Senin, 15 Agustus 2016

Indonesia dalam Pandangan Islam


BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar belakang
Negara Indonesia telah mencapai kemerdekannya sejak 71 tahun silam. Namun, berbagai problematika yang tiap tahun melanda Indonesia seakan-akan belum mewujudkan kemerdekaan tersebut. Kemiskinan terus merajalela, pengangguran kian hari tak ada jalan keluarnya, tindak kriminal dan kejahatan tak pernah absen dalam media berita, dan korupsi yang terus mengundang tanda tanya.

Tak hanya itu, berita akhir-akhir ini semakin membuat ragu atas status kemerdekan bangsa ini. Mulai dari fenomena LGBT, sikap aparatis Densus 88 dan segudang masalah lain yang tak mampu membuat kita berhenti mengelus dada.
Berbagai usaha telah diusahakan guna menuju kemerdekaaan yang sesungguhnya. Sejak tahun 2004, negara Indonesia telah rutin melaksanakan pemilu tiap lima tahunnya. Janji dari para calon presiden pun seakan tak hanya sekedar bualan. Sejak awal tahun 2016, berbagai proyek dan pencanangan program semakin giat dikerjakan. Tak tanggung-tanggung, untuk menampung aspirasi rakyat, demonstrasi di berbagai media tetap menjadi langkah yang tetap diterima.
Bagai membudidayakan tanaman yang sulit dan langka, ia tidak akan tumbuh bila tidak ditanam dengan metode yang tepat dan di tempat yang sesuai. Maka, usaha untuk menuju Indonesia yang lebih baik tidak akan pernah menemui ujungnya jika tidak melakukan perbaikan secara tepat pada kesalahan utamanya.
Islam sebagai yang agama memiliki syariat yang sempurna, telah menunjukkan secara jelas letak kesalahan utama Negara Indonesia. Islam pun telah menawarkan jalan keluar dengan menjanjikan hasil yang akan dicapainya. Sebuah hasil yang telah dibuktikan secara nyata oleh sejarah dan mampu membawa sebuah negara menuju kemerdekaan yang sesungguhnya.
Berangkat dari hal ini, penulis ingin mencoba membuka mata untuk melihat masalah yang menimpa Indonesia dalam perspektif Islam. Sebuah tinjauan ilmiah yang mencoba mengungkapkan letak kesalahan utama negara Indonesia berikut pencapaian-pencapaian yang dulu telah diraih oleh umat Islam saat bangsa Indonesia masih tertinggal jauh darinya.
1.2. Rumusan Masalah
a.       Apakah kesalahan utama Indonesia menurut perspektif Islam?
b.      Apakah hasil yang telah dicapai oleh negara yang menerapkan syari’at Islam?
1.3.Tujuan Pembahasan
a.       Untuk mengetahui kesalahan utama Indonesia menurut perspektif Islam
b.      Untuk mengetahui hasil yang telah dicapai oleh negara yang menerapkan syari’at Islam
 1.4. Manfaat
1.      Secara Teoritis
a)      Menjadi bahan masukan bagi pihak yang mengemban amanah dalam membawa Indonesia menjadi lebih baik
b)      Sumbangan karya ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan bagi kalangan akademis ataupun masyarakat pada umunya.
2.      Secara Praktis
a)      Bagi para penuntut ilmu dijadikan sebagai bahan bacaan dan referensi.
b)      Sebagai salah satu panduan bagi para pendiri Indonesia mengenai sikap yang harus dilakukan untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik






BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Kesalahan Utama Indonesia dalam Pandangan Islam
Orang bijak pernah berkata, ciri utama seseorang yang menyesal dan ingin berubah menjadi lebih baik adalah menyadari dan mengakui kesalahan utama pada dirinya. Begitupun dengan sebuah negara, negara yang tidak mengetahui dan menyadari letak kesalahan utama dalam negara tersebut, maka negara tersebut tidak akan pernah menjadi lebih baik.
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur konsep hidup dari permasalahan yang sepele hingga masalah yang menyangkut kenegaraan. Hingga masalah yang tiap tahun melanda Indonesia, Islam mampu membeberkan letak kesalahan utama dan memberikan solusinya. Adapun beberapa hal yang menjadi kesalahan utama Indonesia menurut pandangan Islam adalah sebagai berikut.
