Rabu, 02 Maret 2016

Hukum Air Kencing Anak Laki-Laki dan Perempuan yang Belum Makan Sesuatu Apapun kecuali ASI




A.    Pendahuluan
           Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita nikmat, sehingga kami bisa membuat makalah yang sederhana ini. Dan tak lupa salawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhamad SAW.
    Di dunia ini pasti kita akan menemui anak kecil, dan juga para orang tua yang merawat seorang anak pasti nya anak kecil ini akan kencing dan harus berkali-kali membersihkan. Air kencing seorang anak tanpa kita sadari kadang tercecer kemana-mana kepakaian kita ataupun sekeliling kita
. Air kencing seorang anak najis sehingga kita harus hati-hati, takutnya kita terkena najisnya. Sedanggkan syarat sah sholat adalah suci dari najis, maka kita harus memperhatikan penyebab tidak sahnya sholat kita. Maka dari itu  kita seyogannya harus mengetahui apa hukum air kencing seorang anak kecil agar kita terhindar dari najis. Maka dari itu kami disini membahas bagaimana hukum air kencing seorang anak kecil.   

B.     Pembahasan
      Air kencing adalah cairan sisa yang di ekskreasikan oleh ginjal yang kemudian akan di keluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi[1]. Air kencing ini adalah termasuk hadast kecil, cara mesucikan hanya dengan berwudhu. Air kecing ini disepakati oleh para ijma’ bahwasannya najis.
        Air kencing manusia itu termasuk najis. Maka dari itu kita harus tahu apa itu najis dan pembagian najis agar kita tahu bagaimana membedakan air kencing anak kecil ini.

    Secara bahasa najis bermakna al qadzarah ( القذارة ) yang artinya adalah kotoran
      Sedangkan secara istilah, najis menurut definisi Asy Syafi’iyah   adalah:
“Sesuatu yang dianggap kotor dan mencegah sahnya shalat tanpa ada hal yang meringankan.”
Dan menurut definisi Al Malikiyah, najis adalah:
Sifat hukum suatu benda yang mengharuskan seseorang tercegah dari kebolehan melakukan shalat bila terkena atau berada di dalamnya.[2]
        Najis terbagi menjadi dua: Najis Hukmiyah dan Najis ‘Ainiyah. Najis hukmiyah yaitu najis yang tidak terlihat oleh mata.contoh nya air kencing yang sudah kering dan tidak tahu sifat nya. Maka ini cukup mengalirkan air ketempat yang terkena kencing dengan sekali saja. Najis ‘ainiyah adalah najis yang ada warna, bau, dan rasannya. Contoh darah haid maka cara membersihkannya sampai hilang bau nya warnanya.
      Air kencing manusia itu najis ini sudah di sepakati ijma’ para ulama’. Sedangkan air kencing bagi anak bayi ini iktilaf akan kenajisan nya. Seperti kisah Rasullulah di sebuah hadist
ولني فقاك فأوليه قفاي فأستره به. فأتي بحسن أو حسين رضي الله عنهما فبال على صدره فجىت أغسله. فقال: يغسل من بول الجارية و يرشّ من بول الغلام.
 Rasululluh SAW bersabda:“Balikkan punggungmu. Lalu aku pun berbalik dan menutupi Rasulullah SAW (mandi) dengan punggungku. Kemudian hasan dan husain dibawa. Lalu salah satunya kencing diatas dada Rasulullah SAW. Aku pun datang untuk mencucinnya. Namun beliau bersabda, “bekas kencing anak perempuan di cuci,sedangkan bekas kencing laki-laki cukup di percikkan saja”.[3]

