Senin, 15 Agustus 2016

Konsep Sukses Menurut QS. Al-Ashr


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah
Dunia semakin menjadi. Moral dan perilaku anak manusia semakin tak terkendali seiring bumi yang semakin renta. Hedonisme menjelma menjadi pola hidup yang perlahan dituhankan. Banyak manusia yang menganggap kehidupan hanyalah di dunia dan segala perilaku tak akan dipertanggung jawabkan.
Mayoritas manusia mengukur kesuksesan
adalah pekerjaan yang baik dan kehidupan yang mapan. Tidak sedikit orang yang mencurahkan seluruh perhatiannya pada pekerjaan, bonus, dan honor. Ada juga manusia yang menghabiskan sebagian besar waktunya demi ilmu yang kadang tidak bermanfaat. Ia tenggelam dalam kesibukan mencari ijazah.
Parahnya, mereka melakukan itu semua hingga membuat meraka menomor sekiankan ibadah. Padahal jelas, itu bukanlah hakikat kesuksesan yang sesungguhnya. Dan jika kita merenungi kitab-Nya, maka kita akan dihadapkan dengan konsep kesuksesan nyata dan hakiki. Berangkat dari kenyataan ini, penulis berinisiatif menyusun makalah yang berjudul, “Konsep Pribadi Sukses menurut QS. Al-Ashr”.
B.     Rumusan masalah
Apa konsep pribadi sukses menurut QS. Al-Ashr ?
C.    Tujuan penulisan
Mengetahui konsep pribadi sukses menurut QS. Al-Ashr
D.    Manfaat penulisan
a.       Secara teoritis
Memahami konsep pribadi sukses menurut QS. Al-Ashr
b.      Secara praktis
Mengaplikasikan konsep pribadi sukses menurut QS. Al-Ashr dalam kehidupan nyata.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi sukses
Menurut KBBI, sukses berarti berhasil atau beruntung.
Adapun menurut Alqur’an, makna kesuksesan termaktub dalam QS. Al-Ashr. Allah berfirman, “...Sungguh manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal sholih, saling menasehat dalam kebenaran, dan saling menasehat dalam kesabaran.” (QS. Al-Ashr : 2-3).
Sukses dalam Alqur’an yaitu mereka yang selamat dari kerugian, dengan beriman, beramal sholih, saling menasehat dalam kebenaran, dan saling menasehat dalam kesabaran. Kerugian yang dimaksud adalah kerugian ganda, yakni kerugian dunia dan akhirat. Dengan begitu, berarti makna sukses pun juga berarti ganda, yakni kesuksesan dunia dan kesuksesan akhirat. Dari definisi di atas, maka jelas, bahwa sukses menurut Alqur’an merupakan makna kesuksesan yang hakiki.
B.     Makna QS. Al-Ashr
Al-Ashr merupakan sebuah surah dalam Alqur’an yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad. Surah Al-Ashr termasuk golongan surah Makiyyah, dan menempati urutan ke-103 dari 114 surah di Alqur’an.
Surah Al-Ashr terdiri dari 3 ayat. Meski sangat singkat, namun kandungan surah ini sungguh padat. Bahkan, tentang surah ini Imam Syafi’i[1] pernah berkata,
لو ما أنزل الله حجّة عَلَى خَلْقِهِ إلاّ هذه السّورة لكفتهم
“Kalaulah Allah tidak menurunkan suatu hujjah pun kepada makhluk-Nya kecuali surah ini (Al-Ashr), maka cukuplah itu bagi mereka.”
