Sabtu, 05 Maret 2016

Hukum Makanan yang Tercampur Alkohol




A.    PENDAHULUAN
Makan dan minum merupakan kebutuhan pokok makhluk hidup. Baik manusia, hewan, maupun tumbuhan. Tidak ada makhluk hidup yang bisa bertahan tanpa adanya makanan. Terlebih seorang manusia. Demi mendapatkan sesuap nasi, mereka rela berkorban tenaga, waktu, kehormatan, bahkan nyawa.
Sebagai seorang muslim, Islam telah mengatur dengan sedemikian sempurna perihal  makanan. Nash-nash dalam al-Qur’an dan as-Sunnah juga telah gamblang menjelaskan mana makanan yang halal dan mana makanan yang haram
.
Namun, seiring berlalunya zaman, semakin bertambahlah variasi-variasi atau jenis- jenis makanan. Hal itu membuat status halal haram sebuah makanan menjadi membingungkan. Karena banyak makanan halal yang tercampur dengan yang haram, namun kadarnya sangat sedikit, bahkan zat haram tersebut sampai larut sehingga tak ditemui lagi bau, rasa, maupun warnanya. Contohnya makanan yang tercampur alkohol, atau makanan yang mengandung wine, rhum, begitu pula status vaksin yang disuntikkan ke tubuh manusia.
Pada makalah perdana ini, penulis ingin membahas perihal hukum makanan yang tercampur alkohol. Penulis sadar makalah ini masih banyak membutuhkan koreksi agar lebih baik, maka penulis berharap akan bimbingan, saran, dan kritik dari pembaca. Adapun segala kebenaran yang terdapat pada makalah ini maka itu datangnya dari Allah semata, dan segala kesalahannya maka itu karena keterbatasan penulis.
B.     PENGERTIAN
1.    ALKOHOL
a)      Definisi alkohol
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) disebutkan bahwa alkohol adalah :
-          Cairan tidak berwarna yang mudah menguap, mudah terbakar, dipakai di industri dan pengobatan, merupakan unsur yang memabukkan di kebanyakan minuman keras; C2H5OH; etanol.
-          Senyawa organik dengan gugus OH pada atom karbon jenuh.[1]
b)      Jenis-jenis alkohol
Terdapat berbagai jenis alkohol, diantaranya :
-          Ethanol. Alkohol jenis ini merupakan bahan utama yang memabukkan dalam khamr. Dan konotasi alkohol biasanya untuk alkohol jenis ini.
-          Methanol. Alkohol jenis ini biasa digunakan untuk mencairkan beberapa jenis zat, juga dalam parfum ( minyak wangi ), dan bahan bakar. Alkohol jenis ini selain memabukkan, juga sangat beracun dan dapat mengakibatkan kematian bagi orang yang meminumnya.
-          Isopropil. Alkohol jenis ini sangat beracun dan sama sekali tidak digumakan untuk pembuatan minuman keras, hanya digunakan sebagai bahan pengawet, untuk sterilisasi, pembersih kulit, dan digunakan di laboratorium dan industri.[2]
c)      Fungsi dan kegunaan alkohol.
-          Sebagai pelarut ( solvent ), misalnya pada parfum, peras, pewarna makanan dan obat-obatan.
-          Sebagai bahan sintetis ( feedstock ) untuk menghasilkan bahan kimia lain, contohnya sebagai feedstock dalam pembuatan asam asetat ( sebagaimana yang terdapat dalam cuka ).
-          Sebagai bahan bakar alternatif.
-          Untuk minuman beralkohol ( alcohol beverage )
-          Sebagai penagkal racun ( antidote )
