Selasa, 15 November 2016

Musytarok Antara Shohih, Hasan, dan Dhoif

PENDAHULUAN
Hadis merupakan segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan (iqrar) dan persetujuan dari Nabi Muhammad Saw yang dijadikan pegangan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadis juga merupakan sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Qur'an.
Suatu hadis bisa dikatakan menjadi hadis Shahih, Hasan, ataupun Dha’if karena beberapa alasan. Suatu hadis bisa terangkat derajatnya dari Hasan menjadi Shahih
apabila syarat-syarat hadis shahih itu telah terpenuhi, begitu juga hadis yang semula diyakini Shahih namun bisa jadi kemudian hadis tersebut ternyata masuk kategori hadis Hasan jika ditemukan keganjalan dalam hadis itu baik berupa sanadnya maupun matannya. Atau bisa saja suatu hadis disebut Hasan-Shahih dengan beberapa persyaratan.
Berikut yang penulis coba bahas dalam makalah ini supaya memudahkan dalam memahami suatu hadis yang ditemui di sekitar.

PEMBAHASAN
Musytarak dalam bahasa Arab disebut dengan kompromis. Kompromis menurut Kamus Ilmiah Populer adalah penyelesaian perselisihan dimana pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu titik penyelesaian(damai).  Menurut kamus Kontemporer Arab-Indonesia, musytarak artinya kebersamaan atau hubungan timbal balik. Jadi, musytarak adalah sebuah solusi dari upaya untuk mencari jalan tengah (damai) terhadap suatu persoalan dengan tetap menyertakan kepentingan diantara pihak-pihak yang berselisih secara adil.
Menurut Zulkarnain al-Maidaniy, hadis kompromis atau hadis-hadis yang musytarak antara shahih, hasan dan dha’if merupakan suatu terminology bagi hadis, yakni jenis-jenis hadis menurut terminology ulama yang bersifat komplementer antara shahih, hasan dan dha’if.
      Jadi, hadis-hadis yang kompromis antara shahih, hasan dan dha’if’ sebagai kondisi hadis yang memungkinkan untuk memasukkannya ke dalam suatu kategori dari ketiga kategori hadis di atas, atau sebuah sistem penilaian tentang status hadis, bagaimana ia menjadi shahih, hasan dan dha’if, serta bagaimana pula syarat-syaratnya.
Macam – Macam Hadits Musytarok
1.      Hadits Marfu’
Menurut bahasa adalah isim maf’ul dari fi’il rafa’a kebalikan dari kata Wadla’a, dinamakan demikian karena dinisbatkan kepada orang yang mempunyai kedudukan tinggi, yaitu Nabi SAW.[1]
Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi secara khusus, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun taqrir, baik sanadnya muttasil maupun munqoti’.[2]
Al-Khathib al-Baghdady membatasinya dengan sesuatu yang dikabarkan oleh sahabat dari Rasulullah SAW. Baik berupa sabda maupun perbuatan. Dengan demikian, hadits mursal tidak termasuk dalam kategori definisi tersebut. Namun pendapat pertamalah yang merupakan pendapat jumhur.[3]
2.      Hadits Muttasil
Hadits yang sanadnya bersambung kepada nabi, baik secara marfu’ atau sekedar mauquf kepada sahabat atau orang yang dibawahnya.[4]
3.      Hadits Musnad
Hadits yang bersambung sanadnya dari awal hingga akhir. Maka dapat dikatakan bahwa setiap musnad adalah muttasil karena ittisholnya sanad dari awal hingga akhir.[5] Musnad disebut juga dengan marfu’ muttasil karena berakhirnya sanad sampai kepada Nabi dengan sanad yang ittishol.[6]
4.      Hadits Mu’an’an
Hadits yang periwayatannya memakai sighoh (fulan ‘an fulan).
Menurut Jumhur ulama, hadits ini dihukumi muttasil apabila memenuhi salah satu dari dua syarat berikut; pertama: perowinya bukanlah orang yang mudallas kedua: orang yang meriwayatkan bertemu langsung dari yang menceritakannya. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka hadits ini dihukumi mursal.[7]
5.      Hadits Muannan
Hadits yang periwayatannya memakai sighoh (haddatsana fulan anna fulan haddatsahu bikadza).[8]
6.      Hadits Mu’allaq
Hadits yang pada awal sanadnya terbuang satu perowi atau lebih secara berturut-turut dan dinisbatakan pada perowi di atas perowi yang terbuang.[9]
Hadits ini banyak terdapat pada shahih Bukhori yang terbagi dalam dua bagian[10]:
·         Hadits tersebut ditempat lain berstatus muttasil, ini dimaksudkan untuk meringkas agar tidak terlalu panjang.
