BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Manusia, hidup didunia ini banyak
menemui permasalahan. Akan tetapi kehidupan manusia telah diatur didalam Islam.
Di dalam kehidupan sehari-hari, kita mengaplikasikan Islam yang mesti kita
jalani. Temasuk dalam masalah muamalah, semua urusan transaksi
jual beli, yang
waib kita ketahui. Muamalah transaksi jual beli pada dewasa ini telah mejamur,
sehingga kita harus memilih yang berdasarkan syari’at Islam. Agar kita
terhindar dari yang diharamkan dan maslahatnya tejaga hingga kita bisa rasa
dengan sempurna.
Dewasa ini, kita banyak menemukan banyak
jenis muamalah baru. Muamalah antara manusia ataupun yang lain. Muamalah ini
belum ada pada zaman Rasuullah, sehingga kita sekarang harus berhati-hati untuk
melakukan transaksi muamalah ini. Seperti muamalah BPJS, MLM, Asuransi
kesehatan,jiwa dan lain-lain. Permasalahan muamalah ini, ketika pada zaman
Rasululah belum ada. Munculnya muamalah ini pada abad akhir-akhir ini. Dengan
ini kita harus mencari kebenaran akan muamalah ini.
Sesungguhnya segala jenis muamalah jual beli
diperbolehkan oleh Allah SWT dan yang diharamkan adalah riba. Seperti firman
Allah SWT:
وَ أَحَلَّ
اللَّهُ البَيْعَ وَ حَرَّمَ الرِّبَوا............] [........
“……padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
(Al-Baqarah:
275)
Dengan melihat
ayat ini telah jelas bahwasannya diperbolehkannya jual beli. Akan tetapi dewasa
ini banyak yang menyelewengkan maksud muamalah jual beli. Dewasa ini, muamalah
jual beli yang mengandung syubhat dipercantik sehingga memikat untuk mengikuti
muamalah itu. Seperti pada saat ini yang mengeliat dan merebak adalah muamalah
asuransi.
Pada zaman sekarang, program asuransi
telah mengeliat dan merebak disetiap belahan bumi ini. Perusahan jasa asuransi
pun banyak bermunculan di tengah hiruk-piruknya kemajuan zaman. Berbagai produk
dan sistem pun ditawarkan, mulai dari asuransi jaminan kesehatan, jiwa,
kematian, kebakaran, kecelakaan hingga asuransi kemacetan pembayaran. Dikalangan masyarakat saat ini,
sedang merebaknya asuransi kesehatan (BPJS).
Fenomena ini memancing kita
menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah system asuransi sesuai dengan prinsip
Islam? Dengan pertanyaan ini penulis akan membahas tentang asuransi kesehatan
secara hukum Islam.
1.2
Rumusan masalah
1.
Apa hukum BPJS menurut pandangan
islam?
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui hukum mengikuti
BPJS menurut pandangan Islam.
1.4
Manfaat
2.
Untuk penulis agar mengetahui
prinsip muamalah ini.
3.
Untuk para pembaca agar semuannya
mengetahui adanya syubhat atau tidak muamalah ini.
4.
Untuk ma’had Aly hidayaturrahman
sebagai sumbangan ilmu untuk menambah khazanah Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Asuransi Konvensional
2.1.1.
Definisi Asuransi
Sebuah perjanjian pihak pertama (perusahan asuransi) kepada pihak kedua
(pihak nasabah) untuk memberikan ganti atas uang yang diserahkan, baik nanti
diberikan pihak kedua sendiri atau orang yang ditunjuk ketika terjadi resiko
kejadian yang tertera dalam akad perjanjian. Hal itu sebagai penganti dari uang
yang telah diberikan pihak kedua kepihak pertama, baik secara berangsur atau
lainnya.[1]
2.1.2.
Sejarah Asuransi
Jasa asuransi pertama kali muncul adalah asuransi laut di Eropa,
tepatnya di Italia utara pada abad ke-15. Penyebab kemunculannya ialah tatkala
banyaknya resiko dan bencana yang menimpa kapal laut pengangkut barang-barang
saat itu.
Model asuransinya yaitu pemilik barang membayar uang kepada pemilik
kapal dengan perjanjian apabila barangnya rusak atau hilang maka dia akan
mendapatkan tambahan uang. Pemilik usaha asuransi mendapatkan keuntungan
banyak, sedangkan pemilik barang juga merasa nyaman terhadap barang-barang
mereka.
