BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang masalah
Dunia semakin menjadi. Moral dan perilaku anak manusia
semakin tak terkendali seiring bumi yang semakin renta. Hedonisme menjelma
menjadi pola hidup yang perlahan dituhankan. Banyak manusia yang menganggap
kehidupan hanyalah di dunia dan segala perilaku tak akan dipertanggung
jawabkan.
Mayoritas manusia mengukur kesuksesan
adalah pekerjaan
yang baik dan kehidupan yang mapan. Tidak sedikit orang yang mencurahkan
seluruh perhatiannya pada pekerjaan, bonus, dan honor. Ada juga manusia yang
menghabiskan sebagian besar waktunya demi ilmu yang kadang tidak bermanfaat. Ia
tenggelam dalam kesibukan mencari ijazah.
Parahnya, mereka melakukan itu semua hingga membuat
meraka menomor sekiankan ibadah. Padahal jelas, itu bukanlah hakikat kesuksesan
yang sesungguhnya. Dan jika kita merenungi kitab-Nya, maka kita akan dihadapkan
dengan konsep kesuksesan nyata dan hakiki. Berangkat dari kenyataan ini,
penulis berinisiatif menyusun makalah yang berjudul, “Konsep Pribadi Sukses
menurut QS. Al-Ashr”.
B. Rumusan
masalah
Apa konsep pribadi sukses menurut QS. Al-Ashr ?
C. Tujuan
penulisan
Mengetahui konsep pribadi sukses menurut QS. Al-Ashr
D. Manfaat
penulisan
a.
Secara teoritis
Memahami konsep pribadi sukses
menurut QS. Al-Ashr
b.
Secara praktis
Mengaplikasikan konsep pribadi
sukses menurut QS. Al-Ashr dalam kehidupan nyata.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
sukses
Menurut KBBI, sukses berarti berhasil atau beruntung.
Adapun menurut Alqur’an, makna kesuksesan termaktub dalam
QS. Al-Ashr. Allah berfirman, “...Sungguh manusia berada dalam kerugian.
Kecuali orang-orang yang beriman, beramal sholih, saling menasehat dalam
kebenaran, dan saling menasehat dalam kesabaran.” (QS. Al-Ashr : 2-3).
Sukses dalam Alqur’an yaitu mereka yang selamat dari
kerugian, dengan beriman, beramal sholih, saling menasehat dalam kebenaran, dan
saling menasehat dalam kesabaran. Kerugian yang dimaksud adalah kerugian ganda,
yakni kerugian dunia dan akhirat. Dengan begitu, berarti makna sukses pun juga
berarti ganda, yakni kesuksesan dunia dan kesuksesan akhirat. Dari definisi di
atas, maka jelas, bahwa sukses menurut Alqur’an merupakan makna kesuksesan yang
hakiki.
B. Makna QS.
Al-Ashr
Al-Ashr merupakan sebuah surah dalam Alqur’an yang diturunkan
oleh Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad. Surah Al-Ashr termasuk golongan surah
Makiyyah, dan menempati urutan ke-103 dari 114 surah di Alqur’an.
Surah Al-Ashr terdiri dari 3 ayat. Meski sangat singkat,
namun kandungan surah ini sungguh padat. Bahkan, tentang surah ini Imam Syafi’i[1]
pernah berkata,
لو ما أنزل الله حجّة عَلَى خَلْقِهِ إلاّ هذه
السّورة لكفتهم
“Kalaulah Allah tidak menurunkan suatu
hujjah pun kepada makhluk-Nya kecuali surah ini (Al-Ashr), maka cukuplah itu
bagi mereka.”
Surah Al-Ashr dibuka dengan sumpah Allah dengan salah
satu makhluk-Nya yakni Al-Ashr. Al-Ashr secara bahasa berarti masa, yakni zaman
yang dilalui oleh manusia.[2]
Namun, ulama tafsir berbeda pendapat tentang makna ‘al-ashr’. Rasulullah pernah
bersabda,
لا تسبّوا الدّهر فإنّ الله هو الدّهر
“Janganlah kalian mencela masa, karena sesungguhnya Allah
adalah masa.” (HR. Muslim)
Imam Nawawy menjelaskan maksud hadits tersebut, bahwa
termasuk kebiasaan orang-orang Arab saat tertimpa suatu kejadian yaitu mencela
masa. Maka Rasulullah mensabdakan hadits tersebut, “..karena sesungguhnya
Allah adalah masa” yang berarti, karena sebenarnya Allah lah yang membuat
kejadian-kejadian itu terjadi.[3]
Hadits tersebut menunjukkan betapa besar makna ‘al-ashr’
di sisi Allah. Dan tidaklah Allah bersumpah dengan sesuatu yang besar melainkan
untuk mengabarkan suatu hal yang besar pula.