               Hadist ini menerangkan tentang bagaimana hukum air kencing anak kecil. Anak kecil disini adalah yang dia belum makan sesuatu apapun kecuali air ASI seorang ibu. Apabila anak ini sudah makan walaupun itu bubur Promina atau yang lain, maka makanan itu meyebabkan air kencing seorang bayi itu najis.
                    Ulama’ membedakan  air kencing seorang anak laki-laki dan perempuan  cara mensucikannya karena ada sebab, mengapa bayi laki-laki lebih ringan di bersihkan. Ibnu Qayim Rahimahullah ta’ala berkata, “anak laki-laki di bedakan dengan anak perempuan karena beberpa perbedaan:
1.      Kencing anak laki-laki memuncarat kesana kemari, maka sulit untuk mencuci bekasnya. Sedangkan anak perempuan air kencing nya hanya  mengnai satu tempat saja, sehinga tidak sulit untuk mencucinya.
2.      Kencing anak perempuan lebih bau daripada kencing nya anak laki-laki, karena suhu badan anak laki-laki lebih tinggi dan itu berpengaruh pada air kencing dan meringgankan baunya.
3.      Anak laki-laki lebih sering di gendong dari pada anak perempuan, sebagaimana sering terlihat.”[4]
4.      Kecing laki-laki lebih lembut daripada kencing bayi perempuan menurut fiqih islam az-zuhaili 1/311, “Kencing bayi laki-laki lebih lembut ketimbang kencing bayi perempuan sehingga bertemunya kencing laki-laki tempat yang terkencingi tidak sekuat bayi perempuan” karenanya kencing laki-laki diringankan hukumnya tidak kencing bayi wanita.[5]
5.      Air kencing anak perempuan lebih pekat, lebih kekuning kuningan,lebih tajam baunya berbeda dengan anak laki-laki.
Penelitian lain tentang perbedaan antara urin bayi laki-laki yang masih menyusu dengan urin bayi perempuan juga dilakukan oleh Dr. Shalahuddin Badr. Dan kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut;
 Ilmu pengetahuan pada hari ini menetapkan bahwa urin mengandung bakteri pathogen dalam jumlah yang besar, yang menyebabkan penularan banyak jenis penyakit ganas. Di antara bakteri ini adalah: Bakteri E. coli (Escherichia Coli), staphylococcus, difteri, bakteri streptokokus, jamur candida, dan lain-lain. Oleh sebab itu wajib mencucinya, membersihkan tubuh dan pakaian dari urin ini sehingga tidak terkena penyakit yang disebabkan oleh salah satu dari jenis bakteri pathogen ini. Ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa urin anak yang baru lahir adalah steril, dan tidak ada bakteri jenis apapun di dalamnya, tapi kemudian setelah itu ia membawa bakteri, dan kebanyakan kontaminasi bakteri berasal dari saluran pencernaan. Dan Dr. Shalahuddin dalam penelitiannya menegaskan bahwa urin bayi laki-laki yang masih menyusu, yang hanya mengonsumsi ASI saja (susu alami) tidak mengandung bakteri jenis apapun. Sementara pada bayi perempuan yang masih menyusu mengandung beberapa jenis bakteri, dan dia mengembalikan hal ini kepada perbedaan jenis kelamin.
     Karena saluran kencing perempuan lebih pendek daripada saluran pada laki-laki, di samping sekresi kelenjar prostat yang ada pada laki-laki, yang berperan untuk membunuh kuman. Oleh karena itu urin bayi laki-laki—yang belum memakan makanan—tidak mengandung bakteri berbahaya. Dan sebagai akibat dari perbedaan anatomi sistem pembuangan urin pada perempuan dan laki-laki, maka perempuan lebih rentan terhadap kontaminasi bakteri dibandingkan laki-laki. Maka suatu hal yang mudah untuk berpindahnya bakteri ke kandung kemih pada wanita, terutama bakteri yang berpindah dari ujung sistem pencernaan dan berhubungan dengan saluran kemih. Dan kebanyakan bakteri tersebut adalah bakter coliform.[6]
   Al-Khaththabi dalam kitabnya Ma’alimu As-Sunan menjelaskan bahwa kalimat mensucikan air kencing bayi laki-laki dengan diperciki tidak diartikan bahwasannya ia tidak najis, tetapi kalimat tersebut menunjukan adanya takhfif atau keringanan dalam cara penyuciannya.[7]
     Di sini kami meyinggung tentang apakah di perlukan niat khusus untuk menghilangkan hadast ini. Sebagian ualama’ menduga bahwasanya tidak ada niat khusus, menurut ijma’ mereka. Menurut Ibnu Syuraih dan Al-Qafal( mereka adalah ulama’ syafi’iyah ), berpendapat bahwasanya ada niat khusus untuk menghilang kan najas ini, yaitu seperti menghilangkan hadast.
    Setelah kita baca peryataan diatas bahwasannya bisa kita simpulkan hukum kencing bayi anak kecil itu najis, akan tetapi untuk bayi laki-laki itu di ringgankan.
     Pendapat para fuqoha’ tentang bagaimana cara mensucikan air kencing bayi laki-laki dan perempuan.
a)      Menurut Pendapat Madzab Hanafiyah
    Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai' Ash-Shanai' fi Tartibi As-Syarai' menuliskan sebagai berikut :
وروي عن محمّدٍ أنّه يكتفي بالعصر في المرّة الأخيرة، ويستوي الجواب عندنا بين بول الصّبيّ والصّبيّة
Dan telah diriwayatkan oleh Muhammad ibn Al-Hasan bahwa dalam mencuci bekas air kencing bayi cukup dengan diperas di akhir proses mencuci, dan jawaban kami tentang air kencing bayi laki-laki dan perempuan adalah sama.
     Para ulama’ yang bermazhab hanafiyah, mereka berpendapat bahwa air kencing bayi laki-laki dan perempuan sama cara mensucikannya, yaitu dengan mencucinya.[8]
b)      Menurut pendapat mazhab Al-Malikiyah
Al-Imam Malik (w. 179 H) pendiri mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Al-Mudawwanah menuliskan pendapatnya sebagai berikut :
في الجارية والغلام بولهما سواء إذا أصاب بولهما ثوب رجلٍ أو امرأةٍ غسلا ذلك وإن لم يأكلا الطّعام
Hukum air kencing anak laki-laki dan perempuan yang belum makan apapun (selain air susu ibu) adalah sama, apabila mengenai baju seseorang maka mensucikannya dengan dicuci.[9]
Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah menuliskan sebagai berikut :
ولا يجزئ في بول الجارية إلا الغسل، لما روى علي - رضي اللّه عنه - قال: قال رسول الله - صلّى اللّه عليه وسلّم -: «بول الغلام ينضح، وبول الجارية يغسل» رواه أحمد
Dan tidaklah cukup mensucikan bekas air kencing bayi perempuan kecuali dengan mencucinya, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ali rdhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata :” Mensucikan bekas air kencing bayi laki-laki dengan diperciki sedangkan bayi perempuan dengan dicuci” (HR.Ahmad).[10]
   Pada mazhab malikiyah ini imam malik berbeda pendapat dengan ulama’ malikiyah. Imam mengatakan bahwasanya air kencing bayi laki-laki dan perempuan cara mencucinnya sama. Sedangkan ulama’ imam malik mengatakan tidak sama bayi laki-laki dengan di percikan sedangkan bayi perempuan di cuci. Bayi laki-laki dan perempuan yang belum makan sesuatu kecuali air asi ibu.
c). Pendapat Madzhab Syafi’iyah
    An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut :
في بول الصّبيّ والصّبيّة اللّذين لم يأكلا غير اللّبن من الطّعام للتّغذّي ثلاثة أوجهٍ الصّحيح أنّه يجب غسل بول الجارية ويجزئ النّضح في بول الصّبيّ
Terdapat 3 pendapat tentang air kencing bayi laki-laki dan perempuan yang belum makan sesuatu apapun kecuali Asi, dan yang shahih adalah wajibnya mensucikan bekas air kencing bayi perempuan dengan dicuci, sedangkan bayi lak-laki cukup dengan diperciki .[11]
    Imam dan para ulama’ Syafi’iyah sepakat cara mensucikan air kencing bayi laki-laki dan perempuan yang belum makan sesuatu apapun kecuali asi. Bayi laki-laki dengan di perciki sedangkan bayi perempuan di cuci.
d). Pendapat Madzhab Al-Hanabila
Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :
ولنا ما روت أمّ قيسٍ بنت محصنٍ ، أنّها أتت بابنٍ، لها صغيرٍ، لم يأكل الطّعام، إلى رسول اللّه - صلّى اللّه عليه وسلّم - فأجلسه رسول اللّه - صلّى اللّه عليه وسلّم - في حجره، فبال على ثوبه، فدعا بماءٍ، فنضحه، ولم يغسله.
Pendapat kami tentang air kencing bayi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ummu Qais binti mihshsan :”Ia bersama anaknya yang belum makan sesuatu apapun datang kepada Rasulullullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian ia mendudukkannya diatas pangkuan Rasulullah, dan anak itu kencing mengenai baju beliau. Rasulullah pun meminta air kemudian dipercikkan ke bajunnya tanpa mencucinya".[12]
   Imam dan para ulma’ hambali sepakat seperti pendapat syafi’iyah, kalu bayi laki-laki cukup dipercikan diarea yang terkana kencing sampai tersamarkan bau dan warnanya.


