Kamis, 25 Februari 2016

Mengapa Harus Bermadzhab ?



            Sebelum membahas mengenai sebab kita harus bermadzhab, maka kami akan memaparkan tentang perbedaan pendapat para ulama mengenai boleh dan tidaknya kita bermadzhab dengan madzhab tertentu. Ada ulama yang mewajibkan, membolehkan dan ada pula yang melarang dalam bermadzhab
.
Bagi ulama yang mewajibkan dalam bermadzhab, mereka berhujjah bahwa apabila diperbolehkan mengikuti madzhab apa saja, maka mereka akan mengambil pendapat yang paling ringan sesuai dengan hawa nafsunya. Dan ini yang menyebabkan hilangnya taklif atas dirinya dan memperluas dalam masalah agama. Dan tidak ditemukan dalil atas wajibnya bermadzhab kecuali dalil ini. Namun, dalil ini dlo’if. Adapun dalil yang lain hanya membolehkan saja dan inilah yang paling utama.
Bagi ulama yang membolehkan bermadzhab adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah, “Tidak wajib bagi salah seorang dari kaum muslimin mengikuti seseorang dalam semua perkataannya atau bermadzhab dengan satu madzhab tertentu karena lemahnya ia dalam mengetahui hukum syar’i selain dari madzhab tersebut yang mana hal ini diperbolehkan baginya dan tidak wajib bagi tiap seseorang”.
Bagi ulama yang melarang bermadzhab dengan madzhab tertentu, dikarenakan beberapa hal:
1.                  Ayat Al-Qur’an yang mengatakan, “Bertanyalah kepada ahlu dzikr jika kalian tidak mengetahui”. Ini menunjukkan bahwa tidak ada batasan dalam menanyakan suatu persoalan hukum kepada para ahlul ‘lmiy.
2.                  Bagi seseorang yang bermadzhab dengan madzhab tertentu berarti dia telah menyamakan antara nabi yang ma’shum dengan seorang fakih yang tidak ma’shum dalam suatu perkara.
3.                  Bahwa perbuatan para sahabat dan salafush sholeh pada masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in dalam mengambil pendapat meluas, maka ditetapkan pula bahwa mengikuti pendapat seseorang dalam suatu persoalan tidak terbatas pada madzhab tertentu.
Ketahuilah, bahwasanya sikap kita kepada imam madzhab itu seperti sikap kaum muslimin yang bersikap pertengahan terhadap mereka. Yaitu berwala’ kepada mereka, mencintai mereka, memuliakannya dan memujinya karena mereka adalah ahlul ‘ilmi wa taqwa. Dalam beramal kita mendahulukan Al-Qur’an dan Sunnah atas pendapat mereka. Kita mengambil perkataan mereka untuk membantu kita dalam memahami suatu kebenaran dan meninggalkan perkataan mereka yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun persoalan yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah maka kita mengambil ijtihad mereka karena terkadang mengambil pendapat mereka lebih dibenarkan daripada mengambil pendapat kita sendiri. Karena mereka adalah orang yang paling berilmu dan paling bertaqwa. Akan tetapi, kita juga harus mengetahui perkataan mereka yang paling mendekati kepada Al-Qur’an dan As-sunah dan jauh dari keragu-raguan. Sebagaimana sabda Rasulullah: دع ما يريبك إلى ما لا يريبك,  dan sabda rasul juga : فمن اتقى الشبهات استبرأ لدينه و عرضه,
Sesungguhnya anggapan perkataaan imam madzhab itu benar adalah pilihan kaum muslimin. Ketahuilah bahwa mereka tidak terbebas dari kesalahan. Apabila ijtihad mereka benar maka baginya pahala ijtihad dan pahala kebenaran perkataannya tersebut. Dan apabila mereka salah dalam berijtihad maka baginya pahala ijtihad saja. Mereka akan tetap mendapatkan pahala dalam setiap keadaan. Dan tidak ditemukan dalam dirinya suatu kekurangan apapun. Akan tetapi Al;-Qur’an dan As-sunnah adalah dua hal yang sangat sempurna diatas ijtihad mereka. (أضواء البيان ج 7 ص 555-556(
Tidak ada kebenaran yang murni kecuali yang bersumber dari Rasulullah. Jadi, mengikuti salah satu madzhab dari empat madzhab dalam semua persoalan yang ada tidak wajib dan juga tidak disunnahkan. Bahkan orang yang berpegang pada satu madzhab saja, maka ia adalah orang yang taklid atau fanatik. Maka tidak ada kewajiban untuk mengkuti madzhab-madzhab tersebut. Yang wajib adalah mengikuti jalan Nabi SAW dan petunjuk beliau. Karena dasar agama Islam adalah  mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasulullah.
Oleh karenanya, para imam madzhab melarang dan mencela orang yang mengambil pendapat mereka tanpa mengetahui dalilnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mengikuti madzhab tertentu dalam beberapa permasalahan itu diperbolehkan dan yang dilarang adalah mengikuti satu madzhab dalam semua permasalahan, tanpa peduli benar dan salahnya. Karena yang dijadikan pedoman adalah Kitabullah dan Sunah Rasulullah bukan salah satu madzhab tertentu.
Sebab kita harus bermadzhab
