Sabtu, 05 Maret 2016

Hukum Membaca dan Mmegang Al-Qur'an bagi Wanita Haidh




A.    Pendahuluan
            Membaca Al-Qur’an adalah salah satu amal yaumiyah ummat islam yang bernilai ibadah, baik dengan tujuan menghafalnya, mentadaburinya ataupun mempelajarinya. Allah memerintahkan kepada hambaNya untuk selalu mebaca Al-Qur’an,
perintah ini tertulis dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (45)
“Bacalah sesuatu yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an), dan dirikanlah Shalat. Sesungguhnya Shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar (lebih utama dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” {Al-Ankabut: 45}
Allah juga menjelaskan bahwasanya Allah akan memberikan balasan yang berlipat ganda bagi para pembaca Al-Qur’an
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29-30)
          عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ رضى الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ ».
“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6469(
Lalu bagaimana dengan seorang wanita yang dalam keadaan haid dan dia ingin membaca dan memegang Al-Qur’an karena beberapa alasan seperti: dalam rangka kegiatan belajar mengajar, takut hafalannya hilang, untuk persiapan ujian tafsir, atau ingin mendapatkan pahala dll. Bolehkah dalam keadaan - keadaan tersebut sorang wanita yang haidh memegang atau membaca Al-Qur’an?
Dalam hal ini terjadi banyak perbedaan pendapat diantara para ulama tentang hukum membaca ataupun memegang al-qur’an bagi wanita yang sedang datang bulan (haid).



B.     Pembahasan
1.      Hukum Membaca Al-qur’an Bagi Wanita Haid
a.      Hukum membaca al-qur’an secara mutlaq (dengan tujuan ta’abbudiyah) bagi wanita haid
Jumhur ulama berpedapat bahwasanya hukumnya haram berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
لاتقرأ الحائض والجنب شيئا من القرآن
“Seorang yang haid dan junub tidak boleh membaca suatu apapun dari al-qur’an” (HR:Tirmidzi)[1]
Ada juga di antara mereka yang memperkuat hujjahnya dengan memakai dalil berikut:
Adalah Nabi saw tidak melarangnya membaca al-Qur'an kecuali karena jinabah.” (HR: Ahmad dan Abu Daud)
Ali ia berkata, “Dalam keadaan apapun, selain junub, Rasul shallallah ‘alaihi wasallam selalu membacakan Alquran kepada kita.(HR Tirmidzi)

Menurut pendapat para ulama hadits diatas adalah dho’if karena pada hadits Tirmidzi termasuk didalamnya Yahya bin Anisah sebagai salah satu periwayatnya sementara Imam Bukhari berpendapat bahwa hal ini mengindikasikan bahwa hadis tersebut adalah hadis dhoif (Lihat kitab al-Tarikh al-Kabir), dll.
Dalam menyikapi hadis dhoif di atas, para ulama juga berbeda pendapat. Dalam kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Bukhari memandang bahwa hadist dhaif selamanya tetap dhaif sehingga tidak bisa dijadikan hujjah
Sementara ulama-ulama lain seperti Sufyan al-Tsauri, Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ishak berpendapat bahwa walaupun semua berstatus dhoif  dan sebagian hadis kadar kedlaifannya tidak parah  tapi masing-masing saling menguatkan sehingga hadis tersebut bisa dimasukkan dalam golongan hadis hasan lighairih( hadis dhoif berubah status menjadi hadis hasan karena faktor eksternal). Sehingga, larangan wanita haid dan orang junub membaca Alqur’an tetap berlaku[2]
            Menurut pendapat madzhab Zhahiri dalam kitab al-Muhalla karangan Ibnu Hazm menulis: “Membaca Al-Qur’an, sujud tilawah, memegang mushaf dan berdzikir pada Allah, baik dengan wudhu maupun tanpa wudhu diperbolehkan bagi orang yang junub maupun perempuan yang haid.”
            Dalil yang dipakai adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari tentang surat Nabi Muhammad Saw kepada Heraclius (kaisar Romawi) yang mana dalam surat beliau memuat firman Allah surat Ai ‘Imran: 64
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (آل عمران: 64)
Katakanlah (Muhammad): “Wahai Ahli Kitab! Marilah kita menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan - tuhan selain Allah.jika mereka berpaling maka katakanlah pada (mereka), ”Saksikanlah bahwa kami adalah seorang muslim” (Ali ‘Imran: 64)[3]
            Pendapat yang paling kuat diantara keduannya adalah pendapat yang pertama karena dalilnya lebih kuat. Adapun mengenai surat Nabi kepada Heraclius tidak bisa dijadikan sebagai hujjah,  karena seperti yang kita ketahui pada umumnya, bahwasanya surat mengandung banyak kata – kata (selain ayat Al-Qur’an) didalamnya, begitupula dengan isi surat Nabi Muhammad Saw kepada Heraclius tidak hanya berisi ayat Al-Qur’an (Ali Imran:64), sehingga surat tidak bisa dihukumi seperti Al-Qur’an, oleh karena itu orang yang berhadats pun tidak dilarang untu menyentuhnya.

