Senin, 21 Maret 2016

Krisis Moral Mengancam Indonesia

Indonesia merupakan negeri tropis yang sangat strategis. Negeri tempat para santri tumpah ruah, masjid berlimpah-limpah. Para wirausahawan Islam yang singgah di Nusantara pada abad ketujuh silam, ternyata mampu mengantarkan Indonesia menjadi negeri dengan mayoritas muslim terbesar di dunia saat ini.
  Ya. Islam yang dibawa masuk oleh para pedagang Arab yang singgah di Nusantara kala itu, diterima oleh rakyat Nusantara secara sukarela. Kendala bahasa, budaya, dan agama tidaklah menjadi penghalang bagi dakwah mereka. Karena ternyata, akhlaq Islam yang senantiasa menghiasi keseharian merekalah yang memikat jutaan penduduk pribumi untuk mengikuti ajaran Islam. Keteladanan dan akhlaq mulia sudah lebih dari cukup untuk menaklukkan hati pribumi.
Tidak sampai disini, darah Islam yang mengalir di tubuh rakyat Indonesia, ternyata mampu membebaskan Indonesia setelah ratusan tahun berada di tangan para penjajah. Ya. Karena mereka yang berjuang untuk kemerdekaan tak hanya bervisi ingin membebaskan negeri,namun lebih karena menganggap ini sebagai jihad, sebuah cita tertinggi yang mampu taklukkan musuh sebesar apapun itu.  
Krisis Moral Mengancam Indonesia
Waktu berputar, zaman kian berubah. Kini, predikat Indonesia sebagai negeri dengan mayoritas muslim terbesar nampaknya hanya sebatas data yang didapat dari sensus penduduk. Ya, agama mereka Islam, tapi perilaku mereka sama sekali tidak meunjukkan akhlaq seorang muslim. Krisis moral yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia menjadi ancaman terbesar yang dialami oleh Indonesia saat ini.
Figur guru yang dulunya merupakan sosok yang patut ‘digugu dan ditiru’, kini tak lebih dari seorang penceramah di sekolah. Sebatas mentransfer ilmu. Tidak ada sikap yang bisa dijadikan teladan, apalagi nilai akhlaq yang diajarkan. Di luar jam sekolah, ia bisa berubah menjadi apa saja, lupa dengan predikat ‘guru’ yang melekat pada dirinya. Lupa bahwa masa depan ratusan murid tepikul di pundaknya.  
Eksploitasi anak juga marak terjadi di negeri ini. Merampas kebebasan anak, kids trafficking, memeras tenaga anak untuk dipekerjakan di jalanan, bahkan pelecehan seksual terhadap anak bukan merupakan hal yang asing lagi di negeri ini. Dan yang lebih ironi, hal-hal tersebut justru dilakukan oleh orang-orang terdekat mereka.
Hampir setiap hari, stasiun televisi memberitakan kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat dalam negeri. Entah sudah berapa milyar hak rakyat yang masuk ke kantong mereka. Berkat aksi mereka, kini Indonesia berhasil masuk nominasi sebagai negara dengan koruptor tertinggi di Asia. Hukuman yang ditetapkan Indonesia masih dinilai cukup ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera, baik untuk diri yang bersangkutan maupun orang lain. Ironinya, di sisi lain, para polisi justru sibuk menghakimi seorang warga yang terpaksa mencuri ayam tetangganya demi sesuap nasi.
Banyaknya investor-investor asing yang menanamkan saham dan menawarkan produk mereka di Indonesia, serta tren materialisme yang mereka bawa, ditambah lagi dengan akses informasi yang terbuka luas, menjadikan masyarakat terpengaruh gaya konsumtif. Gaya hidup mewah yang sekedar mengedepankan keinginan tanpa memikirkan keadaan sekitar dan masa depan. Padahal, jika mereka mau melihat sedikit ke sekitar, akan ada ribuan tangan yang dapat mereka bantu penghidupannya.
Banyaknya budaya barat yang masuk juga seakan mendoktrin masyarakat agar mengikuti budaya mereka. Akibatnya, pergaulan bebas yang berujung pada hubungan seksual terlarang dianggap sebagai hal yang biasa. Prostitusi dilokalisasi, karena dinilai hal tersebut merupakan solusi terbaik daripada zina di sembarang tempat.
Fenomena lesbian, gay, biseksual, dan transgender yang mencuat akhir-akhir ini juga merupakan isu yang memprihatinkan bagi masyarakat Indonesia. Ironinya, penyakit yang dianggap sebagai aib, bahkan oleh pengidapnya ini, ternyata masih dikontroversikan oleh para petinggi negeri. Bukan sebagai penyakit, namun sebagai hak asasi.  Akhirnya, para pengidap LGBT yang sejatinya hanya berjumlah sekitar 3% dari populitas negeri, kini bersemangat meramaikan media sosial, menunjukkan diri. Membuat isu yang menunjukkan seolah-olah mereka adalah komunitas besar yang patut diperjuangkan hak asasinya.
Tindakan Antisipasi Hadapi Krisis Moral
Sebagai orang-orang yang teguh memegang moral, kita harus optimis. Sekuat apapun krisis moral ini dilancarkan, pasti tetap bisa dihentikan.
Kesadaran diri secara personal menjadi kunci awal disini. Selalu mawas diri, agar jangan sampai terjebak dalam arus yang tampak menggiurkan ini. Peringatkan pula orang-orang terdekat kita, agar tak mudah terjerumus oleh akhlaq-akhlaq tercela yang ditawarkan oleh lingkungan.
Pendidikan berbasis Islam yang mengedepankan akhlaq dari sekedar mentransfer ilmu juga merupakan alternatif baik untuk membendung dekadensi moral ini. Putra-putra bangsa yang dikenalkan kepada akhlaq mulia sejak kecil diharapkan mampu untuk membawa perubahan di masa yang mendatang.
Teknologi informasi yang berkembang pesat, yang meniadakan sekat antar ruang, hendaknya dijadikan sarana untuk menuju perubahan yang lebih baik. Tulisan-tulisan yang membangun sungguh sangat diperlukan. Berapa banyak tulisan yang berhasil menggerakkan orang. 
            Berkacalah pada sejarah. Karena sejarah merupakan salah satu poros berkembangnya suatu negeri. Sungguh tidak etis jika tetesan darah para pahlawan yang berjuang membebaskan Indonesia dulu, kini dibalas dengan rusaknya moral para cucu bangsa di tanah yang sama.   
Kesimpulan dan Saran
Era globalisasi memang menyebabkan masyarakat terjebak dalam krisis moral yang begitu menggiurkan. Krisis moral kini menjadi penjajah dan ancaman terbesar bagi Indonesia. Namun, kita harus optimis, bahwa sebobrok apapun, krisis moral ini pasti bisa diatasi. Karena kejahatan, selamanya tidak akan menang.
Lakukan perubahan, mulai dari skala kecil, karena bagaimanapun itu lebih baik dari sekedar menonton, kemudian mencaci. Mengutip prinsip kaizen yang merupakan pondasi kemajuan Jepang, “Perubahan kecil, tampak tak berarti, berkesinambungan, dan tanpa henti.” Mari berbenah !

Oleh : Hajar Huwaida

0 komentar:

Posting Komentar