Selasa, 15 November 2016

Hadits Hasan dan Hadits Dhoif

A.    Perkembangan Hadits Hasan

Hadits shahih merupakan hadits yang memenuhi seluruh kriteria diterimanya suatu hadits, yaitu; sanadnya tersambung, perawinya adil, dhobit, tidak syadz, dan terbebas dari cacat.
Namun, ada sebagian hadits yang telah memenuhi syarat hadits shahih, hanya saja derajat hafalan, kedhobitan, dan kemutqinan perawinya tidak setinggi para perawi hadits shahih.
Hadits inilah yang kemudian disebut dengan hadits hasan. Kedudukan hadits hasan adalah pertengahan antara hadits shahih dan hadits dhoif, sehingga ia diterima dan boleh diamalkan. 
Istilah ‘hadits hasan’ adalah istilah baru karena sebelumnya hadits hanya terbagi menjadi dua, yaitu hadits hasan dan hadits dhoif. Orang yang pertama kali mengenalkan pembagian hadits menjadi 3 bagian, yakni shahih, hasan dan dhoif adalah Imam Abu Isa At-Tirmidzi. Imam Tirmidzi banyak menggunakan istilah hadits hasan didalam kitab sunannya, hingga banyak muhaddits yang menganggap bahwa kitab sunan adalah asal penyebutan hadits hasan.

B.     Pengertian Hadits Hasan

Ibnu Hajar berkata, “Khobar Ahad yang dinukil oleh perawi yang adil, dhobit tamm, tersambung sanadnya, tidak terdapat syadz maupun cacat adalah shahih lidztihi, adapun jika dinukil oleh seorang yang kurang dhobit adalah hasan lidzatihi.”
Maka, hadits hasan adalah hadits yang memenuhi 5 syarat diterimanya hadits, hanya saja perawinya kurang dhobit. Dengan kata lain, hadits hasan adalah hadits yang tersambung sanadnya, oleh perawi yang adil, kurang dhobit, tanpa syadz dan tanpa cacat.

C.     Macam-macam Hadits Hasan

a.       Hasan li dzatihi

Hasan li dzatihi adalah hadits yang memenuhi kriteria syarat hadits hasan, seperti yang telah disebutkan di atas. Contoh hadits hasan yaitu,
مفتاح الصلاة الطهور وتحريمها التكبير و التحليلها التسليم ) رواه أبو داود و ابن ماجة و الترميذى عن علي بن أبي طالب)
 “Kunci shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah takbir dan penghalalannya adalah salam”

b.      Hasan li ghoirihi

Hasan li ghoirihi adalah hadits yang pada sanadnya terdapat perawi yang tidak diketahui kredibilitasnya, namun dia bukan seorang yang sangat lalai, tidak banyak salah dalam periwayatan, tidak pula dusta maupun fasiq. Matan haditsnya juga sesuai dan semakna dengan hadits yang sama dengan jalur berbeda yang didapat dari mutabi’ dan syahid.
Contoh hadits hasan li ghoirihi adalah,
كان النبي إذا مد يديه في الدعاء لم يرد هما حتى يمسها بهما وجهه. }أخرجه الترميذي قال ابن حجر العسقلاني :رواه شواهد عند أبو داود و غيره{ 
“Bahwa Nabi jika mengulurkan kedua tangannya dalam berdo’a beliau tidak menariknya kembali sampai mengusapkan dulu keduanya pada wajahnya.”  {HR. Tirmidzi. Ibnu Hajar berkata: Hadits ini memiliki syahid dalam riwayat Abi Daud dan yang lainnya’.}
Hasan li ghoirihi pada asalnya adalah hadits dhoif, namun di atas tingkatan hadits dhoif.  Namun karena ada hadits serupa yang diriwayatkan oleh jalur lain, maka derajatnya terangkat menjadi hasa li ghoirihi. Maka, bisa disimpulkan bahwa hadits dhoif bisa terangkat derajatnya dengan dua syarat :
-          terdapat sanad lain yang meriwayatkan hadits yang serupa dengan kedudukan yang sama atau lebih kuat
-          sebab kedho’ifannya adalah karena buruknya hafalan.

