Rabu, 17 Agustus 2016

Pola Ijtihad Al-Qordhowi dalam Hukum Safar Wanita Tanpa Mahram


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah
Syariat Islam adalah syariat yang syumul. Islam memiliki dua pilar esensial,  kedua pilar ini mungkin tidak asing dikalangan kita, yaitu aqidah dan syariah. Syariah yaitu aspek teoritis (nazari) yang harus diyakini kebenarannya tanpa reserve oleh setiap muslim, sedangkan syari’ah  merupakan aspek praktis (amali)
yang memuat aturan-aturan yang harus dipatuhi seorang muslim dalam kehidupannya, baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun antar sesama manusia.
Syariah memilki  aspek esensial yaitu fiqih. Fiqih yaitu segala hal yang berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf. Imam Ay-Syairazy ( 2012: 6) menyebutkan  dalam kitabnya Alluma’ fi al-Ushul bahwa fiqih yaitu segala bentuk hukum yang diketahui dengan jalan ijtihad, hal ini berkaitan dengan ibadah amaliyah.  Dalam kesempatan lain, Abdul Wahab Khallaf ( 2013: 9) menyebutkan bahwa fiqih adalah kumpulan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Fiqih sempat mengalami masa pembekuan. Masa tersebut digambarkan bahwa ijtihad pada masa itu ditutup rapat meski  saat itu banyak ulama yang memiliki kecakapan yang lebih dalam ijtihad dibandingkan ulama kontemporer yang ada saat ini. Hal tersebut menjadikan fikih stagnan, padahal zaman semakin berkembang sehingga memunculkan berbagai masalah pelik yang butuh akan sebuah penyelesaian.
Terdorong karena keadaan tersebutlah, para ulama kontemporer mencurahkan usahanya untuk memenuhi kebutuhan zaman. Proses pengerahan usaha yang dilakukan oleh para mujtahid untuk mendapatkan hukum kontemporer itulah yang disebut dengan ijtihad. Hal ini seirama dengan apa yang diungkapkan oleh imam asy-Syatibi dalam al-Muwafaqatnya, “ Ijtihad yaitu usaha seorang mujtahid dengan cara mencurahkan segala usahanya untuk mendapatkan hukum syar’i”. (Asy-Syatibi, 2004: 774)
Imam al-qardhawi, seorang ulama kontemporer bermadzhabkan Hanafy  untuk menjawab tantangan zaman membentuk sebuah metode ijtihad atau dapat kita sebut dengan tahqiq manath untuk menetapkan hukum kontemporer. Hanya saja, hasil atau hukum matang yang al-Qardhawi tetapkan terkadang menyelisihi yurisprudensi  ulama salaf. Dari sanalah, timbul pertanyaan dibenak penulis mengenai metode ijtihad imam al-qardhawi yang kemudian akan penulis kaji terkhusus pada masalah hukum safar wanita tanpa mahram, yang dirasa jauh berbeda dengan yurisprudensi para ulama sekaliber imam asy-Syafi’i. 
1.2. Rumusan Masalah:
        Bagaimana pola ijtihad beliau dalam masalah hukum safar wanita?
1.3.          Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pola ijtihad al-Qarhawi dalam masalah hukum safar wanita.
1.4.                Manfaat Penelitian
1.      Secara Teoritis
a. Menjadi bahan masukan bagi pihak yang berkompeten atau berkeinginan melakukan penalaran fikih.
b.  Sumbangan karya ilmiyah bagi perkembangan ilmu pengetahuan, baik dikalangan akademisi maupun masyarakat luas pada umumnya.
2. Secara Praktis
a. Sebagai tambahan kepustakaan bagi mahasiswa Hidayaturrahman dalam mata kuliah ushul fikih dan fiqh al-nawazil serta masyarakat ilmiah umumnya, dalam upaya merangsang dan melebarkan gerak ijtihad yang lebih bertanggung jawab dan lebih berhasil guna serta merealisasikan slogan Islam Sholihun likulli Zaman wa Makan.