Maka pada ayat selanjutnya, Allah berfirman, sebagai
jawaban dari sumpah-Nya tersebut,
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْر
“Sungguh, manusia berada dalam kerugian.”
Allah bersumpah dengan makhluk-Nya yang agung yaitu masa,
guna mengabarkan pada manusia bahwa seluruh manusia –sungguh berada dalam
kerugian. Sungguh sebuah kabar yang begitu besar lagi menakutkan bagi umat
manusia. Karena hakikatnya, naluri manusia adalah menginginkan kesuksesan dan
terhindar dari kerugian.
Namun tidak
berhenti sampai disitu, pada ayat selanjutnya Allah berfirman,
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر
“...kecuali mereka yang beriman, beramal sholih, saling
menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.”
Ayat selanjutnya dari surah Al-Ashr berisi pengecualian.
Dan tidaklah Allah membahas sesuatu kecuali tuntas. Maka bisa dipahami bahwa,
jika seorang manusia berhasil melakukan keempat syarat di atas, niscaya ia akan
selamat dari kerugian. Seorang yang berhasil selamat dari kerugian inilah yang
kemudian memperoleh gelar sebagai ‘pribadi sukses’.
Berdasar dari ayat di atas, maka konsep pribadi sukses
terdiri dari empat hal, yaitu ;
1.
Beriman
2.
Beramal sholih (sholih pribadi)
3.
Bernasehat dalam kebenaran (sholih sosial)
4.
Bernasehat dalam kesabaran (berkomitmen)
C. Konsep
pribadi sukses
Setelah mengetahui sekelumit tentang surah Al-Ashr, maka
inilah konsep pribadi sukses yang terkandung dalam surah tersebut ;
1.
Beriman (yakin yang dibangun di atas ilmu)
Pada ayat
kedua, Allah berfirman,
“kecuali orang-orang yang
beriman...”
Konsep
kesuksesan yang pertama yakni iman. Iman merupakan kunci pertama kesuksesan
seseorang. Ibarat kompetisi, iman adalah kartu pesertanya.
Iman
menurut bahasa yakni keyakinan. Keyakinan yang dimaksud bukan hanya sekedar
yakin, namun haruslah keyakinan yang dibangun atas dasar pengetahuan, sehingga
berujung pada pengaplikasian.
Ust. Abu
Fatiah Al-Adnani (2011) mengatakan, “Keyakinan yang dibangun di atas ketidak
tahuan akan berujung pada kesesatan, sedangkan pengetahuan yang tidak berujung
pada keyakinan, maka selamanya akan gelap dan tidak bisa dirasakan.” Maka
untuk menjadi pribadi sukses, seseorang butuh mengkorelasikan antar keduanya.
Iman
kepada Allah adalah syarat mutlak selamatnya seseorang di akhirat. Manusia
tanpa iman layaknya seorang pelari tanpa nomor peserta. Sekencang, sedisiplin,
dan segagah apapun ia berlari untuk mencapai garis finish, hal itu akan sia-sia.
Tak akan ada seorangpun yang mengakui kemenangannya, tak akan ada sedikitpun
penghargaan atas kerja kerasnya. Yang ada saat itu hanyalah pengandaian. ‘Andai
dia termasuk peserta, pasti dia pemenangnya...’ ‘Andai aku mendaftar dalam
kompetisi ini, tentu aku akan mendapat penghargaan...’ Namun, waktu telah
habis, pengandaian itu hanyalah sia-sia belaka, karena saat itu, amalan-amalan
yang dulu pernah dilakukannya, tak ubahnya seperti debu yang berterbangan.
Allah berfirman,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ
هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami
akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan
jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”[4]
Ibarat
sebuah pohon yang sempurna dengan akar, batang, dan dedaunannya, iman pun
demikian. Iman terdiri atas ushul iman, iman wajib, dan iman kamil, yang jika
terangkum semua itu dalam diri seorang mukmin, akan sempurnalah imannya.
Ushul iman
(akar iman) adalah tauhid. Tauhid adalah kartu seri, nilainya sejajar dengan
nilai sebuah kartu peserta pada suatu kompetisi. Dengan tauhid, seorang pendosa
pun akan berkesempatan untuk menempati jannah setelah tuntas masa hukumannya.
Tingkatan
iman yang kedua adalah iman wajib. Konsekuensi dari iman ini adalah mendirikan
ibadah-ibadah yang bersifat wajib, serta menjauhi dosa-dosa besar. Maka seorang
muslim yang berzina, ia tidak serta merta dihukumi kafir secara mutlak. Namun,
ia kafir dari iman wajib. Begitupun seorang muslim yang melakukan pencurian,
atau pembunuhan.
Contoh
lain dari iman wajib ini adalah sholat dan zakat. Seorang muslim yang telah
menunaikan keduanya, berarti ia telah mecapai tingkatan iman ini. Dalam
Al-Qur’an, Allah selalu menggabungkan dua perintah ini. Salah satu hikmahnya
adalah, bahwa Islam merupakan agama yang penuh rahmat. Melalui ayat-ayat
tersebut, Allah memerintahkan manusia agar hidup seimbang. Sholat adalah
hubungan vertikal seorang hamba kepada Allah, sedangkan zakat adalah hubungan
horizontal seorang hamba kepada sesamanya, yang juga bernilai ibadah. Termasuk
dari iman wajib juga adalah birrul walidain, puasa Ramadhan, dan
syari’at-syari’at wajib yang lainnya.
Iman yang
paling tinggi tingkatannya adalah iman mandub, atau iman kamil. Iman kamil
adalah seorang muslim yang tidak hanya menjaga kemurnian tauhidnya kepada Allah
dan menunaikan perkara-perkara wajib serta menjauhi segala jenis dosa, namun ia
juga menjaga ketaatannya dengan perkara-perkara sunnah dan berusaha menjaga
diri dari hal-hal yang makruh.
Maka,
tingkat kesuksesan seseorang pun juga ditinjau berdasar kualitas imannya.
Semakin tinggi tingkatan iman seseorang, semakin berpotensi pula ia mencapai
kesuksesan. Namun tetap, semua itu harus berlandaskan ilmu pengetahuan.
2.
Beramal sholih (sholih pribadi)
Setelah
iman, konsep kesuksesan yang kedua adalah beramal sholih. Allah berfirman,
“...dan
yang beramal sholih...”
Beramal
sholih merupakan cermin dari iman. Menurut KBBI, amal sholih adalah perbuatan sungguh-sungguh dalam
menjalankan ibadah atau menunaikan kewajiban agama. Syarat sah amal sholih adalah ikhlas dan ittiba’
rosul (mengikuti ajaran Rasulullah).[5]
Maka, kedua hal tersebut harus senantiasa ada dan tidak boleh terlepas dari
diri seseorang.
Iman dan
amal sholih adalah kesempurnaan pribadi. Dan untuk benar-benar meraih
kesuksesan yang sesungguhnya, kesempurnaan pribadi tidaklah ada artinya jika
tidak diiringi dengan kesempurnaan sosial.
Jenis amal
sholih yang ditawarkan dalam Islam sangatlah banyak, bahkan tak terhitung.
Namun, Rasulullah menasehatkan pada ummatnya, bahwa amal yang terbaik bukan
terletak pada beratnya amal atau sedikitnya orang yang melakukannya, melainkan
pada komitmen seseorang melakukan amalan tersebut.
Maka,
untuk menjadi pribadi sukses, hendaklah seseorang memiliki amalan andalan.
Amalan yang ia berkomitmen dalam mengerjakannya.
3.
Bernasehat dalam kebenaran (sholih sosial)
Setelah
sholih secara pribadi, maka konsep kesuksesan selanjutnya yakni bernasehat dalam kebenaran. Allah
berfirman,
“...dan
mereka yang saling nasehat-menasehati dalam kebenaran..”
