Senin, 15 Agustus 2016

Kegagalan Politik di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia, Negeri Agraris yang pernah terjajah oleh bangsa Belanda selama 3 setengah abad lamanya, tidak membuat orang-orangnya belajar akan bagaimana layaknya sebuah negara itu maju. Hal tersebut semakin terlihat pada realita bumi pertiwi hari ini. Politik yang carut-marut ditambah dengan perkara sosial yang tak kunjung selesai. Egosentris pun masih mendominasi
orang-orang yang diberi amanah untuk menjalankan roda pemerintahan. Politik yang masih dikotori oleh transaksi gelap para penggeraknya. Baik untuk kepentingan pribadinya maupun partainya.
Perilaku-perilaku tersebut telah mengesampingkan adab berpolitik yang seharusnya dipegang oleh para politikus di negeri ini. Mereka membentuk politik dengan citra semu. Politik bukan lagi menjadi pebelajaran bagi masyarakat, tempat bertukar ide dan gagasan, namun berubah menjadi tempat memperebutkan kekuasaan dan menambah kekayaan. Jika seperti itu jadinya, lalu kapan negeri tercinta ini akan menduduki posisi maju?
Dalam makalah sederhana ini Penulis ingin memberikan sumbangsih pemikiran tentang sebuah adab dalam berpolitik sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghozali.
1.2 Landasan Teori
“Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangn yang tajam.” (Surat Khalifah Ali Radhiyallahu ‘Anhu kepada Gubernur Mesir)
1.3 Rumusan masalah
1.      Bagaimana realita politik di Indonesia?
2.      Apa penyebab kegagalan politik di Indonesia?
3.      Apa solusi dari kegagalan politik di Indonesia?
1.4 Tujuan penulisan
1.      Mengetahui realita politik di Indonesia
2.      Mengetahui penyebab kegagalan politik di Indonesia
3.      Memecahkan permasalahan kegagalan politik di Indonesia
1.5 Manfaat Penulisan
1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia
2.      Sebagai wawasan penulis dalam dunia perpolitikan di Indonesia
3.      Sumbangsih pemikiran untuk perpustakaan Ma’had ‘Aly Hidayaturrahman



BAB II
PEMBAHASAN

 

A.    Realita politik di Indonesia
Berikut beberapa realita politik di Indonesia yang eksis pada dekade terakhir ini:
a.       Partai politik yang bertebaran
Dua tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2014 KPU (komisi Pemilihan Umum) telah mengadakan pemilihan partai politik yang diikuti oleh 15 partai politik. Diantaranya 15 partai tersebut adalah sebagai berikut:
No Urut 1 : Partai NasDem
No Urut 2 : Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
No Urut 3 : Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
No Urut 4 : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
No Urut 5 : Partai Golongan Karya (GolKar)
No Urut 6 : Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
No Urut 7 : Partai Demokrat
No Urut 8 : Partai Amanat Nasional (PAN)
No Urut 9 : Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
No Urut 10 : Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
No Urut 11 : Partai Damai Aceh (PDA)
No Urut 12 : Partai Nasional Aceh (PNA)
No Urut 13 : Partai Aceh (PA)
No Urut 14 : Partai Bulan Bintang (PBB)
No Urut 15:  Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)
Menurut Profesor Miriam Budiarjo dalam Dasar-dasar Ilmu Politik menyebutkan beberapa fungsi dari partai politik[1]:
1.      Partai politik sebagai sarana komunikasi politik atau sebagi sarana artikulasi kepentingan rakyat. Yaitu menampung dan menggabungkan pendapat setiap warga. (Interest aggregation) yang kemudian dirumuskan menjadi bentuk yang lebih teratur (Interest articulation) dan diterapkan oleh partai dalam progaram partai. Program-program tersebut kemudian diperjuangkan oleh partai politik di level pemerintahan untuk diaplikasikan kedalam kebijakan publik.
2.      Partai politik sebagi sarana sosialisasi politik masyarakat. Yaitu proses di mana masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang berlaku di mana dia berada.
Banyaknya partai politik hari ini tidak menjamin tercapainya tujuan didirikannya partai politik. Dan realita yang terjadi partai politik justru menjadi ajang untuk mencari penghidupan dalam kehidupan. Partai politik jutru menjadi ladang rejeki bagi orang-orang yang rakus terhadap dunia. Maka, hal ini menjadi bahan perbincangan menarik di kalangan kritikus alias pengkritik para politikus.
