BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia, Negeri
Agraris yang pernah terjajah oleh bangsa Belanda selama 3 setengah abad
lamanya, tidak membuat orang-orangnya belajar akan bagaimana layaknya sebuah
negara itu maju. Hal tersebut semakin terlihat pada realita bumi pertiwi hari
ini. Politik yang carut-marut ditambah dengan perkara sosial yang tak kunjung
selesai. Egosentris pun masih mendominasi
orang-orang yang diberi amanah untuk
menjalankan roda pemerintahan. Politik yang masih dikotori oleh transaksi gelap
para penggeraknya. Baik untuk kepentingan pribadinya maupun partainya.
Perilaku-perilaku
tersebut telah mengesampingkan adab berpolitik yang seharusnya dipegang oleh
para politikus di negeri ini. Mereka membentuk politik dengan citra semu.
Politik bukan lagi menjadi pebelajaran bagi masyarakat, tempat bertukar ide dan
gagasan, namun berubah menjadi tempat memperebutkan kekuasaan dan menambah
kekayaan. Jika seperti itu jadinya, lalu kapan negeri tercinta ini akan
menduduki posisi maju?
Dalam makalah
sederhana ini Penulis ingin memberikan sumbangsih pemikiran tentang sebuah adab
dalam berpolitik sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghozali.
1.2 Landasan Teori
“Sesungguhnya
orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat
urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang
tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangn
yang tajam.” (Surat Khalifah Ali Radhiyallahu ‘Anhu kepada Gubernur
Mesir)
1.3 Rumusan masalah
1.
Bagaimana realita politik di Indonesia?
2.
Apa penyebab kegagalan politik di Indonesia?
3.
Apa solusi dari kegagalan politik di Indonesia?
1.4 Tujuan penulisan
1.
Mengetahui realita politik di Indonesia
2.
Mengetahui penyebab kegagalan politik di Indonesia
3.
Memecahkan permasalahan kegagalan politik di Indonesia
1.5 Manfaat Penulisan
1.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia
2.
Sebagai wawasan penulis dalam dunia perpolitikan di Indonesia
3.
Sumbangsih pemikiran untuk perpustakaan Ma’had ‘Aly
Hidayaturrahman
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Realita politik di Indonesia
Berikut beberapa
realita politik di Indonesia yang eksis pada dekade terakhir ini:
a.
Partai politik yang bertebaran
Dua
tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2014 KPU (komisi Pemilihan Umum) telah
mengadakan pemilihan partai politik yang diikuti oleh 15 partai politik.
Diantaranya 15 partai tersebut adalah sebagai berikut:
No Urut 1 : Partai NasDem
No Urut 2 : Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
No Urut 3 : Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
No Urut 4 : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
No Urut 5 : Partai Golongan Karya (GolKar)
No Urut 6 : Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
No Urut 7 : Partai Demokrat
No Urut 8 : Partai Amanat Nasional (PAN)
No Urut 9 : Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
No Urut 10 : Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
No Urut 11 : Partai Damai Aceh (PDA)
No Urut 12 : Partai Nasional Aceh (PNA)
No Urut 13 : Partai Aceh (PA)
No Urut 14 : Partai Bulan Bintang (PBB)
No Urut 15: Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)
No Urut 2 : Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
No Urut 3 : Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
No Urut 4 : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
No Urut 5 : Partai Golongan Karya (GolKar)
No Urut 6 : Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
No Urut 7 : Partai Demokrat
No Urut 8 : Partai Amanat Nasional (PAN)
No Urut 9 : Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
No Urut 10 : Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
No Urut 11 : Partai Damai Aceh (PDA)
No Urut 12 : Partai Nasional Aceh (PNA)
No Urut 13 : Partai Aceh (PA)
No Urut 14 : Partai Bulan Bintang (PBB)
No Urut 15: Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)
Menurut
Profesor Miriam Budiarjo dalam Dasar-dasar Ilmu Politik menyebutkan beberapa
fungsi dari partai politik[1]:
1. Partai politik
sebagai sarana komunikasi politik atau sebagi sarana artikulasi kepentingan
rakyat. Yaitu menampung dan menggabungkan pendapat setiap warga. (Interest
aggregation) yang kemudian dirumuskan menjadi bentuk yang lebih teratur (Interest
articulation) dan diterapkan oleh partai dalam progaram partai.
Program-program tersebut kemudian diperjuangkan oleh partai politik di level
pemerintahan untuk diaplikasikan kedalam kebijakan publik.
2. Partai politik
sebagi sarana sosialisasi politik masyarakat. Yaitu proses di mana masyarakat
memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang berlaku di mana
dia berada.