2.1.1. Sistem Pemerintahan yang Demokratis
Semenjak kemerdekaan negara Indonesia hingga saat ini, sistem pemerintahan Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan. Namun secara garis besar, sistem pemerintahan yang dianut Negara Indonesia hingga sekarang adalah sistem pemerintahan demokratis. Hal ini seperti terdapat dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Menurut Rahayu (2007:129) dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan: Perjuangan Menghidupi Jati Diri Bangsa, sistem pemerintahan demokrasi adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan nilai-nilai falsafah pancasila, yaitu dari, oleh, dan untuk rakyat berdasarkan nilai-nilai pancasila.
Melihat pengertian dari sistem pemerintahan demokrasi tersebut, kita sebagai seorang muslim yang memiliki pemahaman akidah yang benar dapat mengkritisi sistem ini menurut perspektif Islam. Sistem yang menggunakan slogan ‘dari, oleh, dan untuk rakyat’ tentunya mengandung sebuah konsekuensi yang dapat merusak akidah seseorang. Sebuah konsekuensi yang menjadikan sekelompok manusia bernama rakyat sebagai penentu hukum dalam sebuah tatanan negara.
Setiap orang yang berpikir secara logika pasti akan menyetujui bahwa saat seseorang telah menciptakan suatu produk maka tidak ada yang lebih berhak untuk memberikan prosedur penggunaan untuk produk tersebut kecuali sang pencipta sendiri. Dan para manusia cerdas juga telah sepakat bahwa pencipta negara Indonesia ini bukanlah sebuah instansi bernama rakyat. Sehingga, konsekuensi logis dari hal tersebut adalah penentu hukum mutlak di Indonesia ini adalah sang pencipta Indonesia yang tidak lain adalah Allah SWT Yang Maha Esa[1] dan bukan sebuah instansi bernama rakyat.

Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Qs. al-A’raf ayat 54,
أَلَا لَهُ ٱلۡخَلۡقُ وَٱلۡأَمۡرُۗ تَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٥٤ 
“...Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah SWT. Maha Suci Allah SWT, Tuhan semesta alam”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah seperti dikutip Samudra (2009:177) menjelaskan ayat tersebut dalam perkatannya, “Hak Allah SWT itu ada dua, mencipta dan memerintah. Betapa banyak manusia tersamar atas mereka hak-hak memerintah, keagamaan, keimanan dengan hak-hak penciptaan, kekuasaan kauniyah (yang berhubungan dengan keadaan alam), padahal sesungguhnya mencipta dan memerintah hanyalah milik Allah SWT yang Mahasuci”.
Lebih lanjut, Samudra mengatakan (2009:177) dengan tegas bahwa sesungguhnya mencipta, memelihara dan mengatur adalah mutlak hak Allah SWT, manusia tidak memiliki sedikit pun wewenang dalam mengatur hak sesama manusia kecuali dengan izin Allah SWT dan itu semua adalah hak Allah SWT, tetapi memang manusia telah merampas hak-hak Allah SWT.
Itulah negara Indonesia. Sebuah negara dengan sistem pemerintahan yang sesungguhnya telah merampas hak mutlak Allah SWT, sang pencipta negara Indonesia. Sebuah negara yang menolak untuk menjalankan sistem pemerintahan dengan prosedur yang telah disyariatkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Sedangkan menurut perspektif Islam, sistem pemerintahan yang seharusnya diterapkan sebuah negara sangatlah jauh dari apa yang telah dianut oleh bangsa Indonesia. Rasulullah SAW, sebagai role model yang seharusnya dijadikan panutan hidup, telah memberikan contoh terbaik dalam mengatur sistem pemerintahan suatu negara.
Rasulullah SAW dilahirkan dan akhirnya diutus oleh Allah SWT menjadi Nabi dan Rasul-Nya di Kota Mekkah. Ditinjau dari segi politik, orang yang berhak menjadi penguasa di kota tersebut adalah para pemuka kaum Quraisy yang juga memimpin dan mengatur Ka’bah kala itu. Untuk menentukan hukum-hukum yang berlaku, mereka bermusyawarah di suatu tempat yang bernama Darun Nadwah. Di dalamnya para pemuka Quraisy saling bertukar pendapat untuk menentukan suatu perkara. Tak heran, kantor ini memiliki kesamaan fungsi dengan Kantor MPR/PDR saat ini.