·         Hadits tersebut memang berstatus muallaq, tapi beliau meriwayatkannya dengan shighat jazm (redaksi pasti) seperti qala, pa’ala, amara dan rawa. Komentar an-Nawawi untuk kasus seperti ini, maka hadis tersebut adalah shahih.
7.      Hadits Fard
Al-Fard terbagi menjadi dua bagian[11]:
v  Al-Fardu Mutlaq
Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja dari seluruh perawi-perawi yang lain.
Contoh:
النهي عن بيع الولاء, و عن هبته
Dengan riwayat Abdullah bin dinar dari ibnu ’umar radhiyallahu ta’ala anhuma, Ibnu umar adalah shohibul jalil, dan ibnu dinar adalah seorang tabi’in yang hafidz dan terpercaya.
v  Al-Fardu Nisbi
Dihukumi kesendiriannya itu dengan menisbatkan kepada sifat tertentu.
Contoh:
-          Keghoribannya di nisbatkan pada penduduk tertentu
-          Keghoribannya di nishbatkan kepada rawi yang tsiqah (terpercaya)
-          Keghoribannya di nishbatkan kepada imam atau hafidz
8.      Hadits Gharib
Gharib secara etimologi adalah jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain. Hadis gharib menurut bahasa berarti hadis yang terpisah atau menyendiri dari yang lain, atau ‘ Hadis yang terdapat penyendirian rawi dalam sanadnya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.[12]
Sedangkan menurut termonologi adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, sendirian.[13]
Ibnu hajar berkata: hadits ghorib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang pada suatu tempat dimana saja di dalam sanad. Maksudnya adalah hadits yang di riwayatkan oleh seorang rawi, sendirian. Bisa disetiap tempat thabaqatnya dari seluruh thabaqat sanadnya, atau di sebagian thabaqat sanad, malahan bisa pada satu thabaqat saja. Adanya jumlah rawi lebih dari seorang pada thabaqat lainnya tidak merusak hadits gharib karena yang dijadikan sebagai patokan adala yang paling minimal.[14]
Nama Lain Hadits Gharib:
Para ulama banyak menggunakan nama lain untuk hadits gharib, di antaranya al-fardu, keduanya memiliki arti yang sama. Sebagian ulama yang lainnya telah membedakan keduanya. Namun Al-Hafidh Ibnu Hajar menganggap keduanya itu sama saja, baik ditinjau dari segi bahasa maupun istilah. Meski begitu, beliau berkata, “Bahwa ahli istilah (maksudnya adalah ahli hadits) telah membedakan keduanya, dilihat dari sisi banyaknya dan sedikitnya penggunaan. Disebut hadtis fard karena lebih banyak digunakan untuk hadits fard yang mutlak. Sedangkan hadits gharib lebih banyak digunakan untuk hadits fard yang nisbi.[15]
Para ulama menbagi kegharibannya menjadi tiga:[16]
Ø  Hadits ghorib matan dan sanad.
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja.
Contoh:
حديث محمّد بن سوقة عن محمّد بن المنكدر, عن جابر قال
 : قال رسول الله ﷺ : (إن هذا الدين متين, فأوغل فيه برفق, ولا تبعض إلى نفسك عبادة الله, فإن المنبتّ لا أرضًا قطعا, ولا ظهرا أبقى
Hadits ini ghorib matan dan sanadnya. Tidak ada yang meriwayatkannya dari ibn al munkadir dari jabir kecuali muhammad bin syauqah.
Ø  Hadits ghorib pada sanad, tidak pada matannya.
hadits yang matannya diriwayatkan oleh banyak orang dari para Shahabat, kemudian ada seorang rawi bersendirian meriwayatkannya dari seorang Shahabat yang lain. Inilah makna yang sering disebutkan Imam at-Tirmidzi :“Gharib dari sisi ini.غريب من هذا الوجه )).
Ø  Hadits gharib pada matannya.
Contoh:
Hadits yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari malik bin anas dari nafi dari ibnu umar
فرض رسول الله ﷺ زكاة الفطر من رمضان على كل حر أو عبد, ذكرا كان أو أنثى من المسلمين – صاعا من تمر, أو صاعا من شعير
Imam malik berbeda dari rowi – rowi yang lain, ia meriwayatkan matan tersebut dengan memberikan tambahan yaitu dengan menambah minal muslimiina. Jadi keghoriban disini karena tambahan yang ada pada matan hadis yaitu minal muslimiina.