Waktu terus berjalan dan asuransi pun menyebar ke berbagai Negara,
termasuk Inggris, sehingga disana didirikan perusahan asuransi pertama kali.
Setelah kejadian kebakaran hebat di London pada tahun 1666 M, maka didirikan
perusahan asuransi pertama kali.
Setelah itu, asuransi menyebar dinegara-negara Amerika pada pertengahan
abad ke-18. Dan pada abad ke-19, asuransi masuk kenegara Arab.[2]
2.1.3.
Macam-macam asuransi
2.1.3.1.Asuransi
konvesional
Asuransi konvesional adalah perjanjian
antara penanggung (perusahan asuransi) dengan tertanggung, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung atas resiko kerugian yang tertera didalam
perjanjian. Maka tertanggung berkewajiban membayar premi kepada perusahan
asuransi. Dengan ini, pada masa kini banyak bermunculan jenis-jenis asuransi
seperti asuransi kebakaran, asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi
pendidikan dan seterusnya mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
2.1.3.2. Hukum
asuransi konvesional
Menurut para ulama’ semenjak adanya asuransi telah diharamkan baik
perorangan atau lembaga. Pada tahun 1978, dalam mukhtamar I Al Majma’ Al
Fiqhiy Al Islami (divisi Fikih Rabithah Alam Islami) di Mekkah telah
diputuskan bahwa asuransi dengan segala jenisnya adalah haram.
Pada tahun 1985 para ulama Islam sedunia yang berada dibawah OKI dalam
konverensi ke II di Jeddah sepakat mengeluarkan keputusan No. 9 (9/2) 1985,
yang berbunyi“Transaksi Asuransi dengan premi tertentu yang diselenggarakan
oleh perusahan asuransi merupakan transaksi dengan tingkat gharar (spekulasi)
tinggi. Hal ini membuat hukum transaksi asuransi batal (menurut syariat). Oleh
karena itu transaksi ini diharamkan”.
Fatwa Mahkamah Syar’iyah Kubra Mesir pada tahun 1906 pada 4 Desember
menetapkan bahwa tuntutan klaim asuransi jiwa, merupakan tuntutan yang tidak
dibenarkan secara syar’i, karena mengandung unsur yang tidak diperbolehkan
secara syariah.[3]
Pada tahun 2006 AAOFI juga menegaskan kembali haramnya asuransi
pasal (26) tentang “At Ta’mim Al Islam, ayat 2, yang berbunyi, “Hukum
asuransi konvensional menurut syariat adalah haram”[4]
2.1.3.3. Dalil-dalil
hukum asuransi konvesional.
Pertama: akad asuransi konvensional
merupakan salah satu bentuk akad tukar-menukar barang yang di dasarkan pada
asas untung-untungan, sehingga sisi ketidakjelasannya besar, karena nasabah
pada saat akad tidak dapat mengetahui jumlah uang yang harus mereka setorkan
dan jumlah klaim yang mereka terima. Bisa jadi nasabah menyetorkan uang baru
dua kali kemudian kecelakaan, sehingga dia berhak mengajukan klaim yang menjadi
komitmen perusahan asuransi. Dan mungkin juga nasabah tidak pernah terjadi
kecelakaan, sehingga nasabah membayar seluruh setoran, tanpa mendapat apapun.
Dengan akad ini adanya gharar dalam muamalah ini.
Didalam Islam telah dilarang untuk
bermuamalah yang mengandung ghoror. Didalam Hadits telah di sebutkan larangan
bermuamalah yang mengandung ghoror.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الحصاة و بيع الغرر {رواه مسلم}
Dari Abu
Hurairah RA berkata: Rasululah SAW melarang jual beli melempar batu dan
melarang jual beli yang mengandung gharar.
(HR. Muslim)[5]
Kedua: akad asuransi konvensional mengadung
salah satu bentuk perjudian, dikarenakan padannya terdapat unsur
untung-untungan dalam hal tukar menukar harta benda, dan terdapat kerugian
tanpa ada kesalahan atau tindakan apapun, dan padannya juga terdapat keuntungan
tanpa ada timbal baliknya, atau dengan timbal balik yang tidak seimbang.