Surah Al-Ashr dibuka dengan sumpah Allah dengan salah satu makhluk-Nya yakni Al-Ashr. Al-Ashr secara bahasa berarti masa, yakni zaman yang dilalui oleh manusia.[2] Namun, ulama tafsir berbeda pendapat tentang makna ‘al-ashr’. Rasulullah pernah bersabda,
لا تسبّوا الدّهر فإنّ الله هو الدّهر
“Janganlah kalian mencela masa, karena sesungguhnya Allah adalah masa.” (HR. Muslim)
Imam Nawawy menjelaskan maksud hadits tersebut, bahwa termasuk kebiasaan orang-orang Arab saat tertimpa suatu kejadian yaitu mencela masa. Maka Rasulullah mensabdakan hadits tersebut, “..karena sesungguhnya Allah adalah masa” yang berarti, karena sebenarnya Allah lah yang membuat kejadian-kejadian itu terjadi.[3]
Hadits tersebut menunjukkan betapa besar makna ‘al-ashr’ di sisi Allah. Dan tidaklah Allah bersumpah dengan sesuatu yang besar melainkan untuk mengabarkan suatu hal yang besar pula.
Maka pada ayat selanjutnya, Allah berfirman, sebagai jawaban dari sumpah-Nya tersebut,
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْر
“Sungguh, manusia berada dalam kerugian.”
Allah bersumpah dengan makhluk-Nya yang agung yaitu masa, guna mengabarkan pada manusia bahwa seluruh manusia –sungguh berada dalam kerugian. Sungguh sebuah kabar yang begitu besar lagi menakutkan bagi umat manusia. Karena hakikatnya, naluri manusia adalah menginginkan kesuksesan dan terhindar dari kerugian.
 Namun tidak berhenti sampai disitu, pada ayat selanjutnya Allah berfirman,
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر
“...kecuali mereka yang beriman, beramal sholih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.”
Ayat selanjutnya dari surah Al-Ashr berisi pengecualian. Dan tidaklah Allah membahas sesuatu kecuali tuntas. Maka bisa dipahami bahwa, jika seorang manusia berhasil melakukan keempat syarat di atas, niscaya ia akan selamat dari kerugian. Seorang yang berhasil selamat dari kerugian inilah yang kemudian memperoleh gelar sebagai ‘pribadi sukses’.
Berdasar dari ayat di atas, maka konsep pribadi sukses terdiri dari empat hal, yaitu ;
1.      Beriman
2.      Beramal sholih (sholih pribadi)
3.      Bernasehat dalam kebenaran (sholih sosial)
4.      Bernasehat dalam kesabaran (berkomitmen)
C.    Konsep pribadi sukses
Setelah mengetahui sekelumit tentang surah Al-Ashr, maka inilah konsep pribadi sukses yang terkandung dalam surah tersebut ;
1.      Beriman (yakin yang dibangun di atas ilmu)
Pada ayat kedua, Allah berfirman,
“kecuali orang-orang yang beriman...”
Konsep kesuksesan yang pertama yakni iman. Iman merupakan kunci pertama kesuksesan seseorang. Ibarat kompetisi, iman adalah kartu pesertanya.
Iman menurut bahasa yakni keyakinan. Keyakinan yang dimaksud bukan hanya sekedar yakin, namun haruslah keyakinan yang dibangun atas dasar pengetahuan, sehingga berujung pada pengaplikasian.
Ust. Abu Fatiah Al-Adnani (2011) mengatakan, “Keyakinan yang dibangun di atas ketidak tahuan akan berujung pada kesesatan, sedangkan pengetahuan yang tidak berujung pada keyakinan, maka selamanya akan gelap dan tidak bisa dirasakan.” Maka untuk menjadi pribadi sukses, seseorang butuh mengkorelasikan antar keduanya.
Iman kepada Allah adalah syarat mutlak selamatnya seseorang di akhirat. Manusia tanpa iman layaknya seorang pelari tanpa nomor peserta. Sekencang, sedisiplin, dan segagah apapun ia berlari untuk mencapai garis finish, hal itu akan sia-sia. Tak akan ada seorangpun yang mengakui kemenangannya, tak akan ada sedikitpun penghargaan atas kerja kerasnya. Yang ada saat itu hanyalah pengandaian. ‘Andai dia termasuk peserta, pasti dia pemenangnya...’ ‘Andai aku mendaftar dalam kompetisi ini, tentu aku akan mendapat penghargaan...’ Namun, waktu telah habis, pengandaian itu hanyalah sia-sia belaka, karena saat itu, amalan-amalan yang dulu pernah dilakukannya, tak ubahnya seperti debu yang berterbangan. Allah berfirman,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”[4]
Ibarat sebuah pohon yang sempurna dengan akar, batang, dan dedaunannya, iman pun demikian. Iman terdiri atas ushul iman, iman wajib, dan iman kamil, yang jika terangkum semua itu dalam diri seorang mukmin, akan sempurnalah imannya.
