Kamis, 25 Februari 2016

Perkembangan Ilmu Tafsir Pada Masa Tabi’in dan Masa Pembukuan




            Al-Qur’an merupakan landasan utama bagi umat Islam yang ingin selamat dalam perjalanan menuju Rabb-nya. Allah menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa yang lugas dan ringkas, agar para hamba-Nya bisa menafakkuri keajaiban-keajaiban yang terkandung di setiap ayatnya. Oleh karenanya, ilmu akan tafsir Al-Qur’an tak akan pernah kering untuk dikaji selama manusia hidup di muka bumi ini.
Maka, sepeninggal Rasulullah dan para sahabat, para tabi’in kemudian tampil untuk melestarikan kajian tentang tafsir Al-Qur’an. Setelah para tabi’in, kajian akan tafsir terus berlanjut hingga kemudian berhasil dibukukan pada akhir abad pertama hijriyah.
A.    Tafsir pada masa Tabi’in
Tafsir pada masa ini tidak berbeda jauh dengan tafsir pada masa sahabat. Sebagaimana para sahabat, tabi’in juga merupakan orang-orang yang sangat berhati-hati dalam menafsirkan Al-Qur’an.  As-Sya’bi  berkata, “Demi Allah, tidak ada satu ayatpun dari Al-Qur’an kecuali aku telah menanyakan (tafsir)nya. Dan itu semua adalah riwayat dari Allah.” Sedangkan Sa’id bin Al-Musayyib, jika ditanya tentang tafsir dari Al-Qur’an maka beliau diam, seakan-akan tidak mendengar. 

Manhaj tabi’in dalam tafsir
            Para tabi’in mengikuti para sahabat dalam mengambil landasan rujukan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Seiring dengan semakin luasnya wilayah Islam dan semakin dalamnya kebutuhan manusia akan tafsir, maka para tabi’in pun merumuskan landasan-landasan baru dalam menafsirkan suatu ayat.
Adapun landasan- landasan yang dijadikan rujukan oleh tabi’in dalam menafsirkan suatu ayat, yaitu :
a.       Al-Qur’an
b.      Sunnah
c.       Perkataan para sahabat
Para tabi’in mengambil tafsir dari kalangan sahabat dan mengutamakan perkataan  para sahabat daripada pendapat dari kalangan mereka sendiri. Hal itu dikarenakan tabi’in adalah golongan yang menimba ilmu langsung dari para sahabat, serta menyetorkan hafalan Al-Qur’an kepada mereka. Mujahid  berkata, “Aku menyetorkan mushaf dari Al-Fatihah sampai An-Nas kepada Ibnu Abbas sebanyak tiga kali. Disetiap ayat aku berhenti untuk menanyakan makna dari ayat tersebut.”
d.      Pemahaman dan Ijtihad
Jika para tabi’in tidak menemukan tafsir suatu ayat dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan perkataan para sahabat, maka mereka berijtihad mengenai hal tersebut. Para tabi’in adalah mujtahid yang ahli. Mereka mengetahui seluk beluk bahasa Al-Qur’an, dan mendengar langsung penuturan tafsir dari para sahabat.
e.       Perkataan Ahlu Kitab Yahudi dan Nashrani (yang telah masuk Islam)
      Banyak ayat-ayat Al-Qur’an berkisah tentang nabi-nabi dan umat-umat terdahulu, namun hal tersebut  hanya dikisahkan secara global oleh Al-Qur’an, sedangkan jiwa manusia cenderung menyukai kisah.
Seiring dengan meluasnya wilayah Islam, makin banyak pula orang-orang yang memeluk agama Islam. Diantara mereka adalah para Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani yang mengetahui detail kisah-kisah dari kitab-kitab mereka, yakni  Taurat dan Injil. Akhirnya, banyak dari umat Islam yang merujuk kepada mereka demi mendengarkan detail dari kisah-kisah yang telah disebutkan oleh Al-Qur’an. Maka, masuklah beberapa kisah-kisah tersebut dalam tafsir yang dikenal dengan Israiliyyat.
Adapun Ahlu Kitab yang banyak meriwayatkan kisah-kisah tersebut adalah ; Abdullah bin Salam, Ka’b Al-Ahbar, Wahb bin Munabbih, dan Abdul Malik bin Juraih.