BAB II
LANDASAN TEORI

Berbicara mengenai ijtihad merupakan perkara yang urgent. Sebab, banyak diantara kita yang masih terkungkung dengan paradigma tertutupnya ijtihad. Adapun faktanya, ijtihad masih terus berkelindan hingga saat ini dan negara yang pesat pemikiran ijtihadnya adalah London. Bukan Arab.
Ijtihad merupakan upaya seorang mujtahid dengan cara mengerahkan segala kemampuan yang ia miliki untuk mengeluarkan hukum yang tidak ada dalil sharih yang menjelaskanya. - Imam Asy-Syatibi menjelaskan dalam magnum opusnya “ Al-Muwafaqaat” bahwa ijtihad adalah mengerahkan segala kesungguhan dan usaha untuk mengetahui hukum syar’I dan merealisasikanya dalam amal nyata. (asy-Syatibi, 2004: 774).
2.1. Konsep Ijtihad Kontemporer  Menurut al-Qardhawy
 Sebelum kita berbicara jauh mengenai pola ijtihad al-Qardhawi seharusnya kita tahu pengertian ijtihad terlebih dahulu. Secara etimologi, ijtihad bersumber dari akar kata jahada ( جھد ), berarti kesulitan atau kesusahan.(Abu Husain, 1979 dalam Mendra Siswanto, 2011: 47). Yusuf al-Qardhawi menambahkan dalam kitabnya “al_Ijtihad fi Syari’ah al-Islamiyyah” (1996: 13), dari sudut ilmu sharaf, kata ijtihad bentuknya mengikuti wazan (timbangan) ifti’al ( افتعال ), yang menunjukkan arti berlebih ( مبالغة ) dalam melaksanakan suatu perbuatan.
 Adapun pengertian ijtihad secara istilah, al-Qardhawi (1996: 13) memberikan pengertian ijtihad sebagaimana yang dikemukakan oleh imam asy-Syaukani  dalam kitabnya ”Irsyadu Fuhul “ yaitu mengerahkan kemampuan dalam menemukan hukum syar’I yang bersifat praktis dengan jalan istinbath. (asy-Syaukani, 1996: 5 )
Adapun ijtihad kontemporer, Imam al-Qardhawi menyebutkan dalam karya beliau “ al-Ijtihad” bahwa ijtihad pada masalah kontemporer memiliki 3 macam, yaitu:
·                     Ijtihad intiqa’i ialah usaha dalam memilih satu pendapat yang terkuat    dari beberapa pendapat yang terdapat dalam warisan fiqih Islam. (al-Qardhawi, 1995: 4)
Metode ijtihad ini berusaha melakukan komparatif terhadap pendapat-pendapat tersebut dan meneliti kembali dalil-dalil nash atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan sandaran pendapat itu sehingga pada akhirnya dapat dipilih pendapat yang terkuat dalilnya atau alasannya pun sesuai dengan kaidah tarjih. Substansi ijtihad intiqa'i sebenarnya sudah lama dikenal ulama yang lazim disebut dengan ijtihad tarjihi, yaitu seorang mujtahid melakukan ijtihad dengan mengkomparatifkan hasil-hasil ijtihad ulama dalam mazhab tertentu dan memilih pendapat yang terkuat dengan melakukan tarjih. Hanya saja terdapat perbedaan antara ijtihad intiqa'i yang dimunculkan oleh Qardhawi dengan ijtihad tarjihi tersebut. Dalam ijtihad tarjihi yang dikomparatifkan adalah pendapat-pendapat para ulama dalam kalangan mazhab tertentu, sedangkan dalam ijtihad intiqa'i yang dikomparatifkan bukan pendapat ulama dalam mazhab tertentu, tetapi dari berbagai mazhab. Dalam ijtihad intiqa'i, seorang mujtahid berusaha melepaskan diri dari kungkungan mazhab tertentu, tidak seperti yang dilakukan mujtahid murajjih.
Adapun kriteria yang digunakan untuk melakukan tarjih, menurut al-Qardhawi seperti berikut:
1/  Mempunyai relevansi dengan kehidupan sekarang
 2/ Lebih memprioritaskan untuk merealisasikan maksud-maksud syara‟
 3/ Untuk kemaslahatan manusia
 4/ Menolak bahaya. (al-Qardhawi,  1985:  120-121 dalam Repelita,  t.th:  7)
·         Ijtihad Insya’i yaitu pengambilan konklusi hukum baru dari suatu persoalan yang belum pernah diperkenalkan oleh ulama-ulama terdahulu.
·         Diantara dua bentuk ijtihad diatas terdapat ijtihad integrative, yaitu memilih pendapat para ulama terdahulu yang dianggap  lebih relevan dan kuat, namun terkadang ditambah dengan unsur ijtihad baru yang muncul akibat adanya kemajuan ilmu dan teknologi.  (al-Qardhawi, 1985: 47 dalam Mendra Siswanto, 2011: 64)
2.2. Prinsip Ijtihad al-Qardhawy
Dalam melakukan suatu ijtihad, Imam al-Qardhawi memilki beberapa prinsip yang senantiasa beliau lazimi. Hal ini ditujukan agar  ijtihad yang beliau kemukakan sesuai dengan procedural Syar’i. Dia berpegang pada prinsip bahwa nash berlaku umum selama tidak ada dalil yang mentakhsisnya, menghormati consensus para ulama yang pasti kebenaranya, mengfunsikan analogi yang benar (qiyas), Mempertimbangkan tujuan dan manfaat (maqashid syariah). Oleh karena itu, beliau mengatakan bahwa tempat terjadinya ijtihad ada pada dalil yang tidak termasuk kategori qath’I tsubut maupun dalalah, baik permasalahan tersebut berupa permasalan ushuliyah maupun I’tiqdhiyah. (Al-Qardhawi, 1996: 67)




BAB III
POLA IJTIHAD AL-QARDHAWI DALAM HUKUM SAFAR WANITA TANPA MAHRAM

Pada dasarnya, untuk mendapatkan aplikasi beliau terhadap konsep ijtihad yang beliau tawarkan untuk menjawab tantangan zaman sangatlah banyak. Kita dapat menemukanya diberbagai literature ilmiyah karangan beliau, diantaranya pada kitab al-Ijtihad dan Fiqih Aqaliyyah Muslimah.
  Pada kesempatan kali ini penulis hanya memaparkan satu hasil ijtihad beliau yang berkaitan dengan kebolehan seorang wanita bersafar sendirian dengan jarak safar yang jauh berdalilkan  kondisi ril sekarang yang sudah relative aman.
3.1. Istidlal al-Qardhawi dalam Hukum Safar Wanita tanpa Mahram al-Qardhawi
Al-Qardhawi, sebagai seorang ulama kontemporer yang mengerti akan seluk-beluk ijtihad tidak akan mungkin berijtihad dengan hawa nafsu. Tentunya, ijtihad yang beliau lakukan disandarkan pada dalil-dalil yang dapat diakui keontetikanya. Terkhusus dalam masalah hukum safar wanita, al-Qardhawi memberikan kelonggaran hukum yaitu dengan fatwa diperbolehkanya seorang wanita bersafar sendirian tanpa mahram.
Mengenai hal diatas, al-Qardhawi menyebutkan bahwa yang menjadi dalil diperbolehkannya wanita bepergian tanpa disertai muhrim –apabila keadaan aman—atau bersama dengan orang-orang yang dapat dipercaya ialah:
Pertama : apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya bahwa Umar Radhiyallahuanhu mengizinkan istri-istri Nabi shalallahu’alaihi wa salam untuk menunaikan kewajiban haji mereka yang terakhir, lalu Umar mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf, dan Istri-istri Nabi shalallahu’alaihi wa salam sepakat untuk melakukan hal itu tanpa ada seorang pun sahabat yang mengingkarinya. Dengan demikian, hal ini dianggap sebagai ijmak.
Kedua : Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari hadits Adi bin Hatim, bahwa Nabi SAW bercerita kepadanya mengenai masa depan Islam dan perkembangannya, menjulangnya menara islam di muka bumi, diantara yang beliau katakan  ialah :
“Kelak akan ada wanita dari kota Hirah (Irak) yang pergi mengunjungi Baitullah tanpa disertai suami, dengan tidak merasa takut kecuali kepada allah.” (HR. Bukhori)
Kabar tersebut tidak semata-mata menunjukkan akan terjadinya peristiwa itu, bahkan lebih dari itu, yakni menunjukkan diperbolehkannya wanita pergi haji tanpa disertai suami bila memang kondisinya aman. Karena hadits ini beliau ucapkan dalam rangka memuji perkembangan Islam dan keamanannya.(al-Qardhawi, 1996: 335 dalam Mendra Siswanto, 2011: 117)
Mengenai masalah ini al-Qardhawi mengemukakan dua kaidah penting, yaitu :
Pertama : Pada prinsipnya hukum-hukum muamalah itu melihat kepada makna dan maksud (tujuannya). Berbeda dengan hukum-hukum ibadah, yang prinsipnya adalah mengabdi dan melaksanakan perintah, tanpa melihat makna dan tujuannya, demikian alasan dan argumentasi yang diajukan Imam Asy Syathibi.
Kedua : sesuatu yang diharamkan karena dzatnya tidak dimubahkan (diperbolehkan) kecuali karena darurat, sedangkan sesuatu yang diharamkan karena untuk membendung jalan (saddadz dzari’ah) diperbolehkan karenan adanya kebutuhan. Dalam hal ini tidak diragukan lagi bahwa perjalanan yang dilakukan wanita tanpa disertai mahram termasuk sesuatu yang diharamkan karena untuk membendung penyebab (mencegah kepada haram karena dzatnya).(asy-Syatibi, t.th: 211 dalam Mendra Siswanto, 2011: 119)
Perlu diperhatikan bahwa bepergian pada zaman kita sekarang ini tidak sama dengan bepergian tempo dulu yang penuh dengan bahaya karena harus melewati padang pasir, dihadang perampok, dan sebagainya. Bahkan bepergian sekarang sudah menggunakan alat-alat transportasi yang biasanya memuat banyak orang, seperti kapal laut, pesawat terbang, dan bus. Hal ini menimbulkan rasa percaya diri dan menghilangkan kekhawatiran terhadap kaum wanita, karena ia tidak sendirian berada di suatu tempat. Karena itu tidak mengapa seorang wanita pergi menunaikan haji dalam suasana yang penuh ketenangan dan keamanan ini.(al-Qardhawi, t.th: 446)
