BAB I
PENDAHULUAN
Allah menurunkan Al Qur’an sebagai
sumber hukum bagi manusia, kemudian mengutus Rasulullah dengan membawa risalah
Sunnah untuk menjelaskan hukum hukum dari Al Qur’an. Dahulu pengikut agama
islam yang hidup sezaman dengan Rasulullah masih mudah menentukan perkara baru
dengan bertanya langsung kepada Rasulullah. Namun sepeninggal Rasulullah, umat
islam ‘kehilangan’ sumber rujukan untuk menghukumi perkara perkara baru.
Lantas
para mujtahid dari kalangan sahabat menemukan sebuah cara untuk memenuhi
kebutuhan umat dan menjadikannya sebagai landasan hukum atau hujjah untuk
perkara perkara baru yang sebelumnya tidak dimuat dalam nash syar’i.
Para sahabat melakukan ijtihad,
kemudian dari ijtihad lahirlah ijma’. Ijma’ memiliki tingkat kekuatan
argumentasi dibawah Al Qur’an dan Hadits, ia dapat digunakan sebagai pedoman
untuk menggali hukum hukum syar’i. Sebanarnya apa yang dimaksud ijma’? mengapa
ia dapat dijadikan hujjah ketiga dalam syari’at? Lantas apakah semua ulama’
sepakat dengan keabsahannya?
Dalam makalah ini, penulis mencoba
menjelaskan pengertian ijma’, kedudukannya diantara dalil dalil syar’i lainnya,
keabsahannya, macam macamnya, sanad sanadnya serta kemungkinan terjadinya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Definisi
Secara etimologi ijma’ diartikan
dalam dua pengertian. Pertama disebut Al-azmu
‘alal amri yakni bertekad kuat dalam melakukan sebuah pekerjaan, seperti
yang terdapat pada firman Allah:[1]
وَشُرَكَاءَكُمْ أَمْرَكُمْ فَأَجْمِعُوا
“Karena
itu bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu sekutumu”. (QS. Yunus,
ayat 71)
Dalam tafsir ibnu katsir dijelaskan
bahwa makna potongan ayat di atas adalah “Bersatulah kalian dan sekutu sekutu
kalian yang kalian seru selain Allah.”[2]
Atau seperti sabda Rasulullah:
من لم يجمع الصيام قبل الفجر فلا صيام له
“Barang siapa yang belum
meniatkan puasa sebelum terbitnya fajar maka tiada puasa baginya.” (HR Abu
Daud 122/7, Ibnu Khuzaimah 1933 dan An-Nasai 196/4 hadits shahih)
Definisi kedua, yaitu ittifaq ‘alal amri yaitu bersepakat
terhadap sesuatu. Dinamakan demikian karena ijma’ muncul dari sekumpulan bersepakat
dengan suatu pendapat pada sebuah masalah, baik duniawi atau syar’i.[3]
Sedangkan secara terminologi ijma’
adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari umat Muhammad setelah wafatnya
Rasulullah mengenai suatu masalah syar’i yang terjadi sesuai dengan waqi’ (waktu terjadinya). [4]
2.
Syarat
Ijma’
Dari pengertian secara istilah, ijma’
akan terjadi jika memenuhi beberapa syarat yaitu:
a)
Adanya mujtahid yang
akan bersepakat mengenai suatu hukum syar’i yang akan dibahas hukumnya.
b)
Adanya
kesepakatan diantara seluruh mujtahid pada zaman terjadinya ijma’ terhadap
masalah syar’i yang dibahas, kesepakatan mereka bisa berupa kepercayaan,
perkataan, maupun perbuatan mereka.
c)
Mujtahid yang
melakukan ijma’ adalah umat nabi Muhammad bukan umat nabi nabi lain, maka tidak
sah ijma’ yang dilakukan oleh umat yahudi, nasrani atau penganut paham falsafah.
d)
Terjadinya ijma’
tersebut setelah Rasulullah wafat.
e)
Yang menjadi
pembahasan ijma’ adalah hukum syar’i yaitu selain hukum ‘aqli seperti ijma’ tentang hukum jual beli, bukan ijma’ tentang
fa’il yang selalu marfu’.
3.
