Rabu, 02 Maret 2016

Najis yang Dimaafkan





Dalam masalah najis, ulama’ fiqih membagi najis menjadi dua golongan. Yakni yang disepakati kenajisannya dan yang diperselisihkan. Diantara dua golongan diatas, benda benda yang dihukumi najis dikelompokkan menjadi najis mutlak dan najis yang ma’fu (dimaafkan). Benda yang dihumi najis mutlak maka hukumnya secara umum adalah najis. Sedangkan benda najis yang ma’fu adalah benda benda najis yang dima’afkan kenajisannya berdasarkan sebab tertentu.
Diantara benda najis yang disepakati kenajisannya oleh ulama’dan yang dihukumi najis mutlak lalu dima’afkan berdasarkan sebab tertentu diantaranya adalah darah dan nanah. Sedangkan, najis yang diperselisihkan hukum kenajisannya oleh para ulama’ diantaranya adalah bangkai hewan yang tidak memiliki aliran darah.

2.1                   Darah dan Nanah yang Dimaafkan.
A.                     Madzhab Hambali
Ulama madzhab hanafi berpendapat bahwa najis mugholadhoh (berat) maupun mukhofafah (ringan)  yang dimaafkan adalah jika kadarnya sedikit .
Mereka menentukan kadar sedikitnya adalah kurang dari satu dirham(3,17 gr) yaitu yang beratnya sama dengan 20 qirot(untuk najis yang kering),tetapi untuk najis yang cair tidak sampai segenggam telapak tangan . Tetapi menunaikan sholat dengan najis yang sedikit meskipun termasuk najis yang dimaafkan tetap haram. Najis mukhofafah yang terkena pakaian ,dianggap sedikit ketika tidak sampai seperempat dari pakaian tersebut.
Darah yang mengenai tubuh tukang sembelih ataupun pakaiannya adalah sama hukumnya dengan air kencing yang sedikit.

B.                      Madzhab Maliki
Najis yang dimaafkan menurut madzhab ini sebagaimana yang di sebutkan Syeikh WahabahAz-Zuhaili adalah kadar yang sedikit dari darah dan nanah binatang darat dan manusia, yaitu jika ukurannya sekadar satu dirham al-bighali. Artinya sekedar satu bulatan hitam yang terdapat pada kaki depan binatang bighal (hasil silang kuda dan keledai), ataupun kurang dari itu.
Ketetapan ini tetap berlaku meskipun darah atau yang semacamnya itu keluar dari tubuh orang itu sendiri ataupun dari orang lain, dan baik darah atau yang semacamnya itu keluar dari manusia ataupun binatang, meskipun dari babi. Begitu juga sama saja baik tempat yang terkena darah itu pakaian ataupun badan ataupun tempat lainnya.
Ketentuan madzhab ini adalah najis jenis apapun yang susah untuk dihindari ketika shalat atau masuk mesjid itu dimaafkan. Tapi tidak pada yang jatuhmakanan ataupun minuman, maka ia akan menyebabkan najis, sehingga makanan dan minuman itu tidak boleh dimakan dan diminum.
Bekas bisul sejak mulai mengalir juga dimaafkan, jika memang bisul itu banyak, baik mengalir dengan sendirinya atau karena dipencet maka tetap dimaafkan. Jika bisul hanya sebesar biji, maka air yang mengalir darinya adalah dimaafkan. Kecuali jika dipencet tanpa ada keperluan tidak dimaafkan kecuali jika kadarnya tidak melebihi satu dirham.

C.                     Madzhab Syafi’i

Tidak ada najis yang dimaafkan kecuali najis yang tidak kasat mata , seperti darah yang sedikit dan percikan air kencing yang sedikit. Dimaafkan juga najis yang banyak dan sedikit yaitu darah jerawat atau bintik – bintik, darah binatang yang darahnya mengalir, semuannya dimaafkan karena sulit menghindarinya. Begitupula kadar najis yang sedikit juga dimaafkan, namun kadar sedikit ini ditentukan berdasar kebiasaan, Imam Asy-Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm mengatakan standar sedikit yang dimaafkan adalah kadar yang menurut kebiasaan sedikit. Dan pendapatnya dalam qaul qadim adalah yang tidak sampai satu telapak tangan.

