Sabtu, 05 Maret 2016

Aurat Wanita di Depan Orang Kafir


           

             Seluruh tubuh wanita adalah aurat, dari ujung kepala sampai ujung kaki, kecuali yang biasa nampak,  Secara khusus islam memerintahkan untuk wanita yang sudah baligh, untuk menutupi seluruh auratnya dari laki-laki yang bukan mahramnya kecuali yang biasa nampak yaitu wajah dan telapak tangan.
            Aurat wanita tidak boleh diperlihatkan ke laki-laki yang bukan mahramnya,
akan tetapi aurat wanita juga memiliki batasan untuk laki-laki mahramnya, kecuali suami, saat Islam berbicara dengan tegas bahwa seorang wanita boleh memperlihatkan seluruh aurat tubuhnya hanya pada suaminya, itu menunjukkan bahwa setiap wanita memiliki batas-batas aurat pada orang selain suaminya, baik itu keluarganya maupun sesamanya.
            Namun tidak sedikit dari wanita muslimah yang beranggapan bahwa aurat wanita wajib ditutup hanya di hadapan laki-laki lain jenis yang bukan mahram, sehingga sebagian mereka berfikir bahwa tidak ada batasan aurat di depan sesama wanita, padahal islam mengabarkan tentang kehati-hatian membuka aurat di hadapan wanita, baik wanita muslimah atau wanita non muslimah. Lalu jika ada batasan aurat wanita muslimah di hadapan wanita kafir, yang manakah yang wajib kita tutup, dan seberapakah batasan pergaulan kita terhadap mereka???
            Di makalah ini penulis akan mencoba menjelaskan batasan aurat di hadapan wanita non muslimah
1.      Pengertian Aurat
Aurat secara etimologi berasal dari kata عار , dari kata tersebut muncul derivasi kata bentukan baru dan makna baru pula. Bentuk ‘awira (menjadikan buta sebelah mata), ‘awwara (menyimpangkan, membelokkan dan memalingkan), a’wara (tampak lahir atau auratnya), al-‘awaar (cela atau aib), al-‘wwar (yang lemah, penakut), al-‘aura’ (kata-kata dan perbuatan buruk, keji dan kotor), sedangkan al-‘aurat adalah segala perkara yang dirasa malu.[1]
Pendapat yang lain juga dinyatakan aurat secara bahasa adalah kecacatan atau aib pada sesuatu.[2]
Sedangkan secara istilah syara’ adalah sesuatu yang wajib disembunyikan dan diharamkan melihatnya.[3]
2.      Kewajiban Menutup Aurat
Islam mengajarkan bahwa pakaian adalah sarana untuk menutup aurat bukan sebagai perhiasan, dan islam mewajibkan untuk seluruh kaum adam dan hawa untuk menutup anggota tubuhnya yang menarik perhatian lawan jenisnya.
Allah SWT berfirman :
وقل لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

            “Katakanlah kepada orang laki–laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allâh maha mengatahui apa yang mereka perbuat." Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera–putera mereka, atau putera–putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allâh, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nûr/24:31)
“Sesungguhnya wanita itu adalah aurat, setiap kali mereka keluar, syeitan akan memperhatikannya.” (HR. Bazzar & At- Tirmizi)
Bahwa Asma’ bint Abi Bakr (kakaknya) bertemu Nabi s.a.w. dalam keadaan pakaiannya tipis sehingga nampak kulit badannya, lalu Nabi s.a.w. pun bersabda: “Wahai Asma’, seorang perempuan yang telah sampai haidh (baligh) tidak boleh dilihat (hendaklah bertutup) pada badannya melainkan ini dan ini” (sambil baginda menunjukkan ke arah wajah dan kedua pergelangan tangannya).” (HR Abu-Dawud)
Sudah sangat jelas bahwa hukum menutup aurat di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah wajib, dan haram untuk menampakannya. Akan tetapi Islam juga memberi batasan kepada kita wanita muslimah bahwasanya ada batasan aurat wanita muslimah di hadapan sesamanya baik wanita muslimah atau wanita kafir.

