Kamis, 10 November 2016

Syubhat Drama di Kalangan Santri

Oleh : Hajar Huwaida

Saat ini, seni peran atau drama semakin menjamur di kalangan masyarakat. Hal ini bisa dirasakan dengan merajalelanya industri perfilman, merebaknya bioskop di berbagai tempat, dan mendominannya jam tayang sinetron di stasiun-stasiun televisi. Lebih dari itu, drama bahkan masuk ke sekolah-sekolah sebagai suatu kesenian yang perlu dibudidayakan
, atau salah satu metode penyampaian materi, atau hanya sebagai hiburan dalam acara-acara tertentu.
Bukan hanya sekolah-sekolah awam, namun para santri di pondok-pondok pesantren pun turut menikmati fenomena ini. Bagi para santri yang dua puluh empat jam hidup dalam peraturan, berkutat dengan buku-buku pelajaran, menjalani rutinitas yang itu-itu saja, drama dianggap sebagai ajang hiburan yang sangat menarik. Drama seringkali dijadikan alternatif dalam berbagai acara. Mulai dari pengembangan bahasa, pembelajaran di kelas, atau sekedar selingan disela-sela suatu acara. Tema yang disajikan pun beragam; jihadis, renungan, sejarah, kehidupan sehari-hari, atau lelucon.
Inilah yang miris. Meski latarnya adalah cerita islami, namun agaknya para santri kurang memperhatikan dan mengkaji ulang akan batasan-batasan syari’at seputar drama ini. Terbukti, banyak dari para santri yang dengan bebasnya memerankan tokoh zionis, melakukan adegan-adegan fasiq, atau berlagak sebagai perempuan (padahal ia laki-laki) dan sebaliknya, serta adegan-adegan lain yang serupa.
Maka dalam makalah ini, penulis tidak akan menjelaskan hal-hal seputar drama yang telah jelas keharamannya, namun penulis ingin sedikit memaparkan beberapa hukum tentang drama yang masih menjadi syubhat, khususnya bagi para santri.
Memerankan tokoh orang kafir
Tanpa disadari, ini kerap kali terjadi. Terlebih jika tema yang diambil adalah tema jihadis, yang disana harus ada yang berperan sebagai muslimin dan kuffar. Dalam hal ini, jika dalam drama tersebut terdapat adegan sujud kepada berhala, salib, atau sujud kepada pemimpinnya maka seluruh ulama’ fuqoha’ sepakat akan keharamannya, baik itu serius atau sekedar bercanda.[1] Allah berfirman,
وَلَئِن سَأَلتَهُم لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلعَبُ قُل أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُم تَستَهزِءُونَ لَا تَعتَذِرُواْ قَد كَفَرتُم بَعدَ إِيمَٰنِكُم
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘apakah kepada Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok ?’ Tidak perlu minta maaf, sungguh kamu telah kafir setelah beriman.”[2]
Ayat di atas menunjukkan, bahwa bercanda atau serius, dengan perkataan maupun perbuatan, jika itu menyangkut penghinaan kepada Allah, Al-Qur’an, dan Rasul, maka hukumnya sama, yaitu keluar dari Islam (murtad) kecuali jika pelakunya bertaubat kepada Allah. Rasulullah bersabda,
من تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa yang bertasyabbuh kepada suatu kaum, maka ia bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)[3]
As-Shan’aniy berkata, “Hadits di atas menunjukkan bahwa siapa yang bertasyabbuh dengan ahlu fasiq, orang kafir, atau ahlu bid’ah, dalam sesuatu yang merupakan khas mereka, entah pakaian, kendaraan maupun sifat, maka ia adalah bagian dari mereka.”
Dalil-dalil di menunjukkan bahwa haram bagi seorang muslim untuk berpura-pura sebagai orang kafir meski tidak diniatkan untuk mendurhakai Allah.
Memerankan tokoh fasiq
Seringkali di dalam drama dijumpai tokoh-tokoh yang memerankan adegan fasiq, seperti minum khamr, mabuk, menyanyi, dan sejenisnya. Mengenai hal-hal tersebut Allah berfirman,
وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ نَسُواْ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasiq.”[4]
Dalam ayat di atas jelas diterangkan, bahwa Allah mensifati orang-orang yang lupa akan Allah sebagai orang fasiq yang tidak selayaknya bagi seorang muslim untuk mengikuti mereka dalam keadaan apapun. Barangsiapa yang melanggar, maka ia berhak mendapat balasan dari Allah.[5]
Dikutip dari Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, beliau berkata,
اذا شرب الماء و غيره من المباحات بلهو و طرب على هيئة الفسقة حرم
“Jika seseorang meminum air atau hal-hal mubah yang lain dengan berlagak layaknya ahlu fasiq (pemabuk) maka haram.”[6]
Dari pemaparan di atas, disimpulkan bahwa, jika seseorang memerankan adegan-adegan itu dalam rangka mengajak manusia melakukan kefasikan tersebut, atau sekedar memerankannya tanpa maksud apapun, maka keduanya adalah haram yang tidak ada mashlahat di dalamnya. Namun, jika seorang muslim memerankannya dan lalu menjelaskan mudhorot dari hal-hal fasiq tersebut dalam rangka mendakwahi manusia agar tak terjerumus ke dalamnya, maka hukumnya boleh, karena terdapat kemaslahatan di dalamnya.[7]
Laki-laki berperan sebagai perempuan dan sebaliknya
Bagi komunitas yang memisahkan antar laki-laki dan perempuan, tentu ini merupakan hal yang biasa terjadi. Batasan syari’at yang mengharamkan ikhtilath diantisipasi dengan berperannya laki-laki sebagai perempuan ataupun sebaliknya. Padahal jika dikaji lebih dalam, banyak sekali hadits Rasul yang melaknat perbuatan ini. Rasulullah bersabda,
لعن رسول الله المتشبهين من الرجال بالنساء والمتشبهات من النساء بالرجال
“Rasulullah melaknat seorang laki-laki yang berpakaian layaknya seorang wanita, dan seorang wanita yang berpakaian layaknya seorang laki-laki.”(HR. Bukhori)[8]
ثلاثة لا ينظر الله عز و جل اليهم يوم القيامة : العاق الوالدين والمرأة المترجلة و الديوث
“Tiga golongan yang Allah tidak akan memandang mereka pada hari Kiamat; seorang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, seorang wanita yang menyerupai laki-laki, dan dayuts.”(HR. An-Nasa’i)[9] 
Tiap manusia telah diciptakan oleh Allah lengkap dengan ciri khusus yang dimiliki oleh masing-masingnya. Maka, tidak pantaslah bagi manusia berbuat dan bersikap yang menyalahi fitrah tersebut.
Adapun dalih bahwa hal itu hanya dilakukan di depan kalangannya, tidak bermaksud menyalahi fitrah, hanya di dalam drama, atau karena terdapat kemaslahatan disana, tidak bisa begitu saja menghapus larangan syari’at akan hal ini, sebab bagaimanapun kemudhorotannya pasti lebih besar dari kemaslahatannya. Apalagi jika itu semua hanya demi membuat orang di sekitarnya tertawa.
Berperan sebagai orang cacat
Seperti yang telah diketahui, memerankan keadaan orang lain dengan maksud menghina termasuk ghibah yang paling besar. Imam An-Nawawi berkata, “Termasuk dari ghibah yang diharamkan adalah seseorang meniru jalan orang lain yang pincang, atau orang lain yang mengangguk-anggukkan kepalanya, dan hal-hal yang serupa dengan maksud menghina (menguliti kekurangannya).”
Adapun memerankan adegan cacat dalam suatu drama, maka terbagi menjadi dua:
1.      Ia memerankannya dengan seizin orang yang cacat tersebut, dan bukan dengan maksud menghina, maka itu boleh. Namun jika itu dimaksudkan untuk menghina orang yang memiliki kecacatan yang sama, maka tidak boleh.
2.      Ia memerankannya tanpa seizin orang yang cacat tersebut, maka terbagi menjadi dua keadaan:
a.       Ia memerankannya dengan maksud menghina kekurangan tersebut, maka itu haram.
b.      Ia memerankannya bukan dengan maksud menghina, namun hanya untuk menggambarkan keadaan seseorang yang cacat, maka itu boleh.
            Memerankan adegan sholat
            Jika dalam drama terdapat adegan seseorang sedang sholat, maka tidak selayaknya ia memotong sholat tersebut, atau hanya memerankan sebagian gerakan-gerakan sholat, karena hal tersebut dianggap meremehkan sholat. Maka hendaknya ia memerankan sholat tersebut secara keseluruhan.[10]
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, drama adalah boleh, jika di dalamnya bebas dari unsur-unsur yang bertentangan dengan syari’at Islam, meski itu hanyalah sebuah peran. Semoga hal-hal di atas bisa menjadi perhatian agar lebih berhati-hati dalam memilah dan memilih cerita yang akan disajikan jika ingin menampilkan suatu drama.
Demikian pembahasan seputar drama tersusun, penulis memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan dan kekurangan. Harapan penulis, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis pribadi dan para santri khususnya, dan masyarakat sekalian pada umumnya.  