Ushul iman (akar iman) adalah tauhid. Tauhid adalah kartu seri, nilainya sejajar dengan nilai sebuah kartu peserta pada suatu kompetisi. Dengan tauhid, seorang pendosa pun akan berkesempatan untuk menempati jannah setelah tuntas masa hukumannya.
Tingkatan iman yang kedua adalah iman wajib. Konsekuensi dari iman ini adalah mendirikan ibadah-ibadah yang bersifat wajib, serta menjauhi dosa-dosa besar. Maka seorang muslim yang berzina, ia tidak serta merta dihukumi kafir secara mutlak. Namun, ia kafir dari iman wajib. Begitupun seorang muslim yang melakukan pencurian, atau pembunuhan.
Contoh lain dari iman wajib ini adalah sholat dan zakat. Seorang muslim yang telah menunaikan keduanya, berarti ia telah mecapai tingkatan iman ini. Dalam Al-Qur’an, Allah selalu menggabungkan dua perintah ini. Salah satu hikmahnya adalah, bahwa Islam merupakan agama yang penuh rahmat. Melalui ayat-ayat tersebut, Allah memerintahkan manusia agar hidup seimbang. Sholat adalah hubungan vertikal seorang hamba kepada Allah, sedangkan zakat adalah hubungan horizontal seorang hamba kepada sesamanya, yang juga bernilai ibadah. Termasuk dari iman wajib juga adalah birrul walidain, puasa Ramadhan, dan syari’at-syari’at wajib yang lainnya. 
Iman yang paling tinggi tingkatannya adalah iman mandub, atau iman kamil. Iman kamil adalah seorang muslim yang tidak hanya menjaga kemurnian tauhidnya kepada Allah dan menunaikan perkara-perkara wajib serta menjauhi segala jenis dosa, namun ia juga menjaga ketaatannya dengan perkara-perkara sunnah dan berusaha menjaga diri dari hal-hal yang makruh.
Maka, tingkat kesuksesan seseorang pun juga ditinjau berdasar kualitas imannya. Semakin tinggi tingkatan iman seseorang, semakin berpotensi pula ia mencapai kesuksesan. Namun tetap, semua itu harus berlandaskan ilmu pengetahuan.
2.      Beramal sholih (sholih pribadi)
Setelah iman, konsep kesuksesan yang kedua adalah beramal sholih. Allah berfirman,
“...dan yang beramal sholih...”
Beramal sholih merupakan cermin dari iman. Menurut KBBI, amal sholih  adalah perbuatan sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah atau menunaikan kewajiban agama.  Syarat sah amal sholih adalah ikhlas dan ittiba’ rosul (mengikuti ajaran Rasulullah).[5] Maka, kedua hal tersebut harus senantiasa ada dan tidak boleh terlepas dari diri seseorang.
Iman dan amal sholih adalah kesempurnaan pribadi. Dan untuk benar-benar meraih kesuksesan yang sesungguhnya, kesempurnaan pribadi tidaklah ada artinya jika tidak diiringi dengan kesempurnaan sosial.
Jenis amal sholih yang ditawarkan dalam Islam sangatlah banyak, bahkan tak terhitung. Namun, Rasulullah menasehatkan pada ummatnya, bahwa amal yang terbaik bukan terletak pada beratnya amal atau sedikitnya orang yang melakukannya, melainkan pada komitmen seseorang melakukan amalan tersebut.
Maka, untuk menjadi pribadi sukses, hendaklah seseorang memiliki amalan andalan. Amalan yang ia berkomitmen dalam mengerjakannya.