3.      Batasan Aurat wanita di hadapan sesamanya, baik muslimah atau wanita kafir

Para ulama sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh membuka auratnya di depan laki-laki yang bukan mahramnya, akan tetapi di perbolehkan membuka sebagian anggota badannya, seperti kepala, leher, lengan dan betis di depan laki-laki mahramnya.
Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang aurat wanita yang boleh di buka di depan wanita muslimah, mayoritas ulama dari Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah serta pendapat shohih dari Hanafiyah, bahwa aurat wanita di depan wanita muslimah adalah antara pusat dan lutut.[4]
Tapi tentunya islam mengabarkan ke seluruh wanita muslimah harus adanya kehati-hatian dan kewaspadaan terhadap auratnya, walaupun di hadapan wanita muslimah, karna sesungguhnya kecerobohan itu mendatangkan mudhorat yang sangat besar, antara lain: timbulnya rasa simpati atau bahkan suka antara wanita dengan wanita, dan di takutkan juga wanita lain yang melihat auratnya, menceritakan auratnya kepada orang lain, apalagi kepada yang bukan mahram.
Jika kepada wanita muslimah saja kita sangat di anjurkan untuk hati-hati apalagi kepada wanita kafir, karna sesungguhnya aturan mereka berbeda dengan aturan kita, maka jagalah aurat yang selama ini selalu kita jaga bukti  taat kita kepada aturan Allah dan RasulNya, dan kesetiaan menjaganya untuk kita berikan kepada pelengkap tulang rusuk kita.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang aurat wanita muslimah di depan wanita kafir, apakah sama dengan aurat di depan laki-laki bukan mahram, atau sama dengan auratnya di depan wanita muslimah ?
Pendapat pertama:
Menurut Hanafiyah, Malikiyah,dan sebagian ulama dari Syafi’iyah, seperti Al-Baghawi dan An-Nawawi.  Aurat wanita muslimah di depan wanita kafir sebagaimana aurat wanita di depan laki-laki bukan mahramnya.[5] Di antara dalilnya adalah sebagai berikut:
Pertama: Firman Allah dalam surat an-Nuur ayat 31. “ janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudra perempuan mereka,atau wanita-wanita mereka,”
Ibnu katsir menjelaskan di dalam tafsirnya: أو نسائهنّ)") yaitu seorang wanita muslimah boleh memperlihatkan perhiasannya yang tampak di depan wanita muslimah,tetapi tidak boleh di depan wanita ahli dzimmah (wanita kafir). Walaupun hal itu (membeberkan) terlarang bagi semua wanita, tetapi lebih terlarang bagi wanita kafir, karena tidak ada yang melarang mereka berbuat seperti itu. Berbeda dengan wanita muslimah, karena dia mengetahui bahwa hal itu telarang, sehingga dia tidak berani melakukannya.”[6]
Larangan tersebut terdapat di dalam hadits Abdullah bin Mas’ud Ra bahwa Rasululoh Saw bersabda:
لاّ تًباّ شِرّ المّرأة المرأة, فتصفها لزوجها كأنّه ينظر اليهاى
“Janganlah seorang perempuan bersentuhan dengan perempuan lain, kemudian menceritakan auratnya kepada suaminya, seakan-akan dia melihatnya” (HR. Bukhori dan Muslim)[7]
Begitu teganya wanita muslimah yang dengan santainya menceritakan aurat wanita lain di depan suaminya, dengan penjelasan yang detail dan gamplang hingga seakan-akan sang suami melihatnya, hal ini sangat dilarang Allah Swt karena menimbulkan fitnah dalam rumah tangga, yang bahkan bisa menimbulkan perselingkuhan. Maka kita sebagai wanita muslimah hendaknya menjaga aurat baik di depan siapa pun, dan menjaga lisan dari pembicaraan laghwun atau malahan memicu mudharat atau perzinaan.
Kedua: Umar bin Khatab Ra menulis surat kepada Abu Ubaidah bin Jarrah Ra yang berisi, “telah datang kepadaku berita bahwa wanita-wanita (muslimah) masuk ke pemandian umum yang di dalamnya terdapat wanita-wanita ahlul kitab, maka laranglah mereka berbuat seperti itu”[8]
Ibnu ‘Imad dalam Hasyatu Ar-Ramli menjelaskan, ”Pelarangan tersebut hendaknya hanya berlaku pada wanita muslimah yang memperlihatkan badannya melebihi apa yang biasa terlihat ketika sedang bekerja/beraktifitas. Adapun jika yang terlihat (kepala, leher, lengan, betis), maka tidak ada larangannya, karena hal itu boleh dilihatkan kepada wanita kafir.”
Pendapat kedua
Aurat wanita muslimah di depan wanita kafir sebagaimana aurat wanita di depan wanita lainnya.  Ini pendapat sebagaian dari Malikiyah seperti Ibnu al-Arabi dan sebagian Syafi’iyah, seperti Imam Al-Ghozali, ar-Razi, dan dari Hanabilah, seperti Ibnu Qudamah, Syekh Abdul Aziz bin Bas, Syekh Ibnu al-Utsaimin,[9] dengan dalil, sebagai berikut:
Pertama : Yang di maksud ( أو نسائهنّ ) menurut Syekh Muhammad Sholih Al-Utsaimin  pada ayat di atas adalah semua wanita, baik wanita muslimah atau wanita kafir. Dan boleh bagi wanita muslimah membuka rambut dan wajahnya di depan wanita kafir, karena tidak  ada perbedaan antara wanita yang satu dengan yang lainnya, sama seperti halnya laki-laki di depan laki-laki lain, baik di antara wanita muslimah atau wanita kafir.[10]
Kedua : Dahulu wanita-wanita Ahlu Kitab sering mendatangi istri Nabi Muhammad SAW dan mereka tidak menggunakan hijab ketika menemui mereka. Nabi pun tidak memerintahkan mereka untuk memakai hijab. Di antaranya adalah ketika perempuan Yahudi berkunjung ke ru
mah Aisyah menanyakan sesuatu hal. Begitu juga ketika Asma’ binti Abu Bakar di datangi ibunya yang masih kafir, kemudian beliau bertanya kepada Rasulullah tentang kebolehan menyambung silaturahim dengannya. Kedua hadits ini terdapat di hadits Shahih Bukhori dan Muslim.
Ketiga : Terjadi perbedaan illat antara wanita muslimah harus berhijab ketika berada di depan laki-laki yang bukan mahramnya dengan ketika ia tidak berhijab di depan wanta kafir
Keempat : pendapat ini lebih fleksibel dan lebih dekat dengan realita di masyarakat yang mana masih sangat susah seorang wanita muslimah tidak bertemu dengan wanita kafir di toilet, atau di tempat-tempat lain yang di khususkan wanita.
Kehati-hatian yang kita butuhkan untuk menjaga aurat yang kita miliki, walaupun di hadapan sesama wanita, karena ini titipan Allah yang harus kita jaga untuk kita serahkan seutuhnya kepada pelengkap tulang rusuk kita. Allahu a’lam.

