Minggu, 12 Juni 2016

Pengarun Televisi Pada Anak


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Kemajuan zaman selalu berjalan seiring dengan dinamika kehidupan manusia dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Beragam perkembangan teknologi mulai merambah masyarakat dengan kekhasannya masing-masing. Televisi sebagai salah satu produk teknologi juga menyajikan hal yang serupa. Fitur dalam televisi saat ini beraneka ragam, bukan hanya sebatas alat untuk menerima siaran atau tayangan tertentu tetapi juga alat yang membantu manusia untuk berinternet. Hal tersebut menyata dalam lahirnya smart television  seperti yang diperkenalkan oleh Samsung, pabrikan barang elekronik dari Korea Selatan. Tayangan atau siaran televisi dijadikan sebagai sarana dan sumber informasi dan pengetahuan yang konferensif dan pasti bagi masyarakat.
Anak-anak sebagai anggota masyarakat turut menggunakan dan menerima perkembangan televisi. Apa yang ia lakukan dipengaruhi apa yang ia tonton dari televisi. Tayangan-tayangan televisi telah merubah tindakan, daya nalar dan daya pikirnya. Selain membawa dampak positif, televisi membawa dampak negatif pula bagi anak-anak. Berbagai persoalan yang terjadi karena pengaruh negatif televisi.
Dalam kehidupan anak-anak, ada dua proses yang berjalan secara kontinu dan interaktif yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Kedua proses ini memiliki korelasi yang signifikan satu sama lain. Perkembangan dan pertumbuhan anak merupakam hasil interaksi antara faktor internal anak dan faktor eksternal seperti lingkungan sosial dan fisik.[1] Perkembangan kepribadian anak dipengaruhi oleh lngkungan di mana ia hidup. Sebagai makhluk sosial, anak berelasi dengan sesamanya dan membuatnya menjadi pribadi yang khas dan unik. Dalam relasi tersebut, anak belajar dan diajar oleh lingkungannya mengenai bagaimana ia harus berpikir dan bertindak, dan berpikir dan bertindak yang bagaimana dapat dikatakan salah atau negasi darinya.[2]
Sejak adanya televisi, orang tua menunjukkan keprihatinan yang besar mengenai pengaruh televisi bagi anak. Hal ini berkisar dari penggunaan televisi tanpa waktu belajar sampai pada kejahatan moral yang diakibatkan tayangan televisi. Upaya merestorasikan penggunaan televisi adalah hal yang mutlak dilakukan oleh orang tua. Sejauh mana peran orang tua terhadap perkembangan anak-anak dilihat dari pengaruh televisi? Usaha apa yang perlu dilakukan oleh orang tua? Penulis akan membahas masalah lebih detail yang kiranya dapat membantu orang tua dalam mengentas perkembangan anak.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengaruh TV pada anak?
2.      Bagaimana peran orang tua agar anak tidak cenderung pada TV?
1.3  Tujuan penulisan
1.      Untuk mengetahui pengaruh TV pada anak
2.      Untuk mengatahui bagaimana cara orang tua agar anak tidak cenderung dengan TV


BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian televisi
Ensiklopedi Nasional Indonesia mengartikan televisi sebagai “pengubahan gambar (serta cahaya) menjadi sinyal listrik, kemudian disalurkan dengan perantaraan kabel atau gelombang elektromagnetik untuk diubah menjadi bentuk semula (sinyal listrik menjadi gambar serta cahaya) oleh pesawat penerima.”[3] Televisi merupakan peranti elektronik yang memungkin suatu informasi audio-visual dapat disaksikan oleh manusia di manapun ia berada berkat keterjangkauan areal cakupan sebuah satelit yang menerima sinyal televisi.
B.       Pengertian Anak-anak
Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan
perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia bermain/oddler (1-2,5 tahun),pra sekolah (2,5-5), usia sekolah (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini berada antara anak satu dengan yang lain mengingat latar belakang anak berbeda.[4] Sedangkan menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia mengartikan anak-anak sebagai “manusia yang berusia antara 18 bulan sampai dengan 13 tahun.[5]
C.     Minat Anak pada Televisi
Dengan beragamnya program televisi, anak-anak dapat menonton beragam acara televisi. Pada tahap ini, anak-anak terangsang oleh setiap pergerakan (visual) dan persuaraan (audio). Kombinasi sintetik antara kedua hal ini memungkinkan suatu informasi dapat tersaji dengan menarik, artistik, variatif dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Televisi dapat “merasuki pusat rasionalisasi kita melalui rupa-rupa jalan yang mungkin dengan maksud  memikat kita secara sensoris, afektif, pun rasional.”[6]
            Nilai-nilai positif maupun negatif berkembang yang ditawarkan oleh pelbagai macam tayangan. Intensi anak-anak bagi televisi semakin besar ketika tayangan televisi menyediakan beragam unsur dirinya yang menarik untuk ditonton. Superioritas televisi mengganggu waktu anak-anak untuk melakukan sesuatu yang baik dan yang berguna. Minat anak-anak pada televisi menjadi perhatian karena mengacu pada faktor-faktor yang menyebabkan anak-anak menonton televisi misalnya usia, jenis kelamin, intelgensi, status sosial, ekonomi, dan kepribadian anak.
Beragam tindakan yang dilakukan anak-anak merupakan cara ia belajar dan bertumbuh sesuai dengan pikirannya. Kecenderungan ini mengasah kemampuan anak secara ekstensif, mencari pengalaman yang lebih luas dari apa yang ia dapatkan. Atensi anak-anak pada televisi sangat berantung pula dalam unsur stratifikasi informasi yaitu dari informasi yang sederhana sampai pada informasi yang rumit, dari informasi yang bersifat baik sampai pada hal yang buruk. Dalam hal ini terciptanya hubungan respirokal yaitu di satu sisi anak-anak membutuhkan informasi yang lebih luas, di sisi lain tayangan televisi yang menghasilkan sifat  konsumerisme bagi anak-anak.
Anak-anak dibentuk oleh konsep luar dirinya. Terlepas dari ia mau menerimanya, realitas dunia luarnya turut mempengaruhi pembentukan kepribadiannya. Anak-anak ingin berkembang untuk mendapatkan sesuatu yang tidak ada di dalam keluarganya. Hal ini menguatkan sifat keingintahuan anak-anak pada batasan tertentu. Limitasi yang diberikan kepada anak-anak adalah sebuah upaya untuk meredakan potensi perkembangan anak dalam aspek keingintahuannya. Anak-anak dibentuk dari apa yang ia lihat dan rasakan kemudian menularkannya dalam tingkah lakunya yang cenderung sama. Karena itu televisi menghadirkan informasi yang lebih positif, lebih produktif, dan lebih luas sebagai persiapan kebutuhan masa depan.[7]
D.     Televisi: Unsur Paradoksal (bertentangan) terhadap Perkembangan Kepribadian Anak
Perhatian pada anak-anak terhadap kebutuhan akan televisi meningkat sejauh mana ia menggunakan tayangan yang disajikan. Unsur dualisme(baik buruk) dalam penggunaan televisi menguatkan dugaan yang tak efisien dan kooperatif dalam penggunaan televisi yang terangkum dalam aspek kognitif, aspek sosial, aspek emosi, dan aspek fisik.
E.      Pengaruh Positif Televisi bagi Anak-anak
     Pengaruh-pengaruh positif televisi bagi anak-anak sebagai berikut:
1.       Aspek Kognitif.
 Televisi memberikan suguhan informasi, ide, dan peristiwa yang membantu anak-anak untuk berkembang dalam berpikir. Masa kanak-kanak dihadapkan pada realitas yang berada di luar kemampuan akal budinya. Dalamnya terdapat unsur skeptisisme yang menjadi ciri khasnya. Lewat tayangan televisi anak-anak dibantu untuk berlatih bertanya dan terus berpikir tentang sesuatu yang membingungkan bagi dirinya. Daya nalarnya bisa berkembang dan ingin mencari jawaban dari permasalahan tersebut. Kemampuannya untuk berpikir berakibatkan pada mental anak untuk terus mencari informasi.
   Selain itu, televisi memperluas wawasan anak-anak dan pengetahuan yang lebih luas yang mungkin tidak didapatnya di bangku pendidikan. Materi pelajaran pun bisa bertambah misalnya mencari literatur bahan pelajaran. Anak-anak mentransformasikan pendidikannya dalam televisi sebagai model dan acuan yang sangat berguna bagi perkembagannya. Orang tua pun dapat membentuk kegiatan home schooling sebagai jalan subtitusi pendidikan formal.[8]
2.      Aspek Emosi.
 Dengan menonton televisi, anak dapat bertindak cekatan, inovatif, tahu bekerja keras seperti yang ia tonotn pada televisi. Televisi mendorong anak bertindak dengan layarnya sebelum melakukan sesuatu. Selain itu, acara-acara yang ditayangkan dalam televisi menjadi acuan motivasi bagi anak-anak agar dapat berkembang sesuai dengan keinginan mereka. Cita-cita dapat dibentuk dengan melihat tokoh-tokoh yang diperankan dan bagaimana cara dan proses untuk mendapatkannya misalnya menjadi dokter atau tentara.
3.      Aspek Sosial.
 Anak-anak dapat mengetahui semua kejadian yang terjadi di luar dirinya yang hanya mengenal orang lain lewat pengalaman pribadinya. Ia tak hanya mengenal keluarga dan lingkungannya saja tetapi lebih luas wilayahnya. Semua hal dapat diketahuinya misalnya pekerjaan, olahraga, dan realitas lainnya. Anak-anak dapat mengingat dan memahami apa yang disajikan oleh televisi dan menimbulkan efek bagi kehidupan mereka secara intens. Mereka menafsirkan kekerasan di dalam televisi sebagai perilaku yang direstui dan model yang ditiru dalam masyarakat, maka pengaruhnya akan berbeda ketimbang apabila mereka mengartikannya sebagai perilaku yang tidak baik.
4.       Aspek Fisik.
 Televisi menjadi tempat hiburan bagi anak-anak. Mereka mendapat tayangan yang sesuai dengan selera. Hiburan yang ia dapatkan di tempat permainan tak memuaskan hatinya. Hiburan yang disajikan pun bersifat endemis misalnya game, komedi, kartun, drama, dan musik. Fisiknya pun ikut berubah. Ia dapat menggerakkan imajinasinya dengan menirukan apa yan ia tonton.
F.       Pengaruh Negatif Televisi bagi Anak-anak
 Perhatian khusus lebih dinobatkan pada pengaruh negatif. Anak-anak menjadi korban rasisme televisi yang penayangannya semakin menggila. Pengaruh-pengaruh negatif bagi anak-anak sebagai berikut:
1.       Aspek Kognitif.
 Acara televisi telah menyita waktu anak-anak untuk pengerjaan tugas sekolah. Porsi menonton lebih banyak ketimbang mengerjakan tugas. Acara-acara televisi lebih menggiurkan daripada mengejakan pekerjaan rumah. Pekerjaan kecil dalam rumah dibiarkan menumpuk. Selain itu, terlalu sering menonton TV dan tidak pernah membaca menyebabkan anak akan memiliki pola pikir sederhana, kurang kritis, linier atau searah dan pada akhirnya akan mempengaruhi imajinasi, intelektualitas, kreativitas dan perkembangan kognitifnya. anak-anak masih mempunyai keterbatasan pengetahuan dan kemampuan untuk menganalisa kejadian, Karena usia yang masih muda anak-anak akan mengalami proses ini secara lebih lama, yang akan memberikan efek yang lebih mendalam.
2.       Aspek Emosi.
 Televisi membentuk anak dalam mentalitas easy-going, menganggap kemewahan adalah ukuran kebahagiaan dan menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup yang mengalungi perilaku anak-anak. Anak-anak bersikap tidak matang, maunya serba cepat dan diselesaikan dalam waktu yang cepat dan singkat yang membuatnya menjadi hamba televisi. Anak-anak tidak dibiasakan memecahkan persoalan dan pelbagai masalah dengan kesabaran dan ketekunan. Tantangan ini mengganggu anak-anak dalam mengejar cita-citanya. Anak-anak pun tak dapat membedakan dunia fantasi dan dunia realitas.[9]
3.       Aspek Sosial.
 Anak-anak tak punya banyak waktu bersama orang tua dan teman-temannya. Tendensi ini menjadikan kepribadian anak tak membutuhkan dan mengenal orang lain. Komunikasi menjadi tidak lancar dan terhambat. Pengawasan orang tua tak dihiraukan. Maka terbentuknya penyakit fobia sosial yang tak terelakkan. Program-program yang disajikan merendahkan hakikat keluarga sebagai pendidik maka para anggota keluarga misalnya anak-anak yang pasif dan tidak kritis akan menerima begitu saja tanpa ada telaah lebih lanjut. [10]Selain itu, anak yang banyak menonton TV namun belum memiliki daya kritis yang tinggi, besar kemungkinan terpengaruh oleh apa yang ditampilkan di televisi. Mereka bisa jadi berpikir bahwa semua orang dalam kelompok tertentu mempunyai sifat yang sama dengan orang di layar televisi. Hal ini akan mempengaruhi sikap mereka dan dapat terbawa hingga mereka dewasa.