Ciri khas tafsir pada masa tabi’in
a.       Masuknya tafsir Israiliyyat, yakni tafsir yang diriwayatkan oleh Ahlu Kitab, baik dari kalangan Yahudi maupun Nashrani
b.      Adanya penambahan dalam tafsir yang dilakukan oleh para tabi’in yang tidak dibahas oleh para sahabat terdahulu
Hal ini disebabkan karena para sahabat dahulu hanya menafsirkan ayat yang dibutuhkan dan yang sulit dipahami oleh orang-orang di masa mereka.
c.       Penjagaan tafsir dengan talaqqi dan riwayat.
Ahlu Makkah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ahlu Madinah mengambil riwayat dari Ubay bin Ka’b, Ahlu Iraq bertalaqqi pada Ibnu Mas’ud, dan Ahlu Mesir merujuk pada imam-imam mereka.
d.      Banyaknya perbedaan pendapat di kalangan para tabi’in dalam menafsirkan ayat
e.       Mulai muncul perbedaan antar madzhab, sehingga banyak ayat yang ditafsirkan menurut corak madzhab masing-masing
f.       Adanya penisbatan setiap perkataan (tafsir) kepada sumbernya, sehingga bisa diketahui dan dibedakan antara perkataan yang shohih dan dhoif

Mufassir tabi’in yang masyhur
a.       Mujahid bin Jabir
Beliau adalah murid Ibnu Abbas yang paling tsiqqoh. Tafsirnya digunakan oleh Imam Syafi’I sebagai rujukan. Mujahid pernah menyetorkan Al-Qur’an kepada Ibnu Abbas sebanyak tiga kali dan mendengarkan tafsir setiap ayatnya dari beliau.
b.      Sa’id bin Jubair
Beliau adalah pemuka dan imam para tabi’in. Beliau berasal dari Habasyah. Beliau berguru kepada Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas serta mengambir tafsir dari mereka. Beliau sangat berhati-hati dan menahan diri dari mengemukakan pendapatnya sendiri. Hal ini mendorong sebagian ulama’ untuk cenderung mengambil tafsir dari beliau dibanding tafsir dari Mujahid dan yang lainnya.
c.       ‘Atha’ bin Abi Robah
Beliau adalah pemuka tabi’in, seorang yang tsiqqoh, faqih, dan alim. Beliau pernah bertemu dengan sekitar dua ratus sahabat Rasulullah. Di Makkah, puncak fatwa kembali kepadanya. Beliau hidup hampir seratus tahun.
d.      Ikrimah
Beliau termasuk tabi’in pilihan dan pembesar mufassirin. Beliau meiwayatkan dari Ibnu Abbas, Ali, Abu Hurairah, dan sahabat yang lain. Imam Bukhori berkata, “Tidak seorangpun rekan kami yang tidak berhujjah dengan Ikrimah.”
e.       Hasan Al-Bashri
Beliau lahir setelah kekhalifahan Umar bin Khatthab. Beliau adalah tuan para tabi’in.  Seorang yang tsiqqoh ma’mun, ilmuwan yang agung, fasih, tampan, dan bersih hatinya. Beliau meriwayatkan dari Ibnu Umar, Ali, dan sejumlah sahabat dan tabi’in.
Termasuk juga Zaid bin Aslam, Qotadah bin Di’amah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodzi, Abul Aliyah Ar-Riyahi, Amir As-Sya’bi, dan para tabi’in lainnya.