D.    Kehujjahan Hadits Hasan

Sebagaimana halnya hadits shahih –meski derajatnya lebih rendah-, hadits hasan adalah hadits yang maqbul (dapat diterima), boleh diamalkan, dan dijadikan sebagai hujjah. Para ulama’ seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah sepakat tentang ini, dengan catatan hadits shahih tetap akan didahulukan jika terjadi tarjih.

E.     Terangkatnya Derajat Hadits Hasan

Hadits hasan yang dimaksud adalah hasan li dzatihi, yaitu terangkatnya derajat hadits hasan menjadi hadits shahih (shahih li ghoirihi). Hal ini terjadi jika ada riwayat lain yang  meriwayatkan hadits hasan lidzatihi dengan jalur periwayatan lebih kuat.
            Contoh hadits hasan yang naik derajat menjadi hadits shahih li ghoirihi adalah,
حديث محمّد بن عمرو عن أبي سلامة عن أيي هريرة انّ رسول الله قال : لولا ان أسقّ علي أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة.
Takhrij dari hadits tersebut, Muhammad bin Amru adalah seorang yang terkenal shiddiq,  namun bukan dari kalangan ahlu itqon, sehingga ada sebagian yang melemahkan hafalannya, ada pula yang menguatkannya. Maka, hadits ini adalah hadits hasan li dzatihi dan shahih li ghairihi. Karena, ada jalur periwayatan lain melalui syeikhnya Muhammad bin Amru, dari syeiknya, dari jalur periwayatan lain. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Sa’id Al-Maqbiry dan ayahnya serta yang lainnya.

F.      Tempat Hadits Hasan

Berbeda dengan hadits shahih, ulama belum pernah  membukukan kitab kumpulan hadits hasan secara khusus. Namun, kita bisa menemukan hadits-hadits hasan pada kitab-kitab hadits pada umumnya. Kitab pertama yang mencantumkan hadits hasan adalah ‘Sunan At-Tirmidzi’. Hadits-hadits hasan juga dapat ditemukan dalam kitab Sunan Al-Arba’ah, dan Musnad Imam Ahmad –meskipun didalamnya juga mencakup hadits shahih, hasan dan sebagiannya dhoif.

G.    Tingkatan Hadits Hasan

Sebagaimana hadits shahih, hadits hasan pun mempunyai tingkatan. Jika dalam hadits shahih terdapat istilah ‘ashohul asanid’, maka hadits hasan pun memiki hal serupa. Imam Adz-Dzahabi menyebutkan tingkatan tertinggi jalur periwayatan hadits hasan yaitu,
a.       Riwayat dari jalur Bahz dari Hakim dari ayahnya dari kakeknya
b.      Riwayat dari ‘Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya
c.       Riwayat dari Ibnu Ishaq dari At-Taimiy 
Tingkatan setelahnya yaitu perawi yang diperselisihkan keshahihan atau kedhoifannya, seperti hadits Harits bin Abdullah, ‘Ashim bin Dhamrah, Hajjaj bin Artho’ah, dan lainnya.
Tingkatan di atas merupakan tingkatan kehasanan hadits ditinjau dari sanadnya. Namun, seperti dijelaskan dalam hadits shahih, bahwa keshahihan atau kehasanan sanad tidak menjamin keshahihan dan kehasanan matan. Terkadang terdapat hadits yang sanadnya hasan, namun matan haditsnya mengandung syadz (cacat).

