A.
Perkembangan Hadits Hasan
Hadits shahih merupakan hadits yang memenuhi seluruh
kriteria diterimanya suatu hadits, yaitu; sanadnya tersambung, perawinya adil,
dhobit, tidak syadz, dan terbebas dari cacat.
Namun, ada sebagian hadits yang telah memenuhi syarat
hadits shahih, hanya saja derajat hafalan, kedhobitan, dan kemutqinan
perawinya tidak setinggi para perawi hadits shahih.
Hadits inilah yang kemudian
disebut dengan hadits hasan. Kedudukan hadits hasan adalah pertengahan antara
hadits shahih dan hadits dhoif, sehingga ia diterima dan boleh diamalkan.
Istilah ‘hadits hasan’ adalah istilah baru karena
sebelumnya hadits hanya terbagi menjadi dua, yaitu hadits hasan dan hadits
dhoif. Orang yang pertama kali mengenalkan pembagian hadits menjadi 3 bagian,
yakni shahih, hasan dan dhoif adalah Imam Abu Isa At-Tirmidzi. Imam Tirmidzi
banyak menggunakan istilah hadits hasan didalam kitab sunannya, hingga banyak
muhaddits yang menganggap bahwa kitab sunan adalah asal penyebutan hadits hasan.
B.
Pengertian Hadits Hasan
Ibnu Hajar berkata, “Khobar
Ahad yang dinukil oleh perawi yang adil, dhobit tamm, tersambung sanadnya,
tidak terdapat syadz maupun cacat adalah shahih lidztihi, adapun jika dinukil
oleh seorang yang kurang dhobit adalah hasan lidzatihi.”
Maka, hadits hasan
adalah hadits yang memenuhi 5 syarat diterimanya hadits, hanya saja perawinya
kurang dhobit. Dengan kata lain, hadits hasan adalah hadits yang tersambung
sanadnya, oleh perawi yang adil, kurang dhobit, tanpa syadz dan tanpa cacat.
C.
Macam-macam Hadits Hasan
a.
Hasan li dzatihi
Hasan li dzatihi adalah hadits yang memenuhi kriteria syarat hadits hasan, seperti yang telah
disebutkan di atas. Contoh hadits hasan yaitu,
مفتاح الصلاة الطهور وتحريمها التكبير و التحليلها
التسليم ) رواه أبو داود و ابن ماجة و الترميذى عن علي بن أبي طالب)
“Kunci shalat adalah bersuci, pengharamannya
adalah
takbir dan penghalalannya adalah salam”
b.
Hasan li ghoirihi
Hasan li ghoirihi adalah hadits yang pada sanadnya terdapat perawi yang tidak diketahui kredibilitasnya, namun dia bukan seorang yang sangat lalai, tidak
banyak salah dalam periwayatan, tidak pula dusta maupun fasiq. Matan haditsnya juga
sesuai dan semakna dengan hadits yang sama dengan jalur berbeda yang didapat
dari mutabi’ dan syahid.
Contoh hadits hasan li
ghoirihi adalah,
كان
النبيﷺ إذا
مد يديه في الدعاء لم يرد هما حتى يمسها بهما وجهه. }أخرجه
الترميذي قال ابن حجر العسقلاني :رواه شواهد عند أبو
داود و غيره{
“Bahwa Nabi jika mengulurkan kedua tangannya dalam
berdo’a beliau tidak menariknya kembali sampai mengusapkan dulu
keduanya pada wajahnya.” {HR. Tirmidzi. Ibnu Hajar berkata: ‘Hadits ini memiliki syahid dalam riwayat Abi Daud dan yang lainnya’.}
Hasan li ghoirihi pada asalnya adalah hadits dhoif, namun di atas tingkatan hadits dhoif. Namun karena ada hadits serupa yang
diriwayatkan oleh jalur lain, maka derajatnya terangkat menjadi hasa li
ghoirihi. Maka, bisa disimpulkan bahwa hadits dhoif bisa terangkat derajatnya
dengan dua syarat :
-
terdapat sanad lain yang meriwayatkan hadits yang serupa dengan kedudukan yang sama atau lebih kuat
-
sebab kedho’ifannya adalah karena buruknya hafalan.
D.