3.      Bernasehat dalam kebenaran (sholih sosial)
Setelah sholih secara pribadi, maka konsep kesuksesan selanjutnya  yakni bernasehat dalam kebenaran. Allah berfirman,
“...dan mereka yang saling nasehat-menasehati dalam kebenaran..”
Bernasehat dalam kebenaran merupakan bentuk kesholihan seseorang secara sosial. Wujud dari kesholihan secara sosial yakni saling menasehati dalam kebenaran, berdakwah, beramar makruf nahi munkar, dan memperbaiki manusia. Alqur’an mengistilahkan golongan ini dengan istilah ‘mushlih’, yakni orang yang melakukan perbaikan.
Pribadi mushlih sangat tinggi derajatnya di sisi Allah. Bahkan dalam tweetnya, Syaikh Abdul ‘Aziz At-Thorifi menuturkan, 
“Umat ini dijaga oleh Allah karena adanya mushlihin (orang yang melakukan perbaikan), bukan karena adanya orang-orang shalih. Satu orang mushlih lebih dicintai oleh Allah daripada seribu orang yang shalih, sebab dengan adanya mushlih, Allah menjaga seluruh umat dari adzab (dunia), dan orang shalih hanya bisa menjaga dirinya sendiri, tanpa orang lain.”[6]
Pernyataan beliau ini senada dengan firman Allah,
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ
“Dan Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang melakukan perbaikan (mushlihun)”. (QS. Hud: 117).
Pribadi yang sukses pantang bermental egois. Maka, Allah mengajarkan, sekaligus mensyaratkan pada manusia yang berkeinginan menjadi pribadi yang sukses agar tidak hanya menjadi seorang sholih, namun juga mushlih.
Maka, untuk menjadi pribadi yang sholih secara sosial, seseorang hendaknya ;
-          Terlibat dalam semua proyek kebaikan
-          Terlibat dalam semua proyek nahi munkar
Kendati sangat dianjurkan, namun Allah juga memperingatkan manusia agar berhati-hati dalam melakukan hal tersebut. Allah dalam salah satu ayatnya mengingatkan,
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“(itu) sangatlah dibenci Allah, jika kamu mengatakan apa yang kamu sendiri tidak kerjakan.” (QS. As-Shoff : 3)
Pada ayat di atas, Allah sungguh memperingatkan para hamba-Nya agar jangan sampai seseorang mendakwahkan sesuatu kepada orang lain yang bahkan ia sendiri pun tidak mengamalkan hal tersebut. Disamping mendapat kecaman dari Allah, menyuruh orang lain untuk berbuat baik tanpa memperbaiki diri sendiri sama saja dengan memaksa cermin untuk menampakkan sisi lain dari diri kita. Mustahil.
4.      Bernasehat dalam kesabaran (komitmen)
Tolak ukur kesuksesan seseorang tidaklah terletak saat ia beramal, atau saat ia mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Namun kesuksesan seseorang dilihat pada akhir hayatnya. Jika seluruh konsep kesuksesan ini berhasil dicapainya hingga akhir masa hidupnya, maka barulah ia bisa dikatakan sukses.
Hal itu dikarenakan, dalam menggapai kesuksesan, manusia akan mengalami banyak sekali hambatan. Dalam mencapai kesuksesan, hambatan adalah sesuatu yang pasti. Hal ini dinyatakan Allah dalam firman-Nya,
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ  وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan mengatakan ‘kami beriman’ sementara mereka belum diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang jujur diantara mereka dan orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut : 2-3)
Kunci kesuksesan pertama adalah iman. Pada ayat tersebut Allah menekankan bahwa hambatan (ujian) pasti akan ditimpakan kepada orang yang berusaha mencapai kesuksesan. Karena, dengan itulah Allah mengetahui mana diantara hamba-Nya yang benar-benar jujur dalam meraih kesuksesan dan mana diantara mereka yang berdusta.
Hambatan (ujian) yang dimaksud beragam rupa. Bahkan ia tidak hanya berupa kesusahan, namun juga kesenangan. Jenis ujian kedua inilah yang banyak membutakan manusia. Dan istiqomah merupakan satu-satunya kunci bagi seseorang yang ingin senantiasa berada dalam jalan kesuksesan ini.  