Adapun darah anjing dan babi tidak dimaafkan , meskipun kadarnya sedikit karena hukumnya najis mugholadoh.
Sisa darah dalam daging, urat-urat dan tulang hewan yang telah disembelih, atau darah ikan atau darah yang tampak ketika memasak daging, maka hal itu tidak mengapa. Dalilnya:
Aisyah r.a berkata: “Kami pernah makan daging, sedang padanya masih terdapat darah yang menempel pada kuali.”
Dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan: “Bahwa orang-orang muslim pada permulaan datangnya Islam, mereka mengerjakan shalat dalam keadaan luka. Seperti Umar bin Khaththab yang mengerjakan shalat, sedang darah lukanya mengalir”.
Darah nyamuk, kutu kepala atau binatang kecil lainnya yang darahnya tidak mengalir juga dihukumi ma’fu.
D.                     Madzhab Hambali
Menurut madzhab ini, kadar najis yang sedikit meskipun tidak terlihat oleh mata sepeti kotoran yang melekat padalalat dan yang semisalnya tidak dimaafkan.
Firman Allah subhaanahu wata’ala: “Dan bersihkanah pakaianmu”.
Dan juga berdasarkan perkataan Ibnu Umar “Kami disuruh membasuh najis tujuh kali”.
Namun, madzhab ini memaafkan jumlah yang sedikit dari darah, nanah (ash-shadid), dan air luka, selagi tidak mengenai bahan cair atau makanan, karena sulit menghindar dari benda-benda najis itu. Hukum ini adalah jika najis najis tersebut berasal dari makhluk hidup yang suci semasa hidupnya, baik itu manusia atau binatang yang dagingnya boleh dimakan seperti unta dan lembu, ataupun tidak boleh dimakan dagingnya seperti kucing, selagi tidak keluar dari kemaluan depan (qubul) ataupun kemaluan belakang (dubur). Oleh sebab itu, jika najis itu keluar dari binatang yang dihukumi najis seperti anjing dan babi, keledai dan bighal, ataupun ia keluar dari salah satu saluran (kemaluan depan ataupun belakang) termasuk juga darah haid, nifas, dimaafkan juga bekas darah atau semacamnya seperti nanah yang banyak jatuh ke atas suatu benda, kemudian diusap. Karena, kadar yang tersisa sesudah ia diusap adalah sedikit.

     Di antara benda-benda yang dianggap oleh ulama madzhab Hambali sebagai suci ialah darah yang masih ada dalam urat-urat daging binatang yang boleh dimakan dagingnya. Karena, darah-darah itu tidak mungkin dihindari, darah ikan, darah orang yang mati syahid yang masih berada di badannya meskipun jumlahnya banyak, darah kepinding, kutu, nyamuk, lalat, dan binatang lainnya yang darahnya tidak mengalir, hati dan limpa binatang yang boleh dimakan dagingnya “dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah".

2.2                   Hukum Bangkai Hewan yang Tidak memiliki Aliran Darah
   Seluruh ulama’ madzhab bersepakat bahwa bangkai binatang air seperti ikan dan binatang laut yang lain adalah bersih, karena Nabi SAW bersabda :
 أحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ : السَّمَك وَ الجَرَدَ وَ الكَبِدُ وَ الطِّحَالُ
“ dihalalkan untuk kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah; ikan dan belalang, hati dan limpa”. (HR. Ibnu Majah)
   Pengertian bangkai menurut ulama’ madzhab Syafi’i dan Maliki ialah binatang yang hilang nyawanya tanpa sembelihan yang sah menurut syari’at seperti sembelihan orang majusi, orang yang sedang berihram, sembelihan dengan menggunakan tulang, dan begitu pula binatang yang tidak halal dimakan jika disembelih. Madzhab Maliki mengatakan bahwa semua binatang yang disembelih dilehernya ataupun disembelih pada pangkal lehernya atau dengan cara melukainya, maka hukumnya adalah bersih, asalkan binatng-binatang tersebut adalah binatang tidak haram dimakan. Namum binatang yang tidak boleh dimakanseperti keledai, bighaldan kuda, menurut pendapat mereka sembelihannya adalah tidak memberi dampak apa pun, oleh sebab itu binatang tersebut dihukumi najis. Adapun menurut ijma’ bangkai belalang dan ikan adalah suci.
Para fuqoha’ berselisih pendapat mengenai bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir, diantaranya sebagai berikut.