Para punggawa politikus tersebut menumpang kendaraan yang bernama partai politik untuk mendapatkan sebuah kursi kedudukan di parlemen. Maka tak heran jika hari ini banyak masyarakat sipil yang rame-rame mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Mereka mencalonkan diri mereka dengan latar belakang yang berbeda satu dengan yang lain. Ada yang berniat baik ingin membantu rakyat dalam menyalurkan aspirasi mereka. Namun ada juga yang bermaksud ingin menjadi penguasa dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta dari kekuasaannya tersebut.
Menurut salah satu artikel yang ditulis oleh Ester Kusumanegara menyebutkan dampak dari banyaknya partai politik hari ini ialah: “Bisa menimbulkan rekayasa politic dan conflic saja yang belum tentu mendukung proses demokrasi saat ini karena parpol sekarang tidak ideologis dan tidak secara sungguh sungguh memperjuangkan kepentingan rakyat tujuannya hanya untuk mencapai kekuasaan dan kepentingan groupnya dengan memanfaatkan system demokrasi (kebebasan). Seharusnya parpol dapat dikelola untuk stabilitas dan efektifitas politic serta kinerja pemerintah demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebaiknya jumlah parpol di kurangi maximum 5 parpol saja sebagai salah satu upaya revitalisasi dan penyederhanaan demokrasi di Indonesia.[2]
b.      Parpol Islam Vs Komunisme dan sekuler
Di dunia Islam Indonesia terkenal dengan penduduk muslimnya yang terbesar. Namun sampai hari ini agama Islam sendiri belum bisa menjadi pedoman negeri ini dalam menjalankan roda pemerintahannya dan perpolitikannya. Seperti yang sudah masyhur dikalangan umat Islam adalah Islam hanya setatus di KTP (Kartu Tanda Penduduk) saja alias Islam KTP.
Dalam sejarah perpolitikan negeri ini, umat Islam pernah menembus ranah legislatif dengan partai Islam satu-satunya pada waktu itu, yaitu partai Masjumi. Pada pemilihan umum (pemilu) pertama kali yang diselenggarakan pada tahun 1955, partai yang diketuai oleh Muhamad Natsir ini menjadi pemenang atas partai sekuler PKI (Partai Komunis Indonesia) dan PNI (Partai Nasional Indonesia). Serta menduduki sebagian besar kursi DPR dan konstituente. Walaupun pada akhirnya pemilu itu menjadi awal sekaligus akhir dari karir partai Masjumi. Karena setelah itu partai Islam tersebut digulingkan oleh Rezim Nasakom atas desakan lawannya pada saat pemilu, yaitu PKI yang dekat dengan presiden pada tahun 1960.
Pada pemilihan umum partai yang deselenggarakan pada tahun 2014 kemarin, ada setidaknya empat partai yang berlatar belakang Islam. Yaitu:
1.      Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan no. Urut 2
2.      Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan no. Urut 3
3.      Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan no. Urut 9
4.      Partai Bulan Bintang (PBB) dengan no. Urut 14
Namun, dari keempat partai tersebut, tidak ada satu pun yang menduduki peringkat atas dalam ajang pesta demokrasi tersebut. Mereka kalah saing dan kalah populer dari lawan-lawan mereka yang berlatar belakang liberal dan sekuler. Padahal umat Islam di negeri ini jumahnya mendominasi dari kaum sepilis seperti liberal, sekuler dan komunis.
Sejarah telah membuktikan bahwa eksistensi umat Islam Indonesia pernah hampir mendulang prestasi emas untuk menduduki ranah elit pemerintahan tertinggi negeri ini. Maka, hal ini merupakan pelajaran yang seharusnya diambil oleh para pengusung partai-partai yang mengaku berasaskan Islam atau berlandaskan agama Islam hari ini. Namun realita berbeda. Mereka membuang pelajaran berharga ini dan berlaku sekehendaknya dalam menggerakkan partainya yang membonceng nama Islam tanpa bertanggungjawab.
Kegagalan partai-partai Islam dalam mendulang suara di kancah politik Indonesia bukan semata-mata tanpa sebab. Ada beberapa faktor yang menjadi sebab kegagalan mereka. Dalam esai yang ditulis oleh Nuim Hidayat yang berjudul Ketika Adab Berpolitik Hilang, ada faktor-faktor yang menjadikan partai politik Islam gagal. Diantranya adalah:
1.      Umat Islam yang terjun kedalam ranah partai politik telah banyak meninggallan kaidah-kaidah agama dalam berperan menjadi penggerak masyarakat untuk berpolitik.