Kesimpulan:

            Dari keterangan di atas, disimpulkan bahwa pendapat yang lebih sesuai dengan kemaslahatan mayoritas wanita muslimah, adalah bolehnya membuka sebagian auratnya, seperti kepala, leher, lengan, dan betis di depan wanita kafir. Karena kalau hal itu dilarang maka akan memberatkan mereka, sebagaimana pernah disampaikan oleh al-Alusi di dalam tafsir Ruh al-Ma’ani

            Ibnu Hajar al-Atsqolani juga berkata : “Yang lebih shahih adalah haram wanita kafir melihat aurat wanita muslimah yang tidak biasa dibuka ketika bekerja, kecuali dia sebagai tuannya, atau mahramnya. Dan peristiwa datangnya wanita dzimmiyah (kafir) kerumah istri-istri Rasulullah yang terdapat didalam hadits-hadits shahih cukup sebagai dalil bahwa mereka boleh melihat sebagian anggota badan wanita muslimah yang sering terliht ketika bekerja”
            Adapun pendapat ulama-ulama terdahulu untuk tidak membuka jilbabnya di depan wanita kafir bisa dimaknai sebagai suatu anjuran. Bagi wanita muslimah yang mampu menjaga diri dan tidak membuka aurat mereka sama sekali di depan wanita kafir tentunya hal itu lebih baik. Wallahu A’lam.
            Demikian makalah yang akhirnya dapat dituntaskan penulis, penulis sangat berharap semoga dengan sedikitnya penjelasan ini bisa membantu para wanita muslimah yang mungkin masih ada yang bingung dan bertanya-tanya tentang batasan aurat di hadapan wanita kafir. Semoga tulisan ini bisa menghadirkan manfaat yang besar untuk para pembaca.
   
Daftar pustaka

Warson, Ahmad Munawwir, Kamus Munawwir  Arab-Indonesia, cet ke4, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997
Anis, DR Ibrahim dkk, Mu’jamul Wasath, jilid 1-2
Az-Zuhaili, Prof  DR  Wahbah, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, cet ke 4, 1431H/2013M jilid 1, Penerbit Darul Fikr,
Muhyiddin, Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Muhadab, jilid 4
Majalah Ar-Risalah vol XXXIX, Edisi:173, hal:30-31
Amaddi, Hafidz,  Kitab Tafsir Ibnu Katsir, jilid 10
Abi, Arsyaf Muhammad, Fatawa Mar’atul Muslimah, juz 1, hal: 756

 




[1] al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Ahmad Warson Munawwir  Pustaka Progresif, Surabaya,
1997, hlm. 984-985  
[2] Mu;jamul Wasath, DR Ibrahim Anis dkk, Jilid 1-2  hal: 667
[3] Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Prof DR Wahbah Az-Zuhaili, Jilid 1, hal: 614, Penerbit Darul Fikr, cet ke 4, 1431H/2013M
[4] Al-Majmu’ Syarh Muhadab, Imam Muhyiddin An-Nawawi,  jilid 4, hal: 189
[5] Majalah Ar-Risalah vol XXXIX, Edisi:173, hal:30-31
[6] Kitab Tafsir Ibnu Katsir, Hafidz Amaddi Din bin Fida’ Bin Katsir Damasqo, jilid 10, hal:220
[7] HR. Bukhori dan Muslim
[8] Kitab Tafsir Ibnu Katsir, Hafidz Amaddi Din bi Fida’ Bin Katsir Damasqo, jilid 10, hal:221
[9] Ar-Risalah Edisi 173, vol, XXIX, 1437H/2015M, hal: 30-31
[10] Fatawa Mar’atul Muslimah, Abi Muhammad Asryaf bin Abdul Maqsud, juz 1, hal: 756

Writted by : Yunika Sari

0 komentar:

Posting Komentar