A.                     Madzhab Hanafiyah
   Ulama’ madzhab Hanafi menyatakan bahwa kematian seekor binatang yang hidup didalam air, maka ia tidak menyebabkan air itu menjadi najis seperti ikan, katak dan kepiting yang mati didalam air. Tetapi, daging bangkaibinatang yang berdarah mengalir dan juga kulitnya (sebelum disamak) adalah najis. Binatang apa saja yang darahnya tidak mengalir, jika jatuh kedalam air, maka ia tidak menyebabkan air itu menjadi najis seperti lalat, kalajengking, dan yang seumpamanya. Karena, terdapat hadits yang berkaitan dngan masalah lalat,
   jika terjatuh sekor lalat kedalam minuman salah seorang diantara kamu, maka hendaklah ia menenggelamkannya, kemudian membuangnya. Karena, sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit, dan pada sayap yang satu lagi terdapat penawar.” (HR. Bukhori)
   Oleh sebab itu, jelas bahwa bangkai binatang air dan bangkai binatang yang darahnhya tidak mengalir adalah suci menurut ulama’ madzhab Hanafi. Madzhab Maliki juga berpendapat sama dengan madzhab Hanafi .
B.                      Madzhab Syafi’i
   Ulama’ madzhab syafi’I mengatakan bahwa bangkai ikan, belalang, dan seumpamanya yang dari jenis binatang laut adalah suci. Tetapi, bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir seperti lalat, kepinding,kumbang, kalajengking, lipas, dan semacamnya dihukumi najis menurut pendapat ulma’ madzhab syafi’I.
   Walaupun begitu, ulma’ madzhab syafi’I berkata bahwa bangkai ulat seperti bangkai ulat cuka atupun bangkai ulat buah apel dihukumi najis. Tetapi, ia tidak membuat cuka dan buah apel itu menjadi najis, karna amat susah untuk mnghindarkan dari ulat tersebut. Malahan ulat tersbut boleh dimakan bersama cuka ataupun bersama buah apel tersebut, sebab memisahkan diantara keduanya sulit.
C.                     Madzhab Hambali
   Ulama’ madzhab hanbali menyatakan bahwa binatang yang darahnya tidak mengalir. Apabila berasal dari benda-benda yang bersih, maka ia dihukumi bersih baik hidup maupun mati. Tetapi jika ia berasal dari benda-benda yang najis seperti ulat kebun dan juga lipas, maka ia dihukumi najis baik hidup maupun mati. Karena kelahirannya berasal dari benda najis, maka ia juga dihukumi najis seperti anak anjing dan juga babi yang dihukumi najis karena dilahirkan dari induk yang najis.
Wallahu a’lam.

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita ambil bahwasannya hukum benda benda najis tergantung pada jumlahnya. Apabila darah dan nanah yang jumlahnya sedikit adalah ma’fu, yakni jika tidak dapat dihindari dan tidak kasat penglihatan mata. Begitu pula hukum hewan yang tidak memiliki aliran darah, maka apabila terjatuh dalam cairan tidak membuatnya najis selama tidak merubah air. Bangkai binatang air dan juga bangkai binatang lainnya yang tidak mempunyai darah adalah bersih menurut pendapat fuqoha’, kecuali ulama’ madzhab Syafi’iyang mengatakan bahwa binatang yang darahnya tidak mengalir adalah najis berdasarkan firman Allah SWT,
   diharamkan bagimu (memakan) bangkai….”[al-Maidah : 3]

3.2 Saran                   
Adapun saran yang dapat disampaikan bahwasannya Allah menurunkan hukum untuk mengatur manusia dan menghantarkannya kepada maslahat. Dan atas dasar maslahat pula Allah memberikan rukhsoh (keringanan hukum) supaya manusia mampu mengamalkan hukum hukumnya sesuai kadar kemampuannya. Oleh karena itu kita sebagai umat manusia selayaknya mengamalkan hukum yang telah Allah tetapkan kepada manusia, khususnya  untuk berhati hati terhadap najis yang telah ditetapkan oleh syari’at demikian pula supaya kita memahami rukhsoh pada ketentuan najis.




DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili,Wahabah. (2010). Fiqih Islam Wa Adillatuh. Jakarta: Gema Insani Darul Fikr. Jld.1
Abi Bakr, Taqiyuddin. (1971). Kifayatul Akhyar Fi HAlli Ghoyatil Ikhtisor. Beirut: Daarul Fikr Al-Ilmiyah. Jld.1
Qudamah, Ibnu. (2007). Al-Mughni. Jakarta: Pustaka Azzam. Jld.1
Isnawati. (2014). Najis Yang Dimaafkan. [Online]. Tersedia: http://www.rumahfiqih.com/khazanah/x.php?id=2 [10 November 2015]


0 komentar:

Posting Komentar