H.    Peran Imam Tirmidzi

a.       Menggabungkan antara hasan dengan shahih

Imam Tirmidzi banyak mengatakan dalam haditsnya, hasan shahih, sehingga banyak ulama yang mempermasalahkan istilah ini. Pendapat yang paling utama adalah bahwa hasan shahih berarti hadits yang memiliki banyak jalur periwayatan (sanad) yang sebagiannya dikategorikan shahih dan sebagiannya dikategorikan hasan.
            Adapun jika ternyata istilah hasan shahih ditemukan pada suatu hadits yang hanya memiliki satu jalur periwayatan, maka itu berarti terdapat ikhtilaf diantara para ulama tentang keadaan perawinya. Sebagian memasukkannya dalam kategori shahih, dan sebagian menganggapnya sebagai hasan.

b.      Menyatukan istilah ‘hasan’, ‘shahih’, dan ‘ghorib’

Hadits ghorib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang saja, baik ia seorang yang tsiqqoh maupun dhoif. Implikasinya, jika ia merupakan seorang yang tsiqqoh, maka haditsnya dikategorikan sebagai hadits shahih. Jika ketsiqqohannya lemah berarti haditsnya hasan, dan jika ia merupakan seorang yang dhoif, yang diriwayatkannya pun akan dihukumi dhoif.
Maka, dari sini dapat difahami bahwa, tidak ada keterkaitan antara shahih, hasan maupun dhoifnya suatu hadits dengan hadits ghorib. Karena ghorib adalah istilah hadits yang ditinjau dari segi jumlah jalur periwayatan, sedangkan hasan dan shahih merupakan istilah hadits yang ditinjau dari keadaan para perawinya.

I.     HADITS DHOIF

A.    Pengertian Hadits Dhoif

Menurut bahasa الضعيف berarti lemah, yaitu lawan kata dari القويّ yang berarti kuat. Sedangkan menurut istilah الحديث الضعيف adalah setiap hadits yang tidak memenuhi persyaratan “maqbul” atau hadits yang tidak berkumpul didalamnya sifat hadits shahih dan hasan.

B.     Macam Hadits Dhoif

Hadits dhoif ditinjau dari sebabnya terbagi menjadi dua yaitu;
-          Karena terputusnya sanad
-          Karena ada masalah pada perowinya

1.      Terputusnya sanad

Sebab terputusnya sanad tebagi lagi menjadi lima, yaitu:

a.      Mursal

a)      Pengertian Mursal
المرسل menurut bahasa adalah isim maf’ul yang berarti dilepaskan. Sedangkan menurut istilah, المرسل adalah hadits yang akhir sanadnya terdapat orang yang gugur sesudah tabi’in. Dengan kata lain, hadits mursal adalah hadits yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi’in tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat –baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir-.
Jumhur muhaditsin tidak membedakan antara kibarut tabi’in (tabi’in senior) maupun shighorut tabi’in (tabi’in junior). Namun ada juga yang mengartikan, jika yang meriwayatkan adalah shighorut tabi’in, maka itu bukan mursal, karena mereka mengambil ilmu bukan dari para sahabat.
b)      Contoh Mursal
... عن ابن شهاب عن سعيد بن المسيّب أنّ رسول الله نهى عن المزابنة (رواه مسلم)
Pada hadits di atas, Sa’id merupakan seorang tabi’in besar, dan beliau meriwayatkan hadits dari Rasulullah, tanpa menyebutkan perantara antara beliau dengan Rasulullah (tidak ada sahabat). Maka, dengan ini berarti akhir sanad hadits ini gugur, yaitu shahabat.
c)      Mursal shohabi
Ahlu hadits berpendapat bahwa setiap yang diriwayatkan oleh shighor shahabat –seperti Ibnu Abbas, Ibnu Zubair- berupa hal-hal yang belum pernah mereka dengar ataupun mereka saksikan langsung dari Rasulullah adalah mursal. Inilah yang kemudian diistilahkan dengan ‘mursal shohabi’.
Hukum mursal shohabi sebagaimana hukum hadits maushul (diterima), karena terkadang para sahabat juga saling meriwayatkan dari sahabat yang lain. Dan seluruh sahabat dihukumi sebagai seorang yang adil.
d)     Hukum hadits mursal
Ulama berikhtilaf mengenai hukum hadits mursal:
o   Boleh dijadikan hujjah secara mutlak, ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad
o   Tidak boleh dijadikan hujjah secara mutlak. Imam An-Nawawi menceritakan hal ini dari jumhur muhaditsin, dan ini juga merupakan pendapat Imam As-Syafi’i.
Imam Muslim berkata, “Periwayatan mursal, menurut kami dan sebagian ahlu ilmu merupakan suatu kabar, dan bukan hujjah.”
o   Boleh dijadikan hujjah jika ada riwayat lain yang serupa, atau diamalkan oleh sebagian sahabat dan ahlu ilmu
o   Boleh dijadikan hujjah jika terdapat dari salah satu syarat dibawah ini;
a.                   Yang meriwayatkan adalah kibarut tabi’in
b.                  Tabi’in yang meriwayatkannya tsiqoh
c.                   Tidak menyelisihi hadits yang lain
Perlu digarisbawahi bahwa setiap pendapat memiliki hujjah dan dalil tersendiri, dan itu bukan ranah kita untuk menghakiminya.

