Sebelum membahas
mengenai sebab kita harus bermadzhab, maka kami akan memaparkan tentang
perbedaan pendapat para ulama mengenai boleh dan tidaknya kita
bermadzhab dengan madzhab tertentu. Ada ulama
yang mewajibkan, membolehkan dan ada pula yang melarang dalam bermadzhab
.
.
Bagi ulama
yang mewajibkan dalam bermadzhab, mereka berhujjah bahwa apabila diperbolehkan
mengikuti madzhab apa saja, maka mereka akan mengambil pendapat yang paling
ringan sesuai dengan hawa nafsunya. Dan ini yang menyebabkan hilangnya taklif
atas dirinya dan memperluas dalam masalah agama. Dan tidak ditemukan dalil atas
wajibnya bermadzhab kecuali dalil ini. Namun, dalil ini dlo’if. Adapun dalil
yang lain hanya membolehkan saja dan inilah yang paling utama.
Bagi ulama
yang membolehkan bermadzhab adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu
Taimiyah, “Tidak wajib bagi salah seorang dari kaum muslimin mengikuti
seseorang dalam semua perkataannya atau bermadzhab dengan satu madzhab tertentu
karena lemahnya ia dalam mengetahui hukum syar’i selain dari madzhab tersebut
yang mana hal ini diperbolehkan baginya dan tidak wajib bagi tiap seseorang”.
Bagi ulama
yang melarang bermadzhab dengan madzhab tertentu, dikarenakan beberapa hal:
1.
Ayat Al-Qur’an
yang mengatakan, “Bertanyalah kepada ahlu dzikr jika kalian tidak
mengetahui”. Ini menunjukkan bahwa tidak ada batasan dalam menanyakan suatu
persoalan hukum kepada para ahlul ‘lmiy.
2.
Bagi seseorang
yang bermadzhab dengan madzhab tertentu berarti dia telah menyamakan antara
nabi yang ma’shum dengan seorang fakih yang tidak ma’shum dalam suatu perkara.
3.
Bahwa perbuatan
para sahabat dan salafush sholeh pada masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in
dalam mengambil pendapat meluas, maka ditetapkan pula bahwa mengikuti pendapat
seseorang dalam suatu persoalan tidak terbatas pada madzhab tertentu.
Ketahuilah,
bahwasanya sikap kita kepada imam madzhab itu seperti sikap kaum muslimin yang
bersikap pertengahan terhadap mereka. Yaitu berwala’ kepada mereka, mencintai
mereka, memuliakannya dan memujinya karena mereka adalah ahlul ‘ilmi wa
taqwa. Dalam beramal kita mendahulukan Al-Qur’an dan Sunnah atas pendapat
mereka. Kita mengambil perkataan mereka untuk membantu kita dalam memahami
suatu kebenaran dan meninggalkan perkataan mereka yang menyelisihi Al-Qur’an
dan Sunnah. Adapun persoalan yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah maka kita mengambil ijtihad mereka karena terkadang mengambil
pendapat mereka lebih dibenarkan daripada mengambil pendapat kita sendiri.
Karena mereka adalah orang yang paling berilmu dan paling bertaqwa. Akan
tetapi, kita juga harus mengetahui perkataan mereka yang paling mendekati
kepada Al-Qur’an dan As-sunah dan jauh dari keragu-raguan. Sebagaimana sabda Rasulullah:
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك,
dan sabda rasul juga : فمن اتقى
الشبهات استبرأ لدينه و عرضه,
Sesungguhnya
anggapan perkataaan imam madzhab itu benar adalah pilihan kaum muslimin.
Ketahuilah bahwa mereka tidak terbebas dari kesalahan. Apabila ijtihad mereka
benar maka baginya pahala ijtihad dan pahala kebenaran perkataannya tersebut. Dan
apabila mereka salah dalam berijtihad maka baginya pahala ijtihad saja. Mereka
akan tetap mendapatkan pahala dalam setiap keadaan. Dan tidak ditemukan dalam
dirinya suatu kekurangan apapun. Akan tetapi Al;-Qur’an dan As-sunnah adalah
dua hal yang sangat sempurna diatas ijtihad mereka. (أضواء البيان ج
7 ص 555-556(
Tidak ada
kebenaran yang murni kecuali yang bersumber dari Rasulullah. Jadi, mengikuti
salah satu madzhab dari empat madzhab dalam semua persoalan yang ada tidak
wajib dan juga tidak disunnahkan. Bahkan orang yang berpegang pada satu madzhab
saja, maka ia adalah orang yang taklid atau fanatik. Maka tidak ada kewajiban
untuk mengkuti madzhab-madzhab tersebut. Yang wajib adalah mengikuti jalan Nabi
SAW dan petunjuk beliau. Karena dasar agama Islam adalah mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasulullah.
Oleh
karenanya, para imam madzhab melarang dan mencela orang yang mengambil pendapat
mereka tanpa mengetahui dalilnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
mengikuti madzhab tertentu dalam beberapa permasalahan itu diperbolehkan dan
yang dilarang adalah mengikuti satu madzhab dalam semua permasalahan, tanpa
peduli benar dan salahnya. Karena yang dijadikan pedoman adalah Kitabullah dan
Sunah Rasulullah bukan salah satu madzhab tertentu.
Sebab kita harus bermadzhab
Kita harus bermadzhab karena dengan kita bermadzhab akan memudahkan kita
dalam mendekatkan diri kepada Allah dan bermu’amalah dengan manusia. Selain itu
bermadzhab merupakan sarana untuk mempelajari syari’at Islam yang disimpulkan
dari dalil Al-Qur’an dan Sunnah secara terstruktur dan sistematis.
Oleh karena itu, manakala suatu
pendapat madzhab jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka kita
wajib meninggalkannya. Karena kita hanya diperintahkan untuk mengikuti Allah
dan Rasul-Nya bukan mengikuti madzhab siapa pun. Jadi, kita diharuskan untuk
mengikuti madzhab yang pendapatnya lebih mendekati kepada kebenaran bukan
taklid terhadap satu madzhab saja dan tidak mau mengambil pendapat yang lain. Karena setiap madzhab memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga kita
mengambil pendapat mereka yang lebih mendekati kebenaran. Wallahu a’lam
Mengapa harus empat madzhab?
Fikih terbagi
dalam dua aliran pendekatan: pertama, ahl ro’yi wal qiyas atau pakar
dalam penggunaan pemikiran dan analogi. Mereka didukung oleh masyarakat Iraq. Pendukung
utama kelompok ini dan berhasil membentuk madzhabnya adalah Imam Abu Hanifah.
Kedua, ahl hadits atau pakar hadits. Mereka didukung oleh masyarakat Hijaz.
Imam masyarakat Hijaz adalah Imam Malik dan Syafi’i yang datang setelahnya.
Lalu beberapa
ulama mengingkari adanya qiyas dan menghentikan penggunaannya. Mereka ini
disebut dzohiriy yang memfokuskan istinbathul ahkam dari nash dan
ijma’ saja. Tokoh utama madzhab ini adalah Dawud bin Ali dan puteranya.
Ketiga madzhab
ini yang populer dan berkembang di masyarakat. Kemudian syi’ah membentuk
madzhab sendiri dan fikih khusus bagi mereka. Hal yang sama dilakukan oleh kaum
Khowarij. Namun, masyarakat tak dapat menerima madzhab ini bahkan
mengampanyekan untuk tidak menerima dan mencelanya. Karenanya kita tidak
mengenal sesuatupun tentang madzhab ini dan tidak pula buku-buku yang mereka
tulis serta peninggalannya kecuali di tempat asal mereka.
Kemudian madzhab
Dzohiriy ini banyak dipelajari dari para ulama mereka. Namun, sebagian besar
masyarakat tidak menerimanya sehingga tidak ada yang tersisa dari madzhab ini kecuali
beberapa buku yang dijilid rapi. Dan pendukung utama madzhab ini adalah Ibnu
Hazm di Andalusia. Pada akhirnya ia berbeda pendapat dengan pemimpinnya Dawud dan
menentang pendapat mayoritas. Masyarakat pun semakin menaruh ketidaksukaan
kepadanya. Karenanya yang tetap bertahan hingga sekarang adalah ahlu ro’yi
di Irak dan ahlu hadits di Hijaz.
Adapun ahlu
hadits yang berada di Hijaz, maka pendukung utamanya adalah Imam Malik bin
Anas. Setelah Imam Malik bin Anas, terdapat Imam Syafi’i. Ia mengembara ke Irak
setelah Imam Malik dan bertemu dengan para sahabat Imam Abu Hanifah dan banyak
belajar dari mereka. Imam Syafi’i menyatukan antara metode masyarakat Hijaz dengan
metode masyarakat Irak. Lalu ia mendirikan madzhab sendiri yang berbeda dengan
madzhab Imam Malik dalam berbagai persoalan fikih.
Generasi
setelahnya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Ia merupakan pakar utama dalam bidang
hadits. Para sahabatnya banyak belajar dari para sahabat Imam Abu Hanifah,
meski mereka mempunyai banyak riwayat hadits. Mereka lalu membentuk madzhab
baru.
Masyarakat di
berbagai wilayah dan negri Islam bertaklid kepada empat madzhab ini. Mereka
yang bertaklid mengajarkannya kepada yang lain. Para pakar hukum fikih menutup
pintu ijtihad dan jalannya ketika muncul berbagai istilah dalam ilmu
pengetahuan karena dianggap menghambat pencapaian ijtihad yang benar. Selain
itu, hal ini dikhawatirkan akan mendatangkan penyelewengan dalam berijtihad karena
dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai kapabilitas untuk berijtihad dan
tidak dapat dipercaya, baik dari segi agama maupun pendapatnya. Karenanya para
ulama mengemukakan bahwa ijtihad tidak mungkin dilakukan dan menghimbau kepada
masyarakat untuk bertaklid kepada masing-masing madzhab atau yang bertaklid
kepadanya.
Pada saat yang
sama, para ulama juga memperingatkan agar tidak bermain-main dengan taklid
sehingga tak ada yang mengkhawatirkan kecuali pindah madzhab. Setiap orang yang
bertaklid pada madzhab orang lain setelah terjadi koreksi terhadap
kaidah-kaidah utama dan menyambungkan sanadnya dengan riwayatnya pada saat ini,
maka tidak dapat menghasilkan hukum selain yang sudah ada. Adapun mereka yang
mengaku mujtahid pada masa sekarang tidak dapat diterima ijtihadnya dan
mengikutinya pun tidak sah. Karenanya masyarakat Islam sekarang hanya boleh
bertaklid kepada empat madzhab ini. ( Mukaddimah Ibnu Kholdun hlm 823)
0 komