Senin, 09 Mei 2016

Waktu-Waktu Sholat Fardhu


Waktu-Waktu Shalat fardhu
Oleh: Zulfa Sa’diyah

I.                   Pendahuluan

Shalat merupakan kewajiban yang Allah ta’ala tetapkan atas semua muslim. Orang yang mengaku beragama Islam wajib melaksanakan shalat. Dan shalat merupakan kewajiban yang telah di tentukan waktunya. Di dalam Al-Quran telah disebutkan dalil tentang waktu shalat secara global yang kemudian diperinci oleh hadits Nabi .
 Allah berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوْتًا
“Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (Qs. An-Nisa’:103)
Dalam sehari semalam ada lima waktu shalat fardhu: dzuhur, ashar, maghrib, isya’ dan subuh. Dan secara rincinya akan dijelaskan di dalam  pembahasan berikut.

II.            Pembahasan

1.                   Pengertian shalat

Secara etimologi: Doa, maksudnya adalah doa untuk kebaikan. Adapun secara terminologi adalah perbuatan dan ucapan yang di awali dengan takbiratul ihram dan di akhiri dengan salam.[1]

2.              Waktu- waktu shalat fardhu yang ditentukan

a.              WAKTU SHALAT DZUHUR
Dimulai dari tergelincirnya matahari,yaitu condongnya matahari dari tengah-tengah langit,sampai bayangan benda sama dengan bendanya. Menurut riwayat yang dzahir dalam madzhab Abu Hanifah bahwasanya akhir waktu dzuhur apabila: bayangan suatu benda menjadi dua kali lipat dari asalnya. Akan tetapi, menurut kesepakatan ulama bahwa waktu ini adalah mulainya waktu ashar. Oleh karenanya, alangkah baiknya shalat dzuhur dikerjakan di awal waktu,  ini untuk kehati-hatian, dan sikap seperti ini diutamakan dalam masalah ibadah. Jika bayang-bayang suatu benda mulai kelihatan (di sebelah timur) benda ataupun matahari mulai condong ke barat, maka waktu dzuhur mulai masuk. Menurut jumhur ulama, waktu shalat dzuhur berakhir apabila bayang-bayang suatu benda panjangnya sama dengan panjang bendanya. Dalil jumhur adalah kisah malaikat Jibril yang shalat bersama-sama dengan Nabi Muhammad pada hari berikutnya (kedua) yaitu ketika bayang-bayang  suatu benda mulai sama panjangnya dengan bendanya. Jadi tidaklah di ragukan lagi bahwa dalil ini lebih kuat. Dalil Abu Hanifah juga berdasarkan sabda Nabi Muhammad:
اَبْرَدُوْا بِاالظُّهْرِ فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فِيْحِ جَهَنَّمَ
Dinginkanlah shalat dzuhur,karena keadaan panas yang terik itu adalah dari bara api neraka.”(HR. Bukhari)
Masa yang sangat panas adalah pada waktu tersebut, yaitu waktu dimana bayang-bayang suatu benda sama panjang dengannya. Dalil yang dipegang oleh semua pihak tentang permulaan waktu dzuhur adalah berdasarkan firman Allah :
Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam....”(QS. Al-Israa’: 78)[2]
b.             WAKTU SHALAT ASHAR
  Dimulai setelah waktu dzuhur selesai yaitu,  ketika bayangan suatu benda lebih panjang dari bendanya, yaitu pertambahan yang paling minimal menurut jumhur  sampai tenggelamnya matahari. Akan tetapi menurut kesepakatan  seluruh  ulama, waktu ashar berakhir beberapa saat sebelum matahari tenggelam .  Para ulama ahli fiqih berpendapat, bahwa shalat ashar yang dikerjakan ketika matahari menguning adalah  makruh, berdasarkan sabda Nabi Muhammad:
تِلْكَ صَلاَةُ اْلمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيْ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللهَ إِلَّا قَلِيْلًا .
Demikianlah shalat orang munafik. Dia menunggu matahari sehingga apabia matahari berada di antara dua tanduk setan, maka dia pun mematuknya empatkali. Dia tidak mengingat Allah kecuali sedikit.”(HR. Al-Jama’ah, kecuali al-Bukhari dan Ibnu majah dari Anas r.a.)
وَقَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: وَقْتُ اْلعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرِ الشَّمْسُ
Dan juga sabda Rasulullah: “waktu ashar adalah selagi matahari tidak menguning.”(HR. Imam Muslim dari Abdullah bin Amr r.a.)
            Shalat ashar adalah shalat pertengahan (shalat wustha) menurut pendapat kebanyakan ulama’. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi Muhammad membaca ayat Al-Quran,”            peliharalah shalat itu dan shalat wustha.....”(Qs. Al-Baqarah: 238)
Dari Ibnu Mas’ud dan sumrah, kedanya berkata bahwa Nabi muhammad telah bersabda: “shalat wustha adalah shalat ashar.”
            Di namakan wustha karena ia berada di antara dua shalat malam dan dua shalat siang.[3]
Menurut  madzhab malikiah shalat ashar ada dua waktu yaitu waktu dharuri dan ikhtiyari. Waktu dharuri di mulai ketika menguningnya  matahari sampai tenggelamnya matahari (waktu ini di khususkan untuk mereka yang mempunyai udzur syar’i seperti orang yang lupa, suci dari haidh, orang pingsan, orang gila dan yang lainya) dan tidak ada dosa bagi mereka mengerjakan shalat ashar di waktu ini. Adapun waktu ikhtiari di mulai ketika bayangan benda bertambah panjang dari aslinya sampai menguningnya matahari, inilah waktu yang di pilih untuk mengerjakan shalat ashar.[4]

c.       Waktu shalat maghrib

Di mulai dari terbenamnya matahari. Ini di sepakati oleh seluruh ulama’. Menurut jumhur (ulama’ Hanafi, Hambali, dan qaul qadim madzhab Syafi’i) ia berlangsung hingga hilang waktu syafaq (muncul cahaya merah). Mereka menggunakan dalil hadits,
وَقْتُ المَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ
Waktu maghrib adalah selama syafaq (cahaya merah) belum hilang.”(HR. Muslim dari ‘Abdullah bin amru)
Syafaq menurut Abu Yusuf, Muhammad Hasan asy-Syaibani, ulama’ madzhab hambali dan ulama’ syafi’i adalah syafaq ahmar (cahaya merah). Sedangkan berdasarkan kata-kata Ibnu Umar, asy syafaq  adalah al-humrah (merah). Pendapat yang di fatwakan dalam madzhab Hanafi adalah pendapat Abu Yusuf dan Muhammad Hasan asy-Syaibani. Pendapat inilah yang menjadi pendapat dalam madzhab tersebut. Menurut Abu Hanifah, syafaq adalah warna putih yang terus kelihatan di atas ufuk, dan biasanya ia ada setelah warna merah keluar. Kemudian setelah itu muncul warna hitam. Antara dua syafaqah ada jarak yang di hitung dengan tiga darajah. Satu darajah sama dengan empat menit.
Dalil Abu Hanifah adalah sabda Rasulullah:
وَآخِرُ وَقْتُ المَغْرِبِ اِذَا اِسْوَدَّ لأَافَقُ
Akhir waktu maghrib adalah apabila ufuq menjadi hitam”.
Hadits ini di riwayatkan oleh Abu Bakar, Aisyah, Mu’adz, dan Ibnu Abbas.[5]
Waktu maghrib adalah waktu shalat yang paling pendek maka, di sunnahkan untuk  menyegerakannya.karena shalat di awal waktu adalah lebih utama dan mengakhirkannya termasuk perkara makruh. Sebagaimana di sebutkan dalam hadits yang di riwayatkan dari Uqbah bin Amir, bahwa Nabi Muhammad bersabda,
“Umatku tetap berada dalam kebaikan atau tetap berada dalam keadaan fitrah selama mereka tidak melewatkan shalat maghrib, hingga bintang berkelindan.” (HR. Ahmad Daud, dan al Hakim, Abu )[6]       

d.      Waktu shalat ‘isya’

Di mulai dari hilangnya syafaq ahmar(cahaya merah) hingga munculnya fajar shadiq, ini menurut pendapat para madzhab.[7] Menurut pendapat madzhab hanabilah dan malikiah bahwa shalat isya’ ada dua waktu, seperti shalat ashar yaitu waktu ikhtiyari dan dharuri. Waktu ikhtiyari di mulai ketika hilangnya cahaya merah sampai sepertiga malam yang pertama, sedangkan waktu dharuri di mulai dari awal dua pertiga malam sampai terbitnya fajar shadiq. Dan barang siapa yang mengerjakan shalat isya’ pada waktu dharuri ini maka ia berdosa kecuali yang mempunyai udzur syar’i- sebagaimana yang telah di sebutkan dalam pembahasan shalat ashar-. [8]
Sunnah hukumnya mengakhirkan shalat isya’ hingga sepertiga malam dan ini lebih utama sekaligus waktu ikhtiyari shalat isya’ (bagi mereka yang mudah dan biasa untuk bangun malam, dengan tujuan seusai mengerjakan shalat isya’ di lanjutkan dengan shalat witir. Akan tetapi bagi yang sulit untuk bangun malam maka, shalat di awal waktu lebih utama) . Berdasarkan beberapa hadits, di antaranya dari Jabir bin Samurah ia berkata:  

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُؤَخِّرُ الْعِشَاءَ الْأَخِرَةَ
“Rasulullah mengakhirkan shalat isya’ hingga akhir sepertiga malam”.(HR.Imam Muslim, An-Nasai, dan Ahmad)
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah bersabda:
لَوْلاَ أَنْ أّشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوْا العِشَاءَ اِلَى ثُلُثِ الَّليْلِ أَوْ نِصْفِهِ
“kalaulah tidak menjadi menyusahkan umatku, niscaya aku menyuruh mereka melewatkan shalat isya’ hingga kepada sepertiga Ibnu Majah, malam atau separuh malam”.(HR.Imam Ahmad, dan At-Tirmidzi)
Juga hadist Ibnu Umar,
وَقْتُ صَلَاةِ العِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ
“Waktu shalat isya’ adalah separuh malam”(muttafaqun ‘alaih)
Inilah beberapa hadits yang menunjukkan sunnahnya mengakhirkan shalat isya’, akan tetapi dengan syarat tetap menjaga jama’ah,  maksudnya meskipun di akhir waktu harus tetap shalat berjama’ah.
Tidur sebelum isya’ dan berbicara yang tidak ada manfaatnya setelahnya adalah makruh. Berdasarkan hadits dari Abi Barzah Al-Aslami,nabi Muhammad bersabda:
كَانَ يَسْتَحَبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ العِشَاءَ الَّتِى يَدْعُوْنَهَا العَتَمَةَ وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالحَدِيْثَ بَعْدَهَا
“Rasulullah menganjurkan untuk mengakhirkan shalat isya’ yang di kerjakan pada akhir waktunya, dan beliau membenci tidur sebelumnya(waktu isya’) dan berbicara setelahnya”.(HR.Bukhari dan Muslim)[9]

e.              Waktu shalat shubuh

Bermula  dari naiknya  fajar shadiq hingga naiknya matahari. Fajar shadiq adalah cahaya putih yang  tampak  terang  yang berada sejajar dengan garis lintang ufuk di sebelah timur dan menyebar. Ia berlainan dengan fajar kadzib yang naik bentuknya memanjang mengarah ke atas di tengah-tengah  langit dan cahayanya tidak menyebar, seperti ekor srigala hitam yang dua sisinya berwarna hitam dan dalam ekornya berwarna putih. Hukum-hukum syara’ banyak bergantung kepada fajar shadiq, yaitu dalam menentukan permulaan puasa, permulaan waktu subuh, dan berakhirnya waktu isya’. Sebaliknya hukum-hukum syara’ tidak tergantung kepada fajar kadzib. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ,
الفَجْرُ فَجْرَانِ فَجْرٌ يَحْرُمُ فِيْهِ الطَّعَامُ وَ يَحِلُّ فِيْهِ الصَّلَاةُ وَ فَجْرٌ يَحْرُمُ فِيْهِ الصَّلاَةَ وَيَحِلُّ فِيْهِ الطَّعَامُ
“Fajar itu ada dua, yaitu fajar yang mengharamkan makan dan membolehkan shalat dan satu lagi ialah fajar yang mengharamkan shalat (shalat subuh) dan membolehkan makan”.(HR. Ibnu Khuzimah dan al-Hakim)[10]
Menurut madzhab malikiyah bahwa shalat subuh ada dua waktu,waktu ikhtiyari dan waktu dharuri.Adapun waktu ikhtiyari di mulai dari munculnya fajar shadiq sampai matahari berwarna kuning terang yang dengannya bintang sudah tidak lagi tampak di langit, sedangkan waktu dharuri di mulai setelah itu sampai munculnya matahari. Dan i ni pendapat masyhur yang kuat.[11]

III.         Penutup

Dari pembahasan di atas  dapat diringkas bahwa waktu-waktu shalat fardhu sebagai berikut:
1.      Shalat dzuhur: di mulai dari tergelincirnya matahari ke barat sampai bayangan benda sama dengan bendanya.
2.      Shalat ashar: di mulai dari bayangan benda sedikit lebih panjang dari bendanya sampai menguningnya matahari.
3.      Shalat maghrib: di mulai dari terbenamnya matahari sampai hilangnya cahaya merah di ufuk barat.
4.      Shalat isya’: di mulai dari hilangnya cahaya merah sampai sebelum munculnya fajar shadiq atau sepertiga malam terakhir.
5.      Shalat subuh: di mulai dari munculnya fajar shadiq sampai menguningnya matahari.
Itulah waktu-waktu shalat yang telah Allah dan Rasul NYA tetapkan, melalui firman dan sabda nya yang benar. Menurut ulama’ malikiah waktu paling  utama dalam mengerjakan shalat adalah di awal waktunya. Akan tetapi beberapa ulama’ lainnya berbeda pendapat dalam menentukan  waktu yang paling utama dalam mengerjakan shalat. Wallahu A’lam bis-Shawab.
       













Daftar pustaka
Al-Quranul karim.
‘Azzazi, al-, ‘Adil. Tamam al-Minnah fi Fiqh al-Kitab wa Shahih as-Sunnah.          Alexandria: Dar al-‘Aqidah. 2009.
Jaziri, al,  ‘Abdirrahman. Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2011
Zuhaili, az-, Wahbah. Fiqih Islam wa Adillatuhu. Damaskus: Darul Fikr. 2007



[1] Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaily, jilid: 1, hlm: 653 (Damaskus: Darul Fikr, cet ke-10, tahun: 2007)
[2] Fiqih Islam Wa Adillatuhu,  Wahbah Az-Zuhaily,  jilid 1, hlm. 552-553 (Damaskus: darul fikr, cet ke-10,tahun:2007)
[3] Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Wahbah Az-zuhaily, jilid 1, hlm: 553-554 (Damaskus: Darul fikr, cet ke-10,tahun:2007)
[4] Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahib Al-Arba’ah,Syekh ‘Abdurrahman Al-Jaziri, jilid 1, hlm:167 (Beirut: Darul kutub al-ilmiah, cet ke-4, tahun:2011)
[5] Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaily, jilid 1, hlm: 554 (Damaskus: darul fikr,cet ke-10,tahun:2007)
[6] Ibid, hlm: 551
[7] Ibid, hlm: 555
[8] Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahib Al-Arba’ah, syekh ‘Abdurrahman Al- jaziri, jilid 1, hlm: 168 (Beirut: darul kutub ai ilmiah, cet ke-4, tahun: 2011)
[9] Tamamul Minnah, Abu ‘Abdirrahman ‘Adil bin Yusuf Al-‘Azzazi, jilid 1, hlm: 165-166 (Alexandria: Darul ‘aqidah, cet ke-2, tahun:2009)
[10] Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaily, jilid 1, hlm: 551-552 (Damaskus: Darul fikr,cet ke-10, tahun:2007)
[11] Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahib Al-Arba’ah, Syekh ‘Abdurrahman Al-jaziri, jilid 1, hlm:168-169 (Beirut: Darul kutub al-ilmiah, cet ke-4, tahun:2011)

By : Zulfa Sa'diyah

0 komentar:

Posting Komentar