2.      Bergaya hidup hedonis yang didapat dari menjadi politikus yang memiliki kedudukan. Mereka justru mencari kehidupan dalam berpolitik bukan menghidupkan politik Islam agar mendominasi. Maka mereka pun menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan yang besar.
3.      Haus kekuasaan dan meninggalkan adab berpolitik secara Islami dalam menempuh perpolitikan.
4.      Mereka tamak terhadap harta, tahta dan wanita.
5.      Meninggalkan dakwah dan keteladanan dalam sikap berpolitik.
Begitulah kekalahan telak yang diterima Umat Islam Indonesia hari ini yang mampu mendominasi negeri ini, namun belum bisa mendominasi hukum agamanya sebagai hukum mutlak dalam kehidupannya sehari-hari. Dan begitu pula politik hari ini yang akan menjadi sejarah hari esok. Lalu pelajaran apa yang musti dipetik?.
c.       Demokrasi menjadi landasan
Demokrasi, kata yang berasal dari 2 kata dari bahasa Yunani yaitu Demos dan Kratos. Demos sendiri berarti rakyat, sedangkan Kratos berarti pemerintahan, kekuasaan, atau hukum. Secara ma’nanya, kata tersebut diartikan sebagai asas atau hukum dari rakyat, atau pemerintahan rakyat. Salah satu negara yang kental mengusung asas ini adalah Indonesia dengan penduduknya yang mayoritas muslim.
Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.[3]
Dalam Islam sendiri, kata demokrasi merupakan kata asing yang tak pernah dikenal sebelumnya. Baik pada masa Rasulullah , para sahabat Radhiyallahu ‘anhu, maupun para ulama salaf generasi selanjutnya. Karena sisiterm demokrasi sangat bertentangan dengan ajaran Islam dalam aturan bernegara yang benar sesuai tuntunan Nabi .
Menurut Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisy, demokrasi dalam berbagai bentuknya merupakan bentuk kekafiran terhadap Allah dan bentuk kesyirikan terhadap Rabb (penguasa) langit dan bumi serta bertentangan dengan millatut tauhid (agama tauhid) dan din (agama) Rasul .[4] Bahkan beliau menjadikan demokrasi sebagai agama tersendiri diluar Islam. Hal itu dikarenakan beberapa sebab, diantaranya:[5]
Pertama, karena dalam demokrasi yang menetapkan hukum adalah rakyat. Padahal Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk memutus suatu perkara berdasarkan hukum yang diturunkan Allah, dan Allah melarang Nabi-Nya dari mengikuti hawa nafsu bangsa atau rakyat. Allah berfirman:
وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ أَن يَفۡتِنُوكَ عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ ...٤٩ 
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (Al-Maidah: 49)
Kedua, karena demokrasi adalah berkuasanya rakyat atau berkuasanya kepemimpinan selain Allah berdasarkan undang-undang dan bukan berdasarkan syari’at Allah . Oleh karena itu, dalam demokrasi, rakyat tidak bisa menerima hukum dan syari’at, kecuali jika sesuai dengan apa yang tertera di dalam undang-undang dan sesuai dengan pasal-pasalnya. Maka jika rakyat ingin menjalankan hukum Allah melalui jalur demokrasi, hal itu tidak akan mungkin terjadi, kecuali melalui undang-undang dan pasal-pasal yang dibuat oleh pemerintahan berasas demokrasi yang jauh dari hukum Allah. Padahal berhukum kepada selain hukum Allah merupakan kefasikan yang nyata sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al-Maidah ayat 47:
...وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤٧ 
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”
Ketiga, sesungguhnya demokrasi merupakan buah dari pemikiran sekulerisme yang notabene merupakan idiologi kafir yang bertujuan menyingkirkan Islam dari negara dan kekuasaan.
Dari sekian pemaparan tersebut, maka jelas bahwa umat Islam Indonesia tidak akan mampu mencapai kedudukan tertinggi di negeri ini, selama ideologi demokrasi masih eksisi menjadi asas negara. Umat Islam pun tidak akan mampu hidup bebas dengan Islam sebagai aturan hidupnya kecuali dengan meruntuhkan ideologi kafir tersebut. Sayangnya, tidak banyak umat Islam yang menyadari hal ini. Bahkan banyak diantara mereka yang justru terjerumus kedalam ideologi sekuler dan akhirnya lebih memilih partai-partai sekuler dari pada memilih partai Islam.
B.     Politik di Indonesia yang tak beradab
Adab dalam berpolitik yang banyak ditinggalkan oleh para politikus hari ini. Inilah sebab kegagalan utama yang selain menimpa sisitem pemerintahan Indonesia sendiri, juga menimpa kelompok-kelompok elit partai politik secara umum dan partai politik Islam secara khusus. Lalu mengapa kegagalan tersebut bisa terjadi? Dan apa sebab lain dari kegagalan politik di Indonesia? Berikut ulasan selengkapnya.
a.       Tidak adanya keteladanan dari punggawa partai politik
Setiap generasi umat ini, akan selalu membutuhkan suri tauladan yang namanya akan harum dan akan menjadi panutan. Namun sayang, umat Islam di Indonesia hari ini yang dibuat bingung oleh para pemimipinnya yang tidak mempunyai kepantasan untuk disebut teladan. Para pemimpin negeri ini lebih banyak yang berakhlaq buruk. Mereka banyak melakukan kecurangan demi mendapatkan kedudukan. Menelantarkan rakyat miskin demi mendapat harta yang melimpah. Juga memusuhi umat Islam dan membiarkan mereka tunduk terhadap aturan-aturan di luar aturan Allah .
Keteladanan yang hilang dari para pemimpin negeri ini juga dialami oleh para punggawa partai politik Islam. Mereka tak jauh berbeda dengan perilaku pemimpin partai-partai lain di luar Islam. Umat Islam pun kecewa akan hal ini. Mereka kehilangan keteladanan yang seharusnya menjadi panutan mereka dalam berpolitk di negeri ini. Yang lebih parahnya, banyak juga yang ikut-ikutan menceburkan diri ke dalam politik kotor tersebut.
b.      Mengesampingkan adab Islami dalam berpolitik
 Adab merupakan budi pekerti atau akhlaq yang baik.[6] Atau bisa juga diartikan sebagai tata krama dalam melakukan segala sesuatu. Maka, adab pun masuk kedalam segala lini kehidupan. Mulai dari individual, spiritual, sosial, bahkan dalam berpolitik pun seseorang diharuskan memiliki adab berpolitik. Jika dalam berpolitik saja adab ini ditinggalkan, maka yang terjadi adalah kerusakan pada pada politik itu sendiri sehingga tidak dapat tercapai tujuan yang seharusnya. Lalu nagai mana sebenernya adab dalam berpolitik tersebut?
Imam Ghozali Rahimahillahu Ta’alaa telah mencantumkan dalam sebuah kitabnya yang berjudul At-Tabarul Masbuk Fii Nashihatil Mulk. Diantara adab tersebut adalah:
  1. Amar ma’ruf nahi mungkar
Dalam sebuah negara yang dikuasai oleh seorang penguasa, hendaknya memiliki seorang ulama yang fakih sebagai penasihat. Seorang ulama tersebut bertugas menasihati pemimpin dan menjaga tauhid seorang pemimpin. Jika seorang pemimpin menhilangkan eksisitensi ulama dalam kepemiminannya, maka yang terjadi adalah kemunduran negara tersebut terutama dalam segi moral. Karena pemimpin yang memiliki perhatian dengan ulama berarti dia juga memperhatikan pendidikan di negerinya sebagai pabrik pencetak orang-orang yang berilmu dan fakih.
  1. Tugas seorang pemimpin adalah memahami dua hal: Wilayah dan Amanah
Seorang pemimpin hendaknya memahami wilayah. Maksudnya adalah memahami bahwa kekuasaannya merupakan amanah dari Allah Subhanahu Wata’alaa. Dan amanah tersebut kelak akan dimintai pertanggung-jawabannya di Hari Persidangan-Nya. Sebagaimana peringatan Rasulullah bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan tiga perkara, pertama, apabila rakyat meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang khalifah wajib berbagi kasih kepada mereka, kedua, apabila menghukumi mereka maka berbuatlah adil, ketiga, lakasanakan apa yang telah kamu katakan (tidak menyalahi janji).
C.     Mengambil keteladanan dari sejarah kepimimpinan Islam
Keteladanan sangat penting dalam pembentukkan generasi selanjutnya untuk umat ini. Maka, sejarah menjadi teladan utama sebagai tolak ukur baiknya sebuah generasi berikutnya. Dan setelah umat Islam mampu meneladani umat yang sukses sebelumnya, maka umat Islam akan mampu menjadikan diri mereka sendiri sebagai teladan bagi yang lain atau bagi generasi berikutnya, terutama kawula mudanya.
a.       Prestasi pemimpin umat Islam dalam adabnya
Islam yang dalam sejarah kekuasaannya di bumi Allah ini tentunya memiliki pemimpin yang hebat yang mampu membawa Islam sampai ke puncak kejayaan. Kepemimpinan ini diawali oleh Rasul pembawa risalah Islam sendiri dengan Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Dia adalah Nabi Rasulullah Muhammad . Yang pernah memimpin umat ini menuju perbaikan aqidah dan akhlaq, juga membentuk pondasi pertahanan dan eksisitensi sebuah negara Islam dengan jihad melawan kekafiran. Beliau memimpin dengan keteladanannya berupa akhlaq yang telah mendapat jaminan paten dari Allah . Dan beliaulah sebaik-baik pemimpin sepanjang zaman yang menjadi panutan pemimpin-pemimpin sukses setelahnya.
Perjuangan Islam setelah meninggalnya Sang panutan sepanjang zaman tidaklah mati. Ada para Khulafa’ur Rasyidiin yang menjadi para pengganti Rasulullah . Meneruskan dakwah Islam dan memimpin negara, serta memperluas wilayah Islam. Ada Abu Bakar Ash-Shidiq yang tegas terhadap para penentang syariat Allah dan orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai nabi.
Khalifah kedua pengganti Abu Bakar Ash-Shidiq Radhiyallahu ‘Anhu adalah Umar bin Khottob Radhiyallahu’Anhu. Beliau juga merupakan pemimpin yang adil, tegas, sederhana dan berloyalitas tinggi. Keadilannya terbukti gubernur Mesir Amr bin Al-‘Ash hendak melakukan pelebaran masjid dan mengharuskan pembongkaran sebuah rumah milik seorang kakek Yahudi. Sang kakek merasa diperlakuakan tidak adil dan akhirnya mengadu kepada Umar. Umar pun menitip pesan kepada Sang kakek lewat sebuah garis yang digoreskan di atas tulang. Ketika tulang tersebut sampai ke tangan Amr, ia menyadari apa yang telah dilakukannya. Ia diberi peringatan oleh Umar agar berlaku adil terhadap rakyatnya. Begitu pula kesederhanaan Umar yang tercermin dalam kehidupannya yang sehari-harinya. Seperti suatu hari saat seorang utusan romawi datang hendak bertemu beliau. Setelah dicari kesegala penjuru ternyata beliau sedang istirahat merebahkan dirinya diatas pelepah kurma di dekat masjid.
Seharusnya pemimpin hari ini juga mencontoh khalifah ketiga, Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu. Beliau adalah orang yang sederhana walaupun hartanya melimpah ruah. Serta orang yang penyabar dengan segala apa yang dihadapinya. Dan seorang yang memiliki rasa malu yang besar terhadap Allah dan Rasul-Nya. Kesederhanaannya juga terpancar ketika Utsman hendak mengamabil air wudhu sendiri pada malam hari yang dingin. Kemudian ia ditanya oleh seseorang mengapa ia tidak mneyuruh orang untuk mengambilkan air wudhu agar ia tidak kerepotan. Maka ia menjawab, “Tidak, biarkanlah mereka istirahat pada malam hari.”.
Hari ini banyak orang yang berangan-angan dirinya menjadi raja atau pemimpin suatu kaum. Karena ia pasti akan mendapatkan banyak kelebihan. Kelebihan harta juga kelebihan popularitas. Padahal menjadi pemimpin tidak seindah mereka bayangkan. Hal ini sudah disadari oleh khalifah keempat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu. Ketika ada tawaran menjadi pengganti Utsman Radhiyallahu ‘Anhu, beliu justru menolaknya. Walalupun akhirnya terpaksa menerimanya.