b.      Munqothi’

a)      Pengertian Munqathi’
المنقطع menurut bahasa berarti terputus, lawan kata dari المتصل yang artinya bersambung. Sedangkan menurut istilah, para ulama terdahulu mendefinisikannya sebagai, hadits yang sanadnya tidak bersambung dari semua sisi, baik awal, tengah, maupun akhir sanad.
Artinya, hadits munqathi’ adalah  hadits yang pada sanadnya terdapat satu atau beberapa perawi yang gugur, dan tidak berturut-turut. Maka bisa dikatakan, munqathi’ adalah definisi umum dari hadits mursal dan mu’dhol.
b)      Contoh Munqothi’
ما رواه عبد الرزاق عن الثوري عن أبي إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفة مرفوعا: إنّ...الخ
Pada hadits di atas, sanad terputus pada dua tempat, yaitu :
-          Abdurrazaq tidak langsung mendengar dari At-Tsauri, melainkan dari Nu’man bin Abi Syaibah yang mendengar dari At-Tsauri
-          At-Tsauri tidak mendengar langsung dari Abu Ishaq melainkan dari Syuraik
c)      Hukum Munqothi’
Hadits munqothi’ tertolak dan tidak dapat dijadikan hujjah karena tidak diketahuinya perawi yang hilang. Jika ada hadits serupa yang periwayatannya muttashil (tidak terputus), maka diterima (maqbul).

c.       Mu’dhol

a)      Pengertian Mu’dhol
المعضل secara bahasa adalah sesuatu yang dibuat lemah dan letih. Disebut demikian karena para ulama  hadits dibuat lelah dan letih untuk mengetahuinya sebab beratnya ketidakjelasan dalam hadits tersebut. Adapun menurut ahlu hadits, mu’dhol adalah, hadits yang pada sanadnya gugur dua perawi atau lebih secara berturut-turut.     
b)      Contoh Mu’dhol
ما رواه الحاكم بسنده إلى القعنبي عن مالك أنه بلغه أن أبا هريرة قال: قال رسول الله : للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف ...
Hadits ini mu’dhol karena ada dua perawi yang gugur, yaitu di antara Malik dan Abu Hurairah. Gugurnya dua perawi ini dapat dicek dalam kitab Muwatha’, yang menyebutkan ..dari Malik dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ayahnya dari Abu Hurairah.
c)      Hukum Mu’dhol
Para ulama sepakat bahwasanya hadits mu’dhal adalah dhaif, bahkan lebih buruk daripada mursal dan munqathi’, karena banyaknya sanad yang terbuang.

