebut menuju negara yang didambakan setiap orang. Oleh karena
itu, metode paling tepat yang selayaknya ditempuh para pembesar negara ini
adalah menerapkan syari’at Islam secara sempurna dalam negara ini. Sebuah
metode yang sejak awal telah digariskan oleh Allah SWT, sang pencipta dan
pemilik mutlak negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pembinaan Hukum Nasional. 2009. KUHPer, KUHP, KUHAP. Yogyakarta: Pustaka Yusticia
Faqih, Fikri. 2015. Ahok: Kalau alkohol dilarang, kalau gitu gak
usah minum obat batuk, http://www.merdeka.com/jakarta/ahok-kalau-alkohol-dilarang-kalau-gitu-gak-usah-minum-obat-batuk.html. diakses pada
tanggal 30 Mei 2016 pukul 21:07
Hassan,
Ahmad. 2005. Mata Uang Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jailani, Muhammad. 2015. Sehat
Dengan Cara Shalat, http://jailanihm.com/sehat-dengan-cara-shalat/.
diakses pada tanggal 30 Mei 2016 pukul 22:27
Katsir, Ibnu. 20014. Al-Bidayah wa An-Nihayah.
Jakarta: Darul Haq
Mubarakfuri, Al-, Shafiyurrahman. 2010. Sirah
Nabawiyah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Rahayu, Minto. 2007. Pendidikan
Kewarganegaraan: Perjuangan Menghidupi Jati Diri Bangsa. Jakarta: Grasindo.
Salam, Abu Malik Kamal bin Abdis. 2003. Shahih
Fiqh Sunnah. al-Maktabah at-Taufiqiyyah.
Samudra, Imam. 2009. Sekuntum Rosela Pelipur
Lara. Jakarta: Ar-Rahmah Media.
Setyanti, Christina Andhika. 2015. Tujuan Orang Indonesia Minum
Bir Hanya untuk Mabuk, http://www.cnnindonesia.com/gayahidup/20150130190001-262-28636/tujuan-orang-indonesia-minum-bir-hanya-untuk-mabuk/. diakses pada tanggal 30 Mei pukul 21:11
Shallabi,
Ash-, Ali Muhammad. 2014. Biografi Umar bin Abdul Aziz. Jakarta: Beirut
Publishing.
Tabloid Reformata. 15 Februari, 2009. Fakta Haram Golput Pangkas Caleg Kristen,
101:3.
[1]
Penulis menyadari bahwa pernyataan tersebut tidak semua orang menyetujuinya.
Untuk menanggapi hal ini, penulis tidak ingin mendebat orang-orang bodoh yang
tidak sependapat dengan pernyataan tersebut. Karena, memang makalah ini ditulis
bukan untuk membahas masalah tersebut. Adapun untuk menanggapinya, maka penulis
sarankan untuk membaca pembahasan yang lain yang membahas masalah tersebut.
[2]
pernyataan setuju secara lisan dari seluruh peserta rapat dan sebagainya
terhadap suatu usul tanpa melalui pemungutan suara.
[3] http://www.merdeka.com/jakarta/ahok-kalau-alkohol-dilarang-kalau-gitu-gak-usah-minum-obat-batuk.html diakses pada
tanggal 30 Mei 2016 pukul 21:07
[4] http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20150130190001-262-28636/tujuan-orang-indonesia-minum-bir-hanya-untuk-mabuk/ diakses pada
tanggal 30 Mei 2016 pukul 21:11
[5] baca:
Negara yang telah menegakkan syari’at Islam secara menyeluruh di dalamnya.
‘Negara Islam’ bukan merupakan nama dari suatu nama
negara layaknya Negara Indonesia, Republik Rakyat China, dsb. Penamaan ini
hanya sekedar untuk memudahkan penulis.
[6]
Seorang khalifah pada masa Dinasti Umawiyah yang memerintah pada tahun 717-720
M
By : Husna Amania
0 komentar:
Posting Komentar