Daftar Pustaka
Al-Qur’anul Karim
Al-Abadiy, Abu Thoyyib Muhammad Syamsul Haq Al-Azhim, ‘Aunul Ma’bud, (Kairo: Dar Hadits, 2001)
Al-Asqolaniy, Ibnu Hajar, Fathul Bariy, (Kairo: Dar Hadits, 2004)
As-Shan’aniy, Muhammad bin Ismail Al-Amir, Subulus Salam, (Kairo: Dar Aqidah, 1428 H)
As-Suyuthi, Jalaluddin, Sunan An-Nasa’iy, (Lebanon: Dar Fikr, 2012)
Musthofa, Muhammad bin Musa, Ahkamu Fann At-Tamtsil, (Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd, 2008)



[1] Muhammad bin Musa bin Musthofa, Ahkamu Fann At-Tamtsil, (Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd, 2008), hlm. 419
[2] QS. At-Taubah : 65-66
[3] Abu Thoyyib Muhammad Syamsul Haq Al-Azhim Al-Abadiy, ‘Aunul Ma’bud, (Kairo: Dar Hadits, 2001), juz 7, hlm. 160, no. 4026
[4] QS. Al-Hasyr : 19
[5] Muhammad bin Musa bin Musthofa, Ahkamu Fann At-Tamtsil, ..., hlm. 436
[6] Ibid, hlm. 436
[7] Ibid, hlm. 438-439
[8] Ibnu Hajar Al-Asqolaniy, Fathul Bariy, (Kairo: Dar Hadits, 2004), juz 9, hlm. 375, no. 5885
[9] Jalaluddin As-Suyuthi, Sunan An-Nasa’iy, (Lebanon: Dar Fikr, 2012),  jilid 6, hlm. 82, no. 2558
[10] Muhammad bin Musa bin Musthofa, Ahkamu Fann At-Tamtsil, ...,hlm. 523-524

0 komentar:

Posting Komentar