Maka, Allah menutup konsep kesuksesan yang terkandung dalam surah Al-Ashr ini dengan firman-Nya,
“...dan mereka yang saling bernasehat dalam kesabaran.”
Seperti pemaparan sebelumnya, istiqomah adalah kunci utama seseorang bertahan. Maka, untuk mendapatkan keistiqomahan, sabar adalah jalannya. Sabar merupakan rahasia terbesar seseorang dapat istiqomah berada di atas keimanan, kesholihan, dan kemushlihan. Bersabar berarti bersikap tenang dalam segala kondisi dan berkeyakinan bahwa suatu saat ia akan memetik hasilnya.
Dalam ayat di atas, Allah menasehatkan pada manusia, agar mereka senantiasa saling bernasehat dalam hal kesabaran. Yakni, bersabar dalam mengerjakan ketaatan pada Allah, menjauhi larangan-Nya, dan dalam menerima seluruh takdir-Nya.
Ujung dari sabar adalah istiqomah. Dan dengan istiqomah, berarti seseorang telah memenuhi empat konsep kesuksesan. Kesuksesan hakiki dan bukan sekedar kesuksesan duniawi. Sukses yang diakui oleh Allah. Sukses dengan jannah sebagai penghargaan tertinggi.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sudah menjadi naluri manusia untuk mengejar kesuksesan dalam hidupnya. Namun sayangnya, tidak banyak manusia yang memahami akan hakikat kesuksesan yang sesungguhnya. Dalam QS. Al-Ashr, Allah menjelaskan secara ringkas dan padat konsep meraih kesuksesan hakiki tersebut.
Dalam tiga ayat yang sangat singkat tersebut Allah menjelaskan, bahwa seluruh manusia adalah berada dalam kerugian. Selurunhnya. Hanya orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehat dalam kebenaran, dan mereka yang saling menasehat dalam kesabaranlah manusia yang akan selamat dari kerugian tersebut. Maka, inilah kelompok manusia sukses.
Kerugian yang diniscayakan oleh Allah merupakan kerugian ganda, dunia dan akhirat. Maka, begitu pula mereka yang sukses (selamat dari kerugian). Mereka adalah para manusia yang tidak hanya sukses di dunia, maupun di akhirat.
B.     Saran
Sebagai seorang manusia, seorang muslim yang menginginkan sebaik-baik tempat kembali dan sebenar-benar kesuksesan, maka alangkah baiknya jika melakukan keempat hal yang termaktub dalam QS. Al-Ashr tersebut. Yakni beriman dengan sebenar-benar iman, senantiasa melazimi amal sholih, saling menasehat dalam kebenaran, dan bersabar untuk tetap istiqomah. Semoga sukses!


DAFTAR PUSTAKA
Alqur’anul Karim
At-Taimi, Syaikh Utsman bin Abdul Aziz bin Manshur. 1425 H. Fathul Majid. Makkah : Darul Ilmil Fawaid
Az-Zuhaili, Dr. Wahbah. 2011. At-Tafsir Al-Munir. Damaskus : Darul Fikr
Bin Sulaiman, Muhammad bin Abdul Wahhab. 1427 H. Ushuluts Tsalatsah. Saudi : Wizarah Syu’unil Islam
Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jogjakarta : Gramedia Pustaka Utama
http://fatwa.islamweb.net
http://www.dorar.net


[1] Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman, Syarh Ushul Tsalatsah, (Saudi : Wizarah Syu’unil Islam, 1427 H), hlm. 36
[2] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir, (Damaskus : Darul Fikr, 2011), juz 15, hlm. 789
[3] http://fatwa.islamweb.net diakses pada Senin, 30 Mei 2016 pukul 13:13
[4] QS. Al-Furqon : 23
[5] Syaikh Utsman bin Abdul Aziz bin Manshur At-Taimi, Fathul Majid, (Makkah : Darul Ilmil Fawaid, 1425 H), hlm. 74

0 komentar:

Posting Komentar