Senin, 09 Mei 2016

Qoshor dalam Safar


Sholat merupakan ibadah yang Allah perintahkan kepada hamba-Nya sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya. Sholat juga merpakan suatu kewajiban yang harus dilakukan bagi seorang muslim, baik dalam keadaan sakit,safar,kelelahan  dan alasan lainnya. Sehingga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan hamba-Nya ketika mendapati suatu kesulitan dalam melaksanakan ibadah dan amalan sholeh.
Safar adalah perjalanan seseorang yang memiliki tujuan tertentu.
Dalam safar terdapat kewajiban-kewajiban yang tidak boleh kita tinggalkan  meskipun dalam perjalanan. Oleh karena itu, islam adalah agama Allah yang sempurna yang memiliki kemudahan bagi pemeluk-Nya. Terutama dalam masalah sholat,  karena sholat merupakan salah satu pilar agama. Jika ia meninggalkannya, maka sholat adalah penghacur agamanya, tetapi sbaliknya jika ia melaksanakannya maka  sholat merupakan penegak agama.
Oleh sebab itu, dalam safar Allah subhanahu wa ta’ala memberi kemudahan dalam melaksanakan sholat wajib yaitu dengan mengqashar (meringkas) setiap sholat rubaiyyah [1] menjadi dua rakaat.
A.                        Pengertian safar
                 Safar secara bahasa adalah melakukan perjalanan. Safar juga berarti terbuka, disebut demikian  karena orang yang melakukan safar akan terbuka dirinya dari tempat tinggalnya ke tempat yang terbuka. Begitu juga orang yang melakukan safar akan terbuka akhlaq, perilaku dan perangai aslinya, yang selama ini tertutup ketika seseorang tidak mengadakan perjalanan. [2]
                 Imam al-Ghazali berkata: “safar adalah termasuk dari penyebab kegelisahan, barang siapa berprilaku baik dalam kondisi seperti ini, maka berarti dirinya adalah orang yang berbudi pekerti baik”
                 Sedangkan pengertian safar secara syara’ yaitu memiliki arti keluar dari negeri tempat bermukim menuju suatu tempat dengan tujuan syar’I ataupun mubah. Sehingga  membolehkan seseorang untuk mengqasar atau menjama'shalat rubaiyyah.
B.                        Pengertian qashor
Secara bahasa qoshor muradif min naaqis yaitu mengurangi atau meringkas[3]. 

 Sedangkan secara istilah yaitu meringkas sholat ruba’iyah seperti dhzuhur, asar, dan isya menjadi dua rakaat .
Dalil disyariatkannya qoshor saat safar
                 Mengqoshar merupakan hal yang diperbolehkan dalam al-qur’an dan ijma. Adapun dalil qur’an dalam surat An-nisa ayat 101:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُو
                 “ Dan jika kamu berpergian dimuka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqshar sholatmu jika kamu takut di serang oleh orang kafir” ( An-Nisa:101)
                        Dalil ini menerangkan bahwa mengqashar merupakan hal yang diperbolehkan dalam islam baik rasa takut ataupun aman. Akan tetapi mengaitkan sholat qoshar dengan rasa takut merupakan suatu penegasan saat kondisi realnya sebab hampir semua perjalanan nabi tidak terlepas dari ketakutan. Ya’la bin Umayyah berkata kepada Umar bin Khattab; “ Wahai Umar mengapa kita masih mengqshar sholat padahal sekarang sudah dalam keadaan aman”? Umar menjawab “Aku pernah menanyakan hal demikian kepada Nabi kemudian beliau menjawab :
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَاعَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ
             “ ia adalah sedekah yang dari Allah yang diberikan kepada kalian maka terimalah sedekah dari-Nya.[ HR. Muslim]”[4]
        Adapun dalil ijma’ dari Ibnu Umar mengatakan :
صَحِبْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لَا يَزِيْدُ فِي السَّفَرِ عَلَي رَكْعَتَيْنِ وَ اَبُوْا بَكْرِ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ كَذَالِكَ
                 “ Aku sering menemani Nabi dan selama di perjalanannya beliau melakukan sholat tidak lebih dari dua rakaat. Begitu juga Abu Bakar, Umar, dan Utsman.[5]
                 Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata:Aku menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau selalu mengerjakan shalat tidak lebih dari dua rakaat (dalam perjalanan ) sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau selalu mengerjakanshalat tidak lebih dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau selalu mengerjakan shalat dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau selalu mengerjakan shalat dua raka'at sampai wafat. Allah berfirman surat Al-Ahzab:21
            Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu."
                 Para ulama sepakat bagi siapa saja yang bersafar maka diperbolehkan untuk mengqoshar sholat baik berpergian wajib seperti haji, umrah, atau perjalanan yang dianjurkan seperti menjenguk sakit. Ataupun berpergian yang dibolehkan seperti pariwisata, perjalanan bisnis dan lain-lain.

Hikmah disyariatkanya qashar sholat safar
Diantara hikmah mengqoshar sholat saat safar yaitu :
1.      memudahkan para musafir dari berbagai kesulitan dalam menunaikan hak-hak Allah.
2.      Sebagai penyemangat dalam melaksanakan sholat fardhu. Sehingga dengan adanya qoshor dalam sholat, tidak ada seorangpun yang lalai atau malas untuk memberi alasan dalam meninggalkan sholat.
3.      Tidak punya tanggungan sholat.
4.      Mengikuti sunnah Rasululluh.
        Hukum qoshar
             Para ulama fiqih berbeda pendapat dalam menghukumi qoshar ketika sholat  safar diantaranya:
Ø      Madzhab Imam Hanafi
               Berpendapat mengqoshar sholat merupakan suatu kewajiban yang disertai niat. Jika seorang musaffir itu sholat dengan menyempurnakan jumlah rakaat sholatnya dan duduk yaitu sholat sunnah. Akan tetapi seorang musafir itu berdosa jika ia tidak duduk pada rakaat kedua [tasyahud] maka sholatnya batal karena telah bercampur antara sholat fardhu dan sunnah.
Ø      Madzhab Imam Maliki
       Berpendapat mengqoshar sholat merupakan Sunnah Muakkadah, karena nabi melakukan hal itu.
Ø      Madzhab Syafi’i dan Hambali
               Berpendapat bahwa qashar merupakan suatu kemudahan yang diperbolehkan untuk memilih antara mengqoshar, hal ini menurut Hambali. Sedangkan menurut Syafi’I mengqoshar sholat lebih baik daripada menyempurnakan
       Sebab disyariatkannya shalat qashar
                 Allah subhanahu wa tala’a menurunkan suatu hukum dengan alasan tertentu yang merupakan suatu keringanan untuk hamba-Nya dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya.
                Sebab disyariatkannya sholat qashar yaitu perjalanan yang panjang dan diperbolehkan menurut mayoritas ulama selain Hanafi. Akan tetapi mengqasar sholat memiliki syarat-syarat tertentu yang harus di perhatikan, diantaranya:
A.     Jarak diperbolehkan qashar sholat
               Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan tentang (minimal) jarak perjalanan diperbolehkannya mengqashar shalat diantaranya:

Ø      Menurut Imam Hanafi

                 Jarak diperbolehkan qoshar jika perjalanan mencapai tiga hari tiga malam, akan tetapi jika perjalanan tersebut tanpa tujuan jelas maka tidak diperbolehkan Adapun dalil mereka :

جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْم وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
   “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” (HR. Muslim)
Ø      Menurut Imam Syafi’I, Maliki dan Hambali
               Jarak diperbolehkan qoshar jika perjalanan mencapai dua hari. Jika diukur dengan jarak yaitu 16 farsakh/ 48 mill menurut Imam Syafi’I, Hambali dan Imam Maliki 89 km.[6]
                 Dalil mereka adalah dalam hadits:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ َرْسَخا عَشَرَ
“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari)
               Menurut Ibnu Hazm [7] bahwa pendapat yang benar adalah tidak ada batas jarak minimal bagi perjalanan yang dianggap syariat sebagai safar. Selama perjalanan tersebut dianggap safar dalam pengertian bahasa Arab,maka selama itu pula qashar dibenarkan. Sebab, jika memang terdapat batas minimal jarak perjalanan maka tidak mungkin Nabi tidak menjelaskannya sama sekali dan tidak mungkin pula para Sahabat tidak menanyakan kepada Beliau.
B.      Jenis perjalanan yang diperbolehkan qashar
                 Imam Hanafi membolehkan mengqashar setiap safar. Baik itu perjalanan untuk menjalankan suatu ibadah, perjalanan yang dibolehkan, ataupun perjalanan maksiat seperti perampok. Adapun dalil diperbolehkan qashar yaitu surat An-Nisa ayat 101:
               ” Dan apabila kamu berpergian dimuka bumi maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat”
                 Menurutnya dalil ini adalah umum yaitu bermaksiat atau taat dalam perjalanan, mereka berhak medapatkan keringanan dalam safarnya.
                 Menurut Jumhur Ulama selain Imam Hanafi jika perjalanan tersebut untuk suatu kemaksiatan, maka dia tidak mendapatkan kemudahan dalam perjalanannya. Seperti keringanan sholat, berbuka puasa, mengusap sepatu, dan lain-lain. Sebab para Ulama berprinsip qashar merupakan suatu kenikmatan dalam perjalanan dan kemudahan tidak dibebani untuk pelaku maksiat.[8]

               Sedangkan Imam Maliki menyebutkan bahwa dimakhruhkan qashar bagi orang-orang yang lalai dalam perjalanannya.
               Adapun maksud lalai dalam perjalanan yaitu seseorang melakukan perjalanan dengan tujuan yang dibolehkan oleh syariat. Akan tetapi, di tengah perjalanannya ia melakukan maksiat seperti berzina, mwncuri, merampas, menuduh keji, dan mengumpat maka maka ia dimakruhkan mendapatkan kemudahan seperti mengqashar shalat. Karena perjalannya tersebut tidak berniat untuk kemaksiatan atau untuk melakukan maksiat, tetapi untuk tujuan yang diperbolehkan dalam syariat.
                 Menurut Imam Nawawi Asy-Syafi’iyah, jika seorang melakukan perjalanan yang dibolehkan kemudian melakukan suatu kemaksiatan maka ia tidak mendapatkan kemudahan tersebut, menurut pendapat yang shahih. Jika perjalanannya untuk maksiat kemudian bertobat maka perjalanannya dihitung sejak ia bertobat.
C.     Tempat dimulainya melakukan safar
                Niat akan melakukan safar tidaklah cukup untuk memulai mengqashar shalat, sebelum musaffir benar-benar melakukan perjalanan. Para Ahlu Fiqih sepakat bahwa dimulainya qashar saat safar yaitu ketika musaffir telah melewati perkampungan yang menjadi tempat keluar serta memposisikan rumah-rumah dibelakang punggungnya.

D.    Batas diperbolehkan seorang musafir mengqashar sholat jika bermukim di suatu tempat
                  Para ulama berbeda pendapat dalam batasan waktu diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat. ulama berpendapat terdapat batasan waktu tertentu
            Imam Hanafi mengatakan seorang musaffir dianggap bermukim dan dilarang mengqashar sholat jika ia sudah berniat bermukin selama lima belas hari atau lebih. Jika musafir telah berniat seperti itu maka diharuskan untuk menyempurnakan sholat. Namun jika ia berniat bermukim kurang dari lima belas hari maka tetap mengqashar sholat.
Imam Hambali mengatakan jika seorang musafir berniat untuk bermukim lebih dari empat hari atau lebih dari dua puluh kali sholat fardhu maka harus menyempurnakan sholatnya. Adapun ‘illahnya sesuai dengan hadits Jabir dan Ibnu Abbas , bahwaNabi memasuki kota mekkah pada pagi hari tanggal keempat dari bulan Dzulhijjah, lalu beliau bermukim di Mekkah selama hari keempat, kelima, dan keenam. Kemudian hari kedelapan beliau melaksanakan sholat subuh lalu berangkat ke Mina. Beliau mengqashar sholat selama hari-hari tersebut.Anas mengatakan,” kami bermukim di Mekkah selama sepuluh hari dan kami mengqashar sholat”.[9]
            Namun para ulama yang lain berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang shahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini.
Sahabat Jabir radhiyallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat. (HR. Imam Ahmad dengan sanad sahih).
 Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersafar kemudian beliaumelakukan sholat dua rakaat (qashar) selama sembilan belas hari.                  (HR. Bukhari )[10].
            Sahabat Anas bin Malik meriwayatkan “Kami telah keluar bersama Rasulullah dari Madinah menuju Mekkah, kemudian melaksanakan sholat dua rakaat.seorang sahabat bertanya kepada Anas:” Berapa lama Rasulullah bermukim di Mekkah ? Anas berkata: sepuluh hari”.[11]
Jika berniat untuk tinggal di tempat tujuannya lima belas hari bersama hari ketika masuk maka harus menyempurnakan (maksudnya menyempurnakan shalatnya empat raka’at dan tidak boleh mengqashar atau meringkas menjadi dua raka’at). Jika berniat kurang dari itu maka mengqashar (shalatnya).
            Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri dan Al-Muzani. Menurut Ibnul Mundzir ini juga pendapat sahabat Abdullah ibnu Umar radhiyallahu’anhuma.
Kesimpulan
               Seorang musaffir dapat mengqashar shalat jika telah dalam perjalanan, dengan syarat  bertujuan suatu ketaatan atau hal yang mubah tidak untuk  maksiat. Adapun jarak diperbolehkan safar tidak ada pendapat ulama yang rajih  karena mereka berpendapat sesuai dalil yang digunakan, akan tetapi sebagai bentuk kehati-hatian mengambil jarak yang paling banyak yaitu menurut jumhur 89 km. Begitu juga batas maksimal seorang yang mukim ulama berbeda pendapat akan tetapi sebagai bentuk kehati-hatian mengambil batas yang sedikit yaitu tiga hari.

Daftar Pustaka
Warson Ahmad  Munawwir  , Kamus Munawwir, cet-4 (Jakarta: Pustaka Progressif 1997) 
 Abdul Aziz bin Zainuddin ,Hasyiyah I’anatuth tholibin, cet ke-1 ( Darul Kutub Al-Islamiyyah,1430H/2009M)   jilid.2
Az-Zuhaili Wahbah , Al-Wajiz fiil Fiqhil Islam, cet.ke-1 (Damaskus, Darul Fikri, 1426H/2005M ) juz.1
Ali Asy-Syauqani bin Muhammad ,Naylul Awthor, Syaikh Imam Muhammad bi Ali Asy-Syauqani cet ke-4( Darul Kutub Al-Alamiyyah, 2011H) Juz.3
Isa bin Abi Isa Muhammad Sunan At-Tirmidzi, Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah ( Darul fikri, 402H/1208M ) juz.2
Dr. Az-Zuhaili Wahbah ,Fiqih islam wa adillatuhu, cet ke-1(Jakarta, Gema Insani 1431H/2010M) jilid.2 



[1] Dzhuhur, Ashar dan Isya
[2]ahmadzain.com/read/ilmu/417/hukum-safar-wanita
[3]Ahmad Warson Munawwir Kamus Al- Munawwir , cet-4 (Jakarta: Pustaka Progressif 1997)  hlm. 1124
[4] Zainuddin bin Abdul Aziz , Hasyiyah I’anatuth tholibin, cet ke-1 ( Darul Kutub Al-Islamiyyah,1430H/2009M)  hlm.180 jilid.2
[5] Muttafaq ‘alaih
[6] Ibid
[7] Lihat dalam kitab Al-Muhalla, Ibnu Hazm, vol. 5 hlm.21
[8] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fiil Fiqhil Islam cet.ke-1 (Damaskus, Darul Fikri, 1426H/2005M ) juz.1 hlm.72
[9] Syaikh Imam Muhammad bi Ali Asy-Syauqani, Naylul Awthor cet ke-4( Darul Kutub Al-Alamiyyah, 2011H) Juz.3 hlm.220
[10]Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan At-Tirmidzi ( Darul fikri, 402H/1208M ) juz.2 hlm.75
[11] ibid

By : Wafdah Amnatul  Jannah

0 komentar:

Posting Komentar