Mengenai sistem pemerintahan Kota Makkah pada zaman dahulu, Shafiyurrahman (2010:17-18) menjelaskan secara singkat dalam bukunya arRahiqul Makhtum. Setelah wafatnya salah satu pemuka Quraisy yang bernama Abdu Manaf, terjadi persengketaan antara keturunannya dan keturunan saudaranya. Kedua kubu tersebut menginginkan kedudukan yang dulu diduduki oleh orangtua mereka. Tetapi mereka segera berdamai dan sepakat untuk membagi kedudukan-kedudukan yang dulu dimiliki oleh orang tua mereka. Sebagian dari mereka mengambil beberapa bagian dan sebagian yang lain mengambil bagian yang lain pula.
Dengan begitu mereka telah membentuk satu pemerintahan kecil, atau pemerintahan kecil yang demokratis. Ada pembatasan masa jabatan dan bentuk-bentuk pemerintahan yang menyerupai sistem pemerintahan pada zaman sekarang, yang dikenal dengan istilah parlemen dan majelis parlemen.
Rasulullah SAW telah hidup dan berkembang di dalam Kota Makkah yang demokratis. Beliau SAW menunjukkan kepada kita mengenai sikap terbaik dalam menghadapi sistem pemerintahan yang demikian. Sejarah pun telah menceritakan kepada kita tentang sikap beliau yang begitu antipati terhadap sistem ini, sekalipun beliau diangkat sebagai orang nomor satu di dalamnya.
Shafiyurrahman (2010:109-110) mengisahkan, setelah diutusnya Rasulullah SAW, maka para pemuka Quraisy, sang pemegang kekuasaan, yang juga kerabat Rasulullah SAW merasa sangat terganggu dengan ajaran yang dibawa Rasulullah SAW.
Mereka mengerahkan berbagai cara untuk menghentikan dakwah Rasulullah SAW dalam menyebarkan agama Islam. Hal ini mereka lakukan karena sangat khawatir akan terjadinya bahaya besar yang bisa mengancam eksistensi paganisme yang begitu mereka jaga dan lestarikan.
Setelah menempuh berbagai cara yang terus menerus menemui kegagalan, maka salah seorang pemuda Quraisy, Uthbah bin Rabi’ah, berinisiatif ingin menawarkan beberapa penawaran kepada Rasulullah SAW agar mau menghentikan dakwahnya.
Tatkala Uthbah telah berada dihadapan Rasulullah SAW, dia berkata, “Wahai putra saudaraku, jika dengan dakwah yang engkau lakukan ini, engkau menginginkan harta kekayaan, maka akan kami kumpulkan harta kekayaan yang ada pada kami untuk diserahkan kepadamu, sehingga engkau menjadi orang yang terkaya di kalangan kami. Jika engkau menginginkan kehormatan dan kemuliaan, maka kami akan kami mengangkatmu sebagai pemimpin, dan kami tidak akan memutuskan persoalan apa pun tanpa persetujuanmu. Jika engkau ingin menjadi raja, kami bersedia menobatkanmu sebagai raja kami. Jika engkau tertimpa penyakit yang tidak mampu engkau obati sendiri, maka kami akan mencarikan obat bagimu dan kami juga siap mengeluarkan biaya hingga engkau sembuh. Terlalu mudah bagi pelayan kami untuk mencari seseorang yang mampu mengobatimu.”
Begitu fantastis penawaran yang ditawarkan oleh pemuda Quraisy satu ini. Ia telah menawarkan suatu lompatan besar yang mampu menjadikan seseorang menjabat sebagai presiden Mekkah, bahkan melalui jalan aklamasi.[2] Namun begitu, jawaban yang dilontarkan Rasulullah SAW kala itu mampu menjatuhkan martabat pemuda tersebutnya sekaligus mampu menunjukkan begitu bijaksana dan piawainya beliau dalam masalah kepemimpinan.