Kehujjahan Hadits Hasan
Sebagaimana halnya hadits shahih –meski derajatnya lebih
rendah-, hadits hasan adalah hadits yang maqbul (dapat diterima), boleh diamalkan, dan dijadikan sebagai hujjah. Para ulama’ seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan
Ibnu Khuzaimah sepakat tentang ini, dengan catatan hadits shahih tetap akan
didahulukan jika terjadi tarjih.
E.
Terangkatnya Derajat Hadits Hasan
Hadits hasan yang
dimaksud adalah hasan li dzatihi, yaitu terangkatnya derajat hadits hasan
menjadi hadits shahih (shahih li ghoirihi). Hal ini terjadi jika ada riwayat
lain yang meriwayatkan hadits hasan
lidzatihi dengan jalur periwayatan lebih kuat.
Contoh
hadits hasan yang naik derajat menjadi hadits shahih li ghoirihi adalah,
حديث محمّد بن عمرو عن أبي سلامة عن أيي هريرة انّ رسول
الله ﷺ قال : لولا ان أسقّ
علي أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة.
Takhrij
dari hadits tersebut, Muhammad bin Amru adalah seorang yang terkenal
shiddiq, namun bukan dari kalangan ahlu
itqon, sehingga ada sebagian yang melemahkan hafalannya, ada pula yang
menguatkannya. Maka, hadits ini adalah hadits hasan li
dzatihi
dan shahih li
ghairihi. Karena, ada jalur periwayatan
lain melalui syeikhnya Muhammad bin Amru, dari syeiknya, dari jalur periwayatan lain. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Sa’id Al-Maqbiry dan ayahnya serta yang
lainnya.
F.
Tempat Hadits Hasan
Berbeda
dengan hadits shahih, ulama belum pernah
membukukan kitab kumpulan hadits hasan
secara khusus. Namun,
kita bisa menemukan hadits-hadits
hasan pada kitab-kitab hadits pada umumnya.
Kitab pertama yang mencantumkan hadits hasan adalah ‘Sunan At-Tirmidzi’.
Hadits-hadits hasan juga dapat ditemukan dalam kitab Sunan Al-Arba’ah, dan
Musnad Imam Ahmad –meskipun didalamnya juga mencakup hadits shahih, hasan dan
sebagiannya dhoif.
G.
Tingkatan Hadits Hasan
Sebagaimana hadits
shahih, hadits hasan pun mempunyai tingkatan. Jika dalam hadits shahih terdapat
istilah ‘ashohul asanid’, maka hadits hasan pun memiki hal serupa.
Imam Adz-Dzahabi menyebutkan
tingkatan tertinggi jalur periwayatan hadits hasan yaitu,
a.
Riwayat
dari jalur Bahz dari Hakim dari ayahnya dari kakeknya
b.
Riwayat
dari ‘Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya
c.
Riwayat
dari Ibnu Ishaq dari At-Taimiy
Tingkatan
setelahnya yaitu perawi yang diperselisihkan keshahihan atau kedhoifannya,
seperti hadits Harits bin Abdullah, ‘Ashim bin Dhamrah, Hajjaj bin Artho’ah,
dan lainnya.
Tingkatan
di atas merupakan tingkatan kehasanan hadits ditinjau dari sanadnya. Namun,
seperti dijelaskan dalam hadits shahih, bahwa keshahihan atau kehasanan sanad
tidak menjamin keshahihan dan kehasanan matan. Terkadang terdapat hadits yang sanadnya hasan, namun matan haditsnya mengandung syadz (cacat).
H.
Peran Imam Tirmidzi
a. Menggabungkan antara hasan dengan shahih
Imam
Tirmidzi banyak mengatakan dalam haditsnya, hasan shahih, sehingga
banyak ulama yang mempermasalahkan istilah ini. Pendapat yang paling utama
adalah bahwa hasan shahih berarti hadits yang memiliki banyak jalur
periwayatan (sanad) yang sebagiannya dikategorikan shahih dan sebagiannya
dikategorikan hasan.
Adapun jika ternyata istilah hasan
shahih ditemukan pada suatu hadits yang hanya memiliki satu jalur
periwayatan, maka itu berarti terdapat ikhtilaf diantara para ulama tentang
keadaan perawinya. Sebagian memasukkannya dalam kategori shahih, dan sebagian
menganggapnya sebagai hasan.
b. Menyatukan istilah ‘hasan’,
‘shahih’, dan ‘ghorib’
Hadits ghorib adalah hadits
yang diriwayatkan oleh satu orang saja, baik
ia seorang yang tsiqqoh maupun
dhoif. Implikasinya, jika ia
merupakan seorang yang tsiqqoh, maka haditsnya dikategorikan sebagai hadits shahih.
Jika ketsiqqohannya lemah berarti haditsnya hasan, dan jika ia merupakan
seorang yang dhoif, yang diriwayatkannya pun akan dihukumi dhoif.
Maka,
dari sini dapat difahami bahwa, tidak ada keterkaitan antara shahih, hasan
maupun dhoifnya suatu hadits dengan hadits ghorib. Karena ghorib adalah istilah
hadits yang ditinjau dari segi jumlah jalur periwayatan, sedangkan hasan dan
shahih merupakan istilah hadits yang ditinjau dari keadaan para perawinya.
I. HADITS DHOIF
A. Pengertian
Hadits Dhoif
Menurut bahasa الضعيف
berarti lemah, yaitu lawan kata dari القويّ yang berarti
kuat. Sedangkan menurut istilah الحديث
الضعيف adalah setiap hadits
yang tidak memenuhi persyaratan “maqbul” atau hadits yang tidak berkumpul didalamnya sifat hadits
shahih dan hasan.
B. Macam
Hadits Dhoif
Hadits dhoif ditinjau
dari sebabnya terbagi menjadi dua yaitu;
-
Karena terputusnya sanad
-
Karena ada masalah pada perowinya
1. Terputusnya
sanad
Sebab terputusnya sanad
tebagi lagi menjadi lima, yaitu:
a. Mursal
a) Pengertian
Mursal
المرسل menurut bahasa
adalah isim maf’ul yang berarti dilepaskan. Sedangkan menurut
istilah, المرسل adalah hadits yang akhir
sanadnya terdapat orang yang gugur sesudah tabi’in. Dengan
kata lain, hadits mursal adalah hadits yang disandarkan langsung kepada Nabi
oleh seorang tabi’in tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat –baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir-.
Jumhur muhaditsin tidak membedakan antara kibarut tabi’in (tabi’in
senior) maupun shighorut tabi’in (tabi’in junior). Namun ada juga yang
mengartikan, jika yang meriwayatkan adalah shighorut tabi’in, maka itu
bukan mursal, karena mereka mengambil ilmu bukan dari para sahabat.
b) Contoh Mursal
... عن ابن شهاب عن سعيد بن المسيّب أنّ رسول الله نهى عن المزابنة
(رواه مسلم)
Pada hadits di atas, Sa’id
merupakan seorang tabi’in besar, dan beliau meriwayatkan hadits dari
Rasulullah, tanpa menyebutkan perantara antara beliau dengan Rasulullah (tidak
ada sahabat). Maka, dengan ini berarti akhir sanad hadits ini gugur, yaitu
shahabat.
c)
Mursal shohabi
Ahlu hadits berpendapat bahwa setiap
yang diriwayatkan oleh shighor shahabat –seperti Ibnu Abbas, Ibnu Zubair- berupa hal-hal yang belum pernah mereka
dengar ataupun mereka saksikan langsung dari Rasulullah adalah mursal. Inilah
yang kemudian diistilahkan dengan ‘mursal shohabi’.
Hukum mursal
shohabi sebagaimana hukum hadits maushul (diterima), karena terkadang para
sahabat juga saling meriwayatkan dari sahabat yang lain. Dan seluruh sahabat
dihukumi sebagai seorang yang adil.
d)
Hukum hadits
mursal
Ulama berikhtilaf mengenai hukum hadits mursal:
o
Boleh dijadikan hujjah secara mutlak, ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad
o
Tidak boleh dijadikan hujjah secara mutlak. Imam An-Nawawi menceritakan hal ini dari jumhur muhaditsin, dan ini juga
merupakan pendapat Imam As-Syafi’i.
Imam Muslim berkata, “Periwayatan
mursal, menurut kami dan sebagian ahlu ilmu merupakan suatu kabar, dan bukan
hujjah.”
o
Boleh dijadikan hujjah jika ada riwayat lain yang serupa, atau diamalkan
oleh sebagian sahabat dan ahlu ilmu
o
Boleh dijadikan hujjah jika terdapat dari salah satu syarat
dibawah ini;
a.
Yang meriwayatkan adalah kibarut
tabi’in
b.
Tabi’in yang meriwayatkannya tsiqoh
c.
Tidak menyelisihi hadits yang
lain
Perlu
digarisbawahi bahwa setiap pendapat memiliki hujjah dan dalil tersendiri, dan
itu bukan ranah kita untuk menghakiminya.
b.
Munqothi’
a)
Pengertian Munqathi’
المنقطع
menurut bahasa berarti terputus,
lawan kata dari المتصل yang artinya bersambung. Sedangkan
menurut istilah, para ulama terdahulu mendefinisikannya sebagai, hadits
yang sanadnya tidak bersambung dari semua sisi, baik awal, tengah, maupun akhir sanad.
Artinya, hadits munqathi’ adalah hadits yang pada sanadnya terdapat satu atau
beberapa perawi yang gugur, dan tidak berturut-turut. Maka bisa dikatakan,
munqathi’ adalah definisi umum dari hadits mursal dan mu’dhol.
b) Contoh Munqothi’
ما رواه عبد
الرزاق عن الثوري عن أبي إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفة مرفوعا: إنّ...الخ
Pada hadits di atas, sanad terputus pada dua tempat, yaitu :
-
Abdurrazaq tidak langsung mendengar dari At-Tsauri, melainkan dari Nu’man
bin Abi Syaibah yang mendengar dari At-Tsauri
-
At-Tsauri tidak mendengar langsung dari Abu Ishaq melainkan dari Syuraik
c)
Hukum Munqothi’
Hadits munqothi’ tertolak dan tidak dapat dijadikan hujjah karena tidak diketahuinya perawi yang hilang. Jika ada
hadits serupa yang periwayatannya muttashil (tidak terputus), maka diterima
(maqbul).
c.
Mu’dhol
a)
Pengertian Mu’dhol
المعضل
secara bahasa adalah sesuatu yang dibuat lemah dan letih. Disebut demikian karena para ulama hadits
dibuat lelah dan letih untuk mengetahuinya sebab beratnya ketidakjelasan dalam hadits
tersebut. Adapun menurut ahlu hadits, mu’dhol adalah, hadits yang pada sanadnya
gugur dua perawi atau lebih secara berturut-turut.
b)
Contoh Mu’dhol
ما
رواه الحاكم بسنده إلى القعنبي عن مالك أنه بلغه أن أبا هريرة قال: قال رسول الله
: للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف ...
Hadits ini mu’dhol karena ada dua perawi
yang gugur, yaitu di antara Malik dan Abu Hurairah. Gugurnya dua perawi ini dapat
dicek dalam kitab Muwatha’, yang menyebutkan ..dari Malik dari Muhammad
bin ‘Ajlan dari ayahnya dari Abu Hurairah.
c)
Hukum Mu’dhol
Para ulama
sepakat bahwasanya hadits mu’dhal adalah dhaif, bahkan lebih buruk
daripada mursal dan munqathi’, karena banyaknya sanad
yang terbuang.
d.
Mudallas
a)
Pengertian Mudallas
المدلس berasal dari kata “التدليس”. التدليس secara bahasa adalah penyembunyian aib.
Diambil dari kata “الدلس” yaitu
kegelapan atau percampuran kegelapan. Maka seakan-akan seorang mudallis, karena
penutupannya terhadap orang yang memahami hadits telah menggelapkan perkaranya
maka hadits itu menjadi gelap.
التدليس menurut istilah adalah penyembunyian aib yang terdapat dalam suatu hadits.
b)
Macam Mudallas
-
Tadlis isnad
Tadlis Al-Isnad adalah
seorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang dia temui hal yang tidak pernah dia
dengar darinya, atau
orang yang hidup semasa dengan perawi namun dia tidak pernah menjumpainya. Biasanya, seorang mudallis (orang
yang mentadlis hadits) akan menggunakan shighoh yang samar, seperti قال فلان, عن فلان, atau yang semisal dengan itu.