9.      Hadits ‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa, berarti: yang mulia atau yang kuat dan juga berarti jarang adanya. Hadis ‘Aziz ini juga didefinisikan sebagai; ‘hadis yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tabaqat sanadnya.[17]
Sedangkan menurut istilah adalah suatu hadits yang diriwayatkan oleh dua orang saja. Dan tidak meriwayatkan kurang dari dua atau lebih dari dua.Walaupun setelah periwayatan dua atau salah satu dari periwayat tersebut lebih dari dua. Dinamakan Aziz karena jumlahnya yang sangat sedikit atau dan dikuatkan dengan jalan yang lain.[18]
Contoh hadits ‘aziz:
مارواه الشيخان من حديث أنس والبخاري من حديث  ابو هريرة أن رسول الله قال: ( لايؤمن احدكم حتي أكون أحب اليه من والده وولده).
 Hadist yang diriwayatkan dengan cara Aziz tidak bisa menentukan status hadits tersebut shahih, hasan ataupun dha’if  karena untuk menentukan status hadist tersebut dhoif atau shahih adalah dilihat dari kesiqohan para perawinya. Meskipun ada sebagian ulama yang berpandapat bahwa setiap hadits yang jalur periwayatannya secara aziz maka dia sahih dan setiap hadits yang sahih maka mesti jalur periwayatanya ‘aziz.[19]
10.  Hadits Masyhur
11.  Hadits Mustayfidh
Dalam pembahasan ini, hadits Masyhur dijadikan satu dengan hadits Mustafid sehingga menjadi hadits Masyhur mustafid. Al mashur adalah menyebarnya periwayatan tiga atau lebih dari seorang syaikh.[20]
Ibnu Hajar berkata masyhur adalah hadits yang jalur periwayatannya melalui dua perowi atau lebih namun tidak sampai pada tingkatan mutawatir. Imam fuqoha menamakan masyhur dengan ( Al Mustafidz).[21]
Cara membedakan al-Mustafid dan masyhur adalah dengan melihat jalur periwayatannya, jika jalur periwayatannya dari awal hingga ahkir jumlahnya sama makadinamakan mustafid, adapun masyhur lebih umum jalur periwayatannya dari mustafid, tidak ada ketentuan jumlah periwayatan dari awal hingga akhir harus sama. Maka setiap mustafid adalah masyhur dan tidak setiap yang masyhur itu mustafid.[22]
Hadist masyhur dan Al mustafidz tidak menentukan hadist itu shahih, hasan atau dhoif. Maka pengertian masyhur dikalangan ilmu hadist yaitu masyhur secara istilahi, seperti yang telah dijelaskan diatas. Berbeda halnya dengan para Ulama, adapun masyhur menurut para Ulama adalaha masyhur secara lisan, maka jika masyhur diartikan ulama secara umum maka ia tidak terbatas hanya pada hadist yang memiliki sanad lebih dari satu namun hadist yang tidak memiliki sanadpun bsa termasuk kategori hadist yang masyhur.[23]
Berikut contoh hadits masyhur:[24]
Masyhur dikalangan Fuqoha
حديث (ابغض الحلال إل الله الطلاق)
Masyhur dikalangan Ususliyiin
حديث (رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما إستكر هوا عليه)
Masyhur dikalangan umum
(مداراة الناس صدقة)
Masyhur dikalangan Usuliyyin, Fuqaha, ahlul Hadits, umum dan lain sebagainya.
(المسلم من مسلم المسلمون من لسانه ويده والمهاجر من هجر ما حرم الله)
12.  Hadits Muttabi’
Hadits muttabi’ adalah hadits yang mana di dalamnya terdapat seorang perawi yang berserikat dengan perawi lain dalam meriwayatkanhadits (hadits yang diriwayatkan sama dan syaikhnya juga sama)[25].
Hadits muttabi’ ada dua macam yakni[26]:
·         Tamm (yang sempurna) yaitu apabila sanad itu menguatkan rawi yang pertama.
·         Qashir (yang kurang sempurna) yaitu apabila sanad itu menguatkan rawi-rawi yang lain dari yang pertama tadi.
13.  Hadits Syahid
Hadits Syahid adalah hadits yang diriwayatkan seorang sahabat yang serupa dengan apa yang diriwayatkan oleh sahabat lainnya, baik serupa secara lafadz maupun makna.[27]
Syahid terbagi menjadi dua yakni[28]:
·         Syahid Lafzhiy, suatu matan hadits yang menguatkan matan hadits lain secara lafazh.
·         Syahid Maknawiy, suatu hadits yang menguatkan hadits lain dari segi makna, bukan lafadznya.