3.2.  Pola Ijtihad al-Qardhawi  dalam Hukum Safar Wanita tanpa Mahram
Dalam kasus ini, al-Qardhawi berusaha mencari dan merealisasikan adanya illat serta melakukan pendekatan maqashidy. Hal ini dilakukan guna mengetahui apakah pada zaman sekarang dapat diterapkan larangan yang termaktub dalam hadits Rasul atau tidak. Berdasarkan ijtihad istinbathy beliau tidak menemukan illat atau maqashid syariah dari hukum tersebut. Namun, jika beliau menggunakan ijtihad tatbiqy dapat beliau ketahui bahwa ide hukum yang terdapat dibalik nash hadis itu tidak dapat diterapkan pada kasus wanita bepergian di zaman ini, karena situasinya sudah berubah, maka hukumnya pun berubah. Dalam kitab kaifa nata'amalu ma al-sunnati al-nabawiyah, al-Qardhawi membahas hadis ini dalam konteks memahami hadis menurut sebab, latar belakang dan maksudnya, fahm al-haditsi fi dhau'i asbabiba wa mulabasatiha wa maqashidiha. Dalam kitab Syari'at al-Islam shalihah li tathbiqi fi kulli zaman, beliau menempatkan hadis ini pada kelompok hadis-hadits temporal atau kondisional sama seperti  hadis al-a'immati min quraisy (kepala Negara mesti dari kaum quraisy).
Dari sini dapat dipahami bahwa hadis yang melarang wanita bepergian jika tidak ditemani oleh mahramnya hanya berlaku pada zaman Nabi saja, tidak dapat diterapkan pada zaman kontemporer ini. Pendapat ini dikemukakan al-Qardhawi sesuai dengan prinsip yang dipegangnya, yakni memberi kemudahan kepada umat, ia tidak mau mempersulit. Jika wanita dalam setiap perjalanan mesti ditemani oleh suami atau mahramnya, maka hal itu akan menimbulkan kesulitan. Padahal hukum Islam selalu berorientasi pada kemudahan dan menghilangkan kesulitan.(al-Qardhawi, 1996: 335 dalam Mendra Siswanto, 2011: 118-119)
3.3. Analisis Fatwa al-Qardhawi dalam Hukum Safar Wanita tanpa Mahram
Hukum safar wanita merupakan hal yang urgent, sebab semua wanita pasti  melakukan aktifitas yang satu ini. Hanya saja, bagaimana jika safar mereka tanpa didampingi mahram? Hal ini tentu menjadi suatu yang berbeda. Ulama mutaqaddimin sepakat bahwa hukum safar wanita tanpa mahram adalah haram, hal ini sebagaimana  tercantum dalam kitab-kitab turats para ulama. Diantaranya adalah kitab al-Mughni karya Ibnu qudamah, beliau menyebutkan dalam kitabnya bahwa seorang wanita haram bepergian sendirian walau untuk menuanaikan ibadah haji. (Ibnu Qudamah, t.th: 31). Madzhab Syafi’I, madzhab Maliki  maupun Hanafy juga menyebutkan hal yang sama. (Ibnu Rusyd,  t.th: 454)
Menimbang pendapat al-Qardhawi dalam masalah ini merupakan hal yang signifikan. Hal ini disebabkan, jika fatwa tersebut diterapkan, akan melonggarkan para muslimah bersafar bebas tanpa mahram baik ketika ada keperluan maupun tidak. Keumuman fatwa yang beliau keluarkan dapat berdampak buruk untuk kelangsungan wanita dimasa mendatang. 
Setelah penulis melakukan kajian yang lebih  mendalam, penulis dapati bahwa pada dasarnya hukum syar’I tidak akan berubah sebab sifatnya yang tsabit. Hukum syar’I tidak dapat dipengaruhi oleh perubahan situasi dan kondisi zaman. Dari dasar diatas muncul dasar kedua, hukum syar’I yang berkaitan dengan halal, haram, mubah, sunnah bersifat tetap dan tidak berubah. Kemudian dari dua dasar tersebut memunculkan dasar ketiga yaitu pada asalnya hukum itu tetap dan tidak berubah yang berubah hanya penerapanya.
Flashback pada kesimpulan hukum al-Qardhawi yang mengatakan bahwa hukum safar tanpa mahram diperbolehkan dengan sebab situasi yang sudah aman, kendaraan atau transportasi  modern yang dapat menimbulkan rasa nyaman bagi para wanita ketika perjalanan membuat penulis sedikit keras berfikir. Sebab, pada dasarnya  dalam mentahqiq sebuah manath pada fiqih nazilah atau kontemporer banyak kaidah yang perlu diperhatikan yang diantaranya adalah perubahan zaman, perkembangan teknologi yang semakin canggih, adat masyarakat yang berubah dan lain sebagainya. Hanya saja, apakah hukum yang tersirat dan masyru’ tersebut lantas dikesampingkan bahkan dibuang begitu saja tanpa melanggengkan hukum asal? Inilah yang menjadi centra topic penulis.
Hadits yang berbunyi “ Janganlah seorang wanita sehari semalam bersafar kecuali bersama mahramnya” merupakan hadits shahih. Dalam literature fiqih, hukum safar wanita juga banyak disinggung dan masuk pada ranah serta bab Haji. Kata larangan dalam ranah kajian Ushul merupakan pertanda bahwa sesuatu yang dilarang tersebut adalah haram, atau paling tidak mejadi makruh jika ditemui qarinah didalamnya. Pada hadits ini, tidak ditemui qarinah yang memalingkan makna haram menjadi makruh. Dari sinilah, dapat ditarik sebuah hipotesa bahwa hukum safar tanpa mahram adalah haram.
 Jika al-Qardhawi mengatakan bahwa safar wanita tanpa mahram diperbolehkan, maka seolah-olah beliau telah merubah ketentuan syariat yang telah disepakati ulama akan keharamanya walau mungkin yang dimaksud oleh al-Qardhawi adalah penerapanya yang berubah. Hal ini memang belum menjadi ijmak dikalangan ulama, sebab terdapat satu ulama yang menyelisihi pendapat tersebut. Beliau menyatakan bahwa hukum safar wanita tanpa mahram bukanlah suatu yang diharamkan. Jika kita katakan setuju dengan pendapat yang membolehkan dengan alasan seperti diatas maka sudah selayaknya kita tidak menafikkan apa yang sudah menjadi kesepakatan para ulama terdahulu maupun kontemporer selain al-Qardhawi. Disisi lain, jika kita menafikkan hukum asal maka kita tidak jauh berbeda dengan para perusak nilai Islam, JIL.
Pada kesempatan lain, al-Qahthani menyebutkan dengan gaya bahasanya yang aksiologis bahwa proses berfikir maqashidi atau berasaskan maslahat dalam penetapan hukum suatu kasus harus melalui tiga hal:
Pertama, menetapkan maslahat syar’iyyah (kemaslahatan hukum) dengan beberapa catatan. Yaitu, kemaslahatan yang dituju adalah kemaslahatan yang termasuk dalam konsepsi maqashid syariah, tidak bertentangan dengan nash Qur’an maupun sunnah, bersfat pasti atau diatas tingkatan dhann (praduga).
Kedua, mempertimbangkan kaidah menghilangkan kesempitan atau penderitaan (al-haraj) yang mengantarkan pada beratnya beban hidup, dengan beberapa catatan. Yaitu, penderitaan tersebut bersifat nyata, tidak bertentangan dengan nash dan bersifat universal.
Ketiga, mempertimbangkan akibat atau konsekuensi dari penerapan hukum yang ditetapkan, yakni apakah dengan ditetapkanya hukum tersebut kemaslahatan yang dikehendaki syara’ tercapai atau tidak. (al-Qahthani, 2003: 328-334 dalam Mawardi, 2010:  237-238)
Melihat tiga hal diatas, maka dapat ditarik hipotesa bahwa pendapat yang benar dan sesuai dengan kondisi zaman adalah pendapat yang tetap mengharamkan hukum seorang wanita bersafar sendirian tanpa mahram, namun jika pada kondisi tertentu penerapan hukum dapat berubah. Diantara kondisi-kondisi yang menyebabkan safar seorang wanita sendiri tanpa mahram adalah jika safar yang dilakukan adalah safar wajib, seperti haji nadzar dengan restu suami maupun maupun berkunjung kerumah orang tua dengan syarat tidak ada mahram yang dapat menemaninya. Adapun jika masih didapati mahram yang dapat menemaninya maka hukum safar wanita sendirian tanpa mahram tetap pada keharamanya. Hal inilah yang membedakan kita sebagai seorang muslim dengan JIL. Sebab, yang dilakukan JIL ketika mendapati dalil adalah langsung merubahnya dengan menafikan hukum asal. Wallohu Ta’ala A’lam bi ash-Shawab.