-          Sebagai penangkal infeksi ( antiseptic )
-          Sebagai deodorant ( penghilang bau busuk/tidak enak )[3]
2.    KHAMR
Khamr secara bahasa mempunyai tiga makna :
-          Tabir dan penutup. Jika dikatakan : ‘ikhtaromatil mar’ah‘, yaitu jika ia ( wanita ) menuti kepalanya dan wajahnya khimaar ( kerudung ).
-          Bercampur. Diantaranya seperti perkataan yang banyak beredar, ‘ hanii’an marii’an ghaira daain mukhaamirin..’; artinya : bercampur.
-          Matang. Diantaranya seperti perkataan : ‘ khamaratal ‘ajiin’; yang artinya : engkau membiarkannya hingga waktu matang.
Dari ketiga makna ini, diambillah kata al-khamrah, karena ia menutupi akal, mencampurkannya atau mengacaukannya.
Adapun definisi secara syar’i, maka ia nama untuk segala macam minuman yang dapat mengacaukan akal dan menutupinya. Hal ini berdasarkan hadits, ‘ Segala sesuatu yang memabukkan adalah khamr, dan semua jenis khamr adalah haram.[4]
C.    APAKAH HUKUM ALKOHOL SAMA DENGAN KHAMR?
Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa alkohol dan khamr adalah berbeda. Alkohol bukanlah mutlak termasuk khamr. Alkohol adalah salah satu unsur terpenting dalam khamr yang memabukkan. Akan tetapi, karena alkohol adalah zat utama yang menyebabkan terjadinya dampak mabuk dalam khamr, maka hukum alkohol dapat disamakan dengan khamr.
Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hal ini:
Pendapat pertama: Alkohol sama dengan khamr. Ini merupakan pendapat mayoritas para ulama kontemporer. Dan fatwa Dewan Ulama Kerajaan Arab Saudi, No. 8684, yang berbunyi: “ Segala sesuatu yang bila diminum dalam jumlah bsar mengakibatkan mabuk maka zat tersebut dinamakan khamr, baik dalam jumlah sedikit ataupun banyak, baik dibri nama alkohol ataupun diberi nama yang lain. Zat tersebut wajib ditumpahkan dan haram digunakan untuk kepentingan apapun: sebagai pembersih, campuran parfum, bahan bakar dan lain sebagainya”.
Pendapat kedua: Alkohol adalah khamr. Pendapat ini didukung oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan beberapa ulama kontemporer. Argumen pendapat ini bahwa terdapat perbedaan antara khamr dan alkohol. Khamr terbuar dari hasil fermentasi buah segar seperti anggur, kurma, gandum, dan biji-bijian. Sedangkan alkohol berasal dari kayu, akar dan serat tebu, kulit jeruk dan lemon dan juga terdapat dalam setiap adonan. Sekalipun alkohol adalah zat utama yang menyebabkan mabuk pada khamr akan tetapi alkohol tidak dinamakan khamr.
Namun sebagaimana telah kita ketahui, dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كل مسكر خمر وكل مسكر حرام
“ Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan adalah haram”.( HR.Muslim )
Dalam hadits ini Nabi menamakan segala sesuatu yang memabukkan dengan khamr –sekalipun nama asli zat tersebut bukanlah khamr- dan Nabi juga menyamakan hukum segala yang memabukkan dengan khamr, yaitu haram. Maka berdasarkan hadits ini alkohol menurut syari’at dinamakan khamr dan hukumnya sama dengan khmr, karena alkohol merupakan unsur utama yang memabukkan dalam minuman khamr.[5]