Shafiyurrahman (2010:111) mengisahkan, ketika Uthbah telah menyelesaikan perkataannya, maka Rasulullah SAW menolaknya dengan jawaban yang sungguh tak terduga. Rasulullah SAW tidak menjawabnya kecuali beliau membacakan kepada Uthbah Qs. Fushshilat dari ayat 1 hingga sampai pada ayat sajdah lalu beliau sujud. Sebuah jawaban yang menyiratkan betapa rendahnya tawaran yang disodorkan kepada beliau bila disandingkan dengan balasan yang kelak diterimanya di akhirat.
Hal ini beliau lakukan karena beliau paham benar akan konsekuensi menjadi seorang presiden dalam pemerintahan yang demokratis. Beliau mengetahui bahwa hal itu tidak akan membawa beliau ke dalam kehidupan yang menjanjikan kebahagiaan hakiki. Sebaliknya, beliau pun telah meyakini dan membenarkan sistem pemerintahan yang telah Allah SWT wahyukan kepadanya, yaitu sebuah Pemerintahan Islami dan bukan Pemerintahan Demokratis.
2.1.2. Pemilu yang Wajib bagi Seluruh Rakyat
Ketika sebuah sistem dari suatu negara sudah tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, maka dipastikan segala program yang bersumber darinya juga tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Sistem yang diterapkan dalam negara Indonesia bukanlah sistem yang sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Allah SWT, maka apapun program yang berasal darinya tak akan menghantarkan Indonesia menuju kebahagiaan hakiki yang diharapkan setiap manusia.
Adapun kesalahan kedua negara ini –setelah sistemnya yang demokratis– adalah hal-hal yang berhubungan sistem yang digunakan dalam memilih seorang pemimpin. Satu hal yang memiliki urgensi tersendiri dalam suatu tatanan negara. Karena, jika suatu negara gagal dalam menentukan orang yang berhak menjadi pemimpinnya, maka negara tersebut juga gagal dalam memakmurkan rakyat-rakyatnya.
Sejak kemerdekaan Indonesia 71 tahun silam, negara ini telah mempunyai presiden dan wakil presiden. Seiring berjalannya waktu, Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan dalam sistem pemilihan presiden. Hingga pada pemilu 2004, peraturan pemerintah pusat mengatakan seluruh warga Indonesia diharuskan untuk menyumbangkan suaranya dalam proses pemilihan tanpa terkecuali.
Tak tanggung-tanggung, Majelis Ulama Indonesia tak segan mengeluarkan fatwa haram bagi orang-orang yang memilih jalur golput. Hal ini seperti dilansir oleh Tabloid Reformata Edisi 101 (2009:3). “Wajib bagi bangsa Indonesia untuk memilih pemimpin. Kalau yang dipilih ada namun tidak dipilih , menjadi haram,” demikian bunyi fatwa Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Yaqub, MA, selaku Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI saat menetapkannya pada tanggal 25 Januari 2009.
Tampaknya ada yang terlewat dalam benak para ulama yang menduduki kursi Majelis Ulama Indonesia. Seorang manusia cerdas seharusnya dapat melihat adanya ketidakseimbangan yang terjadi dalam pelaksanaan pemilu dengan jalan seperti ini, sekalipun ia dilabeli dengan asas Luber Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil).
Bila kita menggunakan logika dasar kita, apakah akan menjamin pemimpin yang terpilih adalah yang terbaik dengan diikutsertakannya seluruh rakyat Indonesia dalam pemilu? Tentu tidak.
Presentase orang yang berpendidikan menengah ke atas di Indonesia tidak dapat dikatakan lebih banyak dari orang yang tidak berpendidikan. Dan dari mereka yang berpendidikan menengah ke atas, tidak semua mumpuni dalam memilih siapa pemimpin yang berhak dan pantas menjadi pemimpin. Lalu bagaimana dapat terpilih pemimpin yang terbaik, sedangkan para pemilihnya saja mayoritas bukan berasal dari kalangan orang-orang terbaik dalam memilih sebuah pilihan?
Melihat kembali kepada prosedur Allah SWT dan melihat bagaimana syariat Islam mengatur pelaksanaan pemilihan seorang pemimpin, maka kita akan menemukan sebuah bentuk problem solving terbaik. Sepeninggal Rasulullah SAW SAW, para sahabat memberikan contoh dalam menentukan pengganti beliau SAW, yaitu dengan jalan musyawarah di antara para sahabat terpilih yang memang mumpuni dan bukan dengan jalan pemilu yang melibatkan asal orang, apalagi menyertakan seluruh rakyatnya dalam hal tersebut.
Hal ini seperti yang dikisahkan oleh Ibnu Katsir (2004:336) saat pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan. Khalifah pada masa sebelumnya, Umar bin Khattab r.a, telah menetapkan pengangkatan khalifah dibawah Majelis Syura yang beranggotakan enam orang. Dan keenam orang tersebut adalah para calon khalifah yang tentunya memiliki kapabilitas tinggi dalam urusan negara. Sehingga, terpilihlah Utsman bin Affan r.a sebagai khalifah menggantikan Umar bin Khattab r.a. seorang sahabat yang sekaligus menantu dari Rasulullah SAW. Seorang khalifah pilihan yang terpilih dengan jalan Majelis Syura dan bukan dengan mengikutsertakan seluruh rakyat dalam proses pemilihannya.
2.1.3. Hukum yang Bersumber dari Suara dan Aspirasi Rakyat
Setelah sistem negara dan proses pemilihan pemimpin, maka hal yang layak dikritisi selanjutnya adalah produk yang dihasilkan dari keduanya. Yaitu, hukum-hukum yang berlaku dalam negara tersebut. Karena ketepatan negara dalam menentukan sebuah hukum dapat mempengaruhi eksistensi keamanan dalam suatu negara.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem demokrasi, maka tidak mengherankan jika hukum-hukum yang berlaku di dalamnya adalah hasil suara rakyat, sesuai dalam slogannya, “dari, oleh, dan untuk rakyat”. Samudra (179:2009) mengomentari hal ini dalam bukunya, “...budak-budak demokrasi menjadikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, kedaulatan di tangan rakyat, yang lain berteriak bahwa ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’.”
Maka kita dapat melihat kenyataannya dalam salah satu contoh hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, buku yang menjadi rujukan dalam menentukan hukum pidana di Indonesia, disebutkan bahwa hukuman bagi para peminum minuman keras dengan segala jenis tindakan dan kriterianya adalah minimal denda sebanyak dua ratus dua puluh lima rupiah atau penjara selama tiga hari dan batas maksimalnya adalah denda sebanyak empat ribu lima ratus rupiah atau penjara selama tiga bulan.
Menggelikan! Itulah kata yang pantas diucapkan setelah mengetahui betapa bobroknya bangsa ini menentukan sebuah hukum pidana. Menurut akal sehat manusia, adakah pemabuk yang jera setelah ditegakkan hukum semacam itu kepadanya? Itulah Indonesia.
Bukan hanya penetapan hukuman yang terkesan sangat meremehkan atau bahkan mengejek, sikap seorang gubernur di ibukota negara ini juga membuat kita harus mengelus dada. Hal ini seperti dilansir oleh merdeka.com pada April 2015, Basuki atau akrab disapa Ahok bingung dengan adanya larangan mendapat keuntungan dari penjualan minuman keras (bir). “Kami punya saham, kita lanjut aja, bir salah di mana? Ada orang mati karena minum bir? Orang mati kan minum oplosan cap topi miring lah, apalah macem-macem, spiritus campur kelapa muda. Ada enggak orang minum bir mabok?" ujarnya di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (6/4).[3]
Itulah sikap sang gubernur Jakarta tahun lalu yang tampaknya menutup mata dari para peminum minuman keras di sekitarnya. Menjawab pertanyaannya yang meragukan adanya orang minum bir yang mabuk, ahli pembuat bir dari Paulaner Brauhaus berkata kepada CNN Indonesia, “Orang Indonesia dan orang luar negeri itu punya tujuan berbeda saat minum bir, kebanyakan orang sini itu kalau minum bir tujuannya ya memang untuk mabuk."[4]
Kini muncul sebuah pertanyaan, bukankah akar dari setiap tindak kejahatan adalah hilangnya kesadaran manusia alias mabuk hingga akhirnya ada yang mati terbunuh karenanya? Biarlah Bapak Gubernur sendiri yang menjawabnya.