Metode yang digunakan untuk meneliti syahid atau muttabi’nya suatu hadits adalah dengan I’tibar[29]
14.  Hadits ‘Aliy
Hadits ‘Aly adalah suatu hadits yang para perawi sanadnya lebih sedikit dibanding dengan sanad lain dari hadits itu juga.[30]
Al ‘Aly ada dua macam:
-          ‘Aly mutlak: yaitu hadits yang asal sanadnya dekat dari Rasulullah karena sedikitnya jumlah perowi, jika dibandingkan pada sanad lain yang lebih banyak jumlah perawinya dari hadits itu juga.
-          ‘Aly nasaby/ ‘Idhofi:
Yaitu dekatnya sanad perawi disebabkan sebab – sebab berikut:
a.       Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada Nabi saw sedikit, kalau dibandingkan dengan sanad lain dari hadits itu juga.
b.      Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada salah seorang imam hadits sedikit disbanding dengan riwayat lain dari sanad itu juga.
c.       Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada salah satu kitab yang mu’tabar lebih sedikit dibandingkan sanad lain.
d.      Satu sanad di dalamnya ada rawi yang terima dari seorang syaikh meninggal lebih dahulu dari rawi lain yang juga terima dari syaikh tersebut.
e.       Sanad yang di dalamnya ada rawi yang mendengar dari syaikh lebih dahulu dari rawi lain dari syaikh itu juga.[31]
satu hadits yang para perawi sanadnya lebih banyak dibanding dengan sanad lain dari hadits itu juga.
15.  Hadits Nazil
Hadits Nazil adalah satu hadits yang para perawi sanadnya lebih banyak dibanding dengan sanad lain dari hadits itu juga.[32]
Namun kadang-kadang nazl bisa lebih tinggi daripada al ulwu karena beberapa faedah, seperti; dalam nazl ada yang lebih tsiqah, atau lebih hafal, atau lebih faqih atau sejenisnya atau, bisa jadi an nazl lebih afdol dari ulwu dikarenakan an nazl dengan jalur sima’i, dan al ulwu dengan jalur periwayatannya dengan ijazah. Maka kebanyakan para ulama menilai kelayakan suatu hadits bukan dari dekatnya suatu sanad (ulwu mutlak atau ulwu nasabi) akan tetapi dari keshahihan seseorang perawi.[33]
            Al aly dan an nazl tidaklah menjamin keshahihan seuatu sanad, maka dari itu para ulama lebih  memperhatikan kondisi perawi  dibanding memperhatikan jumlah perawi , karena tujuan sebenarnya  para ulama salaf dalam  mendekatkan sanad hingga sampai Rasulullah saw adalah agar lebih meminimalisir kesalahan dalam periwayatannya (isi haditsnya/ matan). [34]

16.  Hadits Mudarroj
Mudroj adalah memasukan suatu tambahan yang bukan pada hakikatnya. Adapun menurut bahasa adalah memasukkan sesuatu ke dalam sesuatu[35]. Adapun hadits mudroj dibagi menjadi dua:
·         Mudarroj Matan
Memasukkan perkataan yang disebut oleh perowi baik di awal, tengah, ataupun akhir sebagai matan hadits. Dan ia menganggap bahwa perkataan tersebut masuk ke dalam matan hadits nabiصلى الله عليه و سلم , padahal kenyataannya tidak demikian.[36]
Contoh dari hadits mudarroj adalah pada awal matan yang diriwayatkan oleh Al-Khotib Al-Baghdadi dengan jalur sanad dari Abu Hurairah dari Rosulullah (اسبغوا الوضوء) tambahan dari perkataan Abu Hurairah dan bukan merupakan matan hadits dan itu dirujuk dari hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Ahmad
أن أبا هريرة رأى أناسا يتوضؤون فقال لهم : ( اسبعوا الوضوء فإني سمعت ابا القاسم صلى الله عليه وسلم يقول: (( ويل للأعقاب من النار)) )
dengan itu ada salah satu perowi yang salah dalam memahami hadits sehingga ia mengira bahwa semuannya adalah sabda dari Rasullah صلى الله عليه و سلم.[37]
·         Mudarroj Sanad[38]
Mudarroj sanad ada 3 macam:
v  Seorang perowi yang mendaptkan dua matan hadits dengan beberapa sanad yang berbeda. Kemudian perowi tersebut meriwayatkan dua hadits yang berbeda dengan salah satu dari dua sanad, atau meriwayatkan kedua hadits tersebut dengan sanad yang khusus.
v  Seorang perowi yang mendengar satu hadits dari suatu kelompok yang berbeda-beda sanadnya ataupun matannya. Kemudian ia meriwayatkan hadits tersbut dengan salah satu sanad tanpa menjelaskan perbedaanya.
v  Hendaknya seorang perowi meriwayatkan hadits dengan sanad yang sempurna, dan darinya ada hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang lain. Kemudian ada seorang perowi yang meriwayatkan dari padanya dengan sempurna menggunakan sanad yang pertama.
