Al-Qur’an merupakan landasan utama
bagi umat Islam yang ingin selamat dalam perjalanan menuju Rabb-nya. Allah
menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa yang lugas dan ringkas, agar para hamba-Nya bisa
menafakkuri keajaiban-keajaiban yang terkandung di setiap ayatnya. Oleh
karenanya, ilmu akan tafsir Al-Qur’an tak akan pernah kering untuk dikaji
selama manusia hidup di muka bumi ini.
Maka, sepeninggal Rasulullah dan para sahabat, para tabi’in kemudian
tampil untuk melestarikan kajian tentang tafsir Al-Qur’an. Setelah para
tabi’in, kajian akan tafsir terus berlanjut hingga kemudian berhasil dibukukan
pada akhir abad pertama hijriyah.
A.
Tafsir pada masa Tabi’in
Tafsir pada masa ini tidak berbeda jauh dengan tafsir pada masa
sahabat. Sebagaimana para sahabat, tabi’in juga merupakan orang-orang yang
sangat berhati-hati dalam menafsirkan Al-Qur’an. As-Sya’bi
berkata, “Demi Allah, tidak ada satu ayatpun dari Al-Qur’an kecuali aku
telah menanyakan (tafsir)nya. Dan itu semua adalah riwayat dari Allah.”
Sedangkan Sa’id bin Al-Musayyib, jika ditanya tentang tafsir dari Al-Qur’an
maka beliau diam, seakan-akan tidak mendengar.
Manhaj tabi’in dalam tafsir
Para tabi’in mengikuti para sahabat dalam mengambil landasan
rujukan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Seiring dengan semakin luasnya wilayah
Islam dan semakin dalamnya kebutuhan manusia akan tafsir, maka para tabi’in pun
merumuskan landasan-landasan baru dalam menafsirkan suatu ayat.
Adapun landasan- landasan yang dijadikan rujukan oleh tabi’in dalam
menafsirkan suatu ayat, yaitu :
a.
Al-Qur’an
b.
Sunnah
c.
Perkataan
para sahabat
Para
tabi’in mengambil tafsir dari kalangan sahabat dan mengutamakan perkataan para sahabat daripada pendapat dari kalangan
mereka sendiri. Hal itu dikarenakan tabi’in adalah golongan yang menimba ilmu
langsung dari para sahabat, serta menyetorkan hafalan Al-Qur’an kepada mereka.
Mujahid berkata, “Aku menyetorkan mushaf
dari Al-Fatihah sampai An-Nas kepada Ibnu Abbas sebanyak tiga kali. Disetiap
ayat aku berhenti untuk menanyakan makna dari ayat tersebut.”
d.
Pemahaman
dan Ijtihad
Jika
para tabi’in tidak menemukan tafsir suatu ayat dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan
perkataan para sahabat, maka mereka berijtihad mengenai hal tersebut. Para
tabi’in adalah mujtahid yang ahli. Mereka mengetahui seluk beluk bahasa
Al-Qur’an, dan mendengar langsung penuturan tafsir dari para sahabat.
e.
Perkataan
Ahlu Kitab Yahudi dan Nashrani (yang telah masuk Islam)
Banyak
ayat-ayat Al-Qur’an berkisah tentang nabi-nabi dan umat-umat terdahulu, namun
hal tersebut hanya dikisahkan secara
global oleh Al-Qur’an, sedangkan jiwa manusia cenderung menyukai kisah.
Seiring
dengan meluasnya wilayah Islam, makin banyak pula orang-orang yang memeluk
agama Islam. Diantara mereka adalah para Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan
Nashrani yang mengetahui detail kisah-kisah dari kitab-kitab mereka, yakni Taurat dan Injil. Akhirnya, banyak dari umat
Islam yang merujuk kepada mereka demi mendengarkan detail dari kisah-kisah yang
telah disebutkan oleh Al-Qur’an. Maka, masuklah beberapa kisah-kisah tersebut
dalam tafsir yang dikenal dengan Israiliyyat.
Adapun
Ahlu Kitab yang banyak meriwayatkan kisah-kisah tersebut adalah ; Abdullah bin
Salam, Ka’b Al-Ahbar, Wahb bin Munabbih, dan Abdul Malik bin Juraih.
Ciri khas tafsir pada masa tabi’in
a.
Masuknya
tafsir Israiliyyat, yakni tafsir yang diriwayatkan oleh Ahlu Kitab, baik dari
kalangan Yahudi maupun Nashrani
b.
Adanya
penambahan dalam tafsir yang dilakukan oleh para tabi’in yang tidak dibahas
oleh para sahabat terdahulu
Hal
ini disebabkan karena para sahabat dahulu hanya menafsirkan ayat yang
dibutuhkan dan yang sulit dipahami oleh orang-orang di masa mereka.
c.
Penjagaan
tafsir dengan talaqqi dan riwayat.
Ahlu
Makkah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ahlu Madinah mengambil riwayat dari Ubay
bin Ka’b, Ahlu Iraq bertalaqqi pada Ibnu Mas’ud, dan Ahlu Mesir merujuk pada
imam-imam mereka.
d.
Banyaknya
perbedaan pendapat di kalangan para tabi’in dalam menafsirkan ayat
e.
Mulai
muncul perbedaan antar madzhab, sehingga banyak ayat yang ditafsirkan menurut corak
madzhab masing-masing
f.
Adanya
penisbatan setiap perkataan (tafsir) kepada sumbernya, sehingga bisa diketahui
dan dibedakan antara perkataan yang shohih dan dhoif
Mufassir tabi’in yang masyhur
a.
Mujahid
bin Jabir
Beliau adalah
murid Ibnu Abbas yang paling tsiqqoh. Tafsirnya digunakan oleh Imam Syafi’I
sebagai rujukan. Mujahid pernah menyetorkan Al-Qur’an kepada Ibnu Abbas
sebanyak tiga kali dan mendengarkan tafsir setiap ayatnya dari beliau.
b.
Sa’id
bin Jubair
Beliau adalah
pemuka dan imam para tabi’in. Beliau berasal dari Habasyah. Beliau berguru
kepada Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas serta mengambir tafsir dari mereka. Beliau
sangat berhati-hati dan menahan diri dari mengemukakan pendapatnya sendiri. Hal
ini mendorong sebagian ulama’ untuk cenderung mengambil tafsir dari beliau
dibanding tafsir dari Mujahid dan yang lainnya.
c.
‘Atha’
bin Abi Robah
Beliau adalah
pemuka tabi’in, seorang yang tsiqqoh, faqih, dan alim. Beliau pernah bertemu
dengan sekitar dua ratus sahabat Rasulullah. Di Makkah, puncak fatwa kembali
kepadanya. Beliau hidup hampir seratus tahun.
d.
Ikrimah
Beliau termasuk
tabi’in pilihan dan pembesar mufassirin. Beliau meiwayatkan dari Ibnu Abbas,
Ali, Abu Hurairah, dan sahabat yang lain. Imam Bukhori berkata, “Tidak
seorangpun rekan kami yang tidak berhujjah dengan Ikrimah.”
e.
Hasan
Al-Bashri
Beliau lahir
setelah kekhalifahan Umar bin Khatthab. Beliau adalah tuan para tabi’in. Seorang yang tsiqqoh ma’mun, ilmuwan yang agung,
fasih, tampan, dan bersih hatinya. Beliau meriwayatkan dari Ibnu Umar, Ali, dan
sejumlah sahabat dan tabi’in.
Termasuk juga Zaid bin Aslam, Qotadah bin Di’amah, Muhammad bin
Ka’b Al-Qurodzi, Abul Aliyah Ar-Riyahi, Amir As-Sya’bi, dan para tabi’in lainnya.
Hukum Tafsir Tabi’in
Para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum tafsir tabi’in, jika
tidak ditemukan tafsir dari Rasulullah dan perkataan para sahabat.
Beberapa ulama’ seperti Ibnu ‘Uqail, riwayat Imam Ahmad, dan
Syu’bah berpendapat bahwa tidak wajib bagi seorang muslim mengambil tafsir dari
para tabi’in. Hal ini dikarenakan :
§ Mereka tidak mendengar langsung dari Rasulullah sebagaimana para
sahabat
§ Mereka tidak melihat secara langsug
keadaan dan kejadian ketika Al-Qur’an diturunkan, sehingga bisa jadi
mereka salah dalam menafsirkan suatu ayat dan menjadikan yang bukan dalil
sebagai dalil
§ Tidak ada nash yang menyebutkan tentang keadilan para tabi’in
Abu Hanifah
berkata, “Sesungguhnya Rasulullah adalah landasan utamaku, dan aku tidak pernah
meninggalkan segala sesuatu yang datang dari sahabat, sedangkan apa yang datang
dari tabi’in adalah ijtihad mereka, dan kami adalah orang-orang yang
berijtihad.”
Adapun sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa boleh bagi seorang
muslim mengambil tafsir yang diriwayatkan oleh para tabi’in. Hal ini
dikarenakan para tabi’in adalah orang-orang yang bertalaqqi kepada para
sahabat, menghadiri majelis mereka, menimba ilmu langsung dari mereka, dan
mendengarkan dari para sahabat apa yang tidak didengar oleh umat lain.
Qotadah berkata, “Tidak ada satu ayatpun
dari Al-Qur’an kecuali aku telah mendengar sesuatu (tafsir) tentangnya.” Adapun
Sya’bi menuturkan, “Demi Allah, tidak ada satu ayatpun kecuali aku telah
menanyakan perihal ayat tersebut.”
Pendapat yang paling rojih
adalah, seperti yang telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah, beliau berkata :
“Jika mereka (para tabi’in) bersepakat atas tafsir dari suatu ayat,
maka (kita) wajib mengambil tafsir tersebut dan tidak ragu untuk menjadikannya sebagai
hujjah . Adapun jika para tabi’in
berbeda pendapat tentang tafsir dari
suatu ayat, maka jangan menjadikan pendapat dari seorang tabi’in sebagai hujjah atas pendapat dari
tabi’in yang lain ataupun orang setelah mereka. Namun hendaknya mereka merujuk
kembali kepada bahasa Al-Qur’an, Sunnah, atau umumnya bahasa arab, atau
perkataan para sahabat tentang hal tersebut.”
Adapun jika seorang tabi’in mentafsirkan
suatu ayat, sedang para tabi’in lain tidak menyelisihinya, maka hendaknya
(kita) mengambil tafsir tersebut dan mengutamakannya karena keutamaan dan
keistimewaan mereka di bidang ilmu dibanding orang-orang setelah mereka.
B.
Tafsir pada masa pembukuan
Sesungguhnya tafsir pada tiga masa sebelumnya (masa Rasul, sahabat,
dan tabi’in) diajarkan dengan periwayatan dan talqin (dibacakan oleh guru
kepada murid). Kalaupun ada pembukuan pada masa itu, maka itu hanya sedikit
saja.
Adapun masa pembukuan tafsir dimulai pada akhir abad pertama dan
awal abad kedua hijriyah, bersamaan dengan disusunnya kitab hadits berdasarkan
bab-babnya. Dalam tahap ini, metode pembukuan tafsir melalui beberapa tahapan :
Periode awal
Pada periode ini, tafsir merupakan satu bab diantara sekian bab-bab
dalam kitab hadits. Saat itu, belum ada kitab khusus yang berisi tentang tafsir Al-Qur’an, baik surat demi surat
maupun ayat demi ayat.
Para ulama’ hadits yang menyusun tafsir dan memasukkannya sebagai
salah satu bab dari kitab hadits mereka adalah :
-
Yazid
bin Harun As-Silmiy, wafat pada tahun 117 H
-
Syu’bah
bin Hajjaj, wafat pada tahun 160 H
-
Waki’
bin Jaroh, wafat pada tahun 197 H
dan beberapa
ulama’ lainnya.
v Karakteristik tafsir pada periode ini, diantaranya :
a.
Memiliki
perhatian khusus terhadap sanad (jalur periwayatan)
b.
Masih
menjadi bagian dari kitab hadits
c.
Tidak
terbatas pada tafsir dari Rasulullah, namun juga mengambil tafsir dari para
sahabat dan tabi’in
Periode kedua
Pada masa ini,
tafsir telah menjadi ilmu tersendiri dan dibukukan secara terpisah. Tafsir
telah disusun berdasar urutan mushaf (Al-Fatihah hingga An-Nas).
Ibnu Taimiyah dan
Ibnu Khillikan menyebutkan bahwa orang yang pertama kali membukukan tafsir
secara terpisah adalah Abdul Malik bin Juraih (80-140H). Adapun ulama’ yang
menyusun kitab tafsir pada masa ini, diantaranya :
-
Ibnu
Majah (wafat pada tahun 273 H)
-
Ibnu
Jarir Ath-Thobari (wafat pada tahun 310 H)
-
Ibnu
Hibban (wafat pada tahun 369 H)
-
Al-Hakim
(wafat pada tahun 405 H)
dan beberapa
ulama’ lainnya.
v Diantara karakteristik tafsir pada masa ini, diantaranya :
a.
Tafsir
yang disusun adalah tafsir bil ma’tsur (tafsir yang bersumber dari Rasulullah,
sahabat, dan tabi’in)
b.
Riwayat
sanadnya bersambung terus kepada orang yang mengatakannya
c.
Belum
ada perhatian khusus tentang keshahihan periwayatan suatu hadits. Walaupun ada
sebagian mufassir yang menyebutkan sanad dari suatu hadits yang dinukil,
seperti Ibnu Juraij.
d.
Banyak
tercampuri dengan kisah-kisah Israiliyyat
Periode ketiga
Masa ini adalah masa-masa rawan bagi sejarah tafsir. Banyak dari
mufassirin yang meringkas sanad dan mengambil tafsir tanpa menyebutkan
sumbernya. Maka tercampurlah antara riwayat yang shohih dan yang saqim, yang
kuat dan yang lemah. Peluang inilah yang kemudian digunakan oleh musuh-musuh
Islam untuk menggerogoti Islam, dengan memasukkan dalam tafsir hal-hal yang
tidak semestinya. Namun, Allah menjamin kemuliaan Islam dengan menghadirkan
ulama’-ulama’ yang menyingkap kepalsuan-kepalsuan tersebut dan membedakan
antara yang shohih dan yang saqim.
Pada masa ini
muncul penafsiran-penafsiran yang hanya didasari dengan pendapat, yang dikenal
dengan ra’yu mahmud dan ra’yu madzmum. Orang-orang mulai berani
menafsirkan Al-Qur’an tanpa didasari ilmu dan berlomba-lomba menafsirkan suatu
ayat dengan banyak penafsiran yang tidak jelas sumbernya.
Pada masa ini,
semakin banyak kisah-kisah dari riwayat Israiliyyat yang menyebar luas yang
terkadang hal tersebut bukanlah hal yang penting untuk diketahui.
Periode keempat
Seiring dengan
berkembangnya zaman, semakin mudah orang-orang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Bercampurlah antara yang baik dan yang keji, yang shohih dan yang saqim, yang
kuat dan yang lemah. Pada masa ini, tafsir tidak hanya berlandas pada
Rasulullah, sahabat, dan tabi’in, namun telah bercampur dengan tafsir-tafsir
ra’yi. Hal ini merupakan akibat dari munculnya banyak golongan dan madzhab dalam Islam.
Pada masa ini
terjadi spesialisasi dalam pembukuan tafsir. Para fuqoha’ menyusun tafsir ayat-ayat yang berkaitan
dengan fiqh, seperti Al-Qurthubi dan Al-Jishosh. Para muarrikh menafsirkan
ayat-ayat yang mengandung sejarah, seperti Ats-Tsa’labiy. Ahlu nahwu membahas
seputar I’rob Al-Qur’an, seperti Al-Wahidiy
dan Abu Hayyan, dan bidang-bidang keilmuan lainnya.
Kitab-kitab tafsir pada masa
pembukuan
Tidak mudah menyebutkan kitab-kitab tafsir yang terbentang sejak
abad pertama hijriyah hingga saat ini, apalagi menjelaskannya. Berikut ini
adalah beberapa kitab tafsir yang
masyhur.
1.
Kitab
tafsir bil ma’tsur :
a.
Jami’ul
Bayan fi Tafsiril Qur’an Ath-Thobari
b.
Bahrul
Ulum Abu
Laits As-Samarkandi
c.
Ma’alimut
Tanzil Al-Baghowiy
d.
Tafsir
Al-Qur’anul ‘Azhim Ibnu
Katsir
e.
Fathul
Qodir Asy-Syaukani
2.
Kitab
tafsir bi ra’yi :
a.
Al
Kasysyaf Az-Zamakhsyari
b.
Mafatihul
Ghoib Ar-Roziy
c.
Al-Bahrul
Muhith Abu
Hayyan
d.
Tafsirul
Jalalain As-Suyuthi
e.
Fie
Zhilalil Qur’an Sayyid
Quthb
Demikian sedikit uraian tentang perkembangan ilmu tafsir. Semoga
bisa menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Diambil dari Buhuts
fie Ushulut Tafsir wa Manahijuhu. Dr. Fahros Abdurrahman bin Sulaiman
Ar-Rumiy
Writted by : Hajar
Bermanfaat 😊
BalasHapusSemoga berkah~
BalasHapus