Kamis, 10 November 2016

Indonesia di Tengah Dilema LGBT

Oleh : Sabila Rosyada

Dewasa ini media masa Indonesia diramaikan dengan munculnya sebuah kelompok yang mengampanyekan kebebasan gender dan orientasi seks. Mereka mengatasnamakan kebebasan berekspresi sebagai alasan untuk mengangkat organisasi mereka ke tengah masyarakat. Pergerakan mereka merambah dunia remaja dan kalangan muda melalui media sosial hingga lembaga pendidikan setingkat Universitas.
Mulanya mereka hanya sekelompok orang yang tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu, mereka  berkembng dengan cepat dan memiliki kelompok masa yang semakin besar. Kini mereka dikenal dengan LGBT.
LGBT merupakan akronim dari lesbian, gay, biseksual dan transgender. Akronim tersebut dibuat untuk menekankan keanekaragaman budaya menyimpang berdasarkan identitas seksualitas dan gender. Seringkali istilah LGBT digunakan untuk menyebut seseorang yang memiliki kecenderungan seks selain penganut heteroseksual atau memiliki kecenderungan melakukan hubungan seks dengan lawan jenis. Kelompok ini muncul saat terjadi revolusi seksual pada tahun 1960-an di dunia barat, namun saat itu label LGBT belum disematkan kepada mereka.
Peluang mencari massa
            Kejayaan kaum LGBT pertama kali terjadi di dunia barat, kemudian secara berkala pengikut mereka tersebar ke berbagai pelosok dunia. Penjajahan pola pikir yang dilakukan negara barat terjadi bersamaan dengan masuknya budaya mereka ke dalam negeri. Transfer budaya menjadi sebuah adegan mengerikan bila dilihat dari kacamata agama dan budaya. LGBT masuk dan membius generasi bangsa dengan menawarkan sebuah identitas baru. Identitas semu yang tidak sesuai dengan syari’at Islam dan melenceng jauh dari moral beradab bangsa Indonesia.
Keberadaan kelompok LGBT dipandang sebagai ancaman moral yang serius, khususnya bagi generasi saat ini. Indonesia bukanlah negara yang melegalkan LGBT, maka wajar bila penganutnya menghadapi tantangan hukum dan pengasingan secara sosial oleh masyarakat pada umumnya. Dan secara alamiah hal tersebut berdampak pada kebijakan politik. Misalnya, pasangan sesama jenis di Indonesia dianggap tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan perlindungan hukum yang lazim diberikan kepada pasangan lawan jenis yang menikah.
Meskipun adat yang berlaku menghambat perkembangan LGBT, namun hukum nasional Indonesia tidak mengkriminalisasikan segala penyimpangan orientasi seks selama tidak melanggar hukum hukum lain yang lebih spesifik seperti penganiayaan atau pemaksaan kehendak. Perbuatan homoseksualitas tidak akan dipermasalahkan bila dilakukan oleh orang dewasa, suka sama suka, bersifat pribadi dan tidak direkam serta disebar luaskan. Bahkan, pada tahun 2003 sebuah RUU nasional untuk mengkriminalisasikan homoseksual, perzinaan dan praktek sihir gagal diresmikan. Hal hal tersebut menjadi faktor pendukung berkembangnya komunitas LGBT secara besar besaran.
Kampanye
Kelompok LGBT menggunakan media masa sebagai alat untuk menyebarluaskan komunitasnya. Mereka berkampanye melalui media sosial, selebaran, brosur, dan event event bertema kebebasan, serta konseling yang mulai menggurita di dunia kampus. Kampanye yang mereka lakukan menawarkan sebuah produk yang disponsori oleh hak asasi manusia, berwujud kebebasan yang mereka klaim dapat membawa manusia menuju kebahagiaan hakiki.
Imbasnya, muncul fakta terbaru yang tersebar di beberapa situs internet, bahwa saat ini sedang merebak komunitas remaja yang mencari pasangan homoseksual di dunia maya. Umur, jenjang sekolah, dan jabatan, seolah olah tak menjadi tabir yang menghalangi keagresifan para pencari pasangan homo tersebut. Bahkan anak anak remaja yang masih duduk di bangku menengah pertama pun tak malu malu lagi mengumbar jenis kelamin dan kelainan orientasi seks mereka di media sosial demi memperoleh pasangan homo.
Selain di media sosial, jaringan mereka berusaha menerobos ke dalam kampus kampus lokal. Faktanya, beberapa tahun silam IAIN berani menerbitkan jurnal kampus yang berjudul “Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Dan beberapa waktu yang lalu sebuah isu mengenai Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) di Kampus Universitas Indonesia (UI) menawarkan konseling bagi kelompok LGBT.
Berbagai reaksi bermunculan menanggapi isu tersebut. Seorang Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek-Dikti) Muhamad Nasir langsung berkomentar keras agar LGBT tidak diperbolehkan masuk kampus. Ia bahkan menegaskan bahwa seharusnya kampus merupakan penjaga moral, sehingga tidak boleh ada LGBT di dalamnya.
Perlunya Memahamkan dan Hindari Legalitas
            Sudah saatnya seluruh lapisan masyarakat membuka mata atas fenomena yang terjadi di lapangan. Kita tidak bisa diam saja menyaksikan kelompok reinkarnasi kaum nabi Luth bangkit di zaman kita. Sebagai masyarakat yang beragama dan bermoral tentunya kita harus segera mengambil sebuah langkah untuk menyikapi kelompok tersebut. Kita tau bahwa perilaku menyimpang mereka tidak direstui oleh budaya daerah manapun di Indonesia, bahkan seluruh agama pun menolaknya. Namun, mengapa budaya yang sangat menyimpang dari moral kemanusiaan tersebut masih tumbuh subur di negara yang penduduknya mengaku beragama dan bermoral ini?
            Perlu kita sadari, bahwa pentingnya menjaga lingkungan dari masuknya budaya yang bertentangan dengan syari’at Islam serta menjajah moral bangsa adalah kewajiban kita bersama. Supaya isu hak asasi dan kebebasan tidak lagi menguatkan geliat kebangkitan kaum nabi Luth di era kita. Sehingga agama, moral,dan kepribadian bangsa kita tidak teracuni dengan hal hal keji yang mereka anut.
            Masyarakat perlu disadarkan akan bahaya yang dibawa kelompok tersebut. Pengakuan rasa nasionalisme yang berperi kemanusiaan dan berperilaku sesuai moral manusia harus terwujud konsekuensinya. Bahwa penyimpangan kaum LGBT tidaklah sesuai dengan asas Pancasila yang mereka klaim sebagai dasar negara. Terlebih kita sebagai penganut agama Islam seharusnya tunduk secara mutlak terhadap syari’at agama Allah yang dengan jelas telah melarang perilaku mereka.
            Diantara sikap yang bisa kita lakukan adalah menanamkan pemahaman yang benar kepada keluarga dan kerabat dekat kita tentang tercelanya perbuatan non-heteroseksual. Bahwa pada masa nabi Luth Allah mengazab mereka dengan membalik bumi yang mereka tinggali, kemudian menghujani negeri mereka dengan batu tanah yang panas. Hingga sekarang, bekas penyiksaan Allah atas mereka masih dapat disaksikan di kota Sodom dan Pompei, negeri mereka dahulu.
Selain menanamkan pemahaman yang benar, mencegah legalisasi hukum akan menjadi solusi yang dapat mengekang kampanye mereka. Tolak semua media yang mendukung, dan bubarkan organisasi organisasi mereka. Tak usah menyamakan bangsa kita dengan bangsa mana pun. Legalitas LGBT hanya akan merusak masadepan bangsa dan agama kita. Tidakkah kita berpikir akibat legalisasi hanya akan menambah beban negara di masa mendatang?
Jadi, menyikapi isu kebangkitan LGBT di negara kita, peran masyarakat sangat diperlukan. Misalnya dalam lingkungan keluarga dan sekolah, maka di sana perlu penanaman nilai nilai agama dan moral untuk membentengi anak anak dan warga sekolah dari degradasi moral serta pengaruh LGBT. Dan sebagai warga negara Indonesia, kita harus berusaha menolak legalisasi pernikahan LGBT sebagai langkah preventif. Free Indonesia from LGBT!

0 komentar:

Posting Komentar