Bernasehat
dalam kebenaran merupakan bentuk kesholihan seseorang secara sosial. Wujud dari
kesholihan secara sosial yakni saling menasehati dalam kebenaran, berdakwah,
beramar makruf nahi munkar, dan memperbaiki manusia. Alqur’an mengistilahkan
golongan ini dengan istilah ‘mushlih’, yakni orang yang melakukan perbaikan.
Pribadi
mushlih sangat tinggi derajatnya di sisi Allah. Bahkan dalam tweetnya,
Syaikh Abdul ‘Aziz At-Thorifi menuturkan,
“Umat ini
dijaga oleh Allah karena adanya mushlihin (orang yang melakukan perbaikan),
bukan karena adanya orang-orang shalih. Satu orang mushlih lebih dicintai oleh
Allah daripada seribu orang yang shalih, sebab dengan adanya mushlih, Allah
menjaga seluruh umat dari adzab (dunia), dan orang shalih hanya bisa menjaga
dirinya sendiri, tanpa orang lain.”[6]
Pernyataan
beliau ini senada dengan firman Allah,
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ
وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ
“Dan
Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang
penduduknya orang-orang yang melakukan perbaikan (mushlihun)”. (QS. Hud: 117).
Pribadi
yang sukses pantang bermental egois. Maka, Allah mengajarkan, sekaligus
mensyaratkan pada manusia yang berkeinginan menjadi pribadi yang sukses agar
tidak hanya menjadi seorang sholih, namun juga mushlih.
Maka,
untuk menjadi pribadi yang sholih secara sosial, seseorang hendaknya ;
-
Terlibat dalam semua proyek kebaikan
-
Terlibat dalam semua proyek nahi munkar
Kendati sangat dianjurkan, namun Allah juga memperingatkan manusia agar
berhati-hati dalam melakukan hal tersebut. Allah dalam salah satu ayatnya
mengingatkan,
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا
تَفْعَلُونَ
“(itu) sangatlah dibenci Allah, jika kamu mengatakan apa yang kamu sendiri
tidak kerjakan.” (QS. As-Shoff : 3)
Pada ayat di atas, Allah sungguh memperingatkan para hamba-Nya agar jangan
sampai seseorang mendakwahkan sesuatu kepada orang lain yang bahkan ia sendiri
pun tidak mengamalkan hal tersebut. Disamping mendapat kecaman dari Allah,
menyuruh orang lain untuk berbuat baik tanpa memperbaiki diri sendiri sama saja
dengan memaksa cermin untuk menampakkan sisi lain dari diri kita. Mustahil.
4.
Bernasehat dalam kesabaran (komitmen)
Tolak ukur
kesuksesan seseorang tidaklah terletak saat ia beramal, atau saat ia
mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Namun kesuksesan seseorang dilihat pada
akhir hayatnya. Jika seluruh konsep kesuksesan ini berhasil dicapainya hingga
akhir masa hidupnya, maka barulah ia bisa dikatakan sukses.
Hal itu
dikarenakan, dalam menggapai kesuksesan, manusia akan mengalami banyak sekali
hambatan. Dalam mencapai kesuksesan, hambatan adalah sesuatu yang pasti. Hal
ini dinyatakan Allah dalam firman-Nya,
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ
يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
وَلَقَدْ فَتَنَّا
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا
وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan mengatakan ‘kami beriman’
sementara mereka belum diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang
sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang jujur diantara
mereka dan orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut : 2-3)
Kunci kesuksesan pertama adalah iman. Pada ayat tersebut Allah menekankan
bahwa hambatan (ujian) pasti akan ditimpakan kepada orang yang berusaha
mencapai kesuksesan. Karena, dengan itulah Allah mengetahui mana diantara
hamba-Nya yang benar-benar jujur dalam meraih kesuksesan dan mana diantara
mereka yang berdusta.
Hambatan (ujian) yang dimaksud beragam rupa. Bahkan ia tidak hanya berupa
kesusahan, namun juga kesenangan. Jenis ujian kedua inilah yang banyak
membutakan manusia. Dan istiqomah merupakan satu-satunya kunci bagi seseorang
yang ingin senantiasa berada dalam jalan kesuksesan ini.
Maka,
Allah menutup konsep kesuksesan yang terkandung dalam surah Al-Ashr ini dengan
firman-Nya,
“...dan
mereka yang saling bernasehat dalam kesabaran.”
Seperti
pemaparan sebelumnya, istiqomah adalah kunci utama seseorang bertahan. Maka,
untuk mendapatkan keistiqomahan, sabar adalah jalannya. Sabar merupakan rahasia
terbesar seseorang dapat istiqomah berada di atas keimanan, kesholihan, dan
kemushlihan. Bersabar berarti bersikap tenang dalam segala kondisi dan
berkeyakinan bahwa suatu saat ia akan memetik hasilnya.
Dalam ayat
di atas, Allah menasehatkan pada manusia, agar mereka senantiasa saling
bernasehat dalam hal kesabaran. Yakni, bersabar dalam mengerjakan ketaatan pada
Allah, menjauhi larangan-Nya, dan dalam menerima seluruh takdir-Nya.
Ujung dari
sabar adalah istiqomah. Dan dengan istiqomah, berarti seseorang telah memenuhi
empat konsep kesuksesan. Kesuksesan hakiki dan bukan sekedar kesuksesan
duniawi. Sukses yang diakui oleh Allah. Sukses dengan jannah sebagai
penghargaan tertinggi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sudah menjadi naluri
manusia untuk mengejar kesuksesan dalam hidupnya. Namun sayangnya, tidak banyak
manusia yang memahami akan hakikat kesuksesan yang sesungguhnya. Dalam QS.
Al-Ashr, Allah menjelaskan secara ringkas dan padat konsep meraih kesuksesan
hakiki tersebut.
Dalam tiga ayat yang
sangat singkat tersebut Allah menjelaskan, bahwa seluruh manusia adalah berada
dalam kerugian. Selurunhnya. Hanya orang-orang yang beriman, beramal shalih,
saling menasehat dalam kebenaran, dan mereka yang saling menasehat dalam
kesabaranlah manusia yang akan selamat dari kerugian tersebut. Maka, inilah
kelompok manusia sukses.
Kerugian yang diniscayakan
oleh Allah merupakan kerugian ganda, dunia dan akhirat. Maka, begitu pula
mereka yang sukses (selamat dari kerugian). Mereka adalah para manusia yang
tidak hanya sukses di dunia, maupun di akhirat.
B. Saran
Sebagai seorang manusia,
seorang muslim yang menginginkan sebaik-baik tempat kembali dan sebenar-benar
kesuksesan, maka alangkah baiknya jika melakukan keempat hal yang termaktub
dalam QS. Al-Ashr tersebut. Yakni beriman dengan sebenar-benar iman, senantiasa
melazimi amal sholih, saling menasehat dalam kebenaran, dan bersabar untuk
tetap istiqomah. Semoga sukses!
DAFTAR
PUSTAKA
Alqur’anul Karim
At-Taimi, Syaikh Utsman bin Abdul Aziz bin Manshur. 1425 H. Fathul Majid.
Makkah : Darul Ilmil Fawaid
Az-Zuhaili, Dr. Wahbah. 2011. At-Tafsir Al-Munir.
Damaskus : Darul Fikr
Bin Sulaiman, Muhammad bin Abdul Wahhab. 1427 H. Ushuluts
Tsalatsah. Saudi : Wizarah Syu’unil Islam
Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jogjakarta : Gramedia Pustaka Utama
http://fatwa.islamweb.net
http://www.dorar.net
[1]
Muhammad bin Abdul Wahhab bin
Sulaiman, Syarh Ushul Tsalatsah, (Saudi : Wizarah Syu’unil Islam, 1427
H), hlm. 36
[2]
Dr. Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir
Al-Munir, (Damaskus : Darul Fikr, 2011), juz 15, hlm. 789
[4]
QS. Al-Furqon : 23
[5]
Syaikh Utsman bin Abdul Aziz bin Manshur At-Taimi, Fathul Majid,
(Makkah : Darul Ilmil Fawaid, 1425 H), hlm. 74
[6]
http://wahdah.or.id/antara-orang-shalih-dan-mushlih-untaian-tweet-syaikh-abdulaziz-al-tharifi/, diakses pada 5 Desember 2015 pukul 10:02
By : Hajar Huwaida
0 komentar:
Posting Komentar