b.      Hukum membaca Al-Qur’an bagi wanita haid dengan tujuan menjaga hafalannya supaya tidak hilang
Dalam madzhab Maliki, dari periwayatan Ahmad bahwasanya hukum membaca Al-Qur’an bagi wanita haid hukumnya boleh. Karena haid adalah suatu keadaan yang menghampiri perempuan dan ia tidak mungkin bisa menolaknya dan masanyapun relatif lama, berbeda halnya dengan wanita yang dalam keadaan junub, yang mana dia bisa bersegera untuk bersuci. Jika wanita haid dilarang membaca Al-Qur’an maka hal itu bisa menyebabkan hilangnya hafalannya.[4]
            Begitu juga dengan seorang siswa, jika tiba waktu ujian dalam materi Alqur’ân dan dia sedang haid kemudian masa haidnya lama sehingga tidak mungkin mengikuti ujian tersebut kecuali bila haidnya berhenti maka tidak mengapa dia membaca Alqur’ân untuk ujian. Sebab jika dia tidak membacanya tentu ujiannya gagal dan dia tidak sukses dalam ujian Alqur’ân dan ini membahayakannya. Maka dalam keadaan ini juga, seorang siswi boleh membaca Alqur’ân untuk mengikuti ujian.[5]
            Dali yang mereka jadikan pijakan adalah tidak adanya dalil yang shahih mengenai keharaman membaca Al-Qur’an bagi wanita yang haid, adapun bagi wanita junub banyak periwayatannya sehingga dalil - dalil tersebut saling menguatkannya.[6]

c.       Hukum membaca penggalan ayat – ayat al-qur’an dengan tujuan berdzikir kepada Allah.
Fuqoha yang menyatakan keharaman membaca Al-Qur’an bagi wanita haid dan junub adalah jika dia bertujuan ta’abbudiyah. Adapun jika dia bertujuan untuk berdzikir atau berdoa, seperti membaca hamdalah, basmalah, atau doa naik kendaraan yang merupakan penggalan ayat al-Qur’an yang berbunyi:
سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ
“Maha suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami semua sebelumnya tidak mampu menguasai” (Az-zukhruf:13)
maka hukumnya diperbolehkan. Ini adalah pendapat kebanyakan fuqoha madzhab Hanafi, Syafi’i dan pendapat Imam Ahmad menurut salah satu riwayat. Pendapat ini pula yang dipegangi oleh fuqoha madzhab Hanbali.[7]