Cara mengetahui hadits mudarroj[39]:
Hadits mudroj matan cara mengetahuinya yaitu dengan melihat pada hadits tersebut. Jika tidak terdapat perkataan tambahan itu dalam hadits lain, atau ada keterangan jelas dari seorang perowi yang menyisipkan perkataan itu sendiri ataupun dari sebagian imam yang ahli dalam meneliti hadits.
            Sedangkan hadits mudroj sanad cara mengetahuinya cukup dengan mengetahui keberadaan riwayat tersendiri yang berbeda dengan riwayat yang telah tercampur sanadnya dan riwayat itu dapat diterima dengan meninggalkan sebagian perowi dalam sanad yang ada campurannya.
            Ulama telah sepakat akan keharaman mudroj dengan segala keadaan.
17.  Hadits Musohhaf
Para muhaditsin memberikan perhatian yang besar terhadap kedhobitan(tetap) lafadz-lafadz hadits karena khawatir akan tergantinya lafadz-lafadz dalam sebuah hadits.
Hadits mushohaf adalah sanad atau matan hadits yang mengalami perubahan pada titik hurufnya[40].
Contoh dari hadits mushohaf:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ اَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ
Lalu Abu Bakar ash-Shuuli mengubahnya dengan menambahkan titik pada huruf ((س sehingga menjadi huruf ((ش dan menambahkan huruf (ي) hinga tersusunlah suatu kalimat yang berbunyi(شَيْأً)[41]
18.  Hadits Muharrof
Hadits muharrif adalah hadits yang bentuk hurufnya telah mengalami perubahan, baik dari sanad maupun matannya. Dan maksud perubahan di sini adalah harokat ataupun sukunnya.
Adapun contoh dari hadits muharrif adalah:
َنْ جَابِرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ: (( رُمِيَ أُبَيٌّ يَوْمَ الاَحْزَابِ علَى اَكْحَلِهِ فَكَوَاهَ رَسُلُ الله صلى الله عليه و سلم))
Kemudian hadits tersebut diubah oleh Ghundur. Ia berpendapat bahwa hadits tersebut harusnya ditulis dengan idhofah sehingga menjadi “Abi” (أَبِيْ) padahal yang sebenarnya adalah (أُبَيٌّ بْنُ كَعَبْ) “Ubay bin Ka’ab”.
Adapun mengenai hadits ini para ulama sebenarnya memakruhkan membawakan hadits mushohif maupun muharrif karena dikhawatirkan ia (yang membawakan hadits tersebut) berada dalam kesalahan yang fatal[42].
19.  Hadits Musalsal
Secara bahasa: Musalsal merupakan isim maf’ul dari “as-salsalah” yang berarti bersambungnya sesuatu dengan sesuatu yang lain.[43]
Secara istilah: Keikutsertaan para perowi dalam sanad berturut-turut pada satu sifat atau pada satu keadaan, terkadang bagi para perowi dan dari periwayatan
Hadits musalsal adalah hadits yang sanadnya bersambung dengan satu keadaan atau sifat, baik berupa perkataan atau perbuatan yang terulang-ulang dalam perowi, periwayatannya atau berkaitan dengan waktu dan tempat periwayatan suatu hadits.[44]
MACAM-MACAM HADITS MUSALSAL[45]
a)      Musalsal pada perowi berupa perkataan.
Contoh:
حديث معاذ بن جبل ان النبي صلي الله عليه وسلام قال له: يا معاذ اني احبك,فقل في دبر كل صلاة: اللهم اعني علي ذكرك وشكرك وحسن عبادتك
Hadits Mu’adz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda kepadanya,” Sesungguhnya aku mencintaimu, maka katakanlah pada setiap selesai sholat,’ Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu dan baik dalam beribadah kepada-Mu”.
Hadits siatas musalsal pada perkataan setiap perowi ketika menyampaikan periwayatannya dengan ungkapan,” Sesungguhnya aku mencintaimu, maka katakanlah pada setiap selesai shalat sholat ......”. Jadi, setiap perowi ketika meriwayatkan hadits ini selalu memulai perkataannya dengan ungkapan tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap Mu’adz.
b)      Musalsal pada perowi berupa perbuatan.
Contoh:
حديث ابي هريرة قال: شبك بيدي ابو القاسم صلي الله عليه وسلام وقال: خلق الله الارض يوم السبت
Hadits Abu Hurairah ra. berkata,” Abu Al-Qosim (Rasulullah SAW) memasukkan jari-jari tangannya kepada jari-jari tanganku dan bersabda,’ Allah menciptakan bumi pada hari sabtu”.