Ketiga: akad
asuransi konvensional mengandung unsur riba fadhl (riba perniagaan) dan riba
nasi’ah (penundaan), karena perusahan asuransi bila membayar kepada
nasabahnya atau keahli warisnya atau kepada orang yang berhak memanfaatkan
suatu klaim yang lebih besar dari uang setoran (iuran) yang mereka terima, maka
itu adalah riba fadhl, sedangkan perusahan asuransi akan membayar klaim
tersebut kepada nasabahnya setelah berlalu atau tenggang waktu dari saat
terjadi akad, maka itu riba nasi’ah. Dan menurut dalil dan ijma’ (kesepakatan
ulama’) maka keduannya itu diharamkan.
Keempat: akad
asuransi konvensional termasuk pertaruhan yang terlarang, karena pada
pertaruhan terdapat unsur ketidak jelasaan, untung-untungan, dan mengundi
nasib. Padahal syari’at tidak membolehkan pertaruhan selain pertaruhan yang ada
padanya unsur membela Islam.
Kelima: akad
asuransi konvesional padanya terdapat praktik pemungutan harta orang lain tanpa
imbalan, sedangkan mengambil harta orang lain tanpa ada imbalan dalam transaksi
perniagaan adalah haram, dikarenakan tercakup dalam firman Allah SWT dalam
Surat An-nisa’: 29
“Hai
orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama-suka
diantara kamu, janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha
Penyayang kepadamu.” (QS an-nisa’: 29)
Keenam: pada
akad asuransi konvesional terdapat pengharusan sesuatu yang tidak diwajibkan
dalam syari’at, karena perusahan asuransi tidak pernah melakukan sesuatu
tindakan yang merugikan, tidak juga menjadi penyebab terjadinnya kerugian.
Perusahan asuransi hanyalah melakukan akad bersama nasabah untuk menjamin
kerugian bila hal itu terjadi, dengan imbalan iuran yang dibayarkan oleh
nasabah kepadannya, sedangkan perusahan asuransi tidak pernah melakukan
perbuatan untuk nasabahnya sehingga akad ini diharamkan.
Dengan pemaparan ini maka asuransi menurut
ulama’ kontenporer haram karena banyak syubhat atau ketidakjelasan akad,
sedangkan sebagian pendapat yang membolehkannya pun argumennya lemah.
2. Asuransi syari’ah
2.2.1. Pengertian Asuransi Syari’ah
Asuransi syariah adalah mereka menerapkan metode bagi hasil (mudharabah).
Yaitu apabila telah habis masa kontrak, dan tidak ada klaim, maka perusahan
asuransi akan mengembalikan sebagian dana/ premi yang telah mereka setorkan
oleh nasabah, dengan ketentuan 60:40 atau 70:30. Adapun berkaitan dengan dana
yang tidak dapat ditarik kembali mereka mengklaimnya sebagai dana tabaru’
atau hibah (hadiah).[6]
2.2.2. Dalil-dalil Asuransi
umum syari’ah
Pertama: asuransi kooperatif (ta’min atau
ta’awuni) merupakan akad hibah yang bertujuan untuk saling tolong menolong
meringgankan beban kerugian, dan ikut andil terhadap orang yang mengalami
penderitaan saat terjadi musibah.
Kedua: asuransi koopratif (ta’min atau ta’awuni) terbebas dari riba
dengan segala bentuknnya. Riba fadhl dan riba nasi’ah, transaksi para peserta
asuransi tidak termasuk akad riba. Dan dana pengelola tidak menggunakan dana
yang terhimpun dari para peserta untuk suatu transaksi riba dalam bentuk
apapun.
Ketiga: ketidakjelasan besarnya klaim ganti rugi yang akan diterima
peserta asuransi koopreatif (ta’min atau ta’awuni) pada saat akad dilangsungkan
tidak mempengaruhi keabsahan akad, karena akad ini adalah akad hibah. Dan gharar
dalam akad hibah dibolehkan serta tidak termasuk judi. Berbeda dengan asuransi
komersial, akad yang terjadi adalah akad tukar-menukar.
Dengan pemaparan diatas para ulama’ mengantikan asuransi konvensional
dengan syariah yang sudah di sepakati para ulama’ kebolehanya.
3.
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan)
2.3.1.