Khalifah Ali merupakan pemimpin yang selalu menjadikan pemimpin sebelumnya teladan dalam menjalankan kepemimpinannya. Beliau pernah menitikan air mata dan berkata tentang khalifah sebelumnya, “Mereka adalah orang-orang yang kucintai. Abu Bakar dan Umar, imam-imam hidayah, penghulu Islam, dan dua orang Quraisy yang pantas dijadikan teladan setelah Rasulullah . Siapa yang menjadikan mereka sebagai teladan, ia akan terhindar dari dosa. Siapa yang mengikuti langkah mereka, ia akan mengikuti jalan yang lurus. Siapa yang berpegang teguh pada jejak langkah keduanya, ia adalah tentara Allah.”[7]
Pemimpin lainnya yang patut dijadikan telandan adalalah Umar bin Abdul Aziz. Cicit dari Umar bin Khottob ini memenuhi dunia dengan keadilan. Ia mengembalikan semua hak rakyatnya yang pernah diambil penguasa sebelumnya dengan cara tidak halal. Juga mengembalikan tanah fadak sebagaimana keadaannya pada masa Rasulullah . Banyak para ulama yang sepakat bahwa khalifah ke-8 dari Bani Umayyah ini merupakan khalifah kelima dari Khulafa’ur Rasyidiin. Karena keadilannya dalam memimpin mirip kepemimpinan para Khulafa’ur Rasyidiin.
Sang Penakluk Konstatinopel juga merupakan pemimpin yang masuk kedalam barisan pemimpin teladan. Selain prestasinya dalam membawa pasukan menembus benteng terkokoh di dunia, beliau juga seorang pemimpin berkarisma dalam memimpin negaranya. Sifat adil, shaleh, dan penyayang terhadap rakyat menyatu dalam dirinya. Sultan yang terkenal dengan nama Muhammad Al-Fatih ini juga termasuk pemimpin yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan dan para ulama. Hal ini terbukti dengan para ulama yang melingkupi istananya dan dimuliakan olehnya. Sedangkan hari ini jarang sekali pemimpin yang memperhatikan pendidikan dinegerinya.
Tak perlu lagi jauh-jauh keluar negeri. Di Indonesia pun ada seorang pemimpin yang menjadi teladan para pengikutnya. Belaiu adalah Muhammad Natsir yang menjabat sebagai pemimpin partai Masjumi. Muhammad Natsir merupakan pemimpin yang terkenal dengan kesederhanaannya, keikhlasan dan keistiqomahan beliau dalam menjalani kehidupannya yang terus menerus ditentang oleh para pelaku kemungkaran di negeri ini. Karena hal itu beliau pun harus menembus hutan belantara Sumatera dan bergabung dengan orang-orang kampung untuk bersembunyi dari kejaran rezim Soekarno saat itu. Dan tidak ada pemimpin di Indonesia ini yang berkarisma setelah beliau.
b.      Nasehat untuk para pemimpin
Seorang pemimpin seharusnya mengetahui bahwa kepemimpinannya merupakan tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab tersebut bukan hanya ditunaikan di dunia saja, namun juga akan ditanyakan di hari pengadilan Allah yaitu pada hari kiamat. Jika pemimpin sudah mengetahui hal ini, maka tak akan ada lagi adab yang ditinggalkan atau pun kehancuran moral pemimpin yang suka mengedepankan hawa nafsu.
Khalifah Ali Radhiyallahu ‘Anhu telah memberikan sebuah nasihat emas kepada seorang gubernurnya dalam hal kepemimpinan. Nasihatnya berisi prinsip-peinsip dasar tentang pengelolaan atau menejemen sebuah pemerintahan, organisasi dan lain-lain. Nasihat ini ditunjukkan kepada Malik bin Harits Al-Asytar selaku gubernur Mesir pada masa pemerintahan Khalifah Ali R.a secara khusus. Dan secara umum nasehat ini ditunukkan kepada seluruh pemimpin di penjuru dunia dan di setiap generasi. Berikut cuplikan nasehat tersebut[8]:
“Ketahuilah wahai Malik bahwa aku telah mengangkatmu menjadi seorang gubernur dari sebuah negeri yang dalam sejarahnya berpengalaman dengan pemerintahan-pemerintahan yang benar maupun tidak benar. Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaiman engkau melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangan yang tajam.