4.      Aspek Fisik.
 Kekerasan dan aksi kejahatan terbentuk setelah menonton televisi yang sangat mempengahui mental dan psikologi. Film dan video porno menjadi ancaman dan incaran anak-anak yang ingin mengetahuinya. Apabila mereka terbiasa dan tidak peka terhadap kekerasan, mereka akan menerima perilaku itu sebagai pola hidup yang normal sehingga apa yang ditayangkan dapat ditiru dengan mudah. Selain mengakibatkan kekerasan, akibat dengan menonton televisi terlalu lama dapat mengganggu kesehatan fisik anak-anak baik bagian luar maupun bagian dalam. Kesehatan tak dapat diperhatikan lagi dengan munculnya sakit jantung, gangguan tidur, diabetes, obesitas, Attetion Deficit Disorder ADD, gangguan pemusatan perhatian atau konsentrasi pada anak, hiperaktif, asma, sakit mata, dan perilaku agresif.[11]
G.     Eksistensi Peran Orang Tua 
  Orang tua menjadi agen sosialisasi utama bagi anak-anak dalam keluarga. Orang tua ditempatkan sebagai pembimbing anak-anak. Orang tua diibaratkan nahkoda yang mengendalikan bahtera keluarga. Orang tua sebagai kompas, penunjuk arah dan jalan bagi keberlangsungan anggota keluarga.
  Anak-anak pada awalnya bertumbuh dan berkembang dalam keluarga. Keluarga menjadi locus primer perkembangannnya. Otentisitas perkembangan anak berada dalam keluarga yang terbentuk secara perlahan, membutuhkan waktu yang lama, tergantung sejauh mana anak tersebut mau menerima realitas luar dirinya. Antara orang tua dan anak-anak tidak adanya garis demarkrasi yang mana dalam keluarga adanya hubungan timbal balik. Ranah kontekstual yang diperhatikan ialah sejauh mana orang tua mengtransformasikan nilai, norma, dan budaya kepada anak-anak.
  Posibilitas pengaruh televisi menjadi urgen yaitu ketika televisi telah mempengaruhi perkembangan anak. Kelinglungan dan kecerobohan orang tua akan menjadi bumerang tersendiri bagi perkembangan anak-anak. Metanarasi antara peran orang tua dan anak-anak cukuplah besar karena dihadapkan pada kenyataan bahwa anak-anak harus dapat dikembangkan secara intensif. Berikut akan dibeberkan peran orang tua dalam mengentas nilai perkembangan anak yang lebih baik.
1.      Orang tua perlu menanamkan pengaruh televisi bagi anak-anak dengan mengajarkan bahwa televisi dahulu diciptakan untuk kepentingan manusia, bukan manusia untuk televisi. Anak-anak diarahkan untuk mengembangkan kreativitas, dengan menjadi subjek perilaku yang kreatif dan cekatan bukan sebagai objek yang hanya dikuasai oleh teknologi.
2.       Orang tua sebaiknya perlu membuat kegiatan lain daripada hanya menonton televisi, misalnya mengajak berekreasi.[12] Selain untuk kesenangan dan hiburan, berekreasi juga dapat menjadi tempus dalam merelaksasikan pikiran yang mungkin lelah berkutat pada pendidikannya dan dapat mengenal dunia luar yang mungkin saja tak ia temukan dalam televisi. Selain berekreasi, orang tua juga dapat menginternalisasikan nilai-nilai budaya dan nilai-nilai rohani dapat membuat anak cinta budaya sendiri dan terciptanya kepribadian yang matang dari segi afeksi, emosional, dan spiritual.[13]
3.       Untuk tidak terjebak dalam situasi negatif bagi anak-anak, orang tua perlu selektif dalam tayangan yang ditonton anak-anak sesuai dengan umur mereka. Orang tua perlu menanamkan penggunaan televisi secara moral dan sesuai etiket. Mereka perlu membatasi jam belajar anak-anak dan hanya memberikan waktu menonton apabila ada kejenuhan dalam belajar.
4.       Orang tua menjadi agen terpenting dalam cara belajar anak. Orang tua pun berdialog dengan anak-anak tentang cara belajar yang baik.[14] Orang tua menjadi andalan dalam menetapkan tujuan pembelajaran anak-anak, misalnya adanya proyek jangka panjang dan proyek jangka pendek. Proyek jangka pendek dilakukan untuk pendidikan yang lebih baik misalnya persiapan ujian semester dan tugas-tugas lainnya sedangkan proyek jangka panjang dilakukan untuk membentuk kepribadian yang kreatif, cekatan, intelektual di atas rata-rata, dan bernaluri tinggi.
 Orang tua mempunyai peran membantu anak-anak dalam membandingkan tayangan televisi dan pendidikan formal mereka. Hal ini dimaksudkan untuk menambah wawasan anak-anak yang bersifat kumultatif yang berarti wawasan anak-anak dapat dikonstruksi perlahan, ditambah, direvisi, dan dikurangi sehingga makin lama makin baik.



BAB III
PENUTUP

1.1. Kesimpulan
Televisi merambah masyarakat dengan kelebihan dan kekurangannya yang dirasakan oleh masyarakat. Tak dapat dielak, pengaruh negatif TV lebih besar daripada pengaruh positifnya. Anak-anak dengan lugunya dan kepolosannya menerima kehadiran televisi dengan mudah. Bahkan denyut nadi perkembangan kepribadian anak ditentukan oleh pengaruh televisi. Sejauh ini ranah problematis yang dilirik ialah pengaruh negatif televisi yang sudah mengalungi kehidupan anak-anak.
Orang tua sebagai pengajar dan pembimbing anak mempunyai tanggung jawab besar terhadap perkembangan anak. Kepeduliannya sangat menentukan perjalanan anak-anak. Dengan hal ini, anak-anak dapat dijauhkan dari sikap negatif yang bisa saja diakibatkan pengaruh negatif televisi dan sikap-sikap baik dikembangkan demi masa depan yang baik.
1.2. Saran
Bagi orang tua hendaknya lebih memperhatikan lagi anak-anak ketika menonton televisi. Ketika anak menonton televisi usahakan orang tua bisa mendampingi untuk memberikan pengarahan pada anak. Dan ketika memberikan tontonan pada anak-anak hendaknya memilihkan tontonan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Batmomolin, Lukas dan Fransiska Hermawan, Budaya Media. Bagaimana Pesona Media Elektronik Memperdaya Anda.. Ende: Nusa Indah, 2003.
Catholic Life, Vol. 19, Tahun 11, 2011.
Chen, Milton. Anak-anak dan Televisi. Yogyakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Duka, Agus Alfons (Ed.). Voice in the Wildrness (Pesan Paus Yohanes Paulus II untuk Hari Komunikasi Sedunia Tahun 1979-2005). Maumere: Ledalero, 2007.
Ensiklopedi Nasional Indonesia,  Jilid 16. Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1994.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 2. Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1994
Gunarsa, Singgih. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.
Kartono, Kartini. Psikologi Anak. Bandung: Alumnni, 1986.
Nadeak, Wilson. Anak dan Harapan Orang Tua. Ende: Nusa Indah, 1994.
Siahaan, S. M. Komunikasi, Pemahaman dan Penerapannya. Jakarta: PT BPK Gunung
Soekanto, Soerjono. Anak dan Pola Perilakunya. Yogyakarta: Kanisius, 1986.
Tondowidjojo, Raden Mas John. Media Massa dan Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius, 1985.
 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24631/4/Chapter%20II.pdf.senin,25/04/2016.21:22




[1] Kartini Kartono, Psikologi Anak (Bandung: Alumnni, 1986) hlm: 29.
[2] Singgih Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989) hlm:. 60-62.

[3]  Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 16 (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1994) hlm:194.
[4] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24631/4/Chapter%20II.pdf
[5] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 2 (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1994) hlm:4.
[6]  Lukas Batmomolin dan Fransiska Hermawan, Budaya Media. Bagaimana Pesona Media Elektronik Memperdaya Anda. (Ende: Nusa Indah, 2003) hlm: 159.

[7] S. M. Siahaan, Komunikasi, Pemahaman dan Penerapannya, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1991), hlm:8.

[9] Wilson Nadeak, Anak dan Harapan Orang Tua, (Ende: Nusa Indah, 1994), hlm:. 45.
[10] Agus Alfons Duka (ed.), Voice in the Wilderness ( Pesan Paus Yohanes Paulus II untuk Hari Komunikasi  Sedunia) 1979-2005 ) (Maumere: Ledalero, 2007)  hlm: 11.
[11] Catholic Life, Vol. 19, Tahun 11 2011, hlm:. 14.

[12] Agus Alfons Duka (Ed.), op. cit., hlm: 132.
[13] Wilson Nadeak, op. cit., hlm. 46.
[14] Milton Chen,  Anak-anak dan Televisi  (Yogyakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm: 136.

Oleh : Azizah Na'imatul Jannah

0 komentar:

Posting Komentar