Oleh : Sabila Rosyada
Dewasa
ini media masa Indonesia diramaikan dengan munculnya sebuah kelompok yang mengampanyekan
kebebasan gender dan orientasi seks. Mereka mengatasnamakan kebebasan
berekspresi sebagai alasan untuk mengangkat organisasi mereka ke tengah
masyarakat. Pergerakan mereka merambah dunia remaja dan kalangan muda melalui
media sosial hingga lembaga pendidikan setingkat Universitas.
Mulanya mereka
hanya sekelompok orang yang tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat. Namun
seiring berjalannya waktu, mereka berkembng dengan cepat dan memiliki kelompok
masa yang semakin besar. Kini mereka dikenal dengan LGBT.
LGBT
merupakan akronim dari lesbian, gay, biseksual dan transgender.
Akronim tersebut dibuat untuk menekankan keanekaragaman budaya menyimpang
berdasarkan identitas seksualitas dan gender. Seringkali istilah LGBT
digunakan untuk menyebut seseorang yang memiliki kecenderungan seks selain
penganut heteroseksual atau memiliki kecenderungan melakukan hubungan seks
dengan lawan jenis. Kelompok ini muncul saat terjadi revolusi seksual pada
tahun 1960-an di dunia barat, namun saat itu label LGBT belum disematkan kepada
mereka.
Peluang
mencari massa
Kejayaan kaum LGBT pertama kali
terjadi di dunia barat, kemudian secara berkala pengikut mereka tersebar ke
berbagai pelosok dunia. Penjajahan pola pikir yang dilakukan negara barat
terjadi bersamaan dengan masuknya budaya mereka ke dalam negeri. Transfer
budaya menjadi sebuah adegan mengerikan bila dilihat dari kacamata agama dan
budaya. LGBT masuk dan membius generasi bangsa dengan menawarkan sebuah
identitas baru. Identitas semu yang tidak sesuai dengan syari’at Islam dan
melenceng jauh dari moral beradab bangsa Indonesia.
Keberadaan
kelompok LGBT dipandang sebagai ancaman moral yang serius, khususnya bagi
generasi saat ini. Indonesia bukanlah negara yang melegalkan LGBT, maka wajar
bila penganutnya menghadapi tantangan hukum dan
pengasingan secara sosial oleh masyarakat pada umumnya. Dan secara alamiah hal
tersebut berdampak pada kebijakan politik. Misalnya, pasangan sesama jenis di
Indonesia dianggap tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan perlindungan hukum
yang lazim diberikan kepada pasangan lawan jenis yang menikah.
Meskipun adat yang berlaku menghambat perkembangan LGBT, namun hukum
nasional Indonesia tidak mengkriminalisasikan segala penyimpangan orientasi
seks selama tidak melanggar hukum hukum lain yang lebih spesifik seperti
penganiayaan atau pemaksaan kehendak. Perbuatan homoseksualitas tidak akan
dipermasalahkan bila dilakukan oleh orang dewasa, suka sama suka, bersifat
pribadi dan tidak direkam serta disebar luaskan. Bahkan, pada tahun 2003 sebuah
RUU nasional untuk mengkriminalisasikan homoseksual, perzinaan dan praktek
sihir gagal diresmikan. Hal hal tersebut menjadi faktor pendukung berkembangnya
komunitas LGBT secara besar besaran.
Kampanye
Kelompok
LGBT menggunakan media masa sebagai alat untuk menyebarluaskan komunitasnya.
Mereka berkampanye melalui media sosial, selebaran, brosur, dan event event
bertema kebebasan, serta konseling yang mulai menggurita di dunia kampus.
Kampanye yang mereka lakukan menawarkan sebuah produk yang disponsori oleh hak
asasi manusia, berwujud kebebasan yang mereka klaim dapat membawa manusia
menuju kebahagiaan hakiki.
Imbasnya,
muncul fakta terbaru yang tersebar di beberapa situs internet, bahwa saat ini
sedang merebak komunitas remaja yang mencari pasangan homoseksual di dunia
maya. Umur, jenjang sekolah, dan jabatan, seolah olah tak menjadi tabir yang
menghalangi keagresifan para pencari pasangan homo tersebut. Bahkan anak anak remaja
yang masih duduk di bangku menengah pertama pun tak malu malu lagi mengumbar
jenis kelamin dan kelainan orientasi seks mereka di media sosial demi
memperoleh pasangan homo.