d.      Mudallas

a)      Pengertian Mudallas
المدلس berasal dari kata التدليس. التدليس secara bahasa adalah penyembunyian aib. Diambil dari kata الدلس yaitu kegelapan atau percampuran kegelapan. Maka seakan-akan seorang mudallis, karena penutupannya terhadap orang yang memahami hadits telah menggelapkan perkaranya maka hadits itu menjadi gelap.
التدليس menurut istilah adalah penyembunyian aib yang terdapat dalam suatu hadits.
b)      Macam Mudallas
-          Tadlis isnad
Tadlis Al-Isnad adalah seorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang dia temui hal yang tidak pernah dia dengar darinya, atau orang yang hidup semasa dengan perawi namun dia tidak pernah menjumpainya. Biasanya, seorang mudallis (orang yang mentadlis hadits) akan menggunakan shighoh yang samar, seperti قال فلان, عن فلان, atau yang semisal dengan itu.
Jika seorang mudallis menggunakan shighoh jelas, seperti حدّثني,  سمعتmaka ia tergolong dusta.
·         Contoh
Diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanadnya kepada Ali bin Khusyrum dia berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari Az-Zuhri…,” maka dikatakan kepadanya, “Apakah anda mendengarnya langsung dari Az-Zuhri?” Dia menjawab: “Tidak, dan tidak pula dari orang yang mendengarnya dari Az-Zuhri.” 
Sufyan bin ‘Uyainah hidup semasa dengan Az-Zuhri dan pernah menjumpainya, namun ia tidak pernah mendengar apapun darinya. Maka pengakuannya bahwa ia pernah mendengar dari Az-Zuhri merupakan perbuatan tadlis, karena ia menyelundupkan dua perawi antara dia dan Az-Zuhri (yakni Abdurrazaq dan Ma’mar).
·         Hukum
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum tadlis ini, diantaranya ;
a.    Perawi yang diketahui mentadlis hadits dihukumi sebagai perawi yang cacat, walaupun ia menggunakan shighoh yang jelas, dan  meski ia baru melakukannya sekali
b.     Hadits mudallis diterima, karena dihukumi seperti mursal, -ini merupakan pendapat Zaidiyah.
c.     Hadits yang ditadlis tertolak. Namun jika ditemukan hadits yang tidak ditadlis dari perawi yang sama, maka haditsnya diterima. Begitu juga jika ia menggunakan shighoh yang jelas, maka haditsnya diterima dan bisa dijadikan hujjah, -ini adalah pendapat jumhur dan Syafi’i.
Namun, jika perawi yang diselundupkan adalah perawi yang cacat karena dusta, maka haditsnya mardud (tertolak).
-          Tadlis taswiyah
Tadlis taswiyah yaitu seorang perawi menggugurkan perawi lain karena ia adalah seorang yang dhoif atau masih terlalu dini, lalu disambungkan dengan perawi tsiqoh di atasnya. Tadlis ini menyebabkan seolah-olah hadits tersebut diriwayatkan oleh orang yang keseluruhannya adalah tsiqoh.
Jenis tadlis ini termasuk tadlis taswiyah yang paling buruk. Perbuatan seperti ini tidak dibolehkan sama sekali. Para ulama sangat mengingkari pelaku tadlis jenis ini. Ulama yang paling menentang tadlis ini adalah Syu’bah bin Hajjaj. Beliau berkata, “Sungguh, zina lebih aku sukai daripada mentadlis hadits.”  
·         Contoh
... الحديث الذي رواه إسحق بن راهويه عن بقيّة حدثني أبو وهب الأسدي عن نافع عن ابن عمر حديث....
            Hadits ini mengandung perkara yang tidak diketahui oleh banyak orang. Yakni, sanad yang sebenarnya dari hadits ini adalah ..dari Abu Wahb Al-Asadi (tsiqqoh), dari Ishaq bin Abi Farwah (dho’if), dari Nafi’...
            Maka terlihat, bahwa sanad hadits tersebut menyelundupkan Ishaq bin Abi Farwah yang merupakan seorang yang dhoif, yang berada di tengah perawi yang tsiqqoh.
·         Hukum
Tadlis taswiyah merupakan jenis tadlis yang paling buruk, dan paling makruhAl-Iraqi berkata, “(jenis tadlis) ini mencemarkan siapa yang sengaja melakukannya.”
Dan diantara orang yang paling sering melakukannya adalah Baqiyyah bin Al-Walid. Abu Mishar berkata, “Hadits-hadits Baqiyyah tidaklah bersih maka berjaga-jagalah engkau darinya.”
-           Tadlis syuyukh
Tadlis syuyukh merupakan jenis tadlis yang paling ringan, karena perawi tidak sampai menggugurkan atau mengaku-aku mendengar hal yang tidak pernah ia dengar.  Tadlis syuyukh adalah seorang perawi menyamarkan nama syeikhnya –yang mungkin masuk kategori dho’if- dengan menyebutkan sifatnya, julukannya, atau nasabnya sehingga menjadi tidak dikenal.
·         Contoh
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abdullah....”
Penggalan hadits di atas merupakan tadlis syuyukh, karena sebenarnya yang dimaksud dengan Abdullah bin Abdullah adalah Abdullah bin Abi Daud As-Sijistaniy.
Ada pula yang mensifatinya dengan daerah asal sang perawi (tadlis bilad) seperti perkataan Al-Baghdadiy,
“Telah menceritakan kepada kami si Fulan di wara’an nahr (belakang sungai –nama daerah-)”, padahal yang dimaksud adalah sungai dajlah.
·         Hukum
Hukum hadits ini adalah makruh menurut ulama hadits.
Kemakruhan hadits tadlis (syuyukh) berbeda-beda. Hal ini ditinjau dari sebab perawi melakukan tadlis pada suatu hadits. Diantara sebab seorang perawi mentadlis hadits adalah;
a.       Bermaksud menyembunyikan syaikh yang dhoif sehingga sanad hadits terlihat shahih –ini adalah sebab terburuk karena termasuk perbuatan curang.
b.      Wafatnya sang syaikh paling terakhir diantara orang-orang yang semasanya
c.       Sang syaikh masih terlalu dini usianya
d.      Banyak hadits yang diriwayatkan sang perawi berasal dari syaikh tersebut
Tadlis bilad juga dihukumi makruh. Hal ini dikarenakan ia menyamarkan rihlah sang syaikh dalam mencari hadits. Namun, jika diketahui bahwa ia tidak bermaksud untuk menyamarkan hal tersebut, maka tidak dihukumi makruh.

e.       Mu’allal

Mu’allal adalah hadits yang di dalamnya terdapat kecacatan yang buruk, meski dari luar ia terlihat baik. Kecacatan ini bisa terkandung di dalam sanad, dalam matan, dan bisa terkandung dalam keduanya.
Mu’allal dikategorikan sebagai hadits dhoif karena terputus sanadnya karena mayoritas cacat pada hadits terdapat pada sanadnya. Contohnya seperti yang terjadi pada hadits mursal dan munqothi’. Kecacatan inilah yang kemudian mempengaruhi status tersambungnya sanad sehingga masuk dalam kategori dhoif. 

2.      Masalah pada perowi

a.      Mudho’af

Mudho’af merupakan hadits yang kedhoifannya belum disepakati. Namun, yang mendhoifkan lebih rajih daripada yang menguatkan. Mudho’af merupakan tingkatan dhoif yang paling ringan.

b.      Mudhthorib

Merupakan hadits yang menyelisihi (bertolak belakang) dengan hadits lain, yang tidak mungkin ditarjih antara keduanya. Idhthirob bisa terjadi pada hadits yag diriwayatkan oleh sendiri maupun jama’ah, bisa terjadi pada sanad maupun matan.
Hadits idhthirob dihukumi sebagai hadits dhoif karena tidak adanya kedhobitan –yang merupakan syarat shohih- pada hadits tersebut.    

c.       Maqlub

Yaitu hadits yang terbalik. Maqlub bisa terjadi pada matan maupun sanad, pada lafazh hadits maupun nama perawi. Seperti Ka’b bin Marrah yang diganti dengan Marrah bin Ka’b. Atau seperti حتّى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه  yang diganti dengan حتّى لا تعلم يمينه ما تنفق شماله.
Ada beberapa ulama yang sengaja melakukan hal ini dengan tujuan ‘pengasingan hadits', sehingga memotivasi manusia saat mendengarnya. Ulama bersepakat bahwa ini tidak boleh dilakukan. Perbuatan ini sering dilakukan oleh para pemalsu hadits, mereka mengganti sanad sebagian hadits dengan perawi yang masyhur (agar dikira shahih), atau menempelkan sanad yang kuat pada matan yang lemah.
Namun, ada juga ulama yang melakukan maqlub untuk menguji (mengetes). Ini sebagaimana yang pernah dilakukan oleh penduduk Baghdad kepada Imam Bukhori. Maqlub dengan tujuan seperti ini boleh dilakukan.  
Adapun maqlub yang terjadi karena kelalaian perawi –bukan karena kesengajaan- maka ia dihukumi sebagai hadits dhoif karena kedhobitannya lemah.

d.      Syadz

Orang yang pertama kali mencetuskan istilah ‘syadz’ adalah Imam Syafi’i. Beliau berkata, “Syadz bukanlah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqoh namun tidak diriwayatkan oleh selainnya. Namun syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqoh, namun ada hadits lain –yang lebih tsiqoh- menyelisihinya.
Setelah Syafi’i, para muhaddits bersepakat bahwa syadz adalah hadits maqbul yang diselisihi oleh hadits yang lebih maqbul.
Syarat syadz adalah sendiri –dalam periwayatan- dan menyelisihi. Maka, jika ada seorang perawi tsiqoh meriwayatkan suatu hadits yang tidak ada hadits lain yang menyelisihinya, maka hadits tersebut shahih, bukan syadz.
Hadits yang lebih maqbul (hadits yang menyelisihi hadits syadz tadi) disebut dengan hadits ‘mahfuzh’, dan hadits inilah yang dirajihkan.

e.       Munkar

Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi dhoif yang diselisihi dengan (hadits) yang diriwayatkan oleh tsiqqoh.
Syarat munkar adalah sendiri –dalam periwayatan- dan menyelisihi. Maka, jika ada seorang perawi dhoif meriwayatkan suatu hadits yang tidak ada hadits lain yang menyelisihinya, maka hadits tersebut dhoif, bukan munkar.
Adapun hadits tsiqoh yang menyelisihi hadits munkar tersebut disebut dengan ‘ma’ruf’, dan inilah yang dirajihkan.

f.       Matruk dan Mathruh

Matruk merupakan hadits yag diriwayatkan oleh seorang perawi yang dusta, baik itu dusta dalam hadits, atau dusta dalam kesehariannya. Termasuk juga hadits yang diriwayatkan oleh orang yang nampak kefasikannya (perkataan maupun perbuatan) dan banyak lalainya.
Contoh hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh Amru bin Syamr Jabir Al-Ja’fi. Matruk merupakan tingkatan hadits dhoif yang paling berat.
Imam Adz-Dzahabi menjadikan ‘mathruh’ sebagai bab tersendiri. Hal ini bisa dilihat dari perkataan beliau ‘fulan mathruhul hadits’. Dan perkataan itu masuk dalam bab ‘khabar matrukin dhu’afa’’. Adapun Syaikh Al-Jazairi berpendapat bahwa mathruh adalah matruk (perawi dusta) yang sendiri dalam periwayatan.
Namun, penulis (Dr. Muhammad ‘Ujjaj Khotib) berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara hadits matruk dan mathruh, baik dari segi bahasa maupun istilah.  

C.    Macam-macam Tingkatan Dhoif

Dari pemaparan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa tingkatan hadits dhoif yang paling buruk adalah hadits matruk dan mathruh. Tingkatan kedhoifan hadits tergantung dengan status kedhoifan perawi tersebut.
Jika dalam hadits shahih terdapat istilah Ashahul Asanid, maka dalam hadits dhaif terdapat istilah Auhal Asanid. Sehingga dapat dikatakan Auhal Asanid adalah lawan kata dari Ashahul Asanid. Dalam hadits shahih juga terdapat istilah Silsilah adz-Dzahab, maka di dalam hadits dhaif juga terdapat istilah Silsilah al-Kadzab.
Maka, hal ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.      Auhal Asanid adalah lawan dari Ashahul Asanid
b.      Silsilah al-Kadzab adalah lawan dari Silsilah adz-Dzahab
Adapun yang termasuk Auhal Asanid adalah:
1)      Shadaqoh bin Musa dari Farqod As-Subhi dari Marrah Ath-Thayyib dari Abi Bakr.
2)      Muhammad bin Fais Al-Mashlub dari Ubaidillah bin Zahr bin Ali dari Al-Qasim dari Abi Umamah
3)      Muhammad bin Marwan dari Al-Kalbi dari Abi Shalih dari Abi Abbas.
Mereka inilah yang termasuk dalam Silsilah al-Kadzab atau perawi-perawi yang paling tinggi tingkat kedhaifannya.

