Waktu-Waktu Shalat fardhu
Oleh: Zulfa
Sa’diyah
I. Pendahuluan
Shalat merupakan kewajiban yang Allah ta’ala tetapkan atas semua
muslim. Orang yang mengaku beragama Islam wajib
melaksanakan shalat. Dan shalat merupakan kewajiban
yang telah di tentukan waktunya. Di dalam Al-Quran telah disebutkan dalil
tentang waktu shalat secara global yang kemudian diperinci oleh hadits Nabi .
Allah berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا
مَوْقُوْتًا
“Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman.” (Qs. An-Nisa’:103)
Dalam sehari
semalam ada lima waktu shalat fardhu: dzuhur, ashar, maghrib, isya’ dan subuh. Dan secara rincinya akan dijelaskan di dalam pembahasan berikut.
II. Pembahasan
1. Pengertian shalat
Secara etimologi: Doa, maksudnya adalah doa untuk kebaikan. Adapun secara terminologi adalah perbuatan dan
ucapan yang di awali dengan takbiratul ihram dan di akhiri dengan salam.[1]
2. Waktu- waktu shalat fardhu yang ditentukan
a.
WAKTU SHALAT
DZUHUR
Dimulai dari tergelincirnya matahari,yaitu condongnya matahari dari tengah-tengah
langit,sampai bayangan benda sama dengan bendanya. Menurut riwayat yang dzahir
dalam madzhab Abu Hanifah bahwasanya akhir waktu
dzuhur apabila: bayangan suatu benda menjadi dua kali lipat dari asalnya. Akan
tetapi, menurut kesepakatan ulama bahwa waktu ini
adalah mulainya waktu ashar. Oleh karenanya, alangkah
baiknya shalat dzuhur dikerjakan di awal waktu, ini untuk kehati-hatian, dan sikap seperti ini
diutamakan dalam masalah ibadah. Jika bayang-bayang suatu benda mulai kelihatan
(di sebelah timur) benda ataupun matahari mulai condong ke barat, maka waktu
dzuhur mulai masuk. Menurut jumhur ulama, waktu shalat dzuhur berakhir apabila
bayang-bayang suatu benda panjangnya sama dengan panjang bendanya. Dalil jumhur
adalah kisah malaikat Jibril yang shalat bersama-sama dengan Nabi Muhammad pada
hari berikutnya (kedua) yaitu ketika bayang-bayang suatu benda mulai sama panjangnya dengan
bendanya. Jadi tidaklah di ragukan lagi bahwa dalil ini lebih kuat. Dalil Abu
Hanifah juga berdasarkan sabda Nabi Muhammad:
اَبْرَدُوْا
بِاالظُّهْرِ فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فِيْحِ جَهَنَّمَ
“Dinginkanlah shalat dzuhur,karena keadaan panas yang terik itu
adalah dari bara api neraka.”(HR. Bukhari)
Masa yang sangat panas adalah pada waktu tersebut, yaitu waktu dimana
bayang-bayang suatu benda sama panjang dengannya. Dalil yang dipegang oleh
semua pihak tentang permulaan waktu dzuhur adalah berdasarkan firman Allah :
“Laksanakanlah
shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam....”(QS. Al-Israa’:
78)[2]
b.
WAKTU SHALAT ASHAR
Dimulai
setelah waktu dzuhur selesai yaitu, ketika bayangan suatu benda lebih panjang dari
bendanya, yaitu pertambahan yang paling minimal menurut jumhur sampai tenggelamnya matahari. Akan tetapi menurut
kesepakatan seluruh ulama, waktu ashar berakhir beberapa saat
sebelum matahari tenggelam . Para ulama
ahli fiqih berpendapat, bahwa shalat ashar yang dikerjakan ketika matahari
menguning adalah makruh, berdasarkan
sabda Nabi Muhammad:
تِلْكَ صَلاَةُ
اْلمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيْ
الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللهَ إِلَّا قَلِيْلًا .
“Demikianlah shalat orang munafik. Dia menunggu matahari sehingga
apabia matahari berada di antara dua tanduk setan, maka dia pun mematuknya
empatkali. Dia tidak mengingat Allah kecuali sedikit.”(HR. Al-Jama’ah,
kecuali al-Bukhari dan Ibnu majah dari Anas r.a.)
وَقَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: “وَقْتُ اْلعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرِ الشَّمْسُ
Dan juga sabda Rasulullah: “waktu ashar adalah selagi matahari tidak
menguning.”(HR. Imam Muslim
dari Abdullah bin Amr r.a.)
Shalat ashar adalah shalat
pertengahan (shalat wustha) menurut pendapat kebanyakan ulama’. Hal ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi Muhammad membaca
ayat Al-Quran,” peliharalah shalat
itu dan shalat wustha.....”(Qs. Al-Baqarah: 238)
Dari Ibnu Mas’ud dan sumrah, kedanya berkata bahwa Nabi muhammad telah
bersabda: “shalat wustha adalah shalat ashar.”
Di namakan wustha karena ia
berada di antara dua shalat malam dan dua shalat siang.[3]
Menurut madzhab malikiah shalat
ashar ada dua waktu yaitu waktu dharuri dan ikhtiyari. Waktu dharuri di mulai
ketika menguningnya matahari sampai
tenggelamnya matahari (waktu ini di khususkan untuk mereka yang mempunyai udzur
syar’i seperti orang yang lupa, suci dari haidh, orang pingsan, orang gila dan
yang lainya) dan tidak ada dosa bagi mereka mengerjakan shalat ashar di waktu
ini. Adapun waktu ikhtiari di mulai ketika bayangan benda bertambah panjang
dari aslinya sampai menguningnya matahari, inilah waktu yang di pilih untuk
mengerjakan shalat ashar.[4]
c. Waktu shalat maghrib
Di mulai dari
terbenamnya matahari. Ini di sepakati oleh seluruh ulama’. Menurut jumhur
(ulama’ Hanafi, Hambali, dan qaul qadim madzhab Syafi’i) ia berlangsung
hingga hilang waktu syafaq (muncul cahaya merah). Mereka menggunakan
dalil hadits,
وَقْتُ
المَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ
“Waktu maghrib
adalah selama syafaq (cahaya merah) belum hilang.”(HR. Muslim dari
‘Abdullah bin amru)
Syafaq menurut
Abu Yusuf, Muhammad Hasan asy-Syaibani, ulama’ madzhab hambali dan ulama’
syafi’i adalah syafaq ahmar (cahaya merah). Sedangkan berdasarkan
kata-kata Ibnu Umar, asy syafaq adalah al-humrah
(merah). Pendapat yang di fatwakan dalam madzhab Hanafi adalah pendapat Abu
Yusuf dan Muhammad Hasan asy-Syaibani. Pendapat inilah yang menjadi pendapat
dalam madzhab tersebut. Menurut Abu Hanifah, syafaq adalah warna putih yang
terus kelihatan di atas ufuk, dan biasanya ia ada setelah warna merah keluar.
Kemudian setelah itu muncul warna hitam. Antara dua syafaqah ada jarak yang di
hitung dengan tiga darajah. Satu darajah sama dengan empat menit.
Dalil Abu
Hanifah adalah sabda Rasulullah:
وَآخِرُ
وَقْتُ المَغْرِبِ اِذَا اِسْوَدَّ لأَافَقُ
“Akhir
waktu maghrib adalah apabila ufuq menjadi hitam”.
Hadits ini di
riwayatkan oleh Abu Bakar, Aisyah, Mu’adz, dan Ibnu Abbas.[5]
Waktu maghrib
adalah waktu shalat yang paling pendek maka, di sunnahkan untuk menyegerakannya.karena shalat di awal waktu
adalah lebih utama dan mengakhirkannya termasuk perkara makruh. Sebagaimana di
sebutkan dalam hadits yang di riwayatkan dari Uqbah bin Amir, bahwa Nabi
Muhammad bersabda,
“Umatku tetap
berada dalam kebaikan atau tetap berada dalam keadaan fitrah selama mereka
tidak melewatkan shalat maghrib, hingga bintang berkelindan.” (HR. Ahmad Daud,
dan al Hakim, Abu )[6]
d. Waktu shalat ‘isya’
Di mulai dari hilangnya syafaq ahmar(cahaya merah) hingga munculnya
fajar shadiq, ini menurut pendapat para madzhab.[7]
Menurut pendapat madzhab hanabilah dan malikiah bahwa shalat isya’ ada dua
waktu, seperti shalat ashar yaitu waktu ikhtiyari dan dharuri. Waktu ikhtiyari
di mulai ketika hilangnya cahaya merah sampai sepertiga malam yang pertama,
sedangkan waktu dharuri di mulai dari awal dua pertiga malam sampai terbitnya
fajar shadiq. Dan barang siapa yang mengerjakan shalat isya’ pada waktu dharuri
ini maka ia berdosa kecuali yang mempunyai udzur syar’i- sebagaimana yang telah
di sebutkan dalam pembahasan shalat ashar-. [8]
Sunnah hukumnya mengakhirkan shalat isya’ hingga sepertiga malam dan ini
lebih utama sekaligus waktu ikhtiyari shalat isya’ (bagi mereka yang mudah dan
biasa untuk bangun malam, dengan tujuan seusai mengerjakan shalat isya’ di
lanjutkan dengan shalat witir. Akan tetapi bagi yang sulit untuk bangun malam
maka, shalat di awal waktu lebih utama) . Berdasarkan beberapa hadits, di antaranya dari Jabir bin Samurah ia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ يُؤَخِّرُ الْعِشَاءَ الْأَخِرَةَ
“Rasulullah mengakhirkan shalat isya’ hingga akhir sepertiga
malam”.(HR.Imam Muslim, An-Nasai, dan Ahmad)
Dari Abu
Hurairah dari Rasulullah bersabda:
لَوْلاَ
أَنْ أّشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوْا العِشَاءَ اِلَى ثُلُثِ
الَّليْلِ أَوْ نِصْفِهِ
“kalaulah tidak menjadi menyusahkan umatku, niscaya aku menyuruh
mereka melewatkan shalat isya’ hingga kepada sepertiga Ibnu Majah, malam atau
separuh malam”.(HR.Imam Ahmad, dan At-Tirmidzi)
Juga hadist
Ibnu Umar,
وَقْتُ
صَلَاةِ العِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ
“Waktu shalat isya’ adalah separuh malam”(muttafaqun
‘alaih)
Inilah
beberapa hadits yang menunjukkan sunnahnya mengakhirkan shalat isya’, akan tetapi
dengan syarat tetap menjaga jama’ah,
maksudnya meskipun di akhir waktu harus tetap shalat berjama’ah.
Tidur sebelum
isya’ dan berbicara yang tidak ada manfaatnya setelahnya adalah makruh. Berdasarkan
hadits dari Abi Barzah Al-Aslami,nabi Muhammad bersabda:
كَانَ
يَسْتَحَبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ العِشَاءَ الَّتِى يَدْعُوْنَهَا العَتَمَةَ وَكَانَ يَكْرَهُ
النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالحَدِيْثَ بَعْدَهَا
“Rasulullah
menganjurkan untuk mengakhirkan shalat isya’ yang di kerjakan pada akhir
waktunya, dan beliau membenci tidur sebelumnya(waktu isya’) dan berbicara
setelahnya”.(HR.Bukhari dan Muslim)[9]
e. Waktu shalat shubuh
Bermula dari naiknya
fajar shadiq hingga naiknya matahari. Fajar shadiq adalah
cahaya putih yang tampak terang
yang berada sejajar dengan garis lintang ufuk di sebelah timur dan
menyebar. Ia berlainan dengan fajar kadzib yang naik bentuknya memanjang
mengarah ke atas di tengah-tengah langit
dan cahayanya tidak menyebar, seperti ekor srigala hitam yang dua sisinya
berwarna hitam dan dalam ekornya berwarna putih. Hukum-hukum syara’ banyak
bergantung kepada fajar shadiq, yaitu dalam menentukan permulaan puasa,
permulaan waktu subuh, dan berakhirnya waktu isya’. Sebaliknya hukum-hukum
syara’ tidak tergantung kepada fajar kadzib. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah ,
الفَجْرُ فَجْرَانِ فَجْرٌ
يَحْرُمُ فِيْهِ الطَّعَامُ وَ يَحِلُّ فِيْهِ الصَّلَاةُ وَ فَجْرٌ يَحْرُمُ فِيْهِ
الصَّلاَةَ وَيَحِلُّ فِيْهِ الطَّعَامُ
“Fajar
itu ada dua, yaitu fajar yang mengharamkan makan dan membolehkan shalat dan
satu lagi ialah fajar yang mengharamkan shalat (shalat subuh) dan membolehkan
makan”.(HR. Ibnu Khuzimah dan al-Hakim)[10]
Menurut
madzhab malikiyah bahwa shalat subuh ada dua waktu,waktu ikhtiyari dan waktu
dharuri.Adapun waktu ikhtiyari di mulai dari munculnya fajar shadiq sampai
matahari berwarna kuning terang yang dengannya bintang sudah tidak lagi tampak
di langit, sedangkan waktu dharuri di mulai setelah itu sampai munculnya
matahari. Dan i ni pendapat masyhur yang kuat.[11]
III. Penutup
Dari pembahasan di
atas dapat diringkas bahwa waktu-waktu
shalat fardhu sebagai berikut:
1. Shalat dzuhur: di mulai dari tergelincirnya matahari ke barat sampai
bayangan benda sama dengan bendanya.
2. Shalat ashar: di mulai dari bayangan benda sedikit lebih panjang dari
bendanya sampai menguningnya matahari.
3. Shalat maghrib: di mulai dari terbenamnya matahari sampai hilangnya
cahaya merah di ufuk barat.
4. Shalat isya’: di mulai dari hilangnya cahaya merah sampai sebelum
munculnya fajar shadiq atau sepertiga malam terakhir.
5. Shalat subuh: di mulai dari munculnya fajar shadiq sampai menguningnya
matahari.
Itulah waktu-waktu shalat yang telah Allah dan Rasul NYA tetapkan,
melalui firman dan sabda nya yang benar. Menurut ulama’ malikiah waktu paling
utama dalam mengerjakan shalat adalah di awal waktunya. Akan tetapi
beberapa ulama’ lainnya berbeda pendapat dalam menentukan waktu yang paling utama dalam mengerjakan
shalat. Wallahu A’lam bis-Shawab.
Daftar pustaka
Al-Quranul
karim.
‘Azzazi, al-,
‘Adil. Tamam al-Minnah fi Fiqh al-Kitab wa Shahih as-Sunnah. Alexandria: Dar al-‘Aqidah. 2009.
Jaziri,
al, ‘Abdirrahman. Kitab al-Fiqh ‘Ala
al-Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2011
Zuhaili, az-,
Wahbah. Fiqih Islam wa Adillatuhu. Damaskus: Darul Fikr. 2007
[1] Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaily, jilid: 1, hlm: 653 (Damaskus:
Darul Fikr, cet ke-10, tahun: 2007)
[2] Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaily, jilid 1, hlm. 552-553 (Damaskus: darul fikr,
cet ke-10,tahun:2007)
[3] Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Wahbah
Az-zuhaily, jilid 1, hlm: 553-554
(Damaskus: Darul fikr, cet ke-10,tahun:2007)
[4] Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahib Al-Arba’ah,Syekh ‘Abdurrahman Al-Jaziri, jilid 1,
hlm:167 (Beirut: Darul kutub al-ilmiah, cet ke-4, tahun:2011)
[5] Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Wahbah
Az-Zuhaily, jilid 1, hlm: 554 (Damaskus: darul fikr,cet ke-10,tahun:2007)
[6] Ibid, hlm: 551
[7] Ibid, hlm: 555
[8] Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahib Al-Arba’ah,
syekh ‘Abdurrahman Al- jaziri, jilid 1, hlm: 168 (Beirut: darul kutub ai
ilmiah, cet ke-4, tahun: 2011)
[9] Tamamul Minnah, Abu ‘Abdirrahman ‘Adil
bin Yusuf Al-‘Azzazi, jilid 1, hlm: 165-166 (Alexandria: Darul ‘aqidah, cet
ke-2, tahun:2009)
[10] Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Wahbah
Az-Zuhaily, jilid 1, hlm: 551-552 (Damaskus: Darul fikr,cet ke-10, tahun:2007)
[11] Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahib Al-Arba’ah,
Syekh ‘Abdurrahman Al-jaziri, jilid 1, hlm:168-169 (Beirut: Darul kutub
al-ilmiah, cet ke-4, tahun:2011)
By : Zulfa Sa'diyah
0 komentar:
Posting Komentar