D.    NAJISKAH ALKOHOL ITU?
Pendapat pertama: semua ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menghukumi khamr adalah najis. Mereka berdalih dengan firman Allah,
ياْيها الذين ءامنوا إنما الخمر و الميسروالأنصاب و الأزلام رخس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون
“ hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, ( berkorban untuk ) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah rijs termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatn-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. ( Al-Maidah:90 )[6]
Allah menamakan khamr dengan rijs yang berarti kotoran, dan Allah juga memerintahkan untuk mnghindari khamr tersebut, dan sesuatu yang kotor yang diperintahkan untuk menghindari adalah najis.[7]
Pendapat kedua: sebagian ulama diantaranya Al-Muzani, Daud Zahiri, Syaukani, dan beberapa ulama kontemporer, seperti: Ahmad Syakir, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan Al-Albani berpendapat bahwa khamr tidak najis.
Pendapat ini dikuatkan oleh beberapa dalil, diantaranya:
Diriwayatkan   bahwa seorang laki-laki datang menghadiahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  segentong arak, Rosulullah bersabda, “ Tidakkah engkau tahu bahwa Allah telah mengharamkan arak?
Laki-laki itu menjawab, “Tidak”.
Lalu laki-laki itu berbisik kpada teman di dekatnya. Dan Nabi bertanya, “ Apa yang engkau bisikkan kepada temanmu?”.
Ia menjawab, “Aku perintahkan dia untuk menjualnya”.
Maka Nabi bersabda,”Sesungguhnya Allah telah mengharamkan minum khamr dan Allah juga telah mengharamkan menjualnya”. Lalu laki-laki itu membuka tutup gentong dan menumpahkan khamr ke tanah. (HR.Muslim)
Saat orang tersebut menumpahkan khamrnya Nabi hanya diam dan tidak menganjurkannya untuk menumpahkannya ke tempat yang agak jauh dan juga tidak memerintahkan para sahabat untuk membersihkannya, sebagaimana beliau memerintahkan para sahabat untuk membersihkan lantai saat serang Arab Badui kencing di dalam masjid. Sikap Nabi tersebut menunjukkan bahwa khamr tidaklah najis.
Muhammad Nashiruddin Albani berkata: “ Inilah pendapat yang kuat berdasarkan kaidah ‘asal sgala sesuatu adalah suci, sedangkan tidak ada dalil yang memalingkannya”.[8]
Adapun maksud kata rijs dalam ayat yang digunakan oleh pendapat pertama, maka maksudnya bukanlah kotor secara hakikatnya melainkan bersifat maknawi. Karena kata tersebut diiringkan dengan judi, berhala, dan undian, yang tidak disifatkan najis secara hakikatnya. Sebagaimana firman Allah:
فاجتنبوا الرجس من الأوثان و اجتنبوا قول الزور           
 “Maka jauhilah oleh kalian berhala-berhala dan perkataan dusta” (Qs. Al Hajj: 30)[9]
Patung-patung adalah kotor secara maknawi, tetapi tidak najis menyentuhnya.

E.     HUKUM MAKANAN YANG MENGANDUNG ALKOHOL
            Setelah memahami beberapa pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1.        Alkohol bukanlah benda najis, maka boleh digunakan untuk pemakaian luar ( bukan diminum ) seperti untuk pembersih luka dan pembunuh bakteri, serta dapat digunakan untuk minyak wangi.
2.        Adapun penggunaannya untuk minuman dan makanan atau obat yang diminum maka hal itu diperinci sebagai berikut:
a)    Apabila kadar alkohol yang dicampurkan ke dalam makanan/minuman banyak sehingga tidak terurai, masih terdapat bau, rasa, warna, rasa,serta masih memiliki pengaruh memabukkan maka itu hukumnya haram karena itu termasuk khamr.
Sedangkan hukum keharaman khamr, para ulama telah sepat tentang keharamannya, sebagaimana dikutip dari perkataan Ibnu Hazmi, “ Barangsiapa yang sengaja merendam ikan dengan khamr, lalu ditambah garam untuk dibuat Murry ( sejenis lauk ), sungguh dia wajib diberi sanksi hukuman, karena khamr tidak halal digunakan untuk apapun juga, serta tidak halal dicampurkan ke dalam apapun juga, khamr hanya boleh ditumpahkan”. [10]
b)    Apabila kadar alkohol yang dicampurkan ke dalam makanan/minuman sedikit sehingga terurai, serta tidak terdapat lagi bau, rasa, warna, dan tidak menimbulkan efek mabuk, pada keadaan ini terdapat perbedaan pendapat.
            Pendapat pertama: Menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i makanan/ minuman ini tidak halal, karena telah bercampur alkohol ( khamr ), dan alkohol adalah ( khamr ) adalah najis, maka hukum minuman/makanan ini pun berubah menjadi najis dan tidak boleh dikonsumsi serta tidak boleh diperjual belikan.
            Pendapat kedua:  Menurut sebagian ulama dalam madzhab Hanbali, Abu Yusuf ( murid langsung Abu Hanifah ) dan Ibnu Hazmi bahwa makanan/minuman yang telah bercampur khamr ( alkohol ) hingga larut/terurai dalam makanan, tidak terdapat lagi bau, rasa, warna, serta tidak menimbulkan efek memabukkan, maka hukumnya halal dikonsumsi dan halal dijual belikan.
            Mereka beralasan bahwa khamr diharamkan karena memabukkan, sedang makanan/minuman yang dicampur alkohol kemudian larut/terurai tidak lagi memabukkan. Ini menunjukkan bahwa khamr telah berubah menjadi wujud menjadi zat lain. Dengan dmikian makanan yang yang sjak awalnya halal tidak terpengaruhi hukumnya oleh campuran alkohol yang kemudian terurai/larut.[11]
            Sebagaimana pula dinukil dari perkataan Ibnu Taimiyah, ” Apabila khamr terurai didalam air maka orang yang meminum air tersebut tidak lagi dinamakan meminum khamr”.[12]
            Hal yang menguatkan kehalalannya sekalipun mengandung alkohol adalah karena yang diharamkan adalah makanan/minuman yang dalam jumlah besar memabukkan maka sekalipun jumlahnya kecil tetap diharamkan, sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
      ما اْسكر كثيره فقليله حرام                 
            “ Sesuatu yang memabukkan dalam jumlah besar maka hukumnya haram sekalipun dalam jumlah kecil.” ( HR.Abu Dawud )
            Kenyataannya, makanan ini tidak memabukkan bila dikonsumsi dalam jumlah besar, dengan dmikian maka hukumnya halal dan boleh diperjualbelikan.[13]
F.     DAFTAR PUSTAKA
1.      Al-Qur’an Al-Karim
2.      Andalusy,al-, Abi Muhammad bin Ahmad,  Al-Muhalla, jilid.12, cet. ke-1, Beirut-Lebanon: Daar Al-Kotob Al-ilmiyah, 2003 M.
3.      Kharany,al-, Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah, Majmu Fatawa, jilid.20, Kairo: Daar Al-Hadits, 2006 M.
4.      Izazy,al-, Abu Abdirrahman Adil bin Yusuf, Tamamul Minnah, jilid.1, cet.ke-2, Iskandariyah: Darul Aqidah, 2004 M.
5.      Tarmizi, Erwandi, Harta Haram Mu’amalat Kontemporer, cet.ke-5, Bogor- PT. Berkat Mulia Insani, 2013 M.
6.     

[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[2] Erwandi Tarmizi, Harta Haram Mu’amalat Kontemporer, hal.78
[3] Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi, Fiqih Kontemporer, hal.275-276
[4] http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2011/02/minuman-yang-mengandung-alkohol-khamr.html
[5] Erwandi Tarmizi, Harta Haram Mu’amalat Kontemporer, hal.79-80
[6] Qs.Al-Maidah : 90
[7] Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi, Fiqih Kontemporer, hal.277
[8] Abu Abdirrahman ‘Adil bin Yusuf Al-izazy, Tamamul Minnah, hal.55
[9] Qs. Al-Hajj : 30
[10] Abi Muhammad Ali bin Ahmad Al-Andalusy, Al Muhalla, jilid XII, hal 378
[11] ibid
[12] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, jilid XXI, hal.501
[13] Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi, Fiqih Kontemporer, hal.277

Writted by : Himmatur Rasyidah

0 komentar:

Posting Komentar