D.    Kapan Hadits Dhaif Dapat Dikuatkan dengan Metode Tertentu ?

Suatu hadits dapat dikategorikan dhaif apabila hadits terbut memiliki salah satu dari dua sebab, yaitu :
a)      Adanya masalah pada keadilan perawi
Jika yang bermasalah dalam hadits tersebut adalah keadilan perawi seperti fasik, dusta, jahil ataupun ia adalah seorang pelaku bid’ah yang menuju kepada kekafiran, maka hadits tersebut tidak bisa diangkat menjadi hadits yang lebih tinggi dan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
b)      Adanya masalah pada hafalan dan kedhabitan perawi
Sedangkan, jika yang bermasalah adalah hafalan dan kedhabitan perawi, maka derajatnya bisa diangkat menjadi hadits hasan dengan beberapa metode yang telah ditetapkan serta dapat dijadikan hujjah.
Oleh karena itu, jawaban dari pertanyaan ‘kapan hadits dhaif dapat dikuatkan dengan metode tertentu’ adalah ketika yang bermasalah dalam hadits dhoif tersebut berkaitan dengan hafalan dan kedhabitan sang perawi.

E.     Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengamalkan hadits dhaif. Perbedaan pendapat dalam mengamalkan hadits dhaif ini terbagi menjadi tiga madzhab.
a.       Madzhab pertama
Tidak boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlaq, baik dalam masalah fadhilah maupun dalam masalah hukum. Ini adalah pendapat Ibnu Hazm.
b.      Madzhab kedua
Boleh mengamalkannya secara mutlaq jika tidak ditemukan hadits yang shahih atau hasan. Pendapat ini disandarkan kepada Imam Ahmad dan murid beliau Abu Dawud.
c.       Madzhab ketiga
Boleh mengamalkan hanya dalam masalah keutamaan dan pelajaran yang terkandung didalam hadits tersebut, namun dengan beberapa syarat. Adapun syarat-syaratnya adalah:
1.      Kedhaifannya tidak mencapai syadid
2.      Hadits tersebut pada asalnya boleh diamalkan.
Atau dengan kata lain, bukan syariat yang mengacu pada hadits, namun haditslah yang mengacu kepada syariat.
3.      Ketika mengamalkannya, ia tidak meyakini hal tersebut sebagai sebuah ketetapan, tetapi hanya sebagai bentuk kehati-hatian.
Dalam hal ini, penulis lebih memilih madzhab pertama karena lebih aman dari madzhab lainnya.

F.     Bagaimana Cara Meriwayatkan Hadits Dhaif

Cara dalam meriwayatkan hadits dhaif terbagi menjadi dua, yaitu sesuai dengan ada atau tidak adanya sanad dalam hadits dhaif tersebut.
1.      Hadits Dhaif Tanpa Sanad
Jika hadits dhoif tersebut tanpa sanad, maka cara meriwayatkannya adalah dengan tidak menggunakan shighah jazm seperti قال رسول الله, tetapi hendaklah menggunakan shighah yang syak seperti فيما يروي.
2.      Hadits Dhaif dengan Sanad
Sedangkan cara meriwayatkan hadits dhaif dengan sanad disesuaikan dengan keadaan saat meriwayatkan. Sehingga cara meriwayatkan hadits dhaif dengan sanad terbagi menjadi dua, yaitu:
a)      Jika membacakannya di depan ulama, maka tidak dimakruhkan membacanya dengan menggunakan shighah yang jazm.

b)      Jika membacakannya di depan umum, maka makruh membacanya dengan menggunakan shighah jazm, maka hendaklah membaca dengan menggunakan shighah tamrid (syak).

0 komentar:

Posting Komentar