Hukum Tafsir Tabi’in
Para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum tafsir tabi’in, jika tidak ditemukan tafsir dari Rasulullah dan perkataan  para sahabat.
Beberapa ulama’ seperti Ibnu ‘Uqail, riwayat Imam Ahmad, dan Syu’bah berpendapat bahwa tidak wajib bagi seorang muslim mengambil tafsir dari para tabi’in. Hal ini dikarenakan :
§  Mereka tidak mendengar langsung dari Rasulullah sebagaimana para sahabat
§  Mereka tidak melihat secara langsug  keadaan dan kejadian ketika Al-Qur’an diturunkan, sehingga bisa jadi mereka salah dalam menafsirkan suatu ayat dan menjadikan yang bukan dalil sebagai dalil
§  Tidak ada nash yang menyebutkan tentang keadilan para tabi’in
Abu Hanifah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah adalah landasan utamaku, dan aku tidak pernah meninggalkan segala sesuatu yang datang dari sahabat, sedangkan apa yang datang dari tabi’in adalah ijtihad mereka, dan kami adalah orang-orang yang berijtihad.”
Adapun sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa boleh bagi seorang muslim mengambil tafsir yang diriwayatkan oleh para tabi’in. Hal ini dikarenakan para tabi’in adalah orang-orang yang bertalaqqi kepada para sahabat, menghadiri majelis mereka, menimba ilmu langsung dari mereka, dan mendengarkan dari para sahabat apa yang tidak didengar oleh umat lain.
            Qotadah berkata, “Tidak ada satu ayatpun dari Al-Qur’an kecuali aku telah mendengar sesuatu (tafsir) tentangnya.” Adapun Sya’bi menuturkan, “Demi Allah, tidak ada satu ayatpun kecuali aku telah menanyakan perihal ayat tersebut.”
Pendapat yang paling rojih adalah, seperti yang telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah, beliau berkata :
“Jika mereka (para tabi’in) bersepakat atas tafsir dari suatu ayat, maka (kita) wajib mengambil tafsir tersebut dan tidak ragu untuk menjadikannya sebagai hujjah . Adapun jika  para tabi’in berbeda pendapat tentang  tafsir dari suatu ayat, maka jangan menjadikan pendapat dari seorang  tabi’in sebagai hujjah atas pendapat dari tabi’in yang lain ataupun orang setelah mereka. Namun hendaknya mereka merujuk kembali kepada bahasa Al-Qur’an, Sunnah, atau umumnya bahasa arab, atau perkataan para sahabat tentang hal tersebut.”
            Adapun jika seorang tabi’in mentafsirkan suatu ayat, sedang para tabi’in lain tidak menyelisihinya, maka hendaknya (kita) mengambil tafsir tersebut dan mengutamakannya karena keutamaan dan keistimewaan mereka di bidang ilmu dibanding orang-orang setelah mereka.