c)      Pendapat mazhab Adz-zhohiriyah
Ibnu Hazm (w. 456 H) salah satu tokoh mazhab Azh-Zhahiriyah di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar menuliskan sebagai berikut :
وتطهير بول الذكر - أي ذكر كان في أي شيء كان - فبأن يرش الماء عليه رشا يزيل أثره، وبول الأنثى يغسل،
Cara mensucikan bekas kencing laki-laki, siapapun dia dan dimanapun cukup dengan memercikan air sekali percikan. Sedangkan cara mensucikan bekas kencing perempuan siapapun dia adalah dengan mencucinya.[13]
 Imam dhohiri ini berpendapat seperti imam syafi’I dan hanabila membedakan cara mensucikannya. Akan tetapi ada bedannya imam dhohiri berpendapat bahwa cukup mempercikan air nya sekali.
C.     Kesimpulan
          Bahwa air kencing bayi laki-laki dan perempuan ada perbedaan dari segi Sunnah dan juga ilmiah. Hukum cara mensucikan para ulama’ berbeda pendapat, imam syafi’I, hambali dan dhohiri satu pendapat yaitu membedakan cara mensucikannya, bayi laki-laki cukup dengan di percikan dan bayi perempuan di cuci. Akan tetapi imam dhohiri berpendapat cukup dengan satu percikan.
          Sedangkan menurut hanafiyah tidak dibedakan antara bayi laki-laki dengan bayi perempuan semuannya di cuci. Menurut malikiyah mereka berbeda antara imam dan ulama’ nya, imam malik mengatakan air kencing keduanya sama cara mensucikannya, akan tetapi ulama’ malikiyah mengatakan berbeda  mensucikannya bayi laki-laki cukup di percikan sedangkan bayi perempuan di cuci. Hukum ini berlaku untuk bayi yang belum makan Sesutu apapun kecuali asi ibu. Maka jika bayi ini sudah di beri makan hukum kencing keduannya najis.
D.    Penutupan
   Alhamdulilah puji syukur kehadirat Illahi Rabbi. Atas segala rahmatnya dan kehendaknya kami bisa meyaselaikan  makalah yang sederhana ini, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semuannya.
    Tidak bisa di pungkiri setiap kekurangan pasti ada kelebihan, dalam istilah lain tiada gading yang tak retak. Begitu juga dalam penulisan makalah ini meminta saran dan kritik. Jazakumullah khairan atas semuannya.
 Wallahu ‘alam bis shoab…..


  


     
  



DAFTAR PUSTAKA
1.      Zuhaili, Az, Wahab,Fikih islam wa adillatahu, jilid 1 hal 311
2.      Usamah ‘ubaidah Abu bin Muhammad al-jammal,Shahih fikih wanita, cet 1,   solo insan kamil 2010.
3.      Taqyuddin, imam, abi bakr bin Muhammad alhusaini al husni,Kifayatul akhyar, cet ke-6, Dar Al-Kotob Al-ilmiyah.
4.       http://www.fiqihmuslimah.com/mbt/x.php?id=53, Berbedakah air kencing laki-laki dan perempuan
5.      http://syafiqie-imam.blogspot.co.id/2015/01/perbedaan-kencing-bayi-laki-laki-dan.html


[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Urin
[2] http://www.fimadani.com/pengertian-najis-dan-hukum-hukumnya/......
[3] Abu ‘Ubaidah usamah bin Muhammad al-jamal,shahih fikih wanita, hal 13
[4] Ibid4 , hal 14
[5] Wahab az-zuhaili, fiqih islam wa adilatuhu,jilid 1 hal 311
[6] http://syafiqie-imam.blogspot.co.id/2015/01/perbedaan-kencing-bayi-laki-laki-dan.html
[7] Al-Khaththabi, Ma’alimu As-Sunan, Jilid 1, hal 116

[8] Al-Kasani, Badai' Ash-Shanai' fi Tartibi As-Syarai, jilid 1, hal 88.
[9]Al-Mudawwanah, Adz-Dzakhirah, jilid 1, hal 131.
[10] Ibnu Abdil Barr, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, jilid 1, hal 165.
[11] An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdab, jilid 2, hal 589.
[12] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 2, hal 68.

[13]Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, jilid 1, hal 113.

0 komentar:

Posting Komentar