Adapun Islam dengan syariat qishas dan penegakkan hudud telah menetapkan hukuman yang lebih layak bagi para pemabuk dan membuat jera bagi pelaku dan orang-orang sekelilingnya. Abu Malik Kamal (2003:78) menjelaskan bahwa hukuman bagi para peminum khamr atau minuman keras yang dapat memabukkan adalah dicambuk sebanyak empat puluh kali cambukan menurut pendapat madzhab Syafi’i, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, Daud, Ibnu Hazm, dan beberapa orang sahabat.
Sedangkan menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal adalah dicambuk sebanyak delapan puluh kali cambukan. Sebuah hukuman yang mampu membuat para pemabuk dan orang-orang yang menyaksikan pelaksanaan hukuman tersebut berpikir dua kali untuk mengulangi perbuatan tersebut.
Selain menyangkut masalah hukuman bagi para peminum minuman keras, masih terdapat hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh bangsa Indonesia dan menuai kecaman dari banyak kalangan. Berbeda dengan hukum Islam, sebuah syariat Islam yang diturunkan langsung oleh sang pencipta dunia ini, Allah SWT, tidak akan salah apalagi menuai kecaman. Karena, tidak ada yang lebih mengerti dan memahami prosedur untuk sebuah produk kecuali penciptanya sendiri.
2.2. Kejayaan Negara Islam[5] dalam Lintas Sejarah
            Islam tidak asal bicara dan melancarkan kritiknya. Setelah memberikan kritik atas beberapa hal yang menjadi letak kesalahan utama dalam tatanan negara Indonesia, maka Islam telah memberikan jalan keluar yang tepat atas masalah-masalah yang ada.
Sejarah telah mencatat kebijakan-kebijakan yang dahulu telah diterapkan para pendiri Negara Islam dalam membentuk dan mengembangkan negaranya. Tentunya buah dari sistem pemerintahan yang telah digariskan oleh Allah SWT dan RasulNya ini tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Hampir tak pernah ditemukan dalam sejarah sebuah kedamaian, keseimbangan, dan ketentraman yang serupa apalagi melebihi dari yang telah diraih oleh kekuasaan Islam saat itu.
2.2.1. Perekonomian yang Merata di Seluruh Lapisan Masyarakat
Ketika umat manusia hidup dalam pemerintahan yang islami, mereka akan merasakan aman dan tentramnya suatu negara. Dan tolak ukur keamanan dan ketentraman suatu negara dapat dilihat dari sistem perekonomian pada negara tersebut. Ketika sistem perekonomian suatu negara dikatakan baik dan masyarakat yang hidup di dalamnya hidup berkecukupan, maka akan didapati sebuah negara yang terbebas dari berbagai tindak kriminal dan kejahatan. Dan saat itulah akan tercipta negara yang benar-benar aman dan tentram.
Dan negara yang dahulu pernah mewujudkan hal tersebut adalah Negara Islam. Sejak diutusnya Rasulullah SAW hingga Rasulullah SAW menjadi penguasa dunia, bahkan berlanjut hingga beberapa dinasti setelahnya, umat manusia kala itu menggunakan dinar dan dirham sebagai mata uang mereka, sebagaimana yang diutarakan oleh Hassan (2005:31-37) dalam bukunya, Mata Uang Islam.
Dengan dibalut sistem pemerintahan yang dinamis dan mengayomi setiap lapis masyarakat, maka lenyaplah kesenjangan ekonomi yang biasanya terjadi diantara masyarakat. Bahkan, ada peristiwa pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz[6] yang tak pernah terjadi sebelum dan setelahnya sepanjang sejarah.
Telah terjadi pada zaman tersebut harta kekayaan yang merata di setiap penduduk tanpa terkecuali hingga seorang petugas pembagi zakat tidak menemukan orang-orang yang berhak menerima zakat. Hal ini berarti petugas tersebut tidak menemukan dalam daftar pencariannya seseorang yang berada di bawah garis kemiskinan.