BAB IV
PENUTUP

4.1.  Kesimpulan
1.      Ijtihad kontemporer al-Qardhawi memilki 3 kategori: Intiqa’I, insya’I dan integratif antar keduanya
2.      Al-Qardhawi tidak berijtihad kecuali pada tempat  yang merupakan salah satu bentuk kebolehjadian (dhzanny)
3.      Model ijtihad yang digunakan beliau dalam masalah hukum safar wanita tanpa mahram adalah bentuk ijtihad tathbiqy yang lebih melihat pada realita sosial yang ada.
4.      Hasil ijtihad beliau memang menyelisihi produk hukum ulama salaf, tapi karena dalil yang digunakan adalah dalil dhanny maka beliau tidak terlalu salah.
5.      Sebagai bentuk kehati-hatian penulis mengambil jalan tengah yaitu yang membolehkan jika dharurat dan pada safar wajib
4.2. Saran
Mengakhiri tulisan ini, penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Diharapkan kepada semua pihak yang concern pada perkembangan hukum Islam untuk bersikap moderat dalam menetapkan suatu hukum. Sikap ini menuntut untuk tidak terlalu cepat menghalalkan sesuatu dan tidak tergesa-gesa mengharamkan sesuatu sebelum melakukan kajian mendalam dengan melakukan tinjauan dari berbagai dimensi. Sikap seperti ini sejalan dengan anjuran al-Qur’an dalam banyak ayat, diantaranya surat al-Baqarah ayat 143.
2.                     Diharapkan kepada peminat dan pemerhati hukum Islam hendaknya bersikap terbuka dan tidak berpikiran sempit. Sebagaimana perkataan DR. Ahmad ar-Raisuni bahwa fiqih Islam harus dinamis.


DAFTAR PUSTAKA
Kholaf, Abdul Wahab, ‘Ilmu Ushul al-Fiqhi, (Dar Kutub Ilmiyyah: Lebanon, 2013 M)
Mawardi, Imam Ahmad, Fiqih Minoritas, Fiqih al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqashid al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, ( Yogyakarta: LKIS, 2010 M)
Qaradhāwī, Yūsuf al-, Al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah ma’a Nazharāt Tahlīliyyah fī al-Ijtihād al-Mu’āshir. (Kuwait: Dar al-Qalam, 1996 M)
Qudamah, Ibnu, al-Mughni, Jilid 3, (Mekah: Maktabah al-Tijariyah, t.th.)
Repelika, Metode Ijtihad Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirah, (tp: t.tp, t.th)
Rusyd, Ibnu, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayatal-Muqtashid, Juz 1, (Indonesia: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.)
Siswanto, Mendra, Pola Penalaran Yusuf al-Qardhawi dalam Masalah-Masalah Kontemporer, (Riau: UIN SUSKA, 2011 M)
Syairazi, Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf as-, al-Luma’ fi Ushul al-Fiqhi, (Dar Kutub Ilmiyyah: Lebanon, 2012 M)
Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Lakhami al-Gharnathy al-,  (Dar Kutub Ilmiyyah: Lebanon, 2004 M)
Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad al-, Irsyad al-Fuhul, (Dar al-Fikr: t.tp, t.th)
Zakaria, Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin, Mu’jam Maqayis al-Lughat, Juz 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979 M)

By : 'Inayah Nazahah

0 komentar:

Posting Komentar