2.      Hukum Memegang Al-Qur’an bagi Wanita Haid
a.      Hukum memegang al-Qur’an yang murni (tanpa terjemahan atau tafsiran) tanpa alas.
Hampir semua fuqoha sepakat akan hukum pelarangan menyentuh Al-Qur’an secara langsung tanpa alas.
Dalil – dalil yang dijadikan landasan adalah:
·         Firman Allah:
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79)
Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfudz), tidak menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan” (Al-Waqi’ah: 77-79)
·         Hadits yang diriwayatkan dari kakek Amru bin Hazm bahwa Nabi Saw mengirim surat kepada penduduk Yaman. Diantara isinya berbunyi, “Jangan menyentuh Al-Qur’an selain orang yang dalam keadaan bersuci” [8]
Akan tetapi masalah diatas adalah perkara ikhtilafi, karena ada sebagian kecil ulama yang berpendapat membolehkannya. Untuk lebih berhati – hati dan menghidarkan diri dari ikhtilaf para ulama, sebaiknya kita menghindari memegang Al-Qur’an secara langsung, kecuali jika dalam keadaan darurat, itupun harus menggunakan alas.[9]
b.      Hukum memegang al-Qur’an yang murni (tanpa terjemahan atau tafsiran) dengan menggunakan alas
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai kebolehan menyentuh Al-Qur’an dengan menggunakan alas, yakni:
1.        Jika alasannya itu menyatu dengan mushaf seperti sampulnya, maka tidak boleh. Sedangkan jika alasnya terpisah dari Al-Qur’annya seperti kaos tangan, tas ataupun kain, maka hukumnya boleh. Ini pendapat fuqoha madzhab Hanafi, sebagian fuqoha madzhab Maliki dengan mengecualikan guru dan murid saat belajar mengajar, dan menurut pendapat Imam Ahmad dari riwayat yang masyhur.
Alasan mereka, jika alas (pembungkus) itu menyatu dengan mushaf maka ia termasuk bagian darinya. Karena, jika mushaf itu dijual maka pembungkusnya termasuk kedalamnya, meskipun tidak disebutkan dalam akad. Berbeda halnya jika tidak menyatu, maka ia tidak termasuk bagian darinya.
2.        Tidak boleh sama sekali menyentuh mushaf meskipun dengan pembungkus. Ini pendapat fuqoha madzhab Syafi’i dan pendapat Imam Ahmad meurut satu riwayat.
Alasan mereka, segala sesuatu yang menjadi pembungkus atau alas mushaf, baik yang menyatu ataupun yang tidak terpisah adalah bagian dari mushaf dan dinisbatkan kepada mushaf.
3.        Dibolehkan secara mutlak menyentuh mushaf dengan alas atau pembungkus. Ini adalah pendapat sebagian fuqoha madzhab Syafi’I dan sebagian fuqoha madzhab Hanbali.
Alasan mereka, larangan menyentuh mushaf adalah menyentuhnya secara langsung. Jika ada tabir atau pembungkus yang melapisinya, maka itu bukan lagi menyentuhnya secara langsung sehingga tidak terlarang.
            Pendapat yang paling kuat diantara tiga pendapat tersebut adalah pendapat yang pertama yang merinci antara alas yang menempel dan yang terpisah. Semua pendapat diatas adalah ijtihad fuqoha, bukan berdasarkan dalil yang syar’i. Meskipun demikian sebagai sikap kehati – hatian, pendapat yang merinci (pendapat pertama) ini lebih proporsional, tidak berlebih – lebihan dan tidak juga menyepelekan.[10]
c.       Hukum memegang Al-Qur’an terjemahan atau yang ada tafsirannya tanpa menggunakan alas
Mushaf yang dilarang untuk disentuh secara langsung oleh orang yang sedang berhadats kecil atau besar (termasuk Haidh) adalah mushaf yang mengandung ayat-ayat Qur’an saja, baik itu 30 juz atau sebagiannya saja.[11]
Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir semacam itu, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.”
Dalam hal ini Al Qur’an terjemahan dalam bahasa non Arab, tidak dihukumi seperti mushaf yang mana disyaratkan dalam hadits untuk tidak menyentuhnya kecuali dalam keadaan suci. Namun dihukumi sama dengan menyentuh kitab tafsir. Karena seperti yang biasa kita ketahui, pada umumnya isi dari Al-Qur’an terjemahan lebih banyak mengandung kajian terjemahannya daripada ayat Al-Qur’an itu sendiri. Akan tetapi, jika isi Al Qur’annya lebih banyak atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, maka seharusnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats.[12] Syaikh Utsaimin menjelaskan dalam kitab Majmu’ fatawa wa Rasail Al-Utsaimin juz.11 hal.215 “Apabila isinya berimbang antara tulisan ayat al-Qur’an dan tafsir maka hukumnya tidak boleh disentuh oleh orang yang berhadats, berdasarkan kaidah: jika berkumpul hal yang membolehkan dan melarang, dan tidak ada pembeda yang menguatkan salah satu sisi maka dikuatkanlah sisi yang melarang.”[13]
Dalam masalah ini juga ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa mushaf Al-Qur’an yang tertulis dengan selain huruf Arab, seperti buku yasinan yang banyak ditulis dengan tulisan latin, maka diperbolehkan menyentuhnya bagi orang yang berhadats.[14]
d.      Hukum memegang Al-Qur’an dalam kegitan belajar mengajar
Menurut pendapat madzhab Hanafi ada rukhsoh  bagi wanita haidh yang ingin mempelajari atau mengajarkan Al Qur’an di saat jam mengajar untuk menyentuh mushaf baik menyentuhnya secara langsung ataupun menggunakan alas, baik menyentuh seluruh mushaf atau sebagiannya atau cuma satu lembaran yang tertulis didalamnya ayat Al Qur’an. [15] Namun hal ini tidak berlaku pada orang yang junub. Karena orang yang junub dia mudah untuk menghilangkan hadatsnya dengan mandi sebagaimana ia mudah untuk berwudhu. Beda  halnya dengan wanita haidh, ia tidak bisa menghilangkan hadatsnya begitu saja karena yang ia alami adalah ketetapan Allah. Demikian pendapat dari ulama Malikiyah (kitab Al-Mawsu’ah jilid 2).
Akan tetapi yang jadi pegangan ulama Malikiyah, boleh bagi orang yang junub (laki-laki atau perempuan, kecil atau dewasa) untuk membawa Al Qur’an ketika mereka hendak belajar karena keadaan yang sulit untuk bersuci ketika itu. Ia dibolehkan untuk menelaah atau menghafal Al Qur’an ketika itu.[16]
 