Ibnu Abdil Hakam seperti dikutip ash-Shallabi (2014:292) menceritakan, salah seorang anak dari Zaid bin al-Khattab pernah berkata, “Umar bin Abdul Aziz hanya menjabat sebagai khalifah selama dua setengah tahun atau tiga puluh bulan saja. Namun, hasil dari kepemimpinannya sungguh terlihat. Bahkan, ketika seorang yang datang dengan membawa uang yang begitu banyak ingin menyerahkan uangnya untuk dibagikan kepada orang-orang fakir, dia merasa sangat kesulitan bertemu dengan orang-orang fakir. Ketika dia mengingat-ingat kaum fakir yang pernah dia sumbangkan hartanya dan mencarinya, dia tidak menemukannya kembali. Akhirnya ia pulang dengan harta yang tidak berkurang sedikit pun. Hal ini tidak lain karena Umar bin Abdul Aziz sudah memberikan kecukupan kepada seluruh masyarakat ketika itu.”
Itulah masa kejayaan umat Islam yang mengundang decak kagum para sejarawan dunia. Bentuk pencapaian yang begitu luar biasa hingga negara-negara maju saat ini pun sangat jarang yang mencapainya mengingat tak ditemukan kembali sebuah negara yang kini menerapkan sistem perekonomian Islam.
Terdapat perbedaan yang begitu mencolok bila kita bandingkan dengan apa yang telah diraih oleh bangsa Indonesia, bahkan sejak awal kemerdekaannya. Terlalu jauh menuju ke sana, bangsa Indonesia -dengan sistem perekonomianya- kini masih disibukkan dengan kemiskinan dan kejahatan yang kian merebak dimana-mana. Apalagi untuk hilangnya orang-orang miskin dari daftar penemuan, suatu hal yang seakan-akan jauh dari kenyataan.   
2.2.2. Jiwa dan Raga yang Tak Mudah Sakit
Selain sektor ekonomi yang belum pernah ada bandingannya dalam sejarah, umat Islam kala itu juga telah membuat para tabib menggelengkan kepalanya. Dikisahkan bahwa raja Mesir yang bernama Muqauqis pernah mengutus seorang tabib agar membuka praktek di kota Madinah. Setelah sang tabib menetap di kota Madinah hingga beberapa bulan lamanya, ternyata tidak seorangpun yang datang berobat kepadanya sekalipun publikasi tentang keberadaan tabib ini cukup gencar.
 Hingga akhirnya ia merasa frustasi dan hendak kembali lagi ke Mesir negeri asalnya karena di kota Madinah jasanya tidak dibutuhkan. Sebelum ia pulang ke negeri Mesir, dengan penuh penasaran ia datang kepada Rasulullah SAW untuk menanyakan perihal penduduk Madinah yang tak satu pun berobat kepadanya. Rasulullah SAW menjawab, “Kami ( ummat islam ) di Madinah ini tidak makan sebelum lapar, dan segera berhenti makan sebelum benar-benar kenyang, kami selalu melakukan shalat dengan khusyu’ yang semua gerakan shalat itu dapat menyehatkan serta dapat menenangkan hati kami sehingga kami tidak mudah terserang penyakit”.[7]
Subhanallah, inilah salah satu dari hikmah yang akan dirasakan oleh siapapun yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Sekali lagi, negara Indonesia belum memilikinya. Sehingga, tak heran jika masih dijumpai banyak penderita penyakit yang tidak lekas sembuh lantaran kurangnya fasilitisas kesehatan yang memadai.
Begitulah, sejarah telah membuktikan. Saat prosedur dari suatu produk dijalankan sebagaimana mestinya maka keteraturan, keamanan, dan ketentraman akan terus menyelimuti dunia ini. Dan saat prosedur yang seharusnya tidak ditaati, maka berjalanlah dunia ini tidak sebagaimana mestinya.
Samudra (2009:177) mengungkapkan hal tersebut dalam bukunya dengan mengatakan, “Inilah al-Islam. Sempurna, sesuai dan hanya sesuai, benar, pasti benar, untuk seluruh manusia dan kemanusiaan. Di dalamnya terdapat hukum yang jika dilaksanakan niscaya manusia berjaya dunia akhirat.”





BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Untuk menuju sebuah negara yang lebih baik, maka langkah yang paling utama untuk dikerjakan adalah mengetahui hal-hal yang menjadi kesalahannya untuk kemudian diperbaiki dengan cara yang tepat.