Pengertian BPJS
Menurut
Wikipedia BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan) adalah Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh
pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh
rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan
TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha
lainnya ataupun rakyat biasa.[7]
2.3.2. Sejarah BPJS
Sejarah BPJS Kesehatan memang
tidak bisa terlepas dari kehadiran PT Askes (Persero), oleh karena ini
merupakan cikal bakal dari terbentuknya BPJS Kesehatan. Pada tahun 1968,
Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang secara jelas mengatur
pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun (PNS dan ABRI)
beserta anggota keluarganya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun
1968.
Menteri Kesehatan membentuk Badan Khusus di lingkungan Departemen Kesehatan RI yaitu Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK), dimana oleh Menteri Kesehatan RI pada waktu itu (Prof. Dr. G.A. Siwabessy) dinyatakan sebagai cikal-bakal Asuransi Kesehatan Nasional.
Kemudian pada tahun 1984 cakupan peserta badan tersebut diperluas dan dikelola secara profesional dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1984 tentang Pemeliharaan Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil,Penerima Pensiun (PNS, ABRI dan Pejabat Negara) beserta anggota keluarganya.
Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1984, status badan penyelenggara diubah menjadi Perusahaan Umum Husada Bhakti. Badan ini terus mengalami transformasi yang dari tadinya Perum kemudian pada tahun 1992 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 status Perum diubah menjadi Perusahaan Perseroan (PT Persero) dengan pertimbangan fleksibilitas pengelolaan keuangan, kontribusi kepada Pemerintah dapat dinegosiasi untuk kepentingan pelayanan kepada peserta dan manajemen lebih mandiri.
Askes (Persero) diberi tugas oleh Pemerintah melalui Departemen Kesehatan RI, sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1241/MENKES/SK/XI/2004 dan Nomor 56/MENKES/SK/I/2005, sebagai Penyelenggara Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. Dengan prinsip penyelenggaraan mengacu pada:
1. Diselenggarakan secara serentak di seluruh Indonesia dengan asas gotong royong sehingga terjadi subsidi silang.
2. Mengacu pada prinsip asuransi kesehatan sosial.
3. Pelayanan kesehatan dengan prinsip managed care dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
4. Program diselenggarakan dengan prinsip nirlaba.
5. Menjamin adanya protabilitas dan ekuitas dalam pelayanan kepada peserta.
6. Adanya akuntabilitas dan transparansi yang terjamin dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian, efisiensi dan efektifitas.
BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan suatu Badan Usaha Milik Negara yang mempunyai tugas khusus untuk menyelenggarakan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa.
BPJS Kesehatan ini merupakan salah satu program pemerintah dalam bentuk kesatuan jaminan kesehatan nasional atau JKN. Jaminan Kesehatan Nasional ini diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Dasar hukum dari BPJS Kesehatan ini adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem jaminan Sosial khususnya pada Pasal 5 dan Undang-Undang nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Dalam Undang-Undang Nomor 24 tentang BPJS askes (Asuransi Kesehatan) yang sebelumnya dikelola oleh PT Askes Indonesia (Persero), berubah menjadi BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014.[8]
Menteri Kesehatan membentuk Badan Khusus di lingkungan Departemen Kesehatan RI yaitu Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK), dimana oleh Menteri Kesehatan RI pada waktu itu (Prof. Dr. G.A. Siwabessy) dinyatakan sebagai cikal-bakal Asuransi Kesehatan Nasional.
Kemudian pada tahun 1984 cakupan peserta badan tersebut diperluas dan dikelola secara profesional dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1984 tentang Pemeliharaan Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil,Penerima Pensiun (PNS, ABRI dan Pejabat Negara) beserta anggota keluarganya.
Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1984, status badan penyelenggara diubah menjadi Perusahaan Umum Husada Bhakti. Badan ini terus mengalami transformasi yang dari tadinya Perum kemudian pada tahun 1992 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 status Perum diubah menjadi Perusahaan Perseroan (PT Persero) dengan pertimbangan fleksibilitas pengelolaan keuangan, kontribusi kepada Pemerintah dapat dinegosiasi untuk kepentingan pelayanan kepada peserta dan manajemen lebih mandiri.