Kedudukan
Ijma’ Diantara Dalil Dalil Syar’i Lainnya
Seperti yang telah kita ketahui,
dalam syari’at ada dalil dalil yang disepakati ulama’ (muttafiq) dan dalil
dalil yang diperselisihkan ulama’ (mukhtalaf).[5]
Ijma’ termasuk dalam dalil syar’i
yang disepakati ulama’, dalam syari’at ia menduduki posisi ketiga setelah Al
Qur’an dan As Sunnah. Sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa ijma’ adalah
dalil qath’i , meskipun dalil yang digunakan dalam ijma’ adalah dalil dzanny.
Dengan demikian, disimpulkan bahwa ijma’ lebih utama dari qiyas, sehingga
urutan dalil syar’i selanjutnya adalah qiyas karena qiyas adalah dalil dzanni.[6]
Ijma’ diawali dengan ijtihad, apabila hasil ijtihadnya disepakati maka ia akan menjadi
ijma’.
4.
Keabsahan
ijma’
Ijma’ diakui sebagai dalil ketiga
dalam syari’at dengan beberapa argumen, diantaranya terdapat pada:
1.
Dalil Al Qur’an
Allah berfirman:
وكذلك جعلناكم أمة وسطا
لتكونوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kalian (umat islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kalian”. (QS. Al-Baqoroh: 143)
Maksud saksi dalam ayat diatas
bermascam macam, yakni kesaksian apa yang diperbuat manusia dan hukum perbuatan
mereka.
ومن يشاقق الرسول من بعد ما
تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مسيرا
“Dan barangsiapa
yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa pada kesesatan yang
telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.”. (QS. An-Nisa: 115)
Dari ayat diatas dijelaskan
bahwa kesesatan adalah bagi mereka yang tidak mengikuti jalan Rasulullah dan
orang orang sholeh. Oleh karena itu, kita dituntut untuk mengikuti jalan orang
orang beriman.[7]
Menurut al-Ghazali, ayat ini menunjukkan bahwa
Allah menjadikan orang-orang yang tidak mengikuti cara-cara yang ditempuh umat
Islam sebagai orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, dan menentang Allah dan
Rasul-Nya hukumnya haram.
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى
الله ورسول
“Kemudian jika engkau berselisih pendapat mengenai suatu
perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya”.
(QS. An Nisa’: 59)
Ayat
diatas menjelaskan bahwa segala masalah harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan
As Sunnah.
2.
Dalil As Sunnah
لا
تجتمع أمتي على ضلالة
“Umatku
tidak akan bersepakat di atas kesesatan.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud,
derajatnya hasan menurut Syeikh Albani).[8]
Hadits tersebut kedudukannya dho’if
menurut An Nawawi dalam Syarh muslim, namun dikuatkan dengan hadits hadits
lainnya yang masyhur. Makna hadits diatas adalah ummat islam tidak akan
bersepakat pada perkara perkara yang sesat dari urusan syari’at, seperti
kekufuran, kefasikan dan salah dalam beriijtihad.[9]
Dan
juga sabdanya:
فمن
رأيتموه فارق الجماعة أو يريد أن يفرق بين أمة محمد صلى الله عليه وسلم، وأمرهم
جميع،
فاقتلوه
كائنا من كان، فإن يد الله مع الجماعة
“Siapa
saja yang kalian pandang meninggalkan jama’ah atau ingin memecah belah umat Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan dalam perkara tersebut mereka sepakat,
maka bunuhlah ia siapapun gerangannya, karena sesungguhnya tangan Allah bersama
jama’ah” (HR. Ibnu Hibban dan lainnya, derajatnya sahih menurut Syeikh
Albani)
Dalil
di atas meskipun berbicara mengenai pemberontak pemerintahan yang sah, namun ia
menjadi bukti betapa kuatnya pengaruh ijma’ dalam islam. [10]
3.
Dalil Logika
Secara
logika dapat dikatakan bahwa ijma’ umat islam bisa saja salah dan bisa saja benar.
Jika benar maka ia merupakan dalil. Namun jika salah, maka bagaimana mungkin
mereka semua salah sedang mereka adalah sebaik-baik umat manusia? Artinya jika
umat islam telah sepakat, maka kebenaran pasti meyertai mereka.
5.
Macam
macam ijma’
Ditinjau dari caranya ijma’ dikelompokkan
menjadi dua, yakni:
a.
Ijma’ Shorih
Ijma’
sorih adalah kesepakatan seluruh mujtahid dengan perkataan maupun perbuatan
mereka tentang suatu hukum pada sebuah masalah syar’i. Seperti berkumpulnya
para mujtahid pada sebuah tempat, lalu mereka mendiskusikan suatu hukum syar’i
menggunakan dasar Al Qur’an dan As Sunnah, kemudian mereka menyepakatinya
bersama. Atau bisa jadi,
para mujtahid di seluruh dunia berfatwa tentang sebuah hukum syar’i yang sama,
maka hukum syar’i tersebut disebut ijma’.
Menurut kesepakatan para ulama’
ijma’ sorih
wajib dijadikan sandaran hukum
karena ijma’ jenis ini disifati qath’iyud
dalalah.[11]
Misalnya pada suatu waktu seorang mufti berfatwa tentang suatu hal, lalu mufti
mufti lain di seluruh dunia juga memfatwakan hal yang sama seperti yang
difatwakan mufti pertama, maka fatwa mereka menjadi ijma’.
b.
Ijma’ Sukuti
Ijma’ sukuti adalah sepakatnya
beberapa mujtahid mengenai suatu hukum syar’i dengan perkataan atau perbuatan
mereka dalam suatu zaman, dan ada mujtahid yang mendiamkannya serta tidak
diketahui apakah ia setuju atau tidak terhadap hasil kesepakatan mujtahid
mujtahid selainnya.
Para ulama’ berbeda pendapat
mengenai terjadinya ijma’ sukuti dan kebolehannya untuk dijadikan hujjah.
Pendapat pertama, yakni pendapat Malikiyah dan Syafi’iyah. Mereka mengingkari
ijma’ sukuti karena mereka berpendapat bahwa diamnya beberapa mujtahid tidak
bisa memenuhi syarat ijma’. Hal ini disebabkan karena diamnya mujtahid
mengandung beberapa kemungkinan, bisa saja karena tidak ada ijtihad diantara
mereka, atau karena rasa takut yang membuat mereka tidak mengungkapkan hasil
ijtihad mereka, dan sebagainya. Karena dalam ijma’ sukuti mengandung makna
ihtimal maka ia tidak dapat dianggap sebagai tanda kesepakatan atas pendapat
yang diijtihadkan mujtahid selainnya.
Pendapat kedua, yaitu pendapat
Hanafiyah dan Hanabilah. Mereka mengakui bahwa ijma’ sukuti dapat dijadikan
sumber dalil dan hujjah qath’i. Mereka berdalil dengan dua alasan. Pertama, biasanya fatwa dari beberapa
ulama’ tersebar dan tidak mungkin ada yang tidak mengetahuinya, namun ulama’
yang mendengarnya tidak member komentar apapun dan memilih sukut (diam). Kedua, pada
umumnya setiap zaman terdapat ulama’ ulama’ senior, maka ulama’ ulama’ sighor
memilih diam sebagai bentuk taslim dan tanda kesepakatan mereka.
Secara dzahir
ijma’ sukuti adalah hujjah jika ada tanda tanda kerelaan dan kesepakatan dan
tidak terdapat sebab sebab yang menghalangi mujtahid yang sukut untuk setuju dengan keputusan ulama’ lainnya.[12] Menurut Al-Karkhiy dari madzhab hanafiyah dan Al-Amidi dari madzhab
syafi’iyah bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah
dzanniyah.[13] Namun, menurut jumhur ulama’ bahwa ijma’ jenis ini bukan hujjah.[14]
6.
Sanad
Ijma’
Sanad adalah sandaran atau sumber
yang dijadikan landasan. Seperti yang dikatakan syaikh Muhammad Ath Thantawi
dalam Ushul Fiqh Al Islamy bahwa pengertian sanad disini adalah yang dijadikan
sandaran oleh para mujtahid dalam berijma’.[15]
Sanad ijma’ bermacam macam, ada
sanad sanad yang telah disepakati ulama’ ada juga yang masih diperselisihkan.
Sanad yang disepakati ulama’ diantaranya:
·
Al Qur’an
Seperti ijma’ mujtahidin tentang
kewajiban ibadah shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya, juga ijma’ mereka
tentang haramnya menikahi nenek berdasarkan firman Allah dalam An Nisa’ ayat
23:
أُمَّهَاتُكُمْ عَلَيْكُمْ حُرِّمَتْ
“diharamkan
atas kalian ibu ibu kalian”.
·
As Sunnah
Misalnya adalah ijma’ sahabat
tentang haramnya menikahi seorang wanita dan bibinya, mereka bersandar pada
hadits Rasul :
لَا يُجْمَعُ بَيْنَ
الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
“Janganlah menikahi perempuan dgn bibinya sekaligus (baik bibi dari
saudara ayah atau ibu)”. (HR. Muslim
No.2514)
Juga pada jatah warisan nenek, para sahabat bersepakat
bahwa bagian nenek adalah seperenam.[16]
Sedangkan sanad ijma’ yang masih diperselisihkan ulama’ diantaranya:
·
Qiyas
Sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa qiyas bisa dijadikan sandaran
ijma’[17]
karena qiyas termasuk dalil syar’i maka boleh digunakan sebagai sandaran ijma’.
Contohnya adalah pengangkatan Abu Bakar sebagai kholifah dikiaskan dengan
penggantian imamah Rasulullah dalam shalat.
Sedangkan ulama’ yang tidak sepakat tentang keabsahan sanad dari qiyas
berargumen bahwa qiyas merupakan dalil dzanni sehingga tidak dapat dijadikan
landasan ijma’ yang merupakan dalil qath’i.[18]
Namun, argumen mereka dapat dibantah dengan mengatakan bahwa jika qiyas tidak
sah dijadikan landasan karena ia merupakan dalil dzanni, maka hal tersebut
tidak tepat, karena hadits ahad tetap sah dijadikan sanad ijma’ meskipun ia
adalah dalil dzanni.[19]
·
Maslahah Mursalah
Jenis ijma’ yang menjadikan maslahah mursalah sebagai sanad telah terjadi
dan terbukti, misalnya ijma’ para sahabat saat peristiwa Jam’il Qur’an. Ada sebuah syarat yang harus dipenuhi agar maslahah
mursalah dapat dijadikan sanad ijma’, yakni jika seiring berlalunya waktu dan
kemaslahatan yang menyebabkan terjadinya ijma’ berubah, maka ijma’ yang
bersandar dengan maslahat tersebut menjadi batal secara otomatis.
7.
Kemungkinan
Terjadinya Ijma’
Ulama’ berbeda pendapat mengenai
kemungkinana terjadinya ijma’, jumhur ulama’ mengatakan bahwa ijma’ mungkin
terjadi. Hal ini terbukti pada realita yang terjadi pada zaman sahabat
Rasulullah.
Namun sebagian ulama’ dari kalangan
syi’ah mengingkari terjadinya ijma’, mereka menganggap bahwa syarat syarat
ijma’ sangat sulit untuk dipenuhi, sehingga mustahil ijma’ akan terjadi. Meskipun demikian, pendapat mayoritas ulama’
adalah yang lebih rajih dan paling masuk akal. Allahu a’lam.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ijma’ adalah kespakatan mujtahid dalam
menyelesaikan permasalahan syari’at menggunakan dasar Al Qur’an dan As Sunnah
sehingga dari ijma’ akan muncul dasar hukum baru yang syar’i dan selalu sesuai
dengan perkembangan zaman.\
DAFTAR PUSTAKA
Abdul ‘al, Abdul Hayy, Pengantar Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, t.t)
Abu Azka, Rudi. “Tafsir Ibnu Katsir Online Versi
1.0”. 6 Desesmber 2015. http://ibnukatsironline.blogspot.co.id/2015/05/tafsir-surat-yunus-ayat-71-73.html.
Ahmad , Muhammmad bin, Bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtasid, Jakarta: Darul Kutub
Islamiyah, 1198.
Al
Ghozali, Muhammad bin Muhammad, Al-Mustashfa,
Beirut: Daarul Kutub Al-Alamiyah,t.t.
Amidi, Al, Al
Ihkam Fi Ushulil Ahkam, Beirut: Dar Al Kutub Al ‘alamiyah, t.t.
At Thantawi, Mahmud Muhammad, Ushul Fiqh Islamy, Qahirah: Maktabah Wahbah, t.t.
Idris, Muhammad bin, Ar Risalah, Jakarta: Pustaka Kautsar , 2015.
Islam
Web, Fatwa. “Markaz Al Fatwa”. 5 Desember 2015. http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=285655
Khallaf,
Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh,
Semarang: Dina Utama, 1994.
Muhammad, Abi Hamid, Al Mustashfa, Beirut: Daarul Kutub Al Alamiyah, 1971.
Musa, Ibrahim bin, Al Muwafaqat fii Ushulisy Syari’ah, Lebanon: Darul Kutub Al
Alamiyah, 2004.
Zaidan,Abdul Karim, Al Wajiz Fi Ushulil Fiqh, Baghdad: Darul Fikr Islamy, t.t.
Zuhaili,
Wahbah, Al Wajiz fii Ushulil Fiqh, Damaskus:
daarul fikr, t.t.
[1] Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz Fi Ushulil Fiqh, (Bagdad:
[2] Rudi Abu Azka, “Tafsir Ibnu
Katsir Online Versi 1.0”, Tafsir Surat Yunus Ayat 71-73, diakses dari http://ibnukatsironline.blogspot.co.id/2015/05/tafsir-surat-yunus-ayat-71-73.html, pada tanggal 6 Desesmber 2015
pukul 07.00
[3] Al Amidi, Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam, (Beirut: Dar Al Kutub Al ‘alamiyah, t.t),
hlm. 167
[4] Mahmud Muhammad At Thantawi, Ushul Fiqh Islamy, (Qahirah: Maktabah
Wahbah, t.t), hlm.209. Wahbah Az Zuhaili, Al
wajiz fi Ushulil Fiqh, (Darul fikr, Damaskus), hlm.46 . Abdul Hayy Abdul
‘al, Pengantar Ushul Fiqh, (Jakarta:
Pustaka Al Kautsar), hlm.281. Al Amidi, Al
Ihkam Fi Ushulil Ahkam, (Beirut: Dar Al Kutub Al ‘alamiyah), hlm. 167
[5] Wahbah Az Zuhaili, Al wajiz fi Ushulil Fiqh, (Darul fikr,
Damaskus), hlm.21
[6] Mahmud Muhammad At Thantawi, Ushul Fiqh Islamy, (Maktabah Wahbah:
Qahirah), hlm.218
[7] Muhammad Bin Muhammad
Al-Ghozali, Al-Mustashfa, (Daarul
Kutub Al-Alamiyah, Beirut), hlm.221. Abdul Hayy Abdul ‘al, Pengantar Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar), hlm.285
[8] Muhammad bin Muhammad Al Gazali,
Al Mustashfa min Ilmi Ushul, (Bairut:
Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, t.t), hlm. 224
[9] Fatwa Islam Web, “Markaz Al
Fatwa”, Syarhu laa Tajtami’u Ummati ‘ala dholal, http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=285655, pada tanggal 05 Desember 2015
pukul 23.00
[10]Muhammad bin Muhammad Al Gazali, Al Mustashfa min Ilmi Ushul, (Bairut:
Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, t.t), hlm.221
[11] Wahbah zuhaili, Al Wajiz fii Ushulil Fiqh, (Damaskus:
daarul fikr, t.t), hlm.52. Abdul Hayy Abdul ‘al, Pengantar Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar), hlm.288
[12] Wahbah zuhaili, Al Wajiz fii Ushulil Fiqh, (Damaskus:
daarul fikr, t.t), hlm.52
[13] Mahmud Muhammad At Thantawi, Ushul Fiqh Islamy, (Qahirah: Maktabah
Wahbah, t.t), hlm.212. Abdul Hayy Abdul ‘al, Pengantar Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar), hlm.289
[14] Abdul Hayy Abdul ‘al, Pengantar Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka
Al Kautsar), hlm.288
[15] Mahmud Muhammad At Thantawi, Ushul Fiqh Islamy, (Qahirah: Maktabah
Wahbah, t.t), hlm.213
[16] Mahmud Muhammad At Thantawi, Ushul Fiqh Islamy, (Qahirah: Maktabah
Wahbah, t.t), hlm.214
[17] Ibid.,
[18] Ibid.,
0 komentar:
Posting Komentar