Dari pemaparan diatas, maka beberapa hal yang menjadi kesalahan utama Negara Indonesia dan harus diperbaiki dengan tepat adalah sebagai berikut:
1.      Sistem Pemerintahan yang masih menganut sistem demokrasi.
2.      Pelaksanaan pemilihan seorang presiden yang menggunakan metode pemilu (pemilihan umum) dengan mewajibkan seluruh rakyat, baik yang memiliki kapabilitas maupun tidak dalam urusan negara.
3.      Penerapan hukum yang bersumber dari suara dan aspirasi rakyat yang bukan merupakan pencipta dan pemilik mutlak negara ini.
3.2. Saran
Setelah mengetahui letak kesalahan utama negara ini, maka hal paling diharapkan kepada para pembesar negara ini adalah agar segera memperbaiki negara ini dengan metode yang paling tepat. Sebuah metode yang telah terbukti secara fakta dan sejarah dapat membawa Indonesia menjadi lebih baik.
Sejarah telah membuktikan bahwa negara yang menerapkan syari’at Islam di dalamnya akan membawa negara tersebut menuju negara yang didambakan setiap orang. Oleh karena itu, metode paling tepat yang selayaknya ditempuh para pembesar negara ini adalah menerapkan syari’at Islam secara sempurna dalam negara ini. Sebuah metode yang sejak awal telah digariskan oleh Allah SWT, sang pencipta dan pemilik mutlak negara Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

Badan Pembinaan Hukum Nasional. 2009. KUHPer, KUHP, KUHAP. Yogyakarta: Pustaka Yusticia  
Faqih, Fikri. 2015. Ahok: Kalau alkohol dilarang, kalau gitu gak usah minum obat batuk, http://www.merdeka.com/jakarta/ahok-kalau-alkohol-dilarang-kalau-gitu-gak-usah-minum-obat-batuk.html. diakses pada tanggal 30 Mei 2016 pukul 21:07
Hassan, Ahmad. 2005. Mata Uang Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Katsir, Ibnu. 20014. Al-Bidayah wa An-Nihayah. Jakarta: Darul Haq
Mubarakfuri, Al-, Shafiyurrahman. 2010. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Rahayu, Minto. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan: Perjuangan Menghidupi Jati Diri Bangsa. Jakarta: Grasindo.
Salam, Abu Malik Kamal bin Abdis. 2003. Shahih Fiqh Sunnah. al-Maktabah at-Taufiqiyyah.
Samudra, Imam. 2009. Sekuntum Rosela Pelipur Lara. Jakarta: Ar-Rahmah Media.
Setyanti, Christina Andhika. 2015. Tujuan Orang Indonesia Minum Bir Hanya untuk Mabuk, http://www.cnnindonesia.com/gayahidup/20150130190001-262-28636/tujuan-orang-indonesia-minum-bir-hanya-untuk-mabuk/. diakses pada tanggal 30 Mei pukul 21:11
Shallabi, Ash-, Ali Muhammad. 2014. Biografi Umar bin Abdul Aziz. Jakarta: Beirut Publishing.
Tabloid Reformata. 15 Februari, 2009.  Fakta Haram Golput Pangkas Caleg Kristen, 101:3.


[1] Penulis menyadari bahwa pernyataan tersebut tidak semua orang menyetujuinya. Untuk menanggapi hal ini, penulis tidak ingin mendebat orang-orang bodoh yang tidak sependapat dengan pernyataan tersebut. Karena, memang makalah ini ditulis bukan untuk membahas masalah tersebut. Adapun untuk menanggapinya, maka penulis sarankan untuk membaca pembahasan yang lain yang membahas masalah tersebut.
[2] pernyataan setuju secara lisan dari seluruh peserta rapat dan sebagainya terhadap suatu usul tanpa melalui pemungutan suara.
[5] baca: Negara yang telah menegakkan syari’at Islam secara menyeluruh di dalamnya.
‘Negara Islam’ bukan merupakan nama dari suatu nama negara layaknya Negara Indonesia, Republik Rakyat China, dsb. Penamaan ini hanya sekedar untuk memudahkan penulis.
[6] Seorang khalifah pada masa Dinasti Umawiyah yang memerintah pada tahun 717-720 M
[7] http://jailanihm.com/sehat-dengan-cara-shalat/ diakses pada tanggal 30 Mei 2016 pukul 22:27

By : Husna Amania

0 komentar:

Posting Komentar