Askes (Persero) diberi tugas oleh Pemerintah melalui Departemen Kesehatan RI, sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1241/MENKES/SK/XI/2004 dan Nomor 56/MENKES/SK/I/2005, sebagai Penyelenggara Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. Dengan prinsip penyelenggaraan mengacu pada:
1. Diselenggarakan secara serentak di seluruh Indonesia dengan asas gotong royong sehingga terjadi subsidi silang.
2. Mengacu pada prinsip asuransi kesehatan sosial.
3. Pelayanan kesehatan dengan prinsip managed care dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
4. Program diselenggarakan dengan prinsip nirlaba.
5. Menjamin adanya protabilitas dan ekuitas dalam pelayanan kepada peserta.
6. Adanya akuntabilitas dan transparansi yang terjamin dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian, efisiensi dan efektifitas.
BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan suatu Badan Usaha Milik Negara yang mempunyai tugas khusus untuk menyelenggarakan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa.
BPJS Kesehatan ini merupakan salah satu program pemerintah dalam bentuk kesatuan jaminan kesehatan nasional atau JKN. Jaminan Kesehatan Nasional ini diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Dasar hukum dari BPJS Kesehatan ini adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem jaminan Sosial khususnya pada Pasal 5 dan Undang-Undang nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Dalam Undang-Undang Nomor 24 tentang BPJS askes (Asuransi Kesehatan) yang sebelumnya dikelola oleh PT Askes Indonesia (Persero), berubah menjadi BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014.[8]
2.3.3.
Hukum BPJS
Sebelum kita menentukan hukumnya maka kita harus mengetahui sistem
asuransi kesehatan dan kita harus mengetahui akad pengunaan asuransi ini.
i.
Menarik iuran wajib dari
masyarakat.
Menurut buku panduan BPJS, Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan
secara teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan Pemerintah untuk program
Jaminan Kesehatan (pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan).[9]
Dengan pendapat ini maka setiap peserta
wajib membayar premi yang telah ditentukan oleh pemerintah. Sedangkan iuran
wajib itu bisa berupa zakat, maka ini yang harus didstribusikan oleh
pemerintahan Islam. Seandainya BPJS ini dialihkan kepada pajak wajib yang di
khususkan untuk kesehatan masyarakat maka pendapat sebagian ulama’
diperbolehkan.
Jika iuran tersebut menggunakan sistem
Asuransi Konvensional, peserta yang mendaftar wajib membayar premi setiap bulan
untuk membeli pelayanan atas risiko (yang belum tentu terjadi), maka ini
hukumnya haram. (Lihat Fatwa MUI, No: 21/DSN-MUI/X/2001)
Adapun jika menggunakan sistem Asuransi
Takaful, pesertanya harus memberikan hartanya secara suka rela bukan terpaksa
demi kemaslahatan bersama, tanpa mengharapkan harta yang diberikan tersebut.
Maka dalam hal ini hukumnya boleh. (Lihat MUI, No: 21/DSN-MUI/X/2001). Pendapat
ini berdasarkan hadist Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إنَّ
الأشْعَرِيِّينَ إِذَا أرْمَلُوا في الغَزْوِ ، أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ
بالمَديِنَةِ ، جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ في ثَوْبٍ وَاحِدٍ ، ثُمَّ
اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ في إنَاءٍ وَاحدٍ بالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأنَا
مِنْهُم
“Sesungguhnya
keluarga al-Asy’ariyun jika mereka kehabisan bekal di dalam peperangan atau menepisnya
makanan keluarga mereka di Madinah, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka
miliki di dalam satu kain, kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam
satu bejana, maka mereka itu bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka”.
(HR Bukhari, 2486 dan Muslim, 2500) [10]
Namun jika peserta asuransi mengharapkan
imbalan dari harta yang diberikan maka ini bertentanggan dengan hibah, maka
dalam syari’at Islam dilarang untuk mengambil yang telah diberikan.
ii.
Memberikan perlindungan atas resiko
sosial ekonomi yang menimpa peserta atau anggota keluargannya. Menurut UU SJSN/
no. 40 tahun 2004 pasal 1 ayat 3.[11]
Dengan ini memberikan perlindungan atas
resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta berdasarkan jumlah premi yang telah
diberikan, ini merupakan salah satu cara asuransi konvesional. Maka akad ini
ada ketidakjelasan tentang uang itu. Apabila seseorang sudah membayar premi
setiap bulan maka dia tidak terjadi resiko maka uang itu hangus begitu saja.