B.     Tafsir pada masa pembukuan
Sesungguhnya tafsir pada tiga masa sebelumnya (masa Rasul, sahabat, dan tabi’in) diajarkan dengan periwayatan dan talqin (dibacakan oleh guru kepada murid). Kalaupun ada pembukuan pada masa itu, maka itu hanya sedikit saja.
Adapun masa pembukuan tafsir dimulai pada akhir abad pertama dan awal abad kedua hijriyah, bersamaan dengan disusunnya kitab hadits berdasarkan bab-babnya. Dalam tahap ini, metode pembukuan tafsir melalui beberapa tahapan :
Periode awal
Pada periode ini, tafsir merupakan satu bab diantara sekian bab-bab dalam kitab hadits. Saat itu, belum ada kitab khusus yang berisi tentang  tafsir Al-Qur’an, baik surat demi surat maupun ayat demi ayat.
Para ulama’ hadits yang menyusun tafsir dan memasukkannya sebagai salah satu bab dari kitab hadits mereka adalah :
-          Yazid bin Harun As-Silmiy, wafat pada tahun 117 H
-          Syu’bah bin Hajjaj, wafat pada tahun 160 H
-          Waki’ bin Jaroh, wafat pada tahun 197  H
dan beberapa ulama’ lainnya.
v  Karakteristik tafsir pada periode ini, diantaranya :
a.       Memiliki perhatian khusus terhadap sanad (jalur periwayatan)
b.      Masih menjadi bagian dari kitab hadits
c.       Tidak terbatas pada tafsir dari Rasulullah, namun juga mengambil tafsir dari para sahabat dan tabi’in
Periode kedua
            Pada masa ini, tafsir telah menjadi ilmu tersendiri dan dibukukan secara terpisah. Tafsir telah disusun berdasar urutan mushaf (Al-Fatihah hingga An-Nas).
            Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khillikan menyebutkan bahwa orang yang pertama kali membukukan tafsir secara terpisah adalah Abdul Malik bin Juraih (80-140H). Adapun ulama’ yang menyusun kitab tafsir pada masa ini, diantaranya :
-          Ibnu Majah (wafat pada tahun 273 H)
-          Ibnu Jarir Ath-Thobari (wafat pada tahun 310 H)
-          Ibnu Hibban (wafat pada tahun 369 H)
-          Al-Hakim (wafat pada tahun 405 H)
 dan  beberapa ulama’ lainnya.
v  Diantara karakteristik tafsir pada masa ini, diantaranya :
a.       Tafsir yang disusun adalah tafsir bil ma’tsur  (tafsir yang bersumber dari Rasulullah, sahabat, dan tabi’in)
b.      Riwayat sanadnya bersambung terus kepada orang yang mengatakannya
c.       Belum ada perhatian khusus tentang keshahihan periwayatan suatu hadits. Walaupun ada sebagian mufassir yang menyebutkan sanad dari suatu hadits yang dinukil, seperti Ibnu Juraij.
d.      Banyak tercampuri dengan kisah-kisah Israiliyyat
Periode ketiga
            Masa ini adalah masa-masa rawan bagi sejarah tafsir. Banyak dari mufassirin yang meringkas sanad dan mengambil tafsir tanpa menyebutkan sumbernya. Maka tercampurlah antara riwayat yang shohih dan yang saqim, yang kuat dan yang lemah. Peluang inilah yang kemudian digunakan oleh musuh-musuh Islam untuk menggerogoti Islam, dengan memasukkan dalam tafsir hal-hal yang tidak semestinya. Namun, Allah menjamin kemuliaan Islam dengan menghadirkan ulama’-ulama’ yang menyingkap kepalsuan-kepalsuan tersebut dan membedakan antara yang shohih dan yang saqim.
            Pada masa ini muncul penafsiran-penafsiran yang hanya didasari dengan pendapat, yang dikenal dengan ra’yu mahmud dan ra’yu madzmum. Orang-orang mulai berani menafsirkan Al-Qur’an tanpa didasari ilmu dan berlomba-lomba menafsirkan suatu ayat dengan banyak penafsiran yang tidak jelas sumbernya.
            Pada masa ini, semakin banyak kisah-kisah dari riwayat Israiliyyat yang menyebar luas yang terkadang hal tersebut bukanlah hal yang penting untuk diketahui.
Periode keempat
            Seiring dengan berkembangnya zaman, semakin mudah orang-orang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bercampurlah antara yang baik dan yang keji, yang shohih dan yang saqim, yang kuat dan yang lemah. Pada masa ini, tafsir tidak hanya berlandas pada Rasulullah, sahabat, dan tabi’in, namun telah bercampur dengan tafsir-tafsir ra’yi. Hal ini merupakan akibat dari munculnya banyak  golongan dan madzhab dalam Islam.
            Pada masa ini terjadi spesialisasi dalam pembukuan tafsir. Para fuqoha’  menyusun tafsir ayat-ayat yang berkaitan dengan fiqh, seperti Al-Qurthubi dan Al-Jishosh. Para muarrikh menafsirkan ayat-ayat yang mengandung sejarah, seperti Ats-Tsa’labiy. Ahlu nahwu membahas seputar I’rob  Al-Qur’an, seperti Al-Wahidiy dan Abu Hayyan, dan bidang-bidang keilmuan lainnya.

Kitab-kitab  tafsir pada masa pembukuan
            Tidak mudah menyebutkan kitab-kitab tafsir yang terbentang sejak abad pertama hijriyah hingga saat ini, apalagi menjelaskannya. Berikut ini adalah beberapa kitab tafsir  yang masyhur.
1.      Kitab tafsir bil ma’tsur :
a.       Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an                     Ath-Thobari
b.      Bahrul Ulum                                                   Abu Laits As-Samarkandi
c.       Ma’alimut Tanzil                                             Al-Baghowiy
d.      Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim                             Ibnu Katsir
e.       Fathul Qodir                                                   Asy-Syaukani
2.      Kitab tafsir bi ra’yi :
a.       Al Kasysyaf                                                    Az-Zamakhsyari
b.      Mafatihul Ghoib                                             Ar-Roziy
c.       Al-Bahrul Muhith                                           Abu Hayyan
d.      Tafsirul Jalalain                                               As-Suyuthi
e.       Fie Zhilalil Qur’an                                           Sayyid Quthb
Demikian sedikit uraian tentang perkembangan ilmu tafsir. Semoga bisa menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Diambil dari Buhuts fie Ushulut Tafsir wa Manahijuhu. Dr. Fahros Abdurrahman bin Sulaiman Ar-Rumiy 

Writted by : Hajar

2 komentar: