Rabu, 02 Maret 2016

Segala Hal yang Keluar dari Dua Jalan (Qubul dan Dubur)


           

 Sebelum mengkaji tentang sesuatu yang keluar dari sabilain[1] lebih jauh, maka ada baiknya jika membahas tentang pengertian najis terlebih dahulu. Karena segala sesuatu yang keluar dari sabilain termasuk najis.
Najis secara bahasa adalah sesuatu yang kotor. Sedangkan secara syar’i, najis adalah segala sesuatu yang haram untuk dikonsumsi secara mutlak walaupun  memungkinkan, yang hal tersebut bukan karena haram, kotor, atau berbahaya bagi badan dan akal.
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa, segala sesuatu yang keluar dari dalam tubuh hewan[2] terbagi menjadi dua :
1.       Sesuatu yang tidak menyatu dan tidak mengalami perubahan di dalam tubuh, seperti : ludah, keringat, air mata, air liur[3] dan sejenisnya.
Maka, hukumnya sesuai dengan hukum hewan tersebut. Jika berasal dari hewan yang najis, berarti hukumnya najis, dan sebaliknya.
2.       Sesuatu yang mengalami perubahan di dalam tubuh, seperti : air kencing, berak, darah, nanah, air yang keluar karena luka dan muntah.
Ada perbedaan pendapat tentang hukum hal tersebut ;
·         Malik dan Ahmad__Air kencing dan berak yang berasal dari hewan yang boleh dimakan, hukumnya suci.
·         Ijma’__semua hal tersebut hukumnya najis, baik berasal dari hewan yang boleh dimakan maupun tidak, karena hal tersebut merupakan sesuatu yang kotor dan telah mengalami perubahan dalam tubuh.
Adapun angin yang keluar dari qubul (biasanya terjadi pada seorang wanita yang sudah bersuami dan melahirkan), ulama berselisih tentang hal ini;
·           Jumhur ulama’__hal itu membatalkan wudhu, karena keumuman dalil tentang najisnya segala hal yang keluar dari sabilain. Dan ini yang rojih.
·           Hanafi__hal itu tidak membatalkan wudhu

v Jenis benda/ zat-zat yang keluar dari sabilain :
1.       Air kencing
Air kencing manusia hukumnya adalah najis menurut ijma’. Hujjah dalam perkara ini adalah hadits Rasul tentang seorang badui yang kencing di dalam masjid. Rasulullah memerintahkan para sahabatnya agar menyiram air kencing itu dengan seember air.
        Tidak ada perbedaan antara kencing orang dewasa dan anak kecil. Keduanya adalah najis. Hanya saja, kencing anak kecil cukup dibersihkan dengan cara memercikkan air diatasnya.
        Adapun kencing binatang, maka jika ia berasal dari hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya, maka dihukumi najis. Hanafiyah berpendapat bahwa air kencing tikus, burung, dan kelelawar dimaafkan, karena sulit dilacak keberadaannya. Namun jika hal tersebut masuk kedalam bejana air, maka dihukumi najis.[4]
Sedangkan kencing binatang yang boleh dimakan dagingnya, maka ulama berbeda pendapat ;
·         Maliki dan Hanbali__air kencing tersebut dihukumi bersih. Karena hukum air kencing mengikuti hukum dagingnya. Maliki berpendapat, adapun untuk binatang jalalah, maka tahi dan kencingnya adalah najis.
·         Syafi’i dan Hanafi__semua air kencing adalah najis.[5]
2.       Berak, air madzi
Hal-hal tersebut hukumnya najis, berdasar hadits Rasul :
إنما تغسل ثوبك من البول و الغائط و المذي و القيئ
“Sungguh, hendaknya kamu mencuci pakaianmu dari air kencing, berak, madzi, dan muntah”[6]
·         Madzi    : cairan putih, encer, lekat, tidak memancar. Keluar saat terangsang.
  Hendaklah orang tersebut membersihkan dzakarnya dan berwudhu.
·         Wadiy   : cairan putih keruh, dan kental. Keluar setelah kencing, maka dihukumi
  seperti air kencing.
  Ulama’ menambahkan wadiy sebagai sesuatu yang najis.
3.       Cacing, batu, dan segala yang berasal dari lambung
Hukumnya mutanajjis (terkena najis), bukan najis. Namun jika berasal dari air kencing, maka hukumnya najis. Dibersihkan dengan cara membasuhnya.
Jika ia dalam keadaan wudhu, maka hendaknya ia mengulang wudhunya.[7]
4.       Mani
Mani adalah cairan putih kental, keluar dengan memancar, disertai syahwat dan merasa nikmat ketika mengeluarkannya. Merasa lemas setelah mengeluarkannya.[8]
Hukum mani manusia (laki-laki dan perempuan) :
·         Syafi’i__hukum mani adalah suci. Hujjah yang dipakai adalah hadits Aisyah,
لقد رأيتني أفرك من ثوب رسول الله المني فركا فيصلي فيه
“Sungguh, engkau telah melihat bahwa aku mengerik mani dari pakaian Rasulullah dan beliaupun memakainya untuk sholat.”[9]
Dari hadits tersebut bisa dipahami bahwa, jika mani itu najis, maka tidaklah cukup membersihkannya dengan mengeriknya saja.
·         Malik dan Abu Hanifah__hukum  mani adalah najis. Hujjah yang dipakai adalah hadits Rasul,
كان رسول الله يغسل المني ثم يخرج إلى الصلاة في ذلك الثوب
“Rasulullah mandi karena mani kemudian keluar untuk sholat dengan memakai pakaian itu (yang tadi dipakainya).”
Pendapat yang paling shohih adalah, mani tidak dihukumi najis. Sedangkan riwayat bahwa Rasul mandi setelah keluarnya mani, maka itu merupakan  sunnah dan penjagaan beliau akan kebersihan.
Hukum mani hewan :
·         Mani babi dan anjing, hukumnya najis, sebagaimana hukum asal keduanya.
·          Mani hewan (selain babi dan anjing), terdapat khilaf :
Ar Rafi’i__hukumnya najis, karena mani mengalami perubahan di dalam tubuh.
Adapun manusia, maka itu pengecualian.
An Nawawiy__hukumnya suci, karena hukum asal dari hewan tersebut adalah suci.
                Adapun susu, hukumnya adalah suci. Namun jika berasal dari hewan yang najis, maka hukumnya adalah najis, karena susu itu berasal dari dagingnya.[10] Begitupun jika susu tersebut telah berubah menjadi darah, maka ia dihukumi najis.


[1] Qubul dan dubur
[2] Berlaku juga untuk manusia
[3] Jika air liur tersebut keluar dari usus dan berbau busuk maka dihukumi najis (Syafi’i dan Maliki)
[4] Dr. Wahbah Az-Zuhailiy, Al-Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Damaskus, Darul Fikr, 2007 M), jilid 1, hal. 303
[5] Dr. Wahbah Az-Zuhailiy, Al-Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Damaskus, Darul Fikr, 2007 M), jilid 1, hal. 312
[6] HR. Thabrani
[7] Atha’ bin Abi Rabah. Fathul Bariy, (Kairo, Darul Hadits, 1998 M), kitab Wudhu, bab 34, jilid 1,  hal. 336
[8] Abu ‘Ubaidah Usamah bin Muh. Al-Jamal, Shahih Fiqh Wanita, (Surakarta, Insan Kamil, 2010 M), hal. 20
[9] HR. Muslim
[10] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Damaskus, Darul Fikr, 2007 M), jilid 1, hal. 305

0 komentar:

Posting Komentar