C.     Penutup
Dari makalah diatas bisa disimpulkan bahwasanya hukum membaca atau memegang Al-Qur’an bagi wanita haid adalah perkara ijtihadiyah atau khilafiyah. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum hal ini, kita boleh memilih mana saja yang menurut kita paling mendekati pada kebenaran berdasarkan dalil yang syar’i. Akan tetapi alangkah baiknya jika kita lebih berhati – hati dalam memilih pendapat tersebut, tidak ketat, dan tidak pula meremehkan, karena sebaik – baik perkara adalah yang pertengahan.
Sebagai bentuk kahati - hatian penulis akan menuliskan pendapat yang menurut penulis hujjahnya paling kuat, tidak berlebihan dan tidak pula meremehkan. Yakni, haram hukumnya bagi wanita haid yang memegang ataupun membaca Al-Qur’an dengan tujuan ibadah.
Ada rukhsoh bagi wanita haid yang ingin memegang secara langsung atau membaca Al-Qur’an (murni tanpa tarjamah) saat majlis ilmi atau dengan tujuan menjaga hafalannya supaya tidak hilang, akan tetapi alangkah baiknya jika kita memegang mushaf menggunakan alas atau mushaf yang dipegang adalah mushaf  tarjamah.
Mushaf yang dilarang dipegang oleh orang – orang berhadats adalah mushaf yang murni berisi ayat Al-Qur’an atau mushaf yang isinya lebih banyak ayat Al-Qur’annya dari pada terjemahannya atau keterangannya. Jadi mushaf terjemahan yang didalamnya lebih banyak terjemahannya, keterangannya, atau tulisan lain selain ayat Al-Qur’an hukumnya seperti kitab tafsir, fiqih, dll yang boleh dipegang oleh orang yang berhadats.


Daftar Pustaka
Al-Qur’anul Karim. (2010). Bandung: cv. Jabal Raudlatul Jannah.
Maktabah Shamela.
Al-‘Ainiy, Abu Muhammad Mahmud bin Ahamad. Al-binayatu fi Syarhi al-Hidayati.
Dimasyqo: Darul Fikr.
Ad-Dimasyqo, ‘Alaud Din Abul Hasan Ali bin Muhammad Ibnu Abbas al-Bu’la. (1329).
Kitabu al-Ikhtiyaroti al-‘Amaliyati. Mesir: Kurdistan Al-Amaliyah.
Al-Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar. (2012). Kifayat Al-Ahyari. Beirut: Darul
Kutub Al-‘Ilmiyah.
Al-Maliky, Al-Imam Al-hafidz Ibnul ‘Azliy. ‘Aaridlotul Ahwadzi. Beirut: Darul Kutub
Al-‘Ilmiyah.
Az-Zuhaily, Prof. Dr. Wahbah. (2007). Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Dimasyqo: Darul
Fikr.
Ibrahim, As-Syaikhu Muhammad Bin. (1429 H.). Fatawa Al-Mar’atu Al-Muslimatu.
Riyadh: Dar Adlwaus Salaf.
Salim, DR. Ahmad. (2011). Hukum Fiqih Seputar Al-Qur’an. terj. Jakarta: Ummul Qura.

[1] Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini, Kifayat Al-Ahyari, (Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, 2012 ), jilid 1, hal. 120
[3] DR. Ahmad Salim, Hukum Fiqih Seputar Al-Qur’an, terj. (Jakarta: Ummul Qura, 2011), hal. 23
[4]‘Alaud Din Abul Hasan Ali bin Muhammad Ibnu Abbas al-Bu’la ad-Dimasyqo, Kitabu al-Ikhtiyaroti al-‘Amaliyati, (Mesir: Kurdistan Al-Amaliyah, 1329), hal. 17
[6]Al-Imam Al-hafidz Ibnul ‘Azliy Al-Maliky,  Aaridlotul Ahwadzi (Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah) juz 1, hal. 213,214
[7] DR. Ahmad Salim, Hukum Fiqih Seputar Al-Qur’an, terj. (Jakarta: Ummul Qura, 2011), hal. 25
[8] Ibid, hal. 31
[10] DR. Ahmad Salim, Hukum Fiqih Seputar Al-Qur’an, terj. (Jakarta: Ummul Qura, 2011), hal. 32,33
[15] Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Dimasyqo: Darul Fikr, 2007), jilid 1, hal. 626

0 komentar:

Posting Komentar