Hadits ini musalsal pada perbuatan setiap perowi ketika meriwayatkan hadits dengan memasukkan jari-jari tangannya kepada jari-jari tangan orang yang menerima hadits tersebut sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW terhadap Abu Hurairah.
c)      Musalsal pada rawi berupa perkataan dan perbuatan.
Contoh:
حديث انس بن مالك رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلي الله عليه وسلام: لايجد العبد حلاوة الايمان حتي يؤمن بالقدر خيره وشره, حلوه ومره, وقبض رسول الله صلي الله عليه وسلام علي لحيته وقال أمنت بالقدر خيره وشره, حلوه ومره
Hadits Anas bin Malik ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda” Seorang hamba tidak tidak akan mendapatkan manisnya iman sehingga ia beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk, yang manis dan yang pahit.” Dan Rasulullah SAW memegang jenggotnya kemudian bersabda,” Aku beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk, yang manis dan yang pahit”.
Hadits di atas musalsal pada perbuatan dan perkataan setiap perowi ketika meriwayatkan hadits dengan memegang jenggotnya dan mengatakan: aku telah beriman kepda takdir yang baik dan yang buruk, yang manis dan yang pahit.
d)     Musalsal pada sifat perawi berupa perkataan.
Contoh:
أن الصحابة سالوا الرسول الله صلي الله عليه وسلام عن أحب الاعمال الي الله عزوجل ليعملوه فقرأ عليهم سورة الصف
Bahwasanya para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW tentang amalan yang paling dicintai Allah SWT agar mereka mengerjakan amalan tersebut, maka Rasulullah SAW membacakan mereka surat Ash-Shoff.
Hadits ini musalsal pada membaca surat Ash-Shoff. Jadi, setiap perowi yang meiwayatkan hadits membacakan surat Ash-Shoff kepada muridnya.
e)      Musalsal pada sifat perowi berupa perbuatan
Contoh:
حديث ابن عمر مرفوعا: البيعان بالخيار
Hadits Ibnu Umar secara marfu’,” Penjual dan pembeli boleh mengadakan khiyar (memilih jadi atau tidak) ...”.
Hadits di atas musalsal diriwayatan oleh para fuqoha’ kepada para fuqoha’ secara terus- menerus. Atau termasuk musalsal adalah seperti kesepakatan nama-nama perowi, seperti musalsal dalam nama “al-muhammadin” atau “ ad-dimasyqin” atau “ al-mishriyyin” dan lain sebagainya.
f)       Musalsal pada sifat sanad dan periwayatan
Contoh:
Musalsal dalam bentuk periwayatan hadits seperti musalsal pada perkataan setiap perowi dengan menggunakan “sami’tu fulanan” (aku telah mendengar fulan berkata ...) atau “akhbarona fulan” ( telah memberitahukan kepada kami fulan ...) dan lain sebagainya.
g)      Musalsal pada waktu periwayatan
Contoh:
حديث ابن عباس قال: شهدت رسول الله صلي الله عليه وسلام في يوم عيدالفطراوأضحي, فلما فرغ من الصلاة اقبل علينا بوجهه, فقال: أيهاالناس قدأصبحتم خير
Hadits Ibnu Abbas ra berkata,” Aku telah menyaksikan Rasulullah SAW pada hari raya ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha, setelah beliau sholat menghadap kita dengan wajahnya kemudian bersabda,’ Wahai manusia, kalian telah memperoleh kebaikan”.
Pada hadits ini, musalsal pada waktu periwayatan yaitu ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Jadi, setiap perowi mengungkapkan kalimat tersebut dalam menyampaikan periwayatan kepada muridnya.
h)      Musalsal pada tempat periwayatan
Contoh:
Musalsal terijabahinya do’a di Multazam sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.
سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلام يقول: الملتزم موضع يستجاب فيه الدعاء, ومادعاالله فيه عبددعوة الا استجاب له
Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda,” Multazam adalah tempat terijabahinya do’a. Dan tidaklah seorang hamba yang berdo’a padanya melainkan dikabulkannya”.
Kemudian Ibnu Abbas berkata,” Demi Allah, tidaklah aku berdoa kepada Allah padanya sama sekali sejak aku mendengar hadits Rasul tersebut melainkan Allah memperkenankan do’aku”.
Hadits di atas musalsal pada tempat periwayatannya. Setiap perowi mengatakan kalimat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas ra. setelah menyampaikan periwayatan hadits kepada orang lain.
