Senin, 09 Mei 2016

Ijma', Dasar Hukum Ketiga


BAB I
PENDAHULUAN

Allah menurunkan Al Qur’an sebagai sumber hukum bagi manusia, kemudian mengutus Rasulullah dengan membawa risalah Sunnah untuk menjelaskan hukum hukum dari Al Qur’an. Dahulu pengikut agama islam yang hidup sezaman dengan Rasulullah masih mudah menentukan perkara baru dengan bertanya langsung kepada Rasulullah. Namun sepeninggal Rasulullah, umat islam ‘kehilangan’ sumber rujukan untuk menghukumi perkara perkara baru.
Lantas para mujtahid dari kalangan sahabat menemukan sebuah cara untuk memenuhi kebutuhan umat dan menjadikannya sebagai landasan hukum atau hujjah untuk perkara perkara baru yang sebelumnya tidak dimuat dalam nash syar’i.

Para sahabat melakukan ijtihad, kemudian dari ijtihad lahirlah ijma’. Ijma’ memiliki tingkat kekuatan argumentasi dibawah Al Qur’an dan Hadits, ia dapat digunakan sebagai pedoman untuk menggali hukum hukum syar’i. Sebanarnya apa yang dimaksud ijma’? mengapa ia dapat dijadikan hujjah ketiga dalam syari’at? Lantas apakah semua ulama’ sepakat dengan keabsahannya?

Dalam makalah ini, penulis mencoba menjelaskan pengertian ijma’, kedudukannya diantara dalil dalil syar’i lainnya, keabsahannya, macam macamnya, sanad sanadnya serta kemungkinan terjadinya.

BAB II
PEMBAHASAN
1.              Definisi

Secara etimologi ijma’ diartikan dalam dua pengertian. Pertama disebut Al-azmu ‘alal amri yakni bertekad kuat dalam melakukan sebuah pekerjaan, seperti yang terdapat pada firman Allah:[1]
وَشُرَكَاءَكُمْ أَمْرَكُمْ فَأَجْمِعُوا
 “Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu sekutumu”. (QS. Yunus, ayat 71)

Dalam tafsir ibnu katsir dijelaskan bahwa makna potongan ayat di atas adalah “Bersatulah kalian dan sekutu sekutu kalian yang kalian seru selain Allah.”[2]
Atau seperti sabda Rasulullah:
من لم يجمع الصيام قبل الفجر فلا صيام له
“Barang siapa yang belum meniatkan puasa sebelum terbitnya fajar maka tiada puasa baginya.” (HR Abu Daud 122/7, Ibnu Khuzaimah 1933 dan An-Nasai 196/4 hadits shahih)
Definisi kedua, yaitu ittifaq ‘alal amri yaitu bersepakat terhadap sesuatu. Dinamakan demikian karena ijma’ muncul dari sekumpulan bersepakat dengan suatu pendapat pada sebuah masalah, baik duniawi atau syar’i.[3]

Sedangkan secara terminologi ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari umat Muhammad setelah wafatnya Rasulullah mengenai suatu masalah syar’i yang terjadi sesuai dengan waqi’ (waktu terjadinya).  [4]

2.              Syarat Ijma’

Dari pengertian secara istilah, ijma’ akan terjadi jika memenuhi beberapa syarat yaitu:
a)              Adanya mujtahid yang akan bersepakat mengenai suatu hukum syar’i yang akan dibahas hukumnya.
b)             Adanya kesepakatan diantara seluruh mujtahid pada zaman terjadinya ijma’ terhadap masalah syar’i yang dibahas, kesepakatan mereka bisa berupa kepercayaan, perkataan, maupun perbuatan mereka.
c)              Mujtahid yang melakukan ijma’ adalah umat nabi Muhammad bukan umat nabi nabi lain, maka tidak sah ijma’ yang dilakukan oleh umat yahudi, nasrani atau penganut paham falsafah.
d)             Terjadinya ijma’ tersebut setelah Rasulullah wafat.
e)              Yang menjadi pembahasan ijma’ adalah hukum syar’i yaitu selain hukum ‘aqli seperti ijma’ tentang hukum jual beli, bukan ijma’ tentang fa’il yang selalu marfu’.

3.              Kedudukan Ijma’ Diantara Dalil Dalil Syar’i Lainnya

Seperti yang telah kita ketahui, dalam syari’at ada dalil dalil yang disepakati ulama’ (muttafiq) dan dalil dalil yang diperselisihkan ulama’ (mukhtalaf).[5]

Ijma’ termasuk dalam dalil syar’i yang disepakati ulama’, dalam syari’at ia menduduki posisi ketiga setelah Al Qur’an dan As Sunnah. Sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa ijma’ adalah dalil qath’i , meskipun dalil yang digunakan dalam ijma’ adalah dalil dzanny. Dengan demikian, disimpulkan bahwa ijma’ lebih utama dari qiyas, sehingga urutan dalil syar’i selanjutnya adalah qiyas karena qiyas adalah dalil dzanni.[6] Ijma’ diawali dengan ijtihad, apabila hasil ijtihadnya disepakati maka ia akan menjadi ijma’.

4.              Keabsahan ijma’

Ijma’ diakui sebagai dalil ketiga dalam syari’at dengan beberapa argumen, diantaranya terdapat pada:

1.              Dalil Al Qur’an
Allah berfirman:

وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا

 Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kalian”. (QS. Al-Baqoroh: 143)
Maksud saksi dalam ayat diatas bermascam macam, yakni kesaksian apa yang diperbuat manusia dan hukum perbuatan mereka.
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مسيرا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa pada kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”. (QS. An-Nisa: 115)
Dari ayat diatas dijelaskan bahwa kesesatan adalah bagi mereka yang tidak mengikuti jalan Rasulullah dan orang orang sholeh. Oleh karena itu, kita dituntut untuk mengikuti jalan orang orang beriman.[7]
Menurut al-Ghazali, ayat ini menunjukkan bahwa Allah menjadikan orang-orang yang tidak mengikuti cara-cara yang ditempuh umat Islam sebagai orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, dan menentang Allah dan Rasul-Nya hukumnya haram.
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله ورسول
“Kemudian jika engkau berselisih pendapat mengenai suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya”. (QS. An Nisa’: 59)
Ayat diatas menjelaskan bahwa segala masalah harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
2.              Dalil As Sunnah
لا تجتمع أمتي على ضلالة
Umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, derajatnya hasan menurut Syeikh Albani).[8]
          Hadits tersebut kedudukannya dho’if menurut An Nawawi dalam Syarh muslim, namun dikuatkan dengan hadits hadits lainnya yang masyhur. Makna hadits diatas adalah ummat islam tidak akan bersepakat pada perkara perkara yang sesat dari urusan syari’at, seperti kekufuran, kefasikan dan salah dalam beriijtihad.[9]
 Dan juga sabdanya:
فمن رأيتموه فارق الجماعة أو يريد أن يفرق بين أمة محمد صلى الله عليه وسلم، وأمرهم جميع،
فاقتلوه كائنا من كان، فإن يد الله مع الجماعة
Siapa saja yang kalian pandang meninggalkan jama’ah atau ingin memecah belah umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan dalam perkara tersebut mereka sepakat, maka bunuhlah ia siapapun gerangannya, karena sesungguhnya tangan Allah bersama jama’ah” (HR. Ibnu Hibban dan lainnya, derajatnya sahih menurut Syeikh Albani)
Dalil di atas meskipun berbicara mengenai pemberontak pemerintahan yang sah, namun ia menjadi bukti betapa kuatnya pengaruh ijma’ dalam islam. [10]
3.              Dalil Logika
Secara logika dapat dikatakan bahwa ijma’ umat islam bisa saja salah dan bisa saja benar. Jika benar maka ia merupakan dalil. Namun jika salah, maka bagaimana mungkin mereka semua salah sedang mereka adalah sebaik-baik umat manusia? Artinya jika umat islam telah sepakat, maka kebenaran pasti meyertai mereka.
5.              Macam macam ijma’

Ditinjau dari caranya ijma’ dikelompokkan menjadi dua, yakni:

a.              Ijma’ Shorih
Ijma’ sorih adalah kesepakatan seluruh mujtahid dengan perkataan maupun perbuatan mereka tentang suatu hukum pada sebuah masalah syar’i. Seperti berkumpulnya para mujtahid pada sebuah tempat, lalu mereka mendiskusikan suatu hukum syar’i menggunakan dasar Al Qur’an dan As Sunnah, kemudian mereka menyepakatinya bersama. Atau bisa jadi, para mujtahid di seluruh dunia berfatwa tentang sebuah hukum syar’i yang sama, maka hukum syar’i tersebut disebut ijma’.
Menurut kesepakatan para ulama’ ijma’ sorih wajib dijadikan sandaran hukum karena ijma’ jenis ini disifati qath’iyud dalalah.[11] Misalnya pada suatu waktu seorang mufti berfatwa tentang suatu hal, lalu mufti mufti lain di seluruh dunia juga memfatwakan hal yang sama seperti yang difatwakan mufti pertama, maka fatwa mereka menjadi ijma’.

b.              Ijma’ Sukuti

Ijma’ sukuti adalah sepakatnya beberapa mujtahid mengenai suatu hukum syar’i dengan perkataan atau perbuatan mereka dalam suatu zaman, dan ada mujtahid yang mendiamkannya serta tidak diketahui apakah ia setuju atau tidak terhadap hasil kesepakatan mujtahid mujtahid selainnya.

Para ulama’ berbeda pendapat mengenai terjadinya ijma’ sukuti dan kebolehannya untuk dijadikan hujjah. Pendapat pertama, yakni pendapat Malikiyah dan Syafi’iyah. Mereka mengingkari ijma’ sukuti karena mereka berpendapat bahwa diamnya beberapa mujtahid tidak bisa memenuhi syarat ijma’. Hal ini disebabkan karena diamnya mujtahid mengandung beberapa kemungkinan, bisa saja karena tidak ada ijtihad diantara mereka, atau karena rasa takut yang membuat mereka tidak mengungkapkan hasil ijtihad mereka, dan sebagainya. Karena dalam ijma’ sukuti mengandung makna ihtimal maka ia tidak dapat dianggap sebagai tanda kesepakatan atas pendapat yang diijtihadkan mujtahid selainnya.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Hanafiyah dan Hanabilah. Mereka mengakui bahwa ijma’ sukuti dapat dijadikan sumber dalil dan hujjah qath’i. Mereka berdalil dengan dua alasan. Pertama, biasanya fatwa dari beberapa ulama’ tersebar dan tidak mungkin ada yang tidak mengetahuinya, namun ulama’ yang mendengarnya tidak member komentar apapun dan memilih sukut (diam). Kedua, pada umumnya setiap zaman terdapat ulama’ ulama’ senior, maka ulama’ ulama’ sighor memilih diam sebagai bentuk taslim dan tanda kesepakatan mereka.

Secara dzahir ijma’ sukuti adalah hujjah jika ada tanda tanda kerelaan dan kesepakatan dan tidak terdapat sebab sebab yang menghalangi mujtahid yang sukut untuk setuju dengan keputusan ulama’ lainnya.[12] Menurut Al-Karkhiy dari madzhab hanafiyah dan Al-Amidi dari madzhab syafi’iyah bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah dzanniyah.[13] Namun, menurut jumhur ulama’ bahwa ijma’ jenis ini bukan hujjah.[14]

6.              Sanad Ijma’

Sanad adalah sandaran atau sumber yang dijadikan landasan. Seperti yang dikatakan syaikh Muhammad Ath Thantawi dalam Ushul Fiqh Al Islamy bahwa pengertian sanad disini adalah yang dijadikan sandaran oleh para mujtahid dalam berijma’.[15]

Sanad ijma’ bermacam macam, ada sanad sanad yang telah disepakati ulama’ ada juga yang masih diperselisihkan. Sanad yang disepakati ulama’ diantaranya:

·                Al Qur’an
Seperti ijma’ mujtahidin tentang kewajiban ibadah shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya, juga ijma’ mereka tentang haramnya menikahi nenek berdasarkan firman Allah dalam An Nisa’ ayat 23:
أُمَّهَاتُكُمْ عَلَيْكُمْ حُرِّمَتْ
“diharamkan atas kalian ibu ibu kalian”.

·                As Sunnah

Misalnya adalah ijma’ sahabat tentang haramnya menikahi seorang wanita dan bibinya, mereka bersandar pada hadits Rasul :
لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا      
“Janganlah menikahi perempuan dgn bibinya sekaligus (baik bibi dari saudara ayah atau ibu)”. (HR. Muslim No.2514)
          Juga pada jatah warisan nenek, para sahabat bersepakat bahwa bagian nenek adalah seperenam.[16]
Sedangkan sanad ijma’ yang masih diperselisihkan ulama’ diantaranya:

·                Qiyas

Sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa qiyas bisa dijadikan sandaran ijma’[17] karena qiyas termasuk dalil syar’i maka boleh digunakan sebagai sandaran ijma’. Contohnya adalah pengangkatan Abu Bakar sebagai kholifah dikiaskan dengan penggantian imamah Rasulullah dalam shalat.

Sedangkan ulama’ yang tidak sepakat tentang keabsahan sanad dari qiyas berargumen bahwa qiyas merupakan dalil dzanni sehingga tidak dapat dijadikan landasan ijma’ yang merupakan dalil qath’i.[18] Namun, argumen mereka dapat dibantah dengan mengatakan bahwa jika qiyas tidak sah dijadikan landasan karena ia merupakan dalil dzanni, maka hal tersebut tidak tepat, karena hadits ahad tetap sah dijadikan sanad ijma’ meskipun ia adalah dalil dzanni.[19]

·                Maslahah Mursalah

Jenis ijma’ yang menjadikan maslahah mursalah sebagai sanad telah terjadi dan terbukti, misalnya ijma’ para sahabat saat peristiwa Jam’il Qur’an. Ada sebuah syarat yang harus dipenuhi agar maslahah mursalah dapat dijadikan sanad ijma’, yakni jika seiring berlalunya waktu dan kemaslahatan yang menyebabkan terjadinya ijma’ berubah, maka ijma’ yang bersandar dengan maslahat tersebut menjadi batal secara otomatis.

7.              Kemungkinan Terjadinya Ijma’

Ulama’ berbeda pendapat mengenai kemungkinana terjadinya ijma’, jumhur ulama’ mengatakan bahwa ijma’ mungkin terjadi. Hal ini terbukti pada realita yang terjadi pada zaman sahabat Rasulullah.
Namun sebagian ulama’ dari kalangan syi’ah mengingkari terjadinya ijma’, mereka menganggap bahwa syarat syarat ijma’ sangat sulit untuk dipenuhi, sehingga mustahil ijma’ akan terjadi.  Meskipun demikian, pendapat mayoritas ulama’ adalah yang lebih rajih dan paling masuk akal. Allahu a’lam.

BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ijma’ adalah kespakatan mujtahid dalam menyelesaikan permasalahan syari’at menggunakan dasar Al Qur’an dan As Sunnah sehingga dari ijma’ akan muncul dasar hukum baru yang syar’i dan selalu sesuai dengan  perkembangan zaman.\

DAFTAR PUSTAKA
Abdul ‘al, Abdul Hayy, Pengantar Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, t.t)
Abu Azka, Rudi. “Tafsir Ibnu Katsir Online Versi 1.0”. 6 Desesmber 2015. http://ibnukatsironline.blogspot.co.id/2015/05/tafsir-surat-yunus-ayat-71-73.html.
Ahmad , Muhammmad bin, Bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtasid, Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 1198.
Al Ghozali, Muhammad bin Muhammad, Al-Mustashfa, Beirut: Daarul Kutub Al-Alamiyah,t.t.
Amidi, Al, Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam, Beirut: Dar Al Kutub Al ‘alamiyah, t.t.
At Thantawi, Mahmud Muhammad, Ushul Fiqh Islamy, Qahirah: Maktabah Wahbah, t.t.
Idris, Muhammad bin, Ar Risalah, Jakarta: Pustaka Kautsar , 2015.
Islam Web, Fatwa. “Markaz Al Fatwa”. 5 Desember 2015. http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=285655
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
Muhammad, Abi Hamid, Al Mustashfa, Beirut: Daarul Kutub Al Alamiyah, 1971.
Musa, Ibrahim bin, Al Muwafaqat fii Ushulisy Syari’ah, Lebanon: Darul Kutub Al Alamiyah, 2004.
Zaidan,Abdul Karim, Al Wajiz Fi Ushulil Fiqh, Baghdad: Darul Fikr Islamy, t.t.
Zuhaili, Wahbah, Al Wajiz fii Ushulil Fiqh, Damaskus: daarul fikr, t.t.



[1] Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz Fi Ushulil Fiqh, (Bagdad:
[2] Rudi Abu Azka, “Tafsir Ibnu Katsir Online Versi 1.0”, Tafsir Surat Yunus Ayat 71-73, diakses dari http://ibnukatsironline.blogspot.co.id/2015/05/tafsir-surat-yunus-ayat-71-73.html, pada tanggal 6 Desesmber 2015 pukul 07.00
[3] Al Amidi, Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam, (Beirut: Dar Al Kutub Al ‘alamiyah, t.t), hlm. 167
[4] Mahmud Muhammad At Thantawi, Ushul Fiqh Islamy, (Qahirah: Maktabah Wahbah, t.t), hlm.209. Wahbah Az Zuhaili, Al wajiz fi Ushulil Fiqh, (Darul fikr, Damaskus), hlm.46 . Abdul Hayy Abdul ‘al, Pengantar Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar), hlm.281. Al Amidi, Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam, (Beirut: Dar Al Kutub Al ‘alamiyah), hlm. 167
[5] Wahbah Az Zuhaili, Al wajiz fi Ushulil Fiqh, (Darul fikr, Damaskus), hlm.21
[6] Mahmud Muhammad At Thantawi, Ushul Fiqh Islamy, (Maktabah Wahbah: Qahirah), hlm.218
[7] Muhammad Bin Muhammad Al-Ghozali, Al-Mustashfa, (Daarul Kutub Al-Alamiyah, Beirut), hlm.221. Abdul Hayy Abdul ‘al, Pengantar Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar), hlm.285
[8] Muhammad bin Muhammad Al Gazali, Al Mustashfa min Ilmi Ushul, (Bairut: Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, t.t), hlm. 224
[9] Fatwa Islam Web, “Markaz Al Fatwa”, Syarhu laa Tajtami’u Ummati ‘ala dholal, http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=285655, pada tanggal 05 Desember 2015 pukul 23.00
[10]Muhammad bin Muhammad Al Gazali, Al Mustashfa min Ilmi Ushul, (Bairut: Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, t.t), hlm.221
[11] Wahbah zuhaili, Al Wajiz fii Ushulil Fiqh, (Damaskus: daarul fikr, t.t), hlm.52. Abdul Hayy Abdul ‘al, Pengantar Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar), hlm.288
[12] Wahbah zuhaili, Al Wajiz fii Ushulil Fiqh, (Damaskus: daarul fikr, t.t), hlm.52
[13] Mahmud Muhammad At Thantawi, Ushul Fiqh Islamy, (Qahirah: Maktabah Wahbah, t.t), hlm.212. Abdul Hayy Abdul ‘al, Pengantar Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar), hlm.289
[14] Abdul Hayy Abdul ‘al, Pengantar Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar), hlm.288
[15] Mahmud Muhammad At Thantawi, Ushul Fiqh Islamy, (Qahirah: Maktabah Wahbah, t.t), hlm.213       
[16] Mahmud Muhammad At Thantawi, Ushul Fiqh Islamy, (Qahirah: Maktabah Wahbah, t.t), hlm.214
[17] Ibid.,
[18] Ibid.,
[19] Ibid., hlm. 215

By : Sabila Rosyada

0 komentar:

Posting Komentar