Jika seorang mudallis menggunakan shighoh jelas, seperti حدّثني, سمعتmaka ia tergolong dusta.
·
Contoh
Diriwayatkan
oleh Al-Hakim dengan sanadnya kepada Ali bin Khusyrum dia berkata, “Telah
meriwayatkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, “dari Az-Zuhri…,”
maka dikatakan kepadanya, “Apakah anda mendengarnya langsung
dari Az-Zuhri?” Dia menjawab: “Tidak, dan tidak
pula dari orang yang mendengarnya dari Az-Zuhri.””
Sufyan bin ‘Uyainah
hidup semasa dengan Az-Zuhri
dan pernah menjumpainya, namun ia tidak pernah mendengar apapun darinya. Maka pengakuannya bahwa ia
pernah mendengar dari Az-Zuhri merupakan perbuatan tadlis, karena ia
menyelundupkan dua perawi antara dia dan Az-Zuhri (yakni Abdurrazaq dan Ma’mar).
·
Hukum
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum tadlis ini, diantaranya ;
a. Perawi yang
diketahui mentadlis hadits dihukumi sebagai perawi yang cacat, walaupun ia
menggunakan shighoh yang jelas, dan
meski ia baru melakukannya sekali
b.
Hadits
mudallis diterima, karena dihukumi seperti mursal, -ini merupakan pendapat Zaidiyah.
c. Hadits yang ditadlis tertolak.
Namun jika ditemukan hadits yang tidak ditadlis dari perawi yang sama, maka
haditsnya diterima. Begitu juga jika ia menggunakan shighoh yang jelas, maka
haditsnya diterima dan bisa dijadikan hujjah, -ini adalah pendapat jumhur dan
Syafi’i.
Namun, jika perawi yang
diselundupkan adalah perawi yang cacat karena dusta, maka haditsnya
mardud (tertolak).
-
Tadlis taswiyah
Tadlis taswiyah yaitu seorang perawi menggugurkan perawi lain karena ia adalah seorang yang
dhoif atau masih terlalu dini, lalu disambungkan dengan perawi tsiqoh di
atasnya. Tadlis ini menyebabkan seolah-olah hadits tersebut diriwayatkan oleh
orang yang keseluruhannya adalah tsiqoh.
Jenis tadlis ini termasuk tadlis taswiyah yang paling buruk. Perbuatan
seperti ini tidak dibolehkan sama sekali. Para ulama sangat mengingkari pelaku
tadlis jenis ini. Ulama yang paling menentang tadlis ini adalah Syu’bah bin
Hajjaj. Beliau berkata, “Sungguh, zina lebih aku sukai daripada mentadlis
hadits.”
·
Contoh
... الحديث
الذي رواه إسحق بن راهويه عن بقيّة حدثني أبو وهب الأسدي عن نافع عن ابن عمر
حديث....
Hadits ini mengandung
perkara yang tidak diketahui oleh banyak orang. Yakni, sanad yang sebenarnya
dari hadits ini adalah ..dari Abu Wahb Al-Asadi (tsiqqoh), dari Ishaq
bin Abi Farwah (dho’if), dari Nafi’...
Maka terlihat, bahwa sanad hadits tersebut menyelundupkan
Ishaq bin Abi Farwah yang merupakan seorang yang dhoif, yang berada di tengah
perawi yang tsiqqoh.
·
Hukum
Tadlis taswiyah merupakan jenis tadlis yang paling buruk, dan paling makruh. Al-Iraqi
berkata, “(jenis tadlis) ini
mencemarkan siapa yang sengaja melakukannya.”
Dan diantara
orang yang paling sering melakukannya adalah Baqiyyah bin Al-Walid. Abu Mishar berkata, “Hadits-hadits
Baqiyyah tidaklah bersih maka berjaga-jagalah engkau darinya.”
-
Tadlis syuyukh
Tadlis syuyukh merupakan jenis tadlis yang paling ringan, karena
perawi tidak sampai menggugurkan atau mengaku-aku mendengar hal yang tidak
pernah ia dengar. Tadlis syuyukh adalah
seorang perawi menyamarkan nama syeikhnya –yang mungkin masuk kategori dho’if- dengan menyebutkan sifatnya, julukannya, atau
nasabnya sehingga menjadi tidak dikenal.
·
Contoh
“Telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Abdullah....”
Penggalan hadits
di atas merupakan tadlis syuyukh, karena sebenarnya yang dimaksud dengan
Abdullah bin Abdullah adalah Abdullah bin Abi Daud As-Sijistaniy.
Ada pula yang
mensifatinya dengan daerah asal sang perawi (tadlis bilad) seperti
perkataan Al-Baghdadiy,
“Telah
menceritakan kepada kami si Fulan di wara’an nahr (belakang sungai –nama
daerah-)”, padahal yang
dimaksud adalah sungai dajlah.
·
Hukum
Hukum hadits ini
adalah makruh menurut ulama hadits.
Kemakruhan
hadits tadlis (syuyukh) berbeda-beda. Hal ini ditinjau dari sebab perawi
melakukan tadlis pada suatu hadits. Diantara sebab seorang perawi mentadlis
hadits adalah;
a.
Bermaksud menyembunyikan syaikh yang dhoif sehingga
sanad hadits terlihat shahih –ini adalah sebab terburuk karena termasuk
perbuatan curang.
b.
Wafatnya sang syaikh paling terakhir diantara
orang-orang yang semasanya
c.
Sang syaikh masih terlalu dini usianya
d.
Banyak hadits yang diriwayatkan sang perawi berasal
dari syaikh tersebut
Tadlis bilad juga dihukumi makruh. Hal ini dikarenakan
ia menyamarkan rihlah sang syaikh dalam mencari hadits. Namun, jika diketahui
bahwa ia tidak bermaksud untuk menyamarkan hal tersebut, maka tidak dihukumi
makruh.
e. Mu’allal
Mu’allal adalah hadits yang di dalamnya terdapat kecacatan yang buruk, meski
dari luar ia terlihat baik. Kecacatan ini bisa terkandung di dalam sanad, dalam
matan, dan bisa terkandung dalam keduanya.
Mu’allal dikategorikan sebagai hadits dhoif karena terputus sanadnya karena
mayoritas cacat pada hadits terdapat pada sanadnya. Contohnya seperti yang
terjadi pada hadits mursal dan munqothi’. Kecacatan inilah yang kemudian
mempengaruhi status tersambungnya sanad sehingga masuk dalam kategori
dhoif.
2.
Masalah
pada perowi
a. Mudho’af
Mudho’af merupakan
hadits yang kedhoifannya belum disepakati. Namun, yang mendhoifkan lebih rajih daripada yang
menguatkan. Mudho’af merupakan tingkatan dhoif yang paling ringan.
b. Mudhthorib
Merupakan hadits
yang menyelisihi (bertolak belakang) dengan hadits lain, yang tidak mungkin
ditarjih antara keduanya. Idhthirob
bisa terjadi pada hadits yag diriwayatkan oleh sendiri maupun jama’ah, bisa
terjadi pada sanad maupun matan.
Hadits idhthirob dihukumi sebagai hadits dhoif
karena tidak adanya kedhobitan –yang merupakan syarat shohih- pada hadits
tersebut.
c. Maqlub
Yaitu hadits yang terbalik.
Maqlub bisa terjadi pada matan maupun sanad, pada lafazh hadits maupun nama
perawi. Seperti Ka’b bin Marrah yang diganti dengan Marrah bin Ka’b. Atau
seperti حتّى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه
yang diganti dengan حتّى لا تعلم يمينه ما تنفق شماله.
Ada beberapa ulama yang sengaja melakukan hal
ini dengan tujuan ‘pengasingan hadits', sehingga memotivasi manusia saat
mendengarnya. Ulama bersepakat bahwa ini tidak boleh dilakukan.
Perbuatan ini sering dilakukan oleh para pemalsu hadits, mereka mengganti sanad
sebagian hadits dengan perawi yang masyhur (agar dikira shahih), atau
menempelkan sanad yang kuat pada matan yang lemah.
Namun, ada juga ulama yang melakukan maqlub untuk
menguji (mengetes). Ini sebagaimana yang pernah dilakukan oleh penduduk
Baghdad kepada Imam Bukhori. Maqlub dengan tujuan seperti ini boleh
dilakukan.
Adapun maqlub yang terjadi karena kelalaian
perawi –bukan karena kesengajaan- maka ia dihukumi sebagai hadits dhoif karena
kedhobitannya lemah.
d. Syadz
Orang yang pertama kali
mencetuskan istilah ‘syadz’ adalah Imam Syafi’i. Beliau berkata, “Syadz
bukanlah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqoh namun tidak
diriwayatkan oleh selainnya. Namun syadz adalah hadits yang diriwayatkan
oleh para perawi tsiqoh, namun ada hadits lain –yang lebih tsiqoh-
menyelisihinya.”
Setelah Syafi’i, para
muhaddits bersepakat bahwa syadz adalah hadits maqbul yang diselisihi oleh
hadits yang lebih maqbul.
Syarat syadz adalah sendiri
–dalam periwayatan- dan menyelisihi. Maka, jika ada seorang perawi tsiqoh
meriwayatkan suatu hadits yang tidak ada hadits lain yang menyelisihinya, maka
hadits tersebut shahih, bukan syadz.
Hadits yang lebih maqbul
(hadits yang menyelisihi hadits syadz tadi) disebut dengan hadits ‘mahfuzh’,
dan hadits inilah yang dirajihkan.
e. Munkar
Munkar adalah hadits yang
diriwayatkan oleh perawi dhoif yang diselisihi dengan (hadits) yang
diriwayatkan oleh tsiqqoh.
Syarat munkar adalah sendiri
–dalam periwayatan- dan menyelisihi. Maka, jika ada seorang perawi dhoif
meriwayatkan suatu hadits yang tidak ada hadits lain yang menyelisihinya, maka
hadits tersebut dhoif, bukan munkar.
Adapun hadits tsiqoh yang
menyelisihi hadits munkar tersebut disebut dengan ‘ma’ruf’, dan inilah yang
dirajihkan.
f. Matruk dan Mathruh
Matruk merupakan hadits yag
diriwayatkan oleh seorang perawi yang dusta, baik itu dusta dalam hadits, atau
dusta dalam kesehariannya. Termasuk juga hadits yang diriwayatkan oleh orang
yang nampak kefasikannya (perkataan maupun perbuatan) dan banyak lalainya.
Contoh hadits matruk adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Amru bin Syamr Jabir Al-Ja’fi. Matruk merupakan
tingkatan hadits dhoif yang paling berat.
Imam Adz-Dzahabi menjadikan
‘mathruh’ sebagai bab tersendiri. Hal ini bisa dilihat dari perkataan beliau ‘fulan
mathruhul hadits’. Dan perkataan itu masuk dalam bab ‘khabar matrukin
dhu’afa’’. Adapun Syaikh Al-Jazairi berpendapat bahwa mathruh adalah matruk
(perawi dusta) yang sendiri dalam periwayatan.
Namun, penulis (Dr. Muhammad
‘Ujjaj Khotib) berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara hadits matruk dan
mathruh, baik dari segi bahasa maupun istilah.
C.
Macam-macam Tingkatan
Dhoif
Dari pemaparan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa
tingkatan hadits dhoif yang paling buruk adalah hadits matruk dan mathruh.
Tingkatan kedhoifan hadits tergantung dengan status kedhoifan perawi tersebut.
Jika dalam hadits shahih terdapat istilah Ashahul
Asanid, maka dalam hadits dhaif terdapat istilah Auhal Asanid.
Sehingga dapat dikatakan Auhal Asanid adalah lawan kata dari Ashahul
Asanid. Dalam hadits shahih juga terdapat istilah Silsilah adz-Dzahab,
maka di dalam hadits dhaif juga terdapat istilah Silsilah al-Kadzab.
Maka, hal ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Auhal Asanid adalah lawan dari Ashahul Asanid
b. Silsilah al-Kadzab adalah lawan dari Silsilah
adz-Dzahab
Adapun yang termasuk Auhal Asanid
adalah:
1) Shadaqoh bin Musa dari Farqod As-Subhi dari Marrah
Ath-Thayyib dari Abi Bakr.
2) Muhammad bin Fais Al-Mashlub dari Ubaidillah bin Zahr bin
Ali dari Al-Qasim dari Abi Umamah
3) Muhammad bin Marwan dari Al-Kalbi dari Abi Shalih dari
Abi Abbas.
Mereka inilah yang termasuk dalam Silsilah al-Kadzab atau
perawi-perawi yang paling tinggi tingkat kedhaifannya.
D.
Kapan Hadits Dhaif Dapat Dikuatkan dengan Metode Tertentu
?
Suatu hadits dapat dikategorikan dhaif apabila hadits
terbut memiliki salah satu dari dua sebab, yaitu :
a) Adanya masalah pada keadilan perawi
Jika yang bermasalah dalam hadits tersebut adalah
keadilan perawi seperti fasik, dusta, jahil ataupun ia adalah seorang pelaku bid’ah
yang menuju kepada kekafiran, maka hadits tersebut tidak bisa diangkat menjadi
hadits yang lebih tinggi dan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
b) Adanya masalah pada hafalan dan kedhabitan perawi
Sedangkan, jika yang bermasalah adalah hafalan dan kedhabitan
perawi, maka derajatnya bisa diangkat menjadi hadits hasan dengan beberapa
metode yang telah ditetapkan serta dapat dijadikan hujjah.
Oleh karena itu, jawaban dari pertanyaan ‘kapan hadits
dhaif dapat dikuatkan dengan metode tertentu’ adalah ketika yang bermasalah
dalam hadits dhoif tersebut berkaitan dengan hafalan dan kedhabitan sang
perawi.
E. Hukum
Mengamalkan Hadits Dhaif
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengamalkan
hadits dhaif. Perbedaan pendapat dalam mengamalkan hadits dhaif ini terbagi
menjadi tiga madzhab.
a. Madzhab pertama
Tidak boleh mengamalkan hadits dhaif
secara mutlaq, baik dalam masalah fadhilah maupun dalam masalah hukum. Ini
adalah pendapat Ibnu Hazm.
b. Madzhab kedua
Boleh mengamalkannya secara mutlaq
jika tidak ditemukan hadits yang shahih atau hasan. Pendapat ini disandarkan
kepada Imam Ahmad dan murid beliau Abu Dawud.
c. Madzhab ketiga
Boleh mengamalkan hanya dalam
masalah keutamaan dan pelajaran yang terkandung didalam hadits tersebut, namun
dengan beberapa syarat. Adapun syarat-syaratnya adalah:
1. Kedhaifannya tidak mencapai syadid
2. Hadits tersebut pada asalnya boleh diamalkan.
Atau dengan kata lain, bukan syariat yang mengacu pada
hadits, namun haditslah yang mengacu kepada syariat.
3. Ketika mengamalkannya, ia tidak meyakini hal tersebut
sebagai sebuah ketetapan, tetapi hanya sebagai bentuk kehati-hatian.
Dalam hal ini, penulis lebih memilih madzhab pertama
karena lebih aman dari madzhab lainnya.
F. Bagaimana Cara
Meriwayatkan Hadits Dhaif
Cara dalam meriwayatkan hadits dhaif terbagi menjadi dua,
yaitu sesuai dengan ada atau tidak adanya sanad dalam hadits dhaif tersebut.
1. Hadits Dhaif Tanpa Sanad
Jika hadits dhoif tersebut tanpa
sanad, maka cara meriwayatkannya adalah dengan tidak menggunakan shighah jazm
seperti قال رسول
الله, tetapi hendaklah menggunakan shighah yang
syak seperti فيما
يروي.
2.
Hadits
Dhaif dengan Sanad
Sedangkan
cara meriwayatkan hadits dhaif dengan sanad disesuaikan dengan keadaan saat
meriwayatkan. Sehingga cara meriwayatkan hadits dhaif dengan sanad terbagi menjadi
dua, yaitu:
a)
Jika
membacakannya di depan ulama, maka tidak dimakruhkan membacanya dengan
menggunakan shighah yang jazm.
b)
Jika
membacakannya di depan umum, maka makruh membacanya dengan menggunakan shighah
jazm, maka hendaklah membaca dengan menggunakan shighah tamrid (syak).
0 komentar:
Posting Komentar