Banyaknya
partai politik hari ini tidak menjamin tercapainya tujuan didirikannya partai
politik. Dan realita yang terjadi partai politik justru menjadi ajang untuk
mencari penghidupan dalam kehidupan. Partai politik jutru menjadi ladang rejeki
bagi orang-orang yang rakus terhadap dunia. Maka, hal ini menjadi bahan
perbincangan menarik di kalangan kritikus alias pengkritik para politikus.
Para
punggawa politikus tersebut menumpang kendaraan yang bernama partai politik
untuk mendapatkan sebuah kursi kedudukan di parlemen. Maka tak heran jika hari
ini banyak masyarakat sipil yang rame-rame mencalonkan diri menjadi wakil
rakyat. Mereka mencalonkan diri mereka dengan latar belakang yang berbeda satu
dengan yang lain. Ada yang berniat baik ingin membantu rakyat dalam menyalurkan
aspirasi mereka. Namun ada juga yang bermaksud ingin menjadi penguasa dan
mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta dari kekuasaannya tersebut.
Menurut
salah satu artikel yang ditulis oleh Ester Kusumanegara menyebutkan dampak dari
banyaknya partai politik hari ini ialah: “Bisa menimbulkan rekayasa politic dan
conflic saja yang belum tentu mendukung proses demokrasi saat ini karena parpol
sekarang tidak ideologis dan tidak secara sungguh sungguh memperjuangkan
kepentingan rakyat tujuannya hanya untuk mencapai kekuasaan dan kepentingan
groupnya dengan memanfaatkan system demokrasi (kebebasan). Seharusnya
parpol dapat dikelola untuk stabilitas dan efektifitas politic serta kinerja
pemerintah demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebaiknya jumlah parpol di
kurangi maximum 5 parpol saja sebagai salah satu upaya revitalisasi dan
penyederhanaan demokrasi di Indonesia.”[2]
b.
Parpol Islam Vs Komunisme dan sekuler
Di
dunia Islam Indonesia terkenal dengan penduduk muslimnya yang terbesar. Namun
sampai hari ini agama Islam sendiri belum bisa menjadi pedoman negeri ini dalam
menjalankan roda pemerintahannya dan perpolitikannya. Seperti yang sudah
masyhur dikalangan umat Islam adalah Islam hanya setatus di KTP (Kartu Tanda
Penduduk) saja alias Islam KTP.
Dalam
sejarah perpolitikan negeri ini, umat Islam pernah menembus ranah legislatif
dengan partai Islam satu-satunya pada waktu itu, yaitu partai Masjumi. Pada
pemilihan umum (pemilu) pertama kali yang diselenggarakan pada tahun 1955,
partai yang diketuai oleh Muhamad Natsir ini menjadi pemenang atas partai
sekuler PKI (Partai Komunis Indonesia) dan PNI (Partai Nasional Indonesia).
Serta menduduki sebagian besar kursi DPR dan konstituente. Walaupun pada
akhirnya pemilu itu menjadi awal sekaligus akhir dari karir partai Masjumi.
Karena setelah itu partai Islam tersebut digulingkan oleh Rezim Nasakom atas
desakan lawannya pada saat pemilu, yaitu PKI yang dekat dengan presiden pada
tahun 1960.
Pada
pemilihan umum partai yang deselenggarakan pada tahun 2014 kemarin, ada
setidaknya empat partai yang berlatar belakang Islam. Yaitu:
1.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan no. Urut 2
2.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan no. Urut 3
3.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan no. Urut 9
4.
Partai Bulan Bintang (PBB) dengan no. Urut 14
Namun, dari
keempat partai tersebut, tidak ada satu pun yang menduduki peringkat atas dalam
ajang pesta demokrasi tersebut. Mereka kalah saing dan kalah populer dari
lawan-lawan mereka yang berlatar belakang liberal dan sekuler. Padahal umat
Islam di negeri ini jumahnya mendominasi dari kaum sepilis seperti liberal,
sekuler dan komunis.
Sejarah
telah membuktikan bahwa eksistensi umat Islam Indonesia pernah hampir mendulang
prestasi emas untuk menduduki ranah elit pemerintahan tertinggi negeri ini.
Maka, hal ini merupakan pelajaran yang seharusnya diambil oleh para pengusung
partai-partai yang mengaku berasaskan Islam atau berlandaskan agama Islam hari
ini. Namun realita berbeda. Mereka membuang pelajaran berharga ini dan berlaku
sekehendaknya dalam menggerakkan partainya yang membonceng nama Islam tanpa
bertanggungjawab.
Kegagalan
partai-partai Islam dalam mendulang suara di kancah politik Indonesia bukan
semata-mata tanpa sebab. Ada beberapa faktor yang menjadi sebab kegagalan
mereka. Dalam esai yang ditulis oleh Nuim Hidayat yang berjudul Ketika Adab
Berpolitik Hilang, ada faktor-faktor yang menjadikan partai politik Islam
gagal. Diantranya adalah:
1.