Dengan ini akad BPJS ini mengandung unsur gharar, sedangkan dalam Islam
dilarangnya bermuamalah yang mengandung gharar. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ
لاَتَشْتَرُوا
السَّمَكَ فىِ المَاءِ فَإِنَّهُ غَرَرٌ
“Janganlah
kalian membeli ikan yang ada dalam air karena itu (jual beli) gharar (unsur
penipuan)” (HR Al-Baihaqi dalam kitab As-sunanul kubra:
5/340, Ath-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jamul kabir: 10/258, dan Ahmad
dalam musnadnya, ada pertentangan (kritik) pada sanadnya, tapi ada riwayat lain
yang menguatkan)[12]
Dengan hadist ini kita bisa mengambil kesimpulan
bahwasannya akad BPJS seperti jual beli ikan dalam air yang tidak tahu
bentuknya. Akad BPJS pun demikian, tidak jelas penggunaan uang iuaran
tersebut.
iii.
BPJS bertujuan agar saling tolong
menolong dengan yang lain.
Dalam asuransi bpjs ini bertujuan untuk saling tolong menolong (ta’awun)
dengan orang lain. Akan tetapi para peserta ini bertujun untuk diri sendiri,
apabila dia sakit maka ada yang membantu. Dan terkadang orang kaya tidak
membantu orang miskin. Orang miskinlah yang membantu pengobatan orang kaya. Dan
ta’awun yang benar adalah orang kaya membantu orang miskin yang kurang mampu
seperti zakat, pajak dan dana sosial kesehatan.
iv.
Uang jaminan sosial harus disimpan
dalam bank yang pemerintah tunjuk.
Dalam UU SJSN/ No.40 tahun 2004 pasal 1 ayat 7. Pemerintah menunjuk bank
yang menyimpan uang iuran BPJS di bank konvesional. Sedangkan bank konvensional
mengandung ribawiyah. Peserta BPJS sengaja melakukan inventasi akan tetapi
tidak ada akad inventasi dan hanya akad pelayanan masyarakat. Peserta pun tidak
boleh mengambil sedikit pun keuntungan.
v.
Peserta BPJS jika meninggal dunia,
maka haknya untuk mendapatkan Dana BPJS gugur secara otomatis.
Pada dasarnya seseorang itu mempunyai hak atas harta bendanya. Dan jika
seseorang meninggal dunia maka hartanya turun ke ahli warisnya. Jika hal ini
hangus maka ada kezhaliman terhadap seseorang. Jika ini sebuah kesepakatan,
maka kita tidak boleh sepakat sesuatu yang dihalalkan menjadi haram seperti
hadst Amru bin ‘Auf Al-muzani radhiya allahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah
SAW bersabda:
الصُّلْحُ
جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ
حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا
أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
"Perdamaian
diperbolehkan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin boleh menentukan syarat
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih. (Hadist Hasan Shahih
Riwayat Tirmidzi)
Ini
dikuatkan dengan hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ
اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ , وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Setiap
syarat yang tidak terdapat di dalam Kitab Allah adalah batil, walaupun seratus
syarat. “(HR Bukhari dan Muslim)
vi.
Memberikan sanksi atau denda bagi
peserta yang menunggak atau terlambat dalam membayar premi.
Sesorang yang berhutang atau terlambat membayar hutang maka tidak boleh
dikenakan denda karena denda itu diharamkan. Akan tetapi jika seseorang
menyanggupinya atau beri’tad baik maka boleh, menurut sebagian ulama’. Hal ini
sesuai dengan hadist Ali radhiyalahu ‘anhu bahwasanya Rasululah shalalahu
‘alaihi wasalam bersabda:
كُلُّ
قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
“Setiap
pinjaman yang membawa manfaat (yang meminjamkan) maka dianggap riba “(HR.
Baihaqi dan Hakim, berkata al-Bushairi di dalam Ittihaf al- Khirah
al-Mahirah (3/380): Sanadnya lemah karena di dalamnya terdapat Siwar bin
Mush’ab al-Hamdani. Tetapi dia mempunyai penguat secara mauquf dari Fidhalah
bin Ubaid)
Seseoang boleh memberikan sanksi kepada
orang yang teledor dalam bekerja bukan terlambat dalam hutang piutang sedangkan
BPJS adalah hutang piutang.
vii.
