Sholat
merupakan ibadah yang Allah perintahkan kepada hamba-Nya sebagai bentuk
ketaatan kepada-Nya. Sholat juga merpakan suatu kewajiban yang harus dilakukan bagi
seorang muslim, baik dalam keadaan sakit,safar,kelelahan dan alasan lainnya. Sehingga Allah subhanahu
wa ta’ala memudahkan hamba-Nya ketika mendapati suatu kesulitan dalam
melaksanakan ibadah dan amalan sholeh.
Safar
adalah perjalanan seseorang yang memiliki tujuan tertentu.
Dalam safar terdapat
kewajiban-kewajiban yang tidak boleh kita tinggalkan meskipun dalam perjalanan. Oleh karena itu,
islam adalah agama Allah yang sempurna yang memiliki kemudahan bagi
pemeluk-Nya. Terutama dalam masalah sholat,
karena sholat merupakan salah satu pilar agama. Jika ia meninggalkannya,
maka sholat adalah penghacur agamanya, tetapi sbaliknya jika ia melaksanakannya
maka sholat merupakan penegak agama.
Oleh
sebab itu, dalam safar Allah subhanahu wa ta’ala memberi kemudahan dalam melaksanakan
sholat wajib yaitu dengan mengqashar (meringkas) setiap sholat rubaiyyah [1]
menjadi dua rakaat.
A.
Pengertian safar
Safar secara bahasa adalah melakukan perjalanan. Safar juga berarti
terbuka, disebut demikian karena orang yang melakukan safar akan terbuka
dirinya dari tempat tinggalnya ke tempat yang terbuka. Begitu juga orang yang
melakukan safar akan terbuka akhlaq, perilaku dan perangai aslinya, yang selama
ini tertutup ketika seseorang tidak mengadakan perjalanan. [2]
Imam al-Ghazali berkata: “safar
adalah termasuk dari penyebab kegelisahan, barang siapa berprilaku baik dalam
kondisi seperti ini, maka berarti dirinya adalah orang yang berbudi pekerti
baik”
Sedangkan pengertian
safar secara syara’ yaitu memiliki
arti keluar dari negeri tempat bermukim menuju suatu tempat dengan tujuan syar’I
ataupun mubah. Sehingga membolehkan
seseorang untuk mengqasar atau menjama'shalat rubaiyyah.
B.
Pengertian qashor
Secara bahasa qoshor muradif min
naaqis yaitu mengurangi atau meringkas[3].
Sedangkan secara istilah yaitu meringkas
sholat ruba’iyah seperti dhzuhur, asar, dan isya menjadi dua rakaat .
Dalil disyariatkannya qoshor saat safar
Mengqoshar merupakan hal yang
diperbolehkan dalam al-qur’an dan ijma. Adapun dalil qur’an dalam surat An-nisa
ayat 101:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُو
“ Dan jika kamu berpergian
dimuka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqshar sholatmu jika kamu takut di
serang oleh orang kafir” ( An-Nisa:101)
Dalil ini menerangkan
bahwa mengqashar merupakan hal yang diperbolehkan dalam islam baik rasa takut
ataupun aman. Akan tetapi mengaitkan sholat qoshar dengan rasa takut merupakan
suatu penegasan saat kondisi realnya sebab hampir semua perjalanan nabi tidak
terlepas dari ketakutan. Ya’la bin Umayyah berkata kepada Umar bin Khattab; “
Wahai Umar mengapa kita masih mengqshar sholat padahal sekarang sudah dalam
keadaan aman”? Umar menjawab “Aku pernah menanyakan hal demikian kepada Nabi
kemudian beliau menjawab :
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَاعَلَيْكُمْ
فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ
“ ia adalah sedekah yang dari Allah yang diberikan kepada kalian
maka terimalah sedekah dari-Nya.[ HR. Muslim]”[4]
Adapun dalil ijma’ dari Ibnu Umar
mengatakan :
صَحِبْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَكَانَ لَا يَزِيْدُ فِي السَّفَرِ عَلَي رَكْعَتَيْنِ وَ اَبُوْا بَكْرِ
وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ كَذَالِكَ
“ Aku sering menemani Nabi dan
selama di perjalanannya beliau melakukan sholat tidak lebih dari dua rakaat.
Begitu juga Abu Bakar, Umar, dan Utsman.[5]
Dari
Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata:Aku menemani Rasulullah shallallahu alaihi
wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau selalu mengerjakan shalat tidak
lebih dari dua rakaat (dalam perjalanan ) sampai wafat, kemudian aku menemani
Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau selalu mengerjakanshalat tidak lebih dua
raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau
selalu mengerjakan shalat dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani
Utsman radhiallahu anhu dan beliau selalu mengerjakan shalat dua raka'at
sampai wafat. Allah berfirman surat Al-Ahzab:21
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu."
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu."
Para ulama sepakat bagi siapa
saja yang bersafar maka diperbolehkan untuk mengqoshar sholat baik berpergian
wajib seperti haji, umrah, atau perjalanan yang dianjurkan seperti menjenguk
sakit. Ataupun berpergian yang dibolehkan seperti pariwisata, perjalanan bisnis
dan lain-lain.
Hikmah
disyariatkanya qashar sholat safar
Diantara
hikmah mengqoshar sholat saat safar yaitu :
1. memudahkan para musafir dari berbagai
kesulitan dalam menunaikan hak-hak Allah.
2. Sebagai penyemangat dalam
melaksanakan sholat fardhu. Sehingga dengan adanya qoshor dalam sholat, tidak
ada seorangpun yang lalai atau malas untuk memberi alasan dalam meninggalkan
sholat.
3. Tidak punya tanggungan
sholat.
4. Mengikuti sunnah
Rasululluh.
Hukum qoshar
Para ulama fiqih berbeda pendapat
dalam menghukumi qoshar ketika sholat
safar diantaranya:
Ø
Madzhab Imam Hanafi
Berpendapat mengqoshar sholat
merupakan suatu kewajiban yang disertai niat. Jika seorang musaffir itu sholat
dengan menyempurnakan jumlah rakaat sholatnya dan duduk yaitu sholat sunnah.
Akan tetapi seorang musafir itu berdosa jika ia tidak duduk pada rakaat kedua
[tasyahud] maka sholatnya batal karena telah bercampur antara sholat fardhu dan
sunnah.
Ø Madzhab Imam Maliki
Berpendapat
mengqoshar sholat merupakan Sunnah Muakkadah, karena nabi melakukan hal itu.
Ø
Madzhab Syafi’i dan Hambali
Berpendapat bahwa qashar
merupakan suatu kemudahan yang diperbolehkan untuk memilih antara mengqoshar,
hal ini menurut Hambali. Sedangkan menurut Syafi’I mengqoshar sholat lebih baik
daripada menyempurnakan
Sebab
disyariatkannya shalat qashar
Allah subhanahu wa tala’a menurunkan
suatu hukum dengan alasan tertentu yang merupakan suatu keringanan untuk
hamba-Nya dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya.
Sebab disyariatkannya sholat qashar yaitu perjalanan
yang panjang dan diperbolehkan menurut mayoritas
ulama selain Hanafi. Akan tetapi mengqasar sholat memiliki syarat-syarat
tertentu yang harus di perhatikan, diantaranya:
A.
Jarak diperbolehkan qashar sholat
Para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan tentang (minimal) jarak perjalanan diperbolehkannya mengqashar
shalat diantaranya:
Ø Menurut Imam Hanafi
Jarak diperbolehkan qoshar jika perjalanan mencapai tiga hari tiga malam, akan tetapi jika perjalanan tersebut tanpa tujuan jelas maka tidak diperbolehkan Adapun dalil mereka :
جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْم وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi
musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” (HR. Muslim)
Ø
Menurut Imam Syafi’I, Maliki dan Hambali
Jarak diperbolehkan qoshar jika
perjalanan mencapai dua hari. Jika diukur dengan jarak yaitu 16 farsakh/ 48
mill menurut Imam Syafi’I, Hambali dan Imam Maliki 89 km.[6]
Dalil
mereka adalah dalam hadits:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ
وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ َرْسَخا
عَشَرَ
“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak
berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR.
Bukhari)
Menurut Ibnu Hazm [7]
bahwa pendapat yang benar adalah tidak ada batas jarak minimal bagi perjalanan
yang dianggap syariat sebagai safar. Selama perjalanan tersebut dianggap safar
dalam pengertian bahasa Arab,maka selama itu pula qashar dibenarkan. Sebab,
jika memang terdapat batas minimal jarak perjalanan maka tidak mungkin Nabi
tidak menjelaskannya sama sekali dan tidak mungkin pula para Sahabat tidak
menanyakan kepada Beliau.
B.
Jenis perjalanan yang diperbolehkan qashar
Imam
Hanafi
membolehkan mengqashar setiap safar. Baik itu perjalanan untuk menjalankan
suatu ibadah, perjalanan yang dibolehkan, ataupun perjalanan maksiat seperti
perampok. Adapun dalil diperbolehkan qashar yaitu surat An-Nisa ayat 101:
” Dan apabila kamu berpergian
dimuka bumi maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat”
Menurutnya
dalil ini adalah umum yaitu bermaksiat atau taat dalam perjalanan, mereka
berhak medapatkan keringanan dalam safarnya.
Menurut Jumhur Ulama selain Imam Hanafi
jika perjalanan tersebut untuk suatu kemaksiatan, maka dia tidak mendapatkan
kemudahan dalam perjalanannya. Seperti keringanan sholat, berbuka puasa,
mengusap sepatu, dan lain-lain. Sebab para Ulama berprinsip qashar merupakan
suatu kenikmatan dalam perjalanan dan kemudahan tidak dibebani untuk pelaku
maksiat.[8]
Sedangkan Imam Maliki
menyebutkan bahwa dimakhruhkan qashar bagi orang-orang yang lalai dalam
perjalanannya.
Adapun maksud lalai dalam
perjalanan yaitu seseorang melakukan perjalanan dengan tujuan yang dibolehkan
oleh syariat. Akan tetapi, di tengah perjalanannya ia melakukan maksiat seperti
berzina, mwncuri, merampas, menuduh keji, dan mengumpat maka maka ia dimakruhkan
mendapatkan kemudahan seperti mengqashar shalat. Karena perjalannya tersebut
tidak berniat untuk kemaksiatan atau untuk melakukan maksiat, tetapi untuk
tujuan yang diperbolehkan dalam syariat.
Menurut
Imam Nawawi Asy-Syafi’iyah, jika seorang melakukan perjalanan yang dibolehkan
kemudian melakukan suatu kemaksiatan maka ia tidak mendapatkan kemudahan
tersebut, menurut pendapat yang shahih. Jika perjalanannya untuk maksiat
kemudian bertobat maka perjalanannya dihitung sejak ia bertobat.
C.
Tempat dimulainya melakukan safar
Niat akan melakukan safar tidaklah cukup untuk
memulai mengqashar shalat, sebelum musaffir benar-benar melakukan perjalanan.
Para Ahlu Fiqih sepakat bahwa dimulainya qashar saat safar yaitu ketika
musaffir telah melewati perkampungan yang menjadi tempat keluar serta
memposisikan rumah-rumah dibelakang punggungnya.
D. Batas
diperbolehkan seorang musafir mengqashar sholat jika bermukim
di suatu tempat
Para ulama
berbeda pendapat dalam batasan waktu diperbolehkan mengqashar (meringkas)
shalat. ulama berpendapat terdapat batasan waktu tertentu
Imam
Hanafi mengatakan seorang musaffir dianggap bermukim dan dilarang
mengqashar sholat jika ia sudah berniat bermukin selama lima belas hari atau
lebih. Jika musafir telah berniat seperti itu maka diharuskan untuk
menyempurnakan sholat. Namun jika ia berniat bermukim kurang dari lima belas
hari maka tetap mengqashar sholat.
Imam Hambali mengatakan jika seorang musafir
berniat untuk bermukim lebih dari empat hari atau lebih dari dua puluh kali
sholat fardhu maka harus menyempurnakan sholatnya. Adapun ‘illahnya sesuai
dengan hadits Jabir dan Ibnu Abbas , bahwaNabi memasuki kota mekkah pada pagi
hari tanggal keempat dari bulan Dzulhijjah, lalu beliau bermukim di Mekkah
selama hari keempat, kelima, dan keenam. Kemudian hari kedelapan beliau
melaksanakan sholat subuh lalu berangkat ke Mina. Beliau mengqashar sholat
selama hari-hari tersebut.Anas mengatakan,” kami bermukim di Mekkah selama
sepuluh hari dan kami mengqashar sholat”.[9]
Namun
para ulama yang lain berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk
mengqashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung
halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena
tidak ada satu dalilpun yang shahih dan secara tegas menerangkan tentang
batasan waktu dalam masalah ini.
Sahabat Jabir radhiyallahu anhu meriwayatkan,
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tinggal di
Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat. (HR. Imam Ahmad dengan sanad
sahih).
Sahabat Ibnu
‘Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersafar kemudian beliaumelakukan sholat dua
rakaat (qashar) selama sembilan belas hari. (HR. Bukhari )[10].
Sahabat
Anas bin Malik meriwayatkan “Kami telah keluar bersama Rasulullah dari Madinah
menuju Mekkah, kemudian melaksanakan sholat dua rakaat.seorang sahabat bertanya
kepada Anas:” Berapa lama Rasulullah bermukim di Mekkah ? Anas berkata: sepuluh
hari”.[11]
Jika berniat untuk tinggal di
tempat tujuannya lima belas hari bersama hari ketika masuk maka harus
menyempurnakan (maksudnya menyempurnakan shalatnya empat raka’at dan tidak
boleh mengqashar atau meringkas menjadi dua raka’at). Jika berniat kurang dari
itu maka mengqashar (shalatnya).
Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri dan Al-Muzani. Menurut Ibnul Mundzir ini juga pendapat sahabat Abdullah ibnu Umar radhiyallahu’anhuma.
Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri dan Al-Muzani. Menurut Ibnul Mundzir ini juga pendapat sahabat Abdullah ibnu Umar radhiyallahu’anhuma.
Kesimpulan
Seorang
musaffir dapat mengqashar shalat jika telah dalam perjalanan, dengan
syarat bertujuan suatu ketaatan atau hal
yang mubah tidak untuk maksiat. Adapun
jarak diperbolehkan safar tidak ada pendapat ulama yang rajih karena mereka berpendapat sesuai dalil yang
digunakan, akan tetapi sebagai bentuk kehati-hatian mengambil jarak yang paling
banyak yaitu menurut jumhur 89 km. Begitu juga batas maksimal seorang yang
mukim ulama berbeda pendapat akan tetapi sebagai bentuk kehati-hatian mengambil
batas yang sedikit yaitu tiga hari.
Daftar Pustaka
Warson Ahmad Munawwir
, Kamus Munawwir, cet-4 (Jakarta: Pustaka Progressif 1997)
Abdul Aziz bin Zainuddin ,Hasyiyah I’anatuth
tholibin, cet ke-1 ( Darul Kutub Al-Islamiyyah,1430H/2009M) jilid.2
Az-Zuhaili Wahbah , Al-Wajiz fiil
Fiqhil Islam, cet.ke-1 (Damaskus, Darul Fikri, 1426H/2005M ) juz.1
Ali Asy-Syauqani bin Muhammad ,Naylul Awthor, Syaikh
Imam Muhammad bi Ali Asy-Syauqani cet ke-4( Darul Kutub Al-Alamiyyah, 2011H)
Juz.3
Isa bin Abi Isa Muhammad Sunan
At-Tirmidzi, Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah ( Darul fikri, 402H/1208M )
juz.2
Dr. Az-Zuhaili Wahbah ,Fiqih
islam wa adillatuhu, cet ke-1(Jakarta,
Gema Insani 1431H/2010M) jilid.2
[1]
Dzhuhur, Ashar dan Isya
[2]ahmadzain.com/read/ilmu/417/hukum-safar-wanita
[3]Ahmad
Warson Munawwir Kamus Al- Munawwir , cet-4 (Jakarta: Pustaka Progressif
1997) hlm. 1124
[4]
Zainuddin bin Abdul Aziz , Hasyiyah I’anatuth tholibin, cet ke-1 ( Darul Kutub
Al-Islamiyyah,1430H/2009M) hlm.180
jilid.2
[5]
Muttafaq ‘alaih
[6]
Ibid
[7]
Lihat dalam kitab Al-Muhalla, Ibnu Hazm, vol. 5 hlm.21
[8]
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fiil Fiqhil Islam cet.ke-1 (Damaskus, Darul Fikri,
1426H/2005M ) juz.1 hlm.72
[9] Syaikh Imam Muhammad bi Ali Asy-Syauqani,
Naylul Awthor cet ke-4( Darul Kutub Al-Alamiyyah, 2011H) Juz.3 hlm.220
[10]Abi
Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan At-Tirmidzi ( Darul fikri, 402H/1208M ) juz.2 hlm.75
0 komentar:
Posting Komentar