Selain
di media sosial, jaringan mereka berusaha menerobos ke dalam kampus kampus lokal.
Faktanya, beberapa tahun silam IAIN berani menerbitkan jurnal kampus yang
berjudul “Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Dan beberapa waktu yang lalu sebuah isu
mengenai Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC)
di Kampus Universitas Indonesia (UI) menawarkan konseling bagi kelompok LGBT.
Berbagai
reaksi bermunculan menanggapi isu tersebut. Seorang Menteri Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi (Menristek-Dikti) Muhamad Nasir langsung berkomentar keras
agar LGBT tidak diperbolehkan masuk kampus. Ia bahkan menegaskan bahwa
seharusnya kampus merupakan penjaga moral, sehingga tidak boleh ada LGBT di
dalamnya.
Perlunya
Memahamkan dan Hindari Legalitas
Sudah saatnya seluruh lapisan
masyarakat membuka mata atas fenomena yang terjadi di lapangan. Kita tidak bisa
diam saja menyaksikan kelompok reinkarnasi kaum nabi Luth bangkit di zaman
kita. Sebagai masyarakat yang beragama dan bermoral tentunya kita harus segera
mengambil sebuah langkah untuk menyikapi kelompok tersebut. Kita tau bahwa
perilaku menyimpang mereka tidak direstui oleh budaya daerah manapun di
Indonesia, bahkan seluruh agama pun menolaknya. Namun, mengapa budaya yang
sangat menyimpang dari moral kemanusiaan tersebut masih tumbuh subur di negara
yang penduduknya mengaku beragama dan bermoral ini?
Perlu kita sadari, bahwa pentingnya
menjaga lingkungan dari masuknya budaya yang bertentangan dengan syari’at Islam
serta menjajah moral bangsa adalah kewajiban kita bersama. Supaya isu hak asasi
dan kebebasan tidak lagi menguatkan geliat kebangkitan kaum nabi Luth di era
kita. Sehingga agama, moral,dan kepribadian bangsa kita tidak teracuni dengan
hal hal keji yang mereka anut.
Masyarakat perlu disadarkan akan
bahaya yang dibawa kelompok tersebut. Pengakuan rasa nasionalisme yang berperi
kemanusiaan dan berperilaku sesuai moral manusia harus terwujud konsekuensinya.
Bahwa penyimpangan kaum LGBT tidaklah sesuai dengan asas Pancasila yang mereka
klaim sebagai dasar negara. Terlebih kita sebagai penganut agama Islam
seharusnya tunduk secara mutlak terhadap syari’at agama Allah yang dengan jelas
telah melarang perilaku mereka.
Diantara sikap yang bisa kita
lakukan adalah menanamkan pemahaman yang benar kepada keluarga dan kerabat
dekat kita tentang tercelanya perbuatan non-heteroseksual. Bahwa pada masa nabi
Luth Allah mengazab mereka dengan membalik bumi yang mereka tinggali, kemudian
menghujani negeri mereka dengan batu tanah yang panas. Hingga sekarang, bekas
penyiksaan Allah atas mereka masih dapat disaksikan di kota Sodom dan Pompei,
negeri mereka dahulu.
Selain
menanamkan pemahaman yang benar, mencegah legalisasi hukum akan menjadi solusi
yang dapat mengekang kampanye mereka. Tolak semua media yang mendukung, dan
bubarkan organisasi organisasi mereka. Tak usah menyamakan bangsa kita dengan
bangsa mana pun. Legalitas LGBT hanya akan merusak masadepan bangsa dan agama
kita. Tidakkah kita berpikir akibat legalisasi hanya akan menambah beban negara
di masa mendatang?
Jadi,
menyikapi isu kebangkitan LGBT di negara kita, peran masyarakat sangat
diperlukan. Misalnya dalam lingkungan keluarga dan sekolah, maka di sana perlu penanaman
nilai nilai agama dan moral untuk membentengi anak anak dan warga sekolah dari
degradasi moral serta pengaruh LGBT. Dan sebagai warga negara Indonesia, kita harus
berusaha menolak legalisasi pernikahan LGBT sebagai langkah preventif. Free
Indonesia from LGBT!
0 komentar:
Posting Komentar