Belum ada pengawas syariah dan
belum ada audit badan syariah nasional
Program bpjs ini belum mendapatkan pengawasan dari badan syariah
nasional. Program ini hanya menggunakan tatacara bank konvensional.
viii.
Belum menerapkan asuransi syariah.
Program BPJS ini belum menerapkan asuransi syariah seperti yang
dijelaskan di atas. Program BPJS ini semua akad mengunakan seperti Bank
Konvesional, sedangkan bank konvesional banyak syubhadnya dan para ulama’ sepakat
untuk keharaman bank konvesional.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan.
Kesimpulan
dari pembahasan ini bahawasanya BPJS mengandung banyak keghararan dalam
melakukan traransaksi. Masyarakat saat ini telah tertipu manipulasi transaksi
ini.
Maka menurut
ulama’ hukum BPJS ini masih diragukan kebolehannya. Karena didalamnya masih
mengandung unsur yang tidak jelas dan masih banyak syubhat, dan tata cara belum
rapi
3.2. Saran
Maka dari itu kita semua umat Islam
dan seluruh masyarakat untuk menghindari program BPJS ini, Agar terhindar dari
syubhat. Akan tetapi lebih baiknya uang yang digunakan untuk iuran premi bisa
digunakan untuk berinfaq dan membantu orang yang tidak mampu disekitar kita. Pemerintah hendaknya membuat asuransi syariah yang operasionalnya
diawasi oleh badan pengawas BPJS dan diaudit oleh badan dewan syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Al-karim terjemahan Asy syamil
Kementrian Agama, Buku Pegangan Sosialisasi
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Dalam Sistem Jaminan Sosial, Bappenass
2009
Al Jazair Abu
Bakar Jabir, Minhajul Muslim, Tjm, Penerbit Insan Kamil, Cet Ke- 1 Juli 2009 M/
Sya’ban 1430
Tarmidzi
Erwendi, Harta Halal Haram Muamalat Kontenporer, PT Berkat Mulia Insani, Cet
Ke-1 Februari 2012
As Sidawi Abu
Ubaidah Yusuf Bin Mukhtar, FIQIH KONTENPORER, Yayaan Al-Furqon Jawa Timur, Cet
Ke-1, Dzulqa’dah 1435 H/ 2014
Maulana Rikza
Lc M.Ag, Asuransi Dalam Tinjauan Hukum Islam, Www.Takaful.Com.Id
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004 SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL, Di Akses
Http://Www.Jkn.Kemkes.Go.Id
Hukum Badan
Penyenggalaraan Jaminan Sosial, Di Akses Http://Ahmadzain.Com/Read/Ilmu/530/, Pada Tanggal
21 April 2015.
[1]
Abu ubaidah yusuf bin mukhtar as sidawi, FIQIH KONTENPORER, Yayaan Al-Furqon
jawa timur, cet ke-1, Dzulqa’dah 1435 H/ 2014 hal 245
[2]
Ibid…………..hal 246
[3]
Rikza maulana LC, M.Ag, Asuransi dalam tinjauan hukum Islam, www.takaful.com.id , hal ke-7.
[4]
DR. Erwandi Tarmidzi,MA, Harta Haram Muamalat Kontenperer,PT berkat
Mulia Insani, cet ke-4 2013, hal 239
[5]
Rikza maulana LC, M.Ag, Asuransi dalam tinjauan hukum Islam, www.takaful.com.id , hal ke-13.
[6]
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi, fikih kontenporer, yayasan
furqon al islami, cet ke-1 dzulqa’dah 1435 H (September 2014) hal 250
[9]Kementrian agama, Buku Pegangan Sosialisasi
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam
Sistem Jaminan Sosial, Bappenass 2009, hal 16
[10]
Hukum Badan Penyenggalaraan Jaminan Sosial, di akses http://ahmadzain.com/read/ilmu/530/,
pada tanggal 21 April 2015.
[11]
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004 SISTEM JAMINAN SOSIAL
NASIONAL, di akses http://www.jkn.kemkes.go.id,
hal 2.
[12]
Abu Bakar Jabir Al-Jaza’ir, Minhajul Muslim, Trjm, penerbit Insan Kamil, cet
ke- 1 juli 2009 M/ Sya’ban 1430, hal 619
By : Devi Astuti
0 komentar:
Posting Komentar