Senin, 09 Mei 2016

Hukum Sholat Jum'at bagi Wanita


A.    Muqaddimah
Shalat merupakan tiang agama dan salah satu syi’ar islam. Manusia diciptakan bukanlah tanpa alasan, tapi manusia diciptakan dengan satu tujuan yaitu untuk beribadah kepadaNya.
Sebagaimana dalam surat Ad-Dzariyat ayat  56 :
وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَ الإِنْسَ إِلاَّ ليَعْبُدُوْنَ
Artinya : “ Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
Adapun shalat jum’at yaitu berkumpulnya
kaum muslimin di suatu masjid pada hari jum’at  dengan syarat terdiri dari 40 ma’mum atau minimal 2 orang dan dua khutbah. Secara umum shalat jum’at dianjurkan kepada setiap individu mu’min dan apakah ia dianjurkan juga bagi kaum wanita? Apa hukum shalat jum’at bagi wanita ?  lewat makalah sederhana ini kami akan mengulas beberapa permasalahan mengenai hukum shalat jum’at bagi wanita.
                       
B.                 Dasar Shalat Jum’at
Awal disyariatkan shalat jum’at adalah sebelum hijrah, setelah bai’atul aqabah yang mana Rasulullah membai’at kaumnya, kemudian beliau mengutus Mus’ab bin Umair ke Madinah untuk membacakan al Qur’an, mengajarkan islam, dan memahamkan agama kepada ahlul madinah. Selama Mus’ab bin Umair diutus ke Madinah beliau bertempat tinggal di rumah As’ad bin Zurarah dan shalat bersamanya. Di sinilah Mus’ab bin Umair pertama kali  mendirikan shalat jum’at, kemudian beliau meminta izin kepada Rasulullah dan beliau mengizinkan. Imam At-Thabary mentakhrij bahwa yang pertama kali mendirikan shalat jum’at di Madinah adalah Mus’ab bin Umair. Adapun Ibnu Majah dan Abu Dawud mentakhrij bahwa yang pertama kali mendirikan shalat jum’at di Madinah adalah As’ad bin Zurarah.
 Al Hafidz Ibnu Hajar menggabungkan dua riwayat di atas bahwasanya As’ad adalah pemimpin dan Mus’ab sebagai imam. Adapun  firman Allah :
                        يأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا البَيْعَ....
Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseur untuk melaksanakan shalat pada hari jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” ( QS: Al Jumu’ah : 9)
Ayat ini adalah ayat madaniyah (diturunkan di Madinah). Ayat ini turun setelah disyari’atkannya shalat jum’at, kemudian ayat ini menguatkan apa yang telah ditetapkan  dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memerintahkan untuk meninggalkan jual beli ketika datang waktu shalat jum’at .
Ibnu katsir berkata dalam tafsirnya: “Bahwa dinamakan Al-Jum’at dengan jum’at karena ia adalah pecahan dari kata Al-Jam’u yang mana orang Islam berkumpul di masjid setiap seminggu sekali dan di dalamnya terdapat khutbah dan shalat 2 rakaat. Pada hari jum’at disempurnakannya semua ciptaan, hari ke enam dari enam masa Allah menciptakan langit dan bumi, pada hari itu Allah menciptakan Adam Alaihissalam dan di hari jum’at Allah memasukkan Adam ke surga dan mengeluarkan darinya. Pada hari itu pula terjadinya hari kiamat.”[1]
Inilah bukti bahwa  hari jum’at adalah sebaik-baik hari sebagaimana sabda Rasulullah :

خير يوم طلعت عليه الشمس يوم الجمعة فيه خلق آدم وفيه أدخل الجنة وفيه أخرج منها ولا تقوم الساعة إلا في يوم الجمعة
”Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya (hari cerah) adalah hari Jum’at, (karena) pada hari ini Adam diciptakan, hari ini pula Adam dimasukkan ke dalam surga dan dikeluarkan darinya, dan tidaklah akan datang hari kiamat kecuali pada hari Jum’at.” (HR Muslim).
C.                Syarat-syarat wajib Shalat Jum’at
1.                  Islam
2.                  Merdeka
3.                  Baligh
4.                  Berakal
5.                  Laki-laki
6.                  Orang tidak memiliki halangan atau udzur
7.                  Orang yang menetap bukan musafir.[2]

D.                Hal-Hal Yang Disunnahkan Bagi Muslim Dan Muslimah Ketika Hari Jum’at
1.      Membaca surat Al-Kahfi
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِيْ يَوْمِ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ مَا بَيْنَ الجُمْعَتَيْنِ.
Dari Abi Sa’id al-Khudry bahwa Nabi bersabda : “Barang siapa membaca surat Al-Kahfi pada hari jum’at, maka baginya cahaya antara dua jum’at .” (HR. Al-Hakim ).[3]
2.      Memperbanyak do’a.
3.      Memperbanyak shalawat kepada Rasulullah .[4]
4.      Mandi bagi setiap orang yang menghadirinya.
Mandi, memakai baju putih, dan memakai wangi-wangian  pada hari jum’at khusus untuk laki-laki yang keluar untuk menghadiri shalat jum’at. Adapun wanita tidak disyari’atkan seperti itu, akan tetapi setiap manusia apabila mendapatkan suatu yang kotor di badannya, maka harus dibersihkan. Sesungguhnya itu adalah urusan yang terpuji.
Adapun waktu mandi jum’at adalah antara terbitnya fajar atau terbitnya matahari hingga masuk waktu shalat jum’at. Jika mandi jum’at satu atau dua hari sebelum waktunya, maka mandi jum’atnya tidak bermanfaat dan tidak dianggap.[5]
5.      Berangkat dengan segera.
Hendaknya berangkat selang beberapa waktu sebelum masuk waktunya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Barang siapa yang mandi pada hari jum’at seperti halnya mandi janabah, kemudian berangkat pada waktu yang pertama maka seakan-akan dia telah berkurban dengan satu ekor unta, dan barang siapa yang berangkat pada waktu yang kedua maka seakan-akan dia telah berkurban dengan seekor sapi, dan barang siapa yang berangkat pada waktu yang ketiga maka seakan-akan dia telah berkurban dengan seekor domba bertanduk, dan barang siapa yang berangkat pada waktu yang keempat maka seakan-akan dia telah berkurban dengan seekor aya, dan barang siapa yang berangkat pada waktu kelima maka seakan-akan dia telah berkurban dengan sebutir telur, apabila imam telah keluar untuk berkhutbah para malaikat pun ikut hadir mendengarkan dzikir.” ( HR. Imam Malik: 101, Al Bukhari: 2/3, dan At Tirmidzi: 499).[6]

E.                 Hukum Shalat Jum’at Bagi Wanita
عن طارق بن شهاب أن رسول الله ﷺ قال : الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة إلا أربعة : عبد مملوك، أوامرأة، أو صبي، أو مريض.
Dari Thariq bin Syihab r.a.  Rasulullah S.A.W. bersabda: “shalat jum’at wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah kecuali 4 : Budak yang dimiliki, wanita, anak kecil, dan orang sakit. (HR. Abu Dawud ).[7]
Ibnu Mundzir berkata: “Para ulama’ yang kami hafal haditsnya berijma’ bahwa shalat jum’at itu tidak wajib bagi perempuan. Karena perempuan bukan orang yang harus hadir pada tempat-tempat  perkumpulan laki-laki.[8]
 Para ulama’ juga sepakat bahwa  menghadiri shalat jum’at yaitu tidak wajib bagi wanita,[9]akan tetapi jika menghadirinya maka ia mendapatkan pahala.[10]
Apabila wanita tersebut shalat di rumah, maka dia mengerjakan shalat dzuhur empat rakaat  ketika telah masuk waktunya dan tidak boleh mengerjakan shalat jum’at seorang diri.[11] Hukum shalat berjama'ah di masjid bagi wanita dan laki-laki  sendiri mubah akan tetapi shalat di rumahnya lebih baik.[12]
Ulama’ madzhab berbeda pendapat dalam permasalahan mana yang lebih utama bagi seorang wanita pergi ke masjid unuk mengerjakan shalat jum’at secara berjama’ah  atau mengerjakan shalat dzuhur di rumah seperti biasa ?
Pendapat ulama’ hanabilah: seorang wanita baik itu tua maupun muda atau gadis boleh menghadiri shalat jum’at akan tetapi shalat di rumah mereka lebih baik, seperti hadits Nabi :
وَبيوتهنّ خيرلهن
Artinya : Rumah mereka lebih baik baik bagi mereka.
Pendapat ulama’ syafi’i : Wanita tua maupun muda, apabila wanita itu digemari maka hukumnya makruh menghadiri shalat jum’at dan sebagian ulama madzhab syafi’i berpendapat bahwa wanita yang sudah tua boleh menghadiri shalat jum’at.
Pendapat ulama’ hanafiyah : Tidak ada rukhshah bagi wanita baik itu tua maupun muda untuk melaksanakan shalat jum’at di masjid, karena ketika para wanita keluar rumah mereka menimbulkan fitnah.
Pendapat yang rajih dari beberapa pendapat di atas adalah boleh bagi wanita menghadiri shalat jama’ah dengan syarat sudah diizinkan oleh suami dan walinya, tidak ada fitnah dan hendaknya keluar  tidak memakai wangi-wangian dan tidak berhias. Rajihnya pendapat ini dinisbatkan pada shalat jum’at juga. Akan tetapi keluarnya wanita untuk melaksanakan shalat jum’at dengan syarat yang sudah disebutkan di atas lebih berhak diizinkan daripada keluar ke masjid untuk melaksanakan shalat lima waktu, karena shalat jum’at hanya ada dalam satu minggu sekali, dan dalam shalat jum’at tersebut ada khutbah yang bermanfaat bagi wanita ketika mendengarkannya. [13]
F.                 Hal yang Dilakukan Wanita di Masjid Sebelum Khuthbah
1.      Mengerjakan shalat sunnah tahiyatul masjid. Jika seorang wanita menghadiri shalat jum’at  dan menyaksikan khatib telah berkhutbah, maka dianjurkan baginya untuk melaksanakan shalat tahiyatul masjid.
2.      Dilarang berkerumun bagi laki-laki maupun perempuan di dalam masjid ketika menjelang shalat jum’at. Maksud berkerumun di sini yaitu berkumpul membuat majlis dan melakukan percakapan sendiri.
3.      Tidak boleh mengerjakan shalat sunnah ketika muadzin selesai mengumandangkan adzan dan setelah naik mimbar. Karena tidak ada shalat sunnah sebelum shalat jum’at  dan setelah adzan shalat jum’at. Namun dianjurkan mengerjakan shalat tahiyatul masjid ketika masuk masjid.[14]

G.                Hikmah  Shalat Jum’at Bagi Wanita
Hikmah menghadiri shalat jum’at bagi wanita ialah bahwa shalat jum’at dilaksanakan dalam seminggu sekali maka bagi wanita jika menghadirinya, dia dapat mendengarkan nasehat dari khatib shalat jum’at tersebut.
Di antara hikmah mengapa wanita tidak wajib jumatan adalah agar wanita tidak turut berada di tempat berkumpulnya banyak laki-laki. Sehingga menjadi sebab munculnya tindakan yang tidak diharapkan. Semacam ikhtilat atau campur baur antara lelaki dengan wanita. (Badai’ As-Shanai’, 1:258).[15]

H.                Kesimpulan
Shalat  jama’ah di masjid bagi wanita hukumnya mubah dengat syarat telah diizinkan oleh suami dan walinya, tidak menimbulkan fitnah, tidak memakai wangi-wangian, dan tidak berhias, akan tetapi baginya lebih baik shalat di rumah. Syarat ini dinisbatkan juga kepada shalat jum’at. 
Jika wanita menghadiri shalat jum’at, maka ia mendapatkan pahala. Apabila seorang wanita shalat di rumah, maka dia mengerjakan shalat dzuhur empat rakaat  ketika telah masuk waktunya dan tidak boleh mengerjakan shalat jum’at seorang diri. Begitu pula sebaliknya, jika seorang wanita telah mengerjakan shalat jum’at bersama imam, maka tidak usah baginya untuk shalat dzuhur lagi.
Adapun hikmah tidak diwajibkannya shalat jum’at bagi wanita adalah agar wanita tidak berada ditempat berkumpulnya kaum laki-laki yang menyebabkan tindakan yang tidak diharapkan seperti ikhtilat.

Daftar Pustaka
Adawi, al-, Musthafa, Jami’u Ahkamin Nisa’, jilid 1, cet. ke-1, Qahirah: Darul ‘Affan, 2008.
Abdullah bin Jibrin dkk, Fatawa Mar’atus Shalihah, cet. ke-1, Riyadh: Adhwa’us Salaf, 1403 H.
Azizi, al-, Abu Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf, Tamam al-Minnah, jilid 2, cet. ke-2, Iskandariyah: Darul ‘Aqidah, 2009 M.
Jammal, al-, Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad, Shahih Fiqih Wanita, cet ke-1, Surakarta: Insan Kamil, , 2010 M.
Jaza’iri, al-, Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim, terj. Andi Subarkah, cet. ke-1, Solo: Insan Kamil, 2008 M.
Salim, Abu Malik Kamal bin Sayyid, Fiqhus Sunnah Lin Nisa’, Qahirah: Darut Taufiqiyah litturots, 2009 M.
Salim, Abu Malik Kamal bin Sayyid, Fiqh Sunnah Untuk Wanita, cet. ke-1, Jakarta: Al-I’tisham Cahaya Umat, 1422 H.
Syafi’i, as-, Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini ad-Dimasqi, Kifayatul Akhyar, cet. ke-1,  Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2004 M.
Utsaimin, al-, Muhammad bin Shalih, dkk, Fatawa Mar’atus Shalihah, cet. ke-1, Qahirah: Dar Ibnu Al-Haitsam, 2002 M.
Zaidan, Abdul Karim, Al-Mufashal Fii Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid 1, cet. ke-3,  Beirut: Muassasatur Risalah, 2000 M.
Hukum-shalat-jumat-bagi-wanita dalam https://konsultasisyariah.com. diakses tanggal 7 desember 2015.


[1] Manna’ al-Qathan, Tarikh Tasyri’ Al-Islamy, ( Qahirah : Maktabah Wahibah, T.t.), hal. 142.
[2]  Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini ad-Dimasqi as-Syafi’i, Kifayatul Akhyar, cet. ke-1, (Jakarta : Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1424 H/2004 M), hal.145.
[3] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqh as-Sunnah Li an-Nisa’, ( Qahirah: Dar at-Taufiqiyah li at-Turats, 2009 M), hal. 193.
[4]Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashal Fii Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid 1, cet. ke-3, (Beirut : Muassasah ar-Risalah, 1420 H/2000 M), hal. 270.
[5] Abdullah bin Jibrin dkk,  Fatawa Mar’atus Shalihah, cet. ke-1, (Riyadh : Adhwa’ as- Salaf, 1403 H), hal. 430.
[6] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslim, terj. Andi Subarkah cet. ke-1, (Solo : Insan kamil, 2008 M), hal. 423
[7] Abu Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf al-Azizi, Tamam al-Minnah, jilid 2, cet. ke-2, (Iskandariyah : Dar al-‘Aqidah, 2009 M), hal.8.
[8] Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad al-Jammal, Shahih Fiqih Wanita, cet. ke-I, (Surakarta : Insan Kamil, 1431 H/2010 M), hal. 97.
[9] Musthafa al-‘Adawi, Jami’u Ahkamun Nisa’, jilid 1, cet. ke-1, (Qahirah : Dar al-‘Affan, 1429 H/2008 M), hal. 314.
[10] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqh As-Sunnah Li an-Nisa’, ( Qahirah: Dar at-Taufiqiyah li at-turats, 2009 M), hal. 187.
[11] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dkk, Fatawa Mar’atus Shalihah, cet. ke-1, (Qahirah : Dar Ibnu al-Haitsam, 1423 H/2002 M), hal. 112.
[12] Ibid, hal. 111.
[13] Abdul Karim Zaidan, Al mufashal Fii Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid 1, cet ke-3, (Beirut : Muassasah ar-Risalah, 1420 H/2000 M), hal. 268-269.
[14]Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqh Sunnah Untuk Wanita, cet ke- 1, (Jakarta : Al-I’tisham Cahaya Umat, 1422 H), hal. 259.
[15] Makalah hukum-shalat-jumat-bagi-wanita.html  dalam https://konsultasisyariah.com.  diakses tanggal  7 desember 2015

By : Nurul Fajariyah 

1 komentar: