A.
Muqaddimah
Shalat merupakan tiang agama dan salah satu syi’ar islam. Manusia
diciptakan bukanlah tanpa alasan,
tapi manusia diciptakan dengan satu tujuan yaitu untuk beribadah kepadaNya.
Sebagaimana dalam surat Ad-Dzariyat
ayat 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَ الإِنْسَ
إِلاَّ ليَعْبُدُوْنَ
Artinya : “ Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka beribadah kepada-Ku.”
Adapun shalat jum’at yaitu berkumpulnya
kaum muslimin di suatu masjid pada hari jum’at
dengan syarat terdiri dari 40 ma’mum atau minimal 2 orang dan dua
khutbah. Secara umum shalat jum’at dianjurkan kepada setiap individu mu’min dan apakah ia dianjurkan juga bagi kaum wanita?
Apa
hukum shalat jum’at bagi wanita ? lewat
makalah sederhana ini kami akan mengulas beberapa
permasalahan mengenai hukum shalat jum’at bagi wanita.
B.
Dasar Shalat Jum’at
Awal disyariatkan shalat jum’at adalah sebelum hijrah, setelah
bai’atul aqabah yang mana Rasulullah ﷺ membai’at kaumnya,
kemudian beliau mengutus Mus’ab bin Umair ke Madinah untuk membacakan al
Qur’an, mengajarkan islam, dan memahamkan agama kepada ahlul madinah. Selama Mus’ab
bin Umair
diutus ke Madinah
beliau bertempat tinggal di rumah
As’ad bin Zurarah dan shalat
bersamanya. Di sinilah Mus’ab bin Umair pertama kali mendirikan shalat jum’at, kemudian beliau
meminta izin kepada Rasulullah dan beliau ﷺ mengizinkan. Imam At-Thabary
mentakhrij bahwa yang pertama kali mendirikan shalat jum’at di Madinah adalah Mus’ab
bin Umair. Adapun Ibnu Majah dan Abu Dawud mentakhrij bahwa yang pertama kali
mendirikan shalat jum’at di Madinah adalah As’ad bin Zurarah.
Al Hafidz Ibnu Hajar menggabungkan dua riwayat
di atas bahwasanya As’ad adalah pemimpin dan Mus’ab sebagai imam. Adapun firman Allah ﷻ:
يأَيُّهَا الَّذِيْنَ
ءَامَنُوْا إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى
ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا البَيْعَ....
Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman! Apabila
telah diseur untuk melaksanakan shalat pada hari jum’at, maka segeralah kamu
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” ( QS: Al Jumu’ah : 9)
Ayat
ini adalah ayat madaniyah (diturunkan di Madinah). Ayat ini turun setelah disyari’atkannya shalat
jum’at, kemudian
ayat ini menguatkan apa yang telah ditetapkan
dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah yang
memerintahkan untuk meninggalkan jual beli ketika datang waktu shalat jum’at .
Ibnu katsir berkata dalam tafsirnya: “Bahwa dinamakan Al-Jum’at
dengan jum’at karena ia adalah pecahan dari kata Al-Jam’u yang mana orang Islam
berkumpul di masjid setiap seminggu sekali dan di dalamnya terdapat khutbah dan
shalat 2 rakaat. Pada hari jum’at disempurnakannya semua ciptaan, hari ke enam
dari enam masa Allah menciptakan langit dan bumi, pada hari itu Allah
menciptakan Adam Alaihissalam dan di hari jum’at Allah memasukkan Adam
ke surga dan mengeluarkan darinya. Pada hari itu pula terjadinya hari kiamat.”[1]
Inilah bukti bahwa
hari jum’at adalah sebaik-baik hari sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ :
خير يوم طلعت عليه الشمس يوم الجمعة فيه خلق آدم وفيه أدخل الجنة
وفيه أخرج منها ولا تقوم الساعة إلا في يوم الجمعة
”Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya (hari cerah)
adalah hari Jum’at, (karena) pada hari ini Adam diciptakan, hari ini pula Adam
dimasukkan ke dalam surga dan dikeluarkan darinya, dan tidaklah akan datang
hari kiamat kecuali pada hari Jum’at.” (HR Muslim).
C.
Syarat-syarat wajib Shalat Jum’at
1.
Islam
2.
Merdeka
3.
Baligh
4.
Berakal
5.
Laki-laki
6.
Orang tidak memiliki halangan atau udzur
7.
Orang yang menetap bukan musafir.[2]
D.
Hal-Hal Yang Disunnahkan Bagi Muslim Dan Muslimah Ketika Hari Jum’at
1.
Membaca surat
Al-Kahfi
مَنْ
قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِيْ يَوْمِ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ
مَا بَيْنَ الجُمْعَتَيْنِ.
Dari Abi Sa’id al-Khudry bahwa Nabi ﷺ bersabda : “Barang siapa membaca surat Al-Kahfi pada hari
jum’at, maka baginya cahaya antara dua jum’at .” (HR. Al-Hakim ).[3]
2.
Memperbanyak do’a.
4.
Mandi bagi setiap orang yang menghadirinya.
Mandi, memakai baju putih, dan memakai wangi-wangian pada hari jum’at khusus untuk laki-laki yang
keluar untuk menghadiri shalat jum’at. Adapun
wanita tidak disyari’atkan seperti itu, akan tetapi setiap manusia apabila mendapatkan
suatu yang kotor di badannya, maka
harus dibersihkan. Sesungguhnya itu adalah urusan yang terpuji.
Adapun waktu mandi jum’at adalah antara terbitnya fajar atau
terbitnya matahari hingga masuk waktu shalat jum’at. Jika
mandi jum’at satu atau dua hari sebelum waktunya, maka mandi jum’atnya tidak
bermanfaat dan tidak dianggap.[5]
5.
Berangkat dengan segera.
Hendaknya berangkat
selang beberapa waktu sebelum masuk waktunya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
“Barang siapa yang mandi pada hari jum’at seperti halnya mandi
janabah, kemudian berangkat pada waktu yang pertama maka seakan-akan dia telah
berkurban dengan satu ekor unta, dan barang siapa yang berangkat pada waktu
yang kedua maka seakan-akan dia telah berkurban dengan seekor sapi, dan barang
siapa yang berangkat pada waktu yang ketiga maka seakan-akan dia telah
berkurban dengan seekor domba bertanduk, dan barang siapa yang berangkat pada
waktu yang keempat maka seakan-akan dia telah berkurban dengan seekor aya, dan
barang siapa yang berangkat pada waktu kelima maka seakan-akan dia telah
berkurban dengan sebutir telur, apabila imam telah keluar untuk berkhutbah para
malaikat pun ikut hadir mendengarkan dzikir.” ( HR. Imam Malik: 101, Al Bukhari: 2/3, dan At Tirmidzi: 499).[6]
E.
Hukum Shalat Jum’at Bagi Wanita
عن طارق بن شهاب أن رسول الله ﷺ قال : الجمعة حق واجب
على كل مسلم في جماعة إلا أربعة : عبد مملوك، أوامرأة، أو صبي، أو مريض.
Dari Thariq bin Syihab
r.a. Rasulullah S.A.W. bersabda: “shalat
jum’at wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah kecuali 4 : Budak yang
dimiliki, wanita, anak kecil, dan orang sakit. (HR. Abu Dawud ).[7]
Ibnu Mundzir berkata: “Para ulama’ yang kami hafal haditsnya
berijma’ bahwa shalat jum’at itu tidak wajib bagi perempuan. Karena
perempuan bukan orang yang harus hadir pada tempat-tempat perkumpulan laki-laki.[8]
Para ulama’ juga sepakat
bahwa menghadiri shalat jum’at yaitu
tidak wajib bagi wanita,[9]akan
tetapi jika menghadirinya maka ia mendapatkan pahala.[10]
Apabila
wanita tersebut shalat di rumah,
maka dia mengerjakan shalat dzuhur empat rakaat
ketika telah masuk waktunya dan tidak boleh mengerjakan shalat jum’at
seorang diri.[11] Hukum
shalat berjama'ah di masjid bagi
wanita dan laki-laki sendiri mubah akan
tetapi shalat di rumahnya lebih
baik.[12]
Ulama’
madzhab berbeda pendapat dalam permasalahan mana yang
lebih utama bagi seorang wanita pergi ke masjid
unuk mengerjakan shalat jum’at secara berjama’ah atau mengerjakan shalat dzuhur di rumah
seperti biasa ?
Pendapat ulama’ hanabilah: seorang wanita baik itu tua maupun muda
atau gadis boleh menghadiri shalat jum’at akan tetapi shalat di rumah
mereka lebih baik, seperti hadits Nabi
ﷺ :
وَبيوتهنّ
خيرلهن
Artinya :
Rumah mereka lebih baik baik bagi mereka.
Pendapat ulama’ syafi’i : Wanita tua maupun muda, apabila wanita itu
digemari maka hukumnya makruh menghadiri shalat jum’at dan sebagian ulama
madzhab syafi’i berpendapat bahwa wanita yang sudah tua boleh menghadiri shalat
jum’at.
Pendapat ulama’ hanafiyah : Tidak ada rukhshah bagi wanita baik itu tua
maupun muda untuk melaksanakan shalat jum’at di masjid, karena ketika para
wanita keluar rumah mereka menimbulkan fitnah.
Pendapat yang rajih dari beberapa pendapat di atas adalah boleh
bagi wanita menghadiri shalat jama’ah dengan syarat sudah diizinkan oleh suami
dan walinya, tidak ada fitnah dan hendaknya keluar tidak memakai wangi-wangian dan tidak
berhias. Rajihnya pendapat ini dinisbatkan pada shalat jum’at juga. Akan tetapi
keluarnya wanita untuk melaksanakan shalat jum’at dengan syarat yang sudah
disebutkan di atas lebih berhak diizinkan daripada keluar ke masjid untuk
melaksanakan shalat lima waktu, karena shalat jum’at hanya ada dalam satu
minggu sekali, dan dalam shalat jum’at tersebut ada khutbah yang bermanfaat
bagi wanita ketika mendengarkannya. [13]
F.
Hal yang Dilakukan Wanita di Masjid
Sebelum Khuthbah
1.
Mengerjakan shalat sunnah tahiyatul masjid. Jika seorang wanita
menghadiri shalat jum’at dan menyaksikan
khatib telah berkhutbah, maka dianjurkan baginya untuk melaksanakan shalat
tahiyatul masjid.
2.
Dilarang berkerumun bagi laki-laki maupun perempuan di dalam
masjid ketika menjelang shalat jum’at. Maksud berkerumun di sini yaitu
berkumpul membuat majlis dan melakukan percakapan sendiri.
3.
Tidak boleh mengerjakan shalat sunnah ketika muadzin selesai
mengumandangkan adzan dan setelah naik mimbar. Karena tidak ada shalat sunnah
sebelum shalat jum’at dan setelah adzan
shalat jum’at. Namun dianjurkan mengerjakan shalat tahiyatul masjid ketika
masuk masjid.[14]
G.
Hikmah Shalat Jum’at Bagi
Wanita
Hikmah menghadiri shalat jum’at bagi wanita ialah bahwa shalat
jum’at dilaksanakan dalam seminggu sekali maka bagi wanita jika menghadirinya, dia
dapat mendengarkan nasehat dari khatib shalat jum’at tersebut.
Di antara hikmah mengapa wanita tidak wajib jumatan
adalah agar wanita tidak turut berada di tempat berkumpulnya banyak laki-laki.
Sehingga menjadi sebab munculnya tindakan yang tidak diharapkan. Semacam ikhtilat atau campur baur antara lelaki dengan
wanita. (Badai’
As-Shanai’, 1:258).[15]
H.
Kesimpulan
Shalat
jama’ah di masjid bagi wanita hukumnya mubah dengat syarat telah diizinkan oleh suami dan walinya, tidak menimbulkan
fitnah, tidak memakai wangi-wangian, dan tidak berhias, akan tetapi baginya
lebih baik shalat di rumah. Syarat ini dinisbatkan juga kepada shalat
jum’at.
Jika wanita menghadiri
shalat jum’at, maka ia mendapatkan pahala. Apabila seorang wanita shalat di rumah, maka dia
mengerjakan shalat dzuhur empat rakaat
ketika telah masuk waktunya dan tidak boleh mengerjakan shalat jum’at
seorang diri. Begitu
pula sebaliknya, jika seorang wanita telah mengerjakan shalat jum’at bersama
imam, maka tidak usah baginya untuk shalat dzuhur lagi.
Adapun hikmah tidak diwajibkannya shalat
jum’at bagi wanita adalah agar wanita tidak berada ditempat berkumpulnya kaum
laki-laki yang menyebabkan tindakan yang tidak diharapkan seperti ikhtilat.
Daftar Pustaka
Adawi, al-, Musthafa, Jami’u
Ahkamin Nisa’, jilid 1,
cet. ke-1, Qahirah: Darul
‘Affan, 2008.
Abdullah
bin Jibrin dkk, Fatawa Mar’atus Shalihah, cet. ke-1,
Riyadh: Adhwa’us
Salaf, 1403
H.
Azizi, al-, Abu Abdurrahman
‘Adil
bin Yusuf,
Tamam al-Minnah, jilid 2, cet. ke-2,
Iskandariyah: Darul ‘Aqidah, 2009 M.
Jammal, al-, Abu Ubaidah
Usamah bin
Muhammad, Shahih Fiqih Wanita, cet
ke-1, Surakarta:
Insan Kamil, , 2010 M.
Jaza’iri, al-, Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim, terj. Andi Subarkah, cet. ke-1,
Solo: Insan
Kamil, 2008 M.
Salim, Abu Malik
Kamal
bin Sayyid,
Fiqhus Sunnah Lin Nisa’, Qahirah: Darut
Taufiqiyah litturots, 2009 M.
Salim, Abu Malik
Kamal bin Sayyid, Fiqh Sunnah
Untuk Wanita, cet. ke-1, Jakarta: Al-I’tisham
Cahaya Umat, 1422
H.
Syafi’i, as-, Taqiyuddin Abi Bakr
bin Muhammad
al-Husaini
ad-Dimasqi,
Kifayatul Akhyar, cet. ke-1, Jakarta: Dar
Al-Kutub
Al-Islamiyah,
2004 M.
Utsaimin, al-, Muhammad bin Shalih, dkk, Fatawa
Mar’atus Shalihah, cet. ke-1, Qahirah: Dar
Ibnu Al-Haitsam,
2002 M.
Zaidan, Abdul
Karim,
Al-Mufashal Fii Ahkamil
Mar’ah wa Baitil Muslim,
jilid 1,
cet. ke-3, Beirut: Muassasatur
Risalah, 2000 M.
Hukum-shalat-jumat-bagi-wanita
dalam https://konsultasisyariah.com. diakses tanggal 7 desember 2015.
[2] Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad
al-Husaini
ad-Dimasqi
as-Syafi’i,
Kifayatul Akhyar, cet. ke-1,
(Jakarta : Dar al-Kutub
al-Islamiyah,
1424 H/2004 M), hal.145.
[3] Abu Malik
Kamal
bin Sayyid
Salim,
Fiqh as-Sunnah Li an-Nisa’, ( Qahirah:
Dar at-Taufiqiyah
li at-Turats,
2009 M), hal. 193.
[4]Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashal Fii Ahkamil
Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid
1,
cet. ke-3,
(Beirut : Muassasah ar-Risalah, 1420
H/2000 M), hal. 270.
[5] Abdullah
bin Jibrin dkk, Fatawa Mar’atus Shalihah, cet. ke-1,
(Riyadh : Adhwa’ as- Salaf, 1403
H), hal. 430.
[6] Abu
Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslim, terj. Andi Subarkah cet. ke-1,
(Solo : Insan kamil, 2008 M), hal. 423
[7] Abu Abdurrahman
‘Adil
bin Yusuf
al-Azizi, Tamam al-Minnah, jilid 2, cet. ke-2,
(Iskandariyah : Dar al-‘Aqidah, 2009
M), hal.8.
[8] Abu
Ubaidah Usamah bin Muhammad al-Jammal,
Shahih Fiqih Wanita, cet. ke-I,
(Surakarta : Insan Kamil, 1431 H/2010 M), hal. 97.
[9] Musthafa al-‘Adawi, Jami’u
Ahkamun Nisa’, jilid 1, cet. ke-1, (Qahirah :
Dar al-‘Affan, 1429 H/2008 M), hal. 314.
[10] Abu Malik
Kamal
bin Sayyid
Salim,
Fiqh As-Sunnah Li an-Nisa’, ( Qahirah: Dar at-Taufiqiyah
li at-turats,
2009 M), hal. 187.
[11] Muhammad
bin Shalih
al-Utsaimin
dkk, Fatawa Mar’atus Shalihah, cet. ke-1, (Qahirah :
Dar Ibnu al-Haitsam, 1423 H/2002 M), hal. 112.
[13] Abdul
Karim
Zaidan, Al mufashal Fii Ahkamil
Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid
1,
cet ke-3,
(Beirut : Muassasah ar-Risalah, 1420 H/2000 M), hal. 268-269.
[14]Abu Malik Kamal bin Sayyid
Salim,
Fiqh Sunnah Untuk Wanita, cet ke- 1, (Jakarta :
Al-I’tisham
Cahaya Umat,
1422 H), hal. 259.
[15] Makalah hukum-shalat-jumat-bagi-wanita.html dalam https://konsultasisyariah.com. diakses tanggal 7 desember 2015
By : Nurul Fajariyah
terimakasih ini sangat bermanfaat bagi saya yang masih awam
BalasHapus