Kita harus bermadzhab karena dengan kita bermadzhab akan memudahkan kita dalam mendekatkan diri kepada Allah dan bermu’amalah dengan manusia. Selain itu bermadzhab merupakan sarana untuk mempelajari syari’at Islam yang disimpulkan dari dalil Al-Qur’an dan Sunnah secara terstruktur dan sistematis.
 Oleh karena itu, manakala suatu pendapat madzhab jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka kita wajib meninggalkannya. Karena kita hanya diperintahkan untuk mengikuti Allah dan Rasul-Nya bukan mengikuti madzhab siapa pun.  Jadi, kita diharuskan untuk mengikuti madzhab yang pendapatnya lebih mendekati kepada kebenaran bukan taklid terhadap satu madzhab saja dan tidak mau mengambil pendapat yang lain. Karena setiap madzhab memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga kita mengambil pendapat mereka yang lebih mendekati kebenaran. Wallahu a’lam
Mengapa harus empat madzhab?
Fikih terbagi dalam dua aliran pendekatan: pertama, ahl ro’yi wal qiyas atau pakar dalam penggunaan pemikiran dan analogi. Mereka didukung oleh masyarakat Iraq. Pendukung utama kelompok ini dan berhasil membentuk madzhabnya adalah Imam Abu Hanifah. Kedua, ahl hadits atau pakar hadits. Mereka didukung oleh masyarakat Hijaz. Imam masyarakat Hijaz adalah Imam Malik dan Syafi’i yang datang setelahnya.
Lalu beberapa ulama mengingkari adanya qiyas dan menghentikan penggunaannya. Mereka ini disebut dzohiriy yang memfokuskan istinbathul ahkam dari nash dan ijma’ saja. Tokoh utama madzhab ini adalah Dawud bin Ali dan puteranya.
Ketiga madzhab ini yang populer dan berkembang di masyarakat. Kemudian syi’ah membentuk madzhab sendiri dan fikih khusus bagi mereka. Hal yang sama dilakukan oleh kaum Khowarij. Namun, masyarakat tak dapat menerima madzhab ini bahkan mengampanyekan untuk tidak menerima dan mencelanya. Karenanya kita tidak mengenal sesuatupun tentang madzhab ini dan tidak pula buku-buku yang mereka tulis serta peninggalannya kecuali di tempat asal mereka.
Kemudian madzhab Dzohiriy ini banyak dipelajari dari para ulama mereka. Namun, sebagian besar masyarakat tidak menerimanya sehingga tidak ada yang tersisa dari madzhab ini kecuali beberapa buku yang dijilid rapi. Dan pendukung utama madzhab ini adalah Ibnu Hazm di Andalusia. Pada akhirnya ia berbeda pendapat dengan pemimpinnya Dawud dan menentang pendapat mayoritas. Masyarakat pun semakin menaruh ketidaksukaan kepadanya. Karenanya yang tetap bertahan hingga sekarang adalah ahlu ro’yi di Irak dan ahlu hadits di Hijaz.
Adapun ahlu hadits yang berada di Hijaz, maka pendukung utamanya adalah Imam Malik bin Anas. Setelah Imam Malik bin Anas, terdapat Imam Syafi’i. Ia mengembara ke Irak setelah Imam Malik dan bertemu dengan para sahabat Imam Abu Hanifah dan banyak belajar dari mereka. Imam Syafi’i menyatukan antara metode masyarakat Hijaz dengan metode masyarakat Irak. Lalu ia mendirikan madzhab sendiri yang berbeda dengan madzhab Imam Malik dalam berbagai persoalan fikih.
Generasi setelahnya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Ia merupakan pakar utama dalam bidang hadits. Para sahabatnya banyak belajar dari para sahabat Imam Abu Hanifah, meski mereka mempunyai banyak riwayat hadits. Mereka lalu membentuk madzhab baru.
Masyarakat di berbagai wilayah dan negri Islam bertaklid kepada empat madzhab ini. Mereka yang bertaklid mengajarkannya kepada yang lain. Para pakar hukum fikih menutup pintu ijtihad dan jalannya ketika muncul berbagai istilah dalam ilmu pengetahuan karena dianggap menghambat pencapaian ijtihad yang benar. Selain itu, hal ini dikhawatirkan akan mendatangkan penyelewengan dalam berijtihad karena dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai kapabilitas untuk berijtihad dan tidak dapat dipercaya, baik dari segi agama maupun pendapatnya. Karenanya para ulama mengemukakan bahwa ijtihad tidak mungkin dilakukan dan menghimbau kepada masyarakat untuk bertaklid kepada masing-masing madzhab atau yang bertaklid kepadanya.
Pada saat yang sama, para ulama juga memperingatkan agar tidak bermain-main dengan taklid sehingga tak ada yang mengkhawatirkan kecuali pindah madzhab. Setiap orang yang bertaklid pada madzhab orang lain setelah terjadi koreksi terhadap kaidah-kaidah utama dan menyambungkan sanadnya dengan riwayatnya pada saat ini, maka tidak dapat menghasilkan hukum selain yang sudah ada. Adapun mereka yang mengaku mujtahid pada masa sekarang tidak dapat diterima ijtihadnya dan mengikutinya pun tidak sah. Karenanya masyarakat Islam sekarang hanya boleh bertaklid kepada empat madzhab ini. ( Mukaddimah Ibnu Kholdun hlm 823)

0 komentar:

Posting Komentar