Umat Islam yang terjun kedalam ranah partai politik telah
banyak meninggallan kaidah-kaidah agama dalam berperan menjadi penggerak
masyarakat untuk berpolitik.
2.
Bergaya hidup hedonis yang didapat dari menjadi politikus
yang memiliki kedudukan. Mereka justru mencari kehidupan dalam berpolitik bukan
menghidupkan politik Islam agar mendominasi. Maka mereka pun menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan keuntungan yang besar.
3.
Haus kekuasaan dan meninggalkan adab berpolitik secara
Islami dalam menempuh perpolitikan.
4.
Mereka tamak terhadap harta, tahta dan wanita.
5.
Meninggalkan dakwah dan keteladanan dalam sikap
berpolitik.
Begitulah
kekalahan telak yang diterima Umat Islam Indonesia hari ini yang mampu
mendominasi negeri ini, namun belum bisa mendominasi hukum agamanya sebagai
hukum mutlak dalam kehidupannya sehari-hari. Dan begitu pula politik hari ini
yang akan menjadi sejarah hari esok. Lalu pelajaran apa yang musti dipetik?.
c.
Demokrasi menjadi landasan
Demokrasi,
kata yang berasal dari 2 kata dari bahasa Yunani yaitu Demos dan Kratos. Demos
sendiri berarti rakyat, sedangkan Kratos berarti pemerintahan, kekuasaan, atau
hukum. Secara ma’nanya, kata tersebut diartikan sebagai asas atau hukum dari
rakyat, atau pemerintahan rakyat. Salah satu negara yang kental mengusung asas
ini adalah Indonesia dengan penduduknya yang mayoritas muslim.
Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan di mana semua
warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat
mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik
secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan
pembuatan hukum.
Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya
praktik kebebasan politik
secara bebas dan setara.[3]
Dalam
Islam sendiri, kata demokrasi merupakan kata asing yang tak pernah dikenal
sebelumnya. Baik pada masa Rasulullah ﷺ, para sahabat Radhiyallahu
‘anhu, maupun para ulama salaf generasi selanjutnya. Karena sisiterm
demokrasi sangat bertentangan dengan ajaran Islam dalam aturan bernegara yang
benar sesuai tuntunan Nabi ﷺ.
Menurut Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisy,
demokrasi dalam berbagai bentuknya merupakan bentuk kekafiran terhadap Allah ﷻ dan bentuk
kesyirikan terhadap Rabb (penguasa) langit dan bumi serta bertentangan
dengan millatut tauhid (agama tauhid) dan din (agama) Rasul ﷺ.[4] Bahkan beliau menjadikan demokrasi sebagai agama tersendiri diluar Islam.
Hal itu dikarenakan beberapa sebab, diantaranya:[5]
Pertama, karena dalam
demokrasi yang menetapkan hukum adalah rakyat. Padahal Allah ﷻ memerintahkan
kepada Nabi-Nya untuk memutus suatu perkara berdasarkan hukum yang diturunkan
Allah, dan Allah melarang Nabi-Nya dari mengikuti hawa nafsu bangsa atau
rakyat. Allah ﷻ berfirman:
وَأَنِ
ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ
أَن يَفۡتِنُوكَ عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ ...٤٩
“Dan hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu.” (Al-Maidah: 49)
Kedua, karena demokrasi adalah berkuasanya
rakyat atau berkuasanya kepemimpinan selain Allah ﷻ berdasarkan undang-undang dan bukan berdasarkan syari’at Allah ﷻ. Oleh karena itu, dalam demokrasi, rakyat tidak bisa menerima
hukum dan syari’at, kecuali jika sesuai dengan apa yang tertera di dalam
undang-undang dan sesuai dengan pasal-pasalnya. Maka jika rakyat ingin
menjalankan hukum Allah ﷻ
melalui jalur demokrasi, hal itu tidak akan mungkin terjadi, kecuali melalui
undang-undang dan pasal-pasal yang dibuat oleh pemerintahan berasas demokrasi
yang jauh dari hukum Allah. Padahal berhukum kepada selain hukum Allah
merupakan kefasikan yang nyata sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat
Al-Maidah ayat 47:
...وَمَن
لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤٧
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
fasik.”
Ketiga, sesungguhnya
demokrasi merupakan buah dari pemikiran sekulerisme yang notabene merupakan
idiologi kafir yang bertujuan menyingkirkan Islam dari negara dan kekuasaan.
Dari
sekian pemaparan tersebut, maka jelas bahwa umat Islam Indonesia tidak akan
mampu mencapai kedudukan tertinggi di negeri ini, selama ideologi demokrasi
masih eksisi menjadi asas negara. Umat Islam pun tidak akan mampu hidup bebas
dengan Islam sebagai aturan hidupnya kecuali dengan meruntuhkan ideologi kafir
tersebut. Sayangnya, tidak banyak umat Islam yang menyadari hal ini. Bahkan
banyak diantara mereka yang justru terjerumus kedalam ideologi sekuler dan
akhirnya lebih memilih partai-partai sekuler dari pada memilih partai Islam.
B.
Politik di Indonesia yang tak beradab
Adab
dalam berpolitik yang banyak ditinggalkan oleh para politikus hari ini. Inilah
sebab kegagalan utama yang selain menimpa sisitem pemerintahan Indonesia
sendiri, juga menimpa kelompok-kelompok elit partai politik secara umum dan
partai politik Islam secara khusus. Lalu mengapa kegagalan tersebut bisa
terjadi? Dan apa sebab lain dari kegagalan politik di Indonesia? Berikut ulasan
selengkapnya.
a.
Tidak adanya keteladanan dari punggawa partai
politik
Setiap
generasi umat ini, akan selalu membutuhkan suri tauladan yang namanya akan
harum dan akan menjadi panutan. Namun sayang, umat Islam di Indonesia hari ini
yang dibuat bingung oleh para pemimipinnya yang tidak mempunyai kepantasan
untuk disebut teladan. Para pemimpin negeri ini lebih banyak yang berakhlaq
buruk. Mereka banyak melakukan kecurangan demi mendapatkan kedudukan.
Menelantarkan rakyat miskin demi mendapat harta yang melimpah. Juga memusuhi
umat Islam dan membiarkan mereka tunduk terhadap aturan-aturan di luar aturan
Allah ﷻ.
Keteladanan
yang hilang dari para pemimpin negeri ini juga dialami oleh para punggawa
partai politik Islam. Mereka tak jauh berbeda dengan perilaku pemimpin
partai-partai lain di luar Islam. Umat Islam pun kecewa akan hal ini. Mereka
kehilangan keteladanan yang seharusnya menjadi panutan mereka dalam berpolitk
di negeri ini. Yang lebih parahnya, banyak juga yang ikut-ikutan menceburkan
diri ke dalam politik kotor tersebut.
b.
Mengesampingkan adab Islami dalam berpolitik
Adab merupakan budi pekerti atau akhlaq yang
baik.[6] Atau bisa juga diartikan sebagai tata
krama dalam melakukan segala sesuatu. Maka, adab pun masuk kedalam segala lini
kehidupan. Mulai dari individual, spiritual, sosial, bahkan dalam berpolitik
pun seseorang diharuskan memiliki adab berpolitik. Jika dalam berpolitik saja
adab ini ditinggalkan, maka yang terjadi adalah kerusakan pada pada politik itu
sendiri sehingga tidak dapat tercapai tujuan yang seharusnya. Lalu nagai mana
sebenernya adab dalam berpolitik tersebut?
Imam
Ghozali Rahimahillahu Ta’alaa telah mencantumkan dalam sebuah kitabnya
yang berjudul At-Tabarul Masbuk Fii Nashihatil Mulk. Diantara adab
tersebut adalah:
- Amar ma’ruf nahi mungkar
Dalam
sebuah negara yang dikuasai oleh seorang penguasa, hendaknya memiliki seorang
ulama yang fakih sebagai penasihat. Seorang ulama tersebut bertugas menasihati
pemimpin dan menjaga tauhid seorang pemimpin. Jika seorang pemimpin
menhilangkan eksisitensi ulama dalam kepemiminannya, maka yang terjadi adalah
kemunduran negara tersebut terutama dalam segi moral. Karena pemimpin yang
memiliki perhatian dengan ulama berarti dia juga memperhatikan pendidikan di
negerinya sebagai pabrik pencetak orang-orang yang berilmu dan fakih.
- Tugas seorang pemimpin adalah memahami dua hal: Wilayah dan Amanah
Seorang
pemimpin hendaknya memahami wilayah. Maksudnya adalah memahami bahwa
kekuasaannya merupakan amanah dari Allah Subhanahu Wata’alaa. Dan amanah
tersebut kelak akan dimintai pertanggung-jawabannya di Hari Persidangan-Nya.
Sebagaimana peringatan Rasulullah ﷺ
bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan tiga perkara, pertama,
apabila rakyat meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang khalifah wajib
berbagi kasih kepada mereka, kedua, apabila menghukumi mereka maka
berbuatlah adil, ketiga, lakasanakan apa yang telah kamu katakan (tidak
menyalahi janji).
C.
Mengambil keteladanan dari sejarah kepimimpinan
Islam
Keteladanan
sangat penting dalam pembentukkan generasi selanjutnya untuk umat ini. Maka,
sejarah menjadi teladan utama sebagai tolak ukur baiknya sebuah generasi
berikutnya. Dan setelah umat Islam mampu meneladani umat yang sukses
sebelumnya, maka umat Islam akan mampu menjadikan diri mereka sendiri sebagai
teladan bagi yang lain atau bagi generasi berikutnya, terutama kawula mudanya.
a.
Prestasi pemimpin umat Islam dalam adabnya
Islam
yang dalam sejarah kekuasaannya di bumi Allah ini tentunya memiliki pemimpin
yang hebat yang mampu membawa Islam sampai ke puncak kejayaan. Kepemimpinan ini
diawali oleh Rasul pembawa risalah Islam sendiri dengan Al-Qur’an sebagai
pedoman hidupnya. Dia adalah Nabi Rasulullah Muhammad ﷺ. Yang pernah memimpin umat ini
menuju perbaikan aqidah dan akhlaq, juga membentuk pondasi pertahanan dan
eksisitensi sebuah negara Islam dengan jihad melawan kekafiran. Beliau memimpin
dengan keteladanannya berupa akhlaq yang telah mendapat jaminan paten dari
Allah ﷻ.
Dan beliaulah sebaik-baik pemimpin sepanjang zaman yang menjadi panutan
pemimpin-pemimpin sukses setelahnya.
Perjuangan Islam setelah meninggalnya
Sang panutan sepanjang zaman tidaklah mati. Ada para Khulafa’ur Rasyidiin
yang menjadi para pengganti Rasulullah ﷺ. Meneruskan dakwah Islam dan
memimpin negara, serta memperluas wilayah Islam. Ada Abu Bakar Ash-Shidiq yang
tegas terhadap para penentang syariat Allah ﷻ dan orang-orang yang
mengaku-ngaku sebagai nabi.
Khalifah kedua pengganti
Abu Bakar Ash-Shidiq Radhiyallahu ‘Anhu adalah Umar bin Khottob Radhiyallahu’Anhu.
Beliau juga merupakan pemimpin yang adil, tegas, sederhana dan berloyalitas
tinggi. Keadilannya terbukti gubernur Mesir Amr bin Al-‘Ash hendak melakukan
pelebaran masjid dan mengharuskan pembongkaran sebuah rumah milik seorang kakek
Yahudi. Sang kakek merasa diperlakuakan tidak adil dan akhirnya mengadu kepada
Umar. Umar pun menitip pesan kepada Sang kakek lewat sebuah garis yang
digoreskan di atas tulang. Ketika tulang tersebut sampai ke tangan Amr, ia
menyadari apa yang telah dilakukannya. Ia diberi peringatan oleh Umar agar
berlaku adil terhadap rakyatnya. Begitu pula kesederhanaan Umar yang tercermin
dalam kehidupannya yang sehari-harinya. Seperti suatu hari saat seorang utusan
romawi datang hendak bertemu beliau. Setelah dicari kesegala penjuru ternyata
beliau sedang istirahat merebahkan dirinya diatas pelepah kurma di dekat
masjid.
Seharusnya pemimpin hari ini juga
mencontoh khalifah ketiga, Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu. Beliau
adalah orang yang sederhana walaupun hartanya melimpah ruah. Serta orang yang
penyabar dengan segala apa yang dihadapinya. Dan seorang yang memiliki rasa
malu yang besar terhadap Allah dan Rasul-Nya. Kesederhanaannya juga terpancar
ketika Utsman hendak mengamabil air wudhu sendiri pada malam hari yang dingin.
Kemudian ia ditanya oleh seseorang mengapa ia tidak mneyuruh orang untuk
mengambilkan air wudhu agar ia tidak kerepotan. Maka ia menjawab, “Tidak,
biarkanlah mereka istirahat pada malam hari.”.
Hari ini banyak orang yang
berangan-angan dirinya menjadi raja atau pemimpin suatu kaum. Karena ia pasti
akan mendapatkan banyak kelebihan. Kelebihan harta juga kelebihan popularitas.
Padahal menjadi pemimpin tidak seindah mereka bayangkan. Hal ini sudah disadari
oleh khalifah keempat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu. Ketika ada
tawaran menjadi pengganti Utsman Radhiyallahu ‘Anhu, beliu justru
menolaknya. Walalupun akhirnya terpaksa menerimanya.
Khalifah Ali merupakan pemimpin yang
selalu menjadikan pemimpin sebelumnya teladan dalam menjalankan
kepemimpinannya. Beliau pernah menitikan air mata dan berkata tentang khalifah
sebelumnya, “Mereka adalah orang-orang yang kucintai. Abu Bakar dan Umar,
imam-imam hidayah, penghulu Islam, dan dua orang Quraisy yang pantas dijadikan
teladan setelah Rasulullah ﷺ. Siapa yang
menjadikan mereka sebagai teladan, ia akan terhindar dari dosa. Siapa yang
mengikuti langkah mereka, ia akan mengikuti jalan yang lurus. Siapa yang
berpegang teguh pada jejak langkah keduanya, ia adalah tentara Allah.”[7]
Pemimpin lainnya yang patut dijadikan
telandan adalalah Umar bin Abdul Aziz. Cicit dari Umar bin Khottob ini memenuhi
dunia dengan keadilan. Ia mengembalikan semua hak rakyatnya yang pernah diambil
penguasa sebelumnya dengan cara tidak halal. Juga mengembalikan tanah fadak sebagaimana
keadaannya pada masa Rasulullah ﷺ. Banyak para ulama yang sepakat
bahwa khalifah ke-8 dari Bani Umayyah ini merupakan khalifah kelima dari Khulafa’ur
Rasyidiin. Karena keadilannya dalam memimpin mirip kepemimpinan para Khulafa’ur
Rasyidiin.
Sang Penakluk Konstatinopel juga
merupakan pemimpin yang masuk kedalam barisan pemimpin teladan. Selain
prestasinya dalam membawa pasukan menembus benteng terkokoh di dunia, beliau
juga seorang pemimpin berkarisma dalam memimpin negaranya. Sifat adil, shaleh,
dan penyayang terhadap rakyat menyatu dalam dirinya. Sultan yang terkenal
dengan nama Muhammad Al-Fatih ini juga termasuk pemimpin yang memiliki
perhatian besar terhadap pendidikan dan para ulama. Hal ini terbukti dengan
para ulama yang melingkupi istananya dan dimuliakan olehnya. Sedangkan hari ini
jarang sekali pemimpin yang memperhatikan pendidikan dinegerinya.
Tak perlu lagi jauh-jauh keluar negeri.
Di Indonesia pun ada seorang pemimpin yang menjadi teladan para pengikutnya.
Belaiu adalah Muhammad Natsir yang menjabat sebagai pemimpin partai Masjumi.
Muhammad Natsir merupakan pemimpin yang terkenal dengan kesederhanaannya,
keikhlasan dan keistiqomahan beliau dalam menjalani kehidupannya yang terus
menerus ditentang oleh para pelaku kemungkaran di negeri ini. Karena hal itu
beliau pun harus menembus hutan belantara Sumatera dan bergabung dengan
orang-orang kampung untuk bersembunyi dari kejaran rezim Soekarno saat itu. Dan
tidak ada pemimpin di Indonesia ini yang berkarisma setelah beliau.
b.
Nasehat untuk para pemimpin
Seorang
pemimpin seharusnya mengetahui bahwa kepemimpinannya merupakan tanggung jawab
yang besar. Tanggung jawab tersebut bukan hanya ditunaikan di dunia saja, namun
juga akan ditanyakan di hari pengadilan Allah ﷻ yaitu pada hari kiamat. Jika
pemimpin sudah mengetahui hal ini, maka tak akan ada lagi adab yang
ditinggalkan atau pun kehancuran moral pemimpin yang suka mengedepankan hawa
nafsu.
Khalifah Ali Radhiyallahu ‘Anhu telah
memberikan sebuah nasihat emas kepada seorang gubernurnya dalam hal kepemimpinan.
Nasihatnya berisi prinsip-peinsip dasar tentang pengelolaan atau menejemen
sebuah pemerintahan, organisasi dan lain-lain. Nasihat ini ditunjukkan kepada
Malik bin Harits Al-Asytar selaku gubernur Mesir pada masa pemerintahan Khalifah
Ali R.a secara khusus. Dan secara umum nasehat ini ditunukkan kepada seluruh
pemimpin di penjuru dunia dan di setiap generasi. Berikut cuplikan nasehat
tersebut[8]:
“Ketahuilah wahai Malik bahwa aku telah
mengangkatmu menjadi seorang gubernur dari sebuah negeri yang dalam sejarahnya
berpengalaman dengan pemerintahan-pemerintahan yang benar maupun tidak benar.
Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaiman engkau
melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya
yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan
pandangan yang tajam.
Mereka akan berbicara tentangmu,
sebagaimana kau berbicara tentang mereka. Sesungguhnya rakyat akan berkata yang
baik-baik tentang mereka yang berbuat baik pada mereka. Mereka akan
‘menggelapkan’ semua bukti dari tindakan baikmu. Karenanya, harta karun
terbesar akan kau peroleh jia kau dapat menghimpun harta karun dari
perbuatan-perbuatan baikmu. Jagalah keinginan-keinginanmu agar selalu di bawah
kendali dan jauhkan dirimu dari hal-hal yang terlarang. Dengan sikap yang
waspda itu, kau akan mampu membuat keputusan di antara sesuatu yang baik atau
yang tidak baik untuk rakyatmu.
Kembangkanlah sifat kasih dan cintailah
rakyatmu dengan lemah lembut. Jadikanlah itu sebagai sumber kebijakan dan
berkah bagi mereka. Jangan bersiakap kasar dan jangan memilki sesuatu yang
menjadik milik dan hak mereka. Sesungguhnya mnusia itu ada dua jenis , yakni
orang-orang yang merupakan saudara seagama denganmu dan orang-orang yang
sepertimu.
Mereka adalah makhluk-makhluk yang
lemah, bahkan sering melakukan kesalahan. Bagaimanapun berikanlah ampun dan
maafmu sebagaimana engkau menginginkan ampunan dan maaf dari-Nya. Sesungguhnya
engkau berada diatas mereka dan urusan mereka ada di pundakmu. Sedangkan Allah
berada di atas orang yang mengangkatmu. Allah telah menyerahkan urusan merka
kepadamu dan menguji dirimu dengan urusan mereka.
Janganlah engkau persiapkan dirimu
untuk memerangi Allah, karena engkau tidak akan mampu menolak adzab-Nya dan
tidak mungkin dirimu akan meninggalkan ampunan dan rahmat-Nya.
Janganlah pernah menyesal atas ampunan
yang kau berikan. Begitupun janganlah bergembira dengan sebuah hukuman. Jangn
pula tergesa-gesa memutuskan atau melakukan semata karena emosi, sementara
engkau sebenarnya dapat memeperoleh jalan keluar.
Jangan katakan, “Aku ini telah diangkat
menjadi pemimpin, maka kau bisa memerintah dan harus ditaati” karena itu akan
merusak hatimu sendiri, melemahkan keyakinanmu pada agama dan menciptakan
kekacauan dalam negerimu. Bila engkau merasa bahagia dengan kekuasaan atau
malah merasakan semacam gejala rasa bangga dn ketakaburan, maka pandanglah
kekuasaan dan keagungan pemerintahan Allah atas semesta, yang kamu sama sekali
tak mampu kuasai. Hal itu akan meredakan ambisismu, mengekang
kesewenang-wenangan dan mengembalikan pikiranmu yang terlalu jauh.
Jangan sampai engkau melawan Allah
dalam keagungan-Nya dan menyerupai-Nya dalam kekuasaan-Nya. Sesungguhnya Allah
akan merendahkan setiap orang yang angkuh dan menghinakan setiap orang yang
sombing.
Senantiasa belajarlah segala sesuatu
hal pada mereka yang memiliki pengalaman yang matang dan penuh kebijakan.
Seringlah bertanya pada mereka tentang hal-hal kenegaraan sehingga engkau dapat
mempertahankan kebaikan dan perdamaian yang oleh para pendahulumu sudah pernah
ditegakkan.
Tajamkanlah matamu pada orang-orang
yang sejak dulu atau sekonyong dekat denganmu, akan cederung menggunakan
posisinya untuk mengambil atau mengorupsi milik dan hak orang lain dan siap berlaku tidak adil. Tekanlah sedalamnya
kecenderungan seperti itu.
Buatlah peraturan-peraturan di bawah
kendalimu yang tidak memberi kesempatan sekecil pada kerabatmu. Hal itu akan
mencegah mereka melakukan kekerasan pada hak orang lain dan menghindarkanmu
dari kehinaan Allah dan manusia umumnya.”
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Negara
Indonesia yang katanya telah merdeka 71 tahun yang lalu ini, ternyata belum
mampu memimpin rakyatnya dengan baik. Hal ini terbukti dengan perpolitikannya
yang masih mengedepankan sistem money politic. Sistem tersebut tetap
saja ada walaupun lembaga KPK telah tegak berdiri. Penyebab semua ini adalah
kurangnya pengetahuan dan pemahaman para pemimpin negeri ini tentang adab
berpolitik dalam Islam, agama mayoritas penduduk Indonesia.
Adab
yang ditinggalkan juga berujung pada perlombaan menjadi pemimpin. Banyak
orang-orang berbondong-bondong mendirikan partai politik demi menguasai dunia
perpolitikan Indonesia. Namun sayangnya adab berpolitik yang ditinggalkan juga
menyebabkan para politikus itu dengan semena-mena mencuri uang rakyat seperti
tikus yang meresahkan rakyat karena suka mencuri uang mereka. Selain itu mereka
juga sulit ditangkap karena membaur dengan rakyat dan mengmbar kata-kata manis.
Sisitem
demokrasi semkin menghancurkan politik negeri bumi pertiwi. Sisitem yang
berideologi sekuler ini sangat bertentangan dengan sistem Islam dalam mengatur
kenegaraan. Indonesia telah meninggalkan Islam dalam menjalankan roda
perpolitkan dan lebih memilih demokrasi sebagai jalan hidup. Oleh sebab itu,
tak ada yang bisa diraih oleh Indonesia selain kesengsaraan rakyatnya yang
bertubi-tubi.
Keteladanan
sangat diperlukan dalam berbagai aspek. Terutama dalam masalah kepimimpinan.
Karena hari ini, hal tersebut menghilang dari peredaran. Tidak ada yang patut
dijadikan contoh oleh rakyat jika para pemimpinnya saja selalu melanggar aturan
yang mereka buat sendiri. Maka, sudah sepatutnya kita kembali kepada pelajaran
sejarah kejayaan yang dicapai oleh umat Islam dengan para pemimpinnya yang
hebat. Untuk kemudian kita coba aplikasikan cara mereka dalam mencapai kejayaan
pada masa kini dengan semampu kita. Tak ada harapan yang lebih patut diharapkan
sebagai seorang hamba terhadap Rabbnya dalam membentuk sebuah negara kecuali
mengaharap agar negerinya menjadi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (negeri
yang baik yang mendapat ampunan Allah ﷻ).
B.
Saran
Kita
sebagai umat Islam yang mendominasi rakyat Indonesia, hendaknya memposisikan
diri sebagai pemimpin yang baik. Walaupun kita belum tentu akan menjadi seorang
pemimpin negeri ini. Gagalnya politik indonesia dalam memimpin rakyatnya,
sebaiknya tidak menjadi alasan bagi umat Islam untuk tidak bangkit. Dengan
mengetahui adab berpolitik yang benar berarti kita juga mengetahui bagaimana
adab seorang pemimpin ketika memimpin rakyatnya. Mendahulukan kepentingan umat
di atas kepentingan pribadi dan kelompok adalah kunci suksesnya seorang
pemimpin. Karena sejatinya kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Jika
kita mampu memimpin diri sendiri, maka kita pun akan mampu memimpin orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Qur’an in MS Word,
version 2.2.0.0, 2013
Tim Penyusun dari
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008)
As-Suyithi, Imam, Tarikh
Khulafa’: Sejarah Para Khalifah, alih bahasa: Muhammad Ali Nurudin,
cet. I, (Jakarta: Qisthi press, 2015)
Hidayat, Nuim, Agar
Batu Bata Menjadi Rumah Yang Indah, cet. I, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar,
2014)
Artawijaya, Belajar
Dari Partai Masjumi, cet. I, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar: 2014)
Al-Maqdisi, Syaikh
Abu Muhammad ‘Ashim, Agama Demokrasi Pilih Islam Atau Demokrasi?, alih
bahasa: Ustadz Abu Musa Ath-Thayyaar, (Klaten: Kafayeh Cipta Media)
https://nugrohonotes.wordpress.com/2009/12/03/kegagalan-fungsi-parpol-indonesia/# (diakses tanggal: 22 April 2016, jam: 20.20 WIB)
http://esterkusumanegara.blogspot.co.id/2011/07/dampak-terlalu-banyaknya-parpol.html (diakses pada: 31 Mei 2016, jam: 15.00
WIB)
https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi (diakses pada: 31 Mei 2016, jam: 15.00
WIB)
https://www.islampos.com/enam-sifat-umar-bin-khattab-46023/ (diakses pada: 31 Mei 2016, jam: 15.00
WIB)
http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2015/05/kepemimpinan-khalifah-ali-bin-abi.html (diakses pada: 31 Mei 2016, jam: 15.00
WIB)
http://www.kumpulanmisteri.com/2015/07/5-kemiripan-koruptor-dengan-tikus.html (diakses pada: 31 Mei 2016, jam: 15.00
WIB)
[1]
(https://nugrohonotes.wordpress.com/2009/12/03/kegagalan-fungsi-parpol-indonesia/#) diakses tanggal: 22 April 2016, jam: 20.20 WIB
[2] http://esterkusumanegara.blogspot.co.id/2011/07/dampak-terlalu-banyaknya-parpol.html
(diakses pada: 14 Mei 2016)
[4]
Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al-Maqdisi, Agama Demokrasi Pilih Islam Atau
Demokrasi?, alih bahasa: Ustadz Abu Musa Ath-Thayyaar, (Klaten: Kafayeh
Cipta Media) hal:40
[6] Tim Penyusun dari Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008) hal. 9
[7] Imam
As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, alih bahasa: Muhammad Ali Nuruddin, cet.
I, (Jakarta: Qisthi Press, 2015), hal: 191
[8] Nuim Hidayat, Agar Batu Bata Menjadi
Rumah Yang Indah, cet. I (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), hal: 167-169
Oleh : Eva Zulaikha
0 komentar:
Posting Komentar