HUKUM HADITS MUSALSAL[46]  
Terkadang hadits tersebut musalsal dari awal sampai akhir. Namun, terkadang terputus di awal atau di akhirnya. Oleh karena itu, Al-Hafidz Al-‘Iroqiy berkata,” Sangat sedikit sekali hadits musalsal yang selamat dari kedlo’ifan. Dan maksud di sini adalah dlo’if pada sifat matan bukan pada asal matan”. Karena ada sebagian matan yang shohih.
Syaikhul Islam Ibnu Hajar berkata,” Hadits Musalsal yang paling shohih di dunia ini adalah musalsal hadits membaca surat Ash-Shoff”. Imam As-Suyuuthi juga berkata,” Hadits musalsal pada Huffadz dan fuqoha’ juga (termasuk yang paling shohih), akan tetapi disebutkan dalam Syarh An-Nukhbah bahwa musalsal pada huffadz memberi ilmu yang pasti (qoth’iy)”.
Dengan demikian hadits musalsal ada yang shohih, hasan, dlo’if dan batil sesuai dengan keadaan para perowinya. Dan telah dijelaskan para ulama bahwa musalsal adalah sifat sebagian sanad, sehingga tidak menunjukkan keshohihan suatu hadits. Karena keshohihan sebuah hadits berkaitan dengan bersambungnya sanad, keadilan dan kedlobitan seorang perowi dan tidak adanya kecacatan pada matan sebuah hadits.
FAEDAH HADITS MUSALSAL[47]
Hadits musalsal memiliki beberapa faedah, diantaranya:
a.       Menunjukkan ke-muttashil-an dalam mendengar
b.      Terhindar dari tadlis (penipuan) dan inqitho’ (terputusnya sanad)
c.       Menunjukkan kedlobitan seorang perowi
d.      Bagusnya perilaku mereka dalam mengikuti Rasulullah SAW dalam perkataan dan perbuatannya.
KITAB-KITAB HADITS MUSALSAL[48]
Diantara kitab-kitab hadits musalsal yang masyhur adalah sebagai berikut:
1.      Al-Musalsalaat yang ditulis oleh Al-Hafidz Isma’il bin Ahmad bin Al-Fadhl At-Taimiy (535 H)
2.      Al-Ahaadits Al-Musalsalaat yang ditulis oleh Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisiy (643 H)
3.      Al-Musalsalat Al-Kubro dan Jiyaad Al-Musalsalaat yang ditulis oleh Imam Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuuthiy (911 H)
4.      Al-Fawaa’id Al-Jaliilah yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin ‘Uqoilah (1150 H)
5.      Al-Manaahil As-Salsalah fii Al-Ahaadits Al-Musalsalah yang ditulis oleh Muhammad ‘Abdul Baaqiy Al-Ayyubiy yang memuat sekitar 212 hadits.
20.  Hadits Mauquf
Mauquf menurut bahasa berasal dari kata waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadis pada sahabat.[49]
Mauquf secara Istilah adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Sahabat baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan, baik sanadnya munqathi’ataupun muttasil.[50]
Para Fuqaha Khurasan menamakan hadits  mauquf dengan atsar sedangkan hadits yang maqthu’ dinamakan khobar.
Contoh Hadits Mauquf:
a)      Mauquf Qauli
قال علي بن طالب رضي الله عنه : حدّثوا الناس بما يعرفون أن يكذّب الله ورسوله ؟
Ali bin Abi Thalib ra. berkata, ”Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan dengan apa yang mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan RasulNya”.
b)      Mauquf Fi’liy:
Perkataan Imam Bukhori:” Ibnu Abbas menjadi imam sedangkan dia hanya bertayamum”.
c)      Mauquf Taqriri:
Perkataan seorang Tabi’in:
فعلت كذا أمام أحد الصحابة ولم ينكر عليّ
Aku telah melakukan begini di hadapan salah seorang sahabat dan dia tidak mengingkariku
Hukum hadits Mauquf[51]
Menurut jumhur ahlul ‘ilmi hadits Mauquf tidak bisa dihukumi seperti marfu’, kecuali jika ada qarinah yang menyertainya sehingga hadits tersebut bisa dihukumi marfu’.
Contoh:
كنا لا نرى بأسا بكذا في حياة رسول

21.  Hadits Maqthu’
Menurut bahasa kata maqthu‟ berasal dari akar kata قَطَّعَ يُقَطِّعُ قَطْعًا قَاطِعٌ وَمَقْطُوْعٌyang berarti terpotong atau teputus, lawan dari maushul yang berarti bersambung. Kata terputus di sini dimaksudkan tidak sampai kepada Rasulullah hanya sampai kepada Tabi’in saja.[52]
Maqthu’secara istilah adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Tabi’in baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan, baik sanadnya munqathi’ataupun muttasil.[53]
Contoh hadits Maqthu’:
a)      Maqthu’ Qauli
Perkataan Hasan Al-Basri tentang shalat di belakang imam ahli bid’ah
صل وعليه بدعته
Shalatlah dan dialah yang menanggung bid’ahnya”
b)      Maqthu’ Fi’li
Perkataan Ibrahim bin Muhammad al-Muntsayir
كان مسروق يرخي الستر بينه وبين أهله ويقبل على صلاته ريخليهم ودنياهم

PENUTUP
Kesimpulan
Musytarak dalam bahasa Arab disebut dengan kompromis. Kompromis menurut Kamus Ilmiah Populer adalah penyelesaian perselisihan dimana pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu titik penyelesaian(damai).  Menurut kamus Kontemporer Arab-Indonesia, musytarak artinya kebersamaan atau hubungan timbal balik . Jadi, musytarak adalah sebuah solusi dari upaya untuk mencari jalan tengah (damai) terhadap suatu persoalan dengan tetap menyertakan kepentingan diantara pihak-pihak yang berselisih secara adil.
Menurut Zulkarnain al-Maidaniy, hadis kompromis atau hadis-hadis yang musytarak antara shahih, hasan dan dha’if merupakan suatu terminology bagi hadis, yakni jenis-jenis hadis menurut terminology ulama yang bersifat komplementer antara shahih, hasan dan dha’if.
Macam-macam musytarak antara Shahih, Hasan dan Dhaif, antara lain: Hadits Marfu’, Muttashil, Musnad, Mu’an’an, Mu’annan dan Mu’allaq, Al-fard Al-Gharib, Ahad, Mutabi’, Syahid, dan lain-lain.


Daftar Pustaka
Khotib, Al- ‘Ujaj.  Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut)
Abdullah, Abu Muhammad, Ilmu Mustholah Hadits, (Salim Nabhan: 1419H, Surabaya)
Http://santribloggerr.blogspot.co.id/2012/09/musytarak-antara-shahih-hasan-dan-dhaif.html
Https://wafieahmad.wordpress.com/2014/06/28/hadis-marfu-mauquf-dan-maqthu/



[2] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 355
[3]  Ibid
[4]  Ibid, hal 356
[5]  Ibid
[6] Http://santribloggerr.blogspot.co.id/2012/09/musytarak-antara-shahih-hasan-dan-dhaif.html
[7] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 356
[8] Ibid
[9] Ibid, hal 357
[10] Http://santribloggerr.blogspot.co.id/2012/09/musytarak-antara-shahih-hasan-dan-dhaif.html
[11] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 358
[12] Http://santribloggerr.blogspot.co.id/2012/09/musytarak-antara-shahih-hasan-dan-dhaif.html
[13] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 357
[14] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 360
[16] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 361
[17] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 363
[18] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 363
[19] Ibid, hal 364
[20] Ibid
[21] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 364
[22] Ibid
[23] Ibid, hal 365
[24] Ibid
[25] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 366
[26] Http://santribloggerr.blogspot.co.id/2012/09/musytarak-antara-shahih-hasan-dan-dhaif.html bloger
[27] Dr.Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 366
[28] Http://santribloggerr.blogspot.co.id/2012/09/musytarak-antara-shahih-hasan-dan-dhaif.html bloger
[29] Dr.Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 366
[30] Ibid , hal 368
[31] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 369
[32] Ibid, hal 370
[33] Ibid
[34] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 370
[35] Ibid
[36] Ibid, hal 371
[37] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 371
[38] Abu Muhammad Abdullah, Ilmu Mustholah Hadits, (Salim Nabhan: 1419H, Surabaya), hal 94
[39] Abu Muhammad Abdullah, Ilmu Mustholah Hadits, (Salim Nabhan: 1419H, Surabaya), hal 96
[40] Ibid, hal 102
[41] Abu Muhammad Abdullah, Ilmu Mustholah Hadits, (Salim Nabhan: 1419H, Surabaya), hal 94
[42] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 374
[43] DR. Mahmud Ath-Thohan, Taisiir Mushtholah Al-Hadits, (Jeddah: Al-Haromain), hlm. 185
[44] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 376
[45] Ibid, hal 376
[46]Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal.378
[47] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal.378
[48] Ibid
[49]  Https://wafieahmad.wordpress.com/2014/06/28/hadis-marfu-mauquf-dan-maqthu/ maqtu’ marfu’
[50] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 380
[51] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 381
[52] Https://wafieahmad.wordpress.com/2014/06/28/hadis-marfu-mauquf-dan-maqthu/
[53] Dr. ‘Ujaj Al-Khotib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mustolahuhu, (Dar Al-Fikr: 1989, Beirut), hal 381

0 komentar:

Posting Komentar