Mereka akan berbicara tentangmu, sebagaimana kau berbicara tentang mereka. Sesungguhnya rakyat akan berkata yang baik-baik tentang mereka yang berbuat baik pada mereka. Mereka akan ‘menggelapkan’ semua bukti dari tindakan baikmu. Karenanya, harta karun terbesar akan kau peroleh jia kau dapat menghimpun harta karun dari perbuatan-perbuatan baikmu. Jagalah keinginan-keinginanmu agar selalu di bawah kendali dan jauhkan dirimu dari hal-hal yang terlarang. Dengan sikap yang waspda itu, kau akan mampu membuat keputusan di antara sesuatu yang baik atau yang tidak baik untuk rakyatmu.
Kembangkanlah sifat kasih dan cintailah rakyatmu dengan lemah lembut. Jadikanlah itu sebagai sumber kebijakan dan berkah bagi mereka. Jangan bersiakap kasar dan jangan memilki sesuatu yang menjadik milik dan hak mereka. Sesungguhnya mnusia itu ada dua jenis , yakni orang-orang yang merupakan saudara seagama denganmu dan orang-orang yang sepertimu.
Mereka adalah makhluk-makhluk yang lemah, bahkan sering melakukan kesalahan. Bagaimanapun berikanlah ampun dan maafmu sebagaimana engkau menginginkan ampunan dan maaf dari-Nya. Sesungguhnya engkau berada diatas mereka dan urusan mereka ada di pundakmu. Sedangkan Allah berada di atas orang yang mengangkatmu. Allah telah menyerahkan urusan merka kepadamu dan menguji dirimu dengan urusan mereka.
Janganlah engkau persiapkan dirimu untuk memerangi Allah, karena engkau tidak akan mampu menolak adzab-Nya dan tidak mungkin dirimu akan meninggalkan ampunan dan rahmat-Nya.
Janganlah pernah menyesal atas ampunan yang kau berikan. Begitupun janganlah bergembira dengan sebuah hukuman. Jangn pula tergesa-gesa memutuskan atau melakukan semata karena emosi, sementara engkau sebenarnya dapat memeperoleh jalan keluar.
Jangan katakan, “Aku ini telah diangkat menjadi pemimpin, maka kau bisa memerintah dan harus ditaati” karena itu akan merusak hatimu sendiri, melemahkan keyakinanmu pada agama dan menciptakan kekacauan dalam negerimu. Bila engkau merasa bahagia dengan kekuasaan atau malah merasakan semacam gejala rasa bangga dn ketakaburan, maka pandanglah kekuasaan dan keagungan pemerintahan Allah atas semesta, yang kamu sama sekali tak mampu kuasai. Hal itu akan meredakan ambisismu, mengekang kesewenang-wenangan dan mengembalikan pikiranmu yang terlalu jauh.
Jangan sampai engkau melawan Allah dalam keagungan-Nya dan menyerupai-Nya dalam kekuasaan-Nya. Sesungguhnya Allah akan merendahkan setiap orang yang angkuh dan menghinakan setiap orang yang sombing.
Senantiasa belajarlah segala sesuatu hal pada mereka yang memiliki pengalaman yang matang dan penuh kebijakan. Seringlah bertanya pada mereka tentang hal-hal kenegaraan sehingga engkau dapat mempertahankan kebaikan dan perdamaian yang oleh para pendahulumu sudah pernah ditegakkan.
Tajamkanlah matamu pada orang-orang yang sejak dulu atau sekonyong dekat denganmu, akan cederung menggunakan posisinya untuk mengambil atau mengorupsi milik dan hak orang lain dan  siap berlaku tidak adil. Tekanlah sedalamnya kecenderungan seperti itu.
Buatlah peraturan-peraturan di bawah kendalimu yang tidak memberi kesempatan sekecil pada kerabatmu. Hal itu akan mencegah mereka melakukan kekerasan pada hak orang lain dan menghindarkanmu dari kehinaan Allah dan manusia umumnya.”



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Negara Indonesia yang katanya telah merdeka 71 tahun yang lalu ini, ternyata belum mampu memimpin rakyatnya dengan baik. Hal ini terbukti dengan perpolitikannya yang masih mengedepankan sistem money politic. Sistem tersebut tetap saja ada walaupun lembaga KPK telah tegak berdiri. Penyebab semua ini adalah kurangnya pengetahuan dan pemahaman para pemimpin negeri ini tentang adab berpolitik dalam Islam, agama mayoritas penduduk Indonesia.
Adab yang ditinggalkan juga berujung pada perlombaan menjadi pemimpin. Banyak orang-orang berbondong-bondong mendirikan partai politik demi menguasai dunia perpolitikan Indonesia. Namun sayangnya adab berpolitik yang ditinggalkan juga menyebabkan para politikus itu dengan semena-mena mencuri uang rakyat seperti tikus yang meresahkan rakyat karena suka mencuri uang mereka. Selain itu mereka juga sulit ditangkap karena membaur dengan rakyat dan mengmbar kata-kata manis.
Sisitem demokrasi semkin menghancurkan politik negeri bumi pertiwi. Sisitem yang berideologi sekuler ini sangat bertentangan dengan sistem Islam dalam mengatur kenegaraan. Indonesia telah meninggalkan Islam dalam menjalankan roda perpolitkan dan lebih memilih demokrasi sebagai jalan hidup. Oleh sebab itu, tak ada yang bisa diraih oleh Indonesia selain kesengsaraan rakyatnya yang bertubi-tubi.
Keteladanan sangat diperlukan dalam berbagai aspek. Terutama dalam masalah kepimimpinan. Karena hari ini, hal tersebut menghilang dari peredaran. Tidak ada yang patut dijadikan contoh oleh rakyat jika para pemimpinnya saja selalu melanggar aturan yang mereka buat sendiri. Maka, sudah sepatutnya kita kembali kepada pelajaran sejarah kejayaan yang dicapai oleh umat Islam dengan para pemimpinnya yang hebat. Untuk kemudian kita coba aplikasikan cara mereka dalam mencapai kejayaan pada masa kini dengan semampu kita. Tak ada harapan yang lebih patut diharapkan sebagai seorang hamba terhadap Rabbnya dalam membentuk sebuah negara kecuali mengaharap agar negerinya menjadi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (negeri yang baik yang mendapat ampunan Allah ).
B.     Saran
Kita sebagai umat Islam yang mendominasi rakyat Indonesia, hendaknya memposisikan diri sebagai pemimpin yang baik. Walaupun kita belum tentu akan menjadi seorang pemimpin negeri ini. Gagalnya politik indonesia dalam memimpin rakyatnya, sebaiknya tidak menjadi alasan bagi umat Islam untuk tidak bangkit. Dengan mengetahui adab berpolitik yang benar berarti kita juga mengetahui bagaimana adab seorang pemimpin ketika memimpin rakyatnya. Mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan kelompok adalah kunci suksesnya seorang pemimpin. Karena sejatinya kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Jika kita mampu memimpin diri sendiri, maka kita pun akan mampu memimpin orang lain.


DAFTAR PUSTAKA
Qur’an in MS Word, version 2.2.0.0, 2013
Tim Penyusun dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008)
As-Suyithi, Imam, Tarikh Khulafa’: Sejarah Para Khalifah, alih bahasa: Muhammad Ali Nurudin, cet. I, (Jakarta: Qisthi press, 2015)
Hidayat, Nuim, Agar Batu Bata Menjadi Rumah Yang Indah, cet. I, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2014)
Artawijaya, Belajar Dari Partai Masjumi, cet. I, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar: 2014)
Al-Maqdisi, Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim, Agama Demokrasi Pilih Islam Atau Demokrasi?, alih bahasa: Ustadz Abu Musa Ath-Thayyaar, (Klaten: Kafayeh Cipta Media)
https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi (diakses pada: 31 Mei 2016, jam: 15.00 WIB)
https://www.islampos.com/enam-sifat-umar-bin-khattab-46023/ (diakses pada: 31 Mei 2016, jam: 15.00 WIB)


[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi (Rabu, 18 Mei 2016. Pukul: 14.53)
[4] Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al-Maqdisi, Agama Demokrasi Pilih Islam Atau Demokrasi?, alih bahasa: Ustadz Abu Musa Ath-Thayyaar, (Klaten: Kafayeh Cipta Media) hal:40
[5] Ibid, hal: 41-52
[6] Tim Penyusun dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008) hal. 9
[7] Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, alih bahasa: Muhammad Ali Nuruddin, cet. I, (Jakarta: Qisthi Press, 2015), hal: 191
[8] Nuim Hidayat, Agar Batu Bata Menjadi Rumah Yang Indah, cet. I (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), hal: 167-169

Oleh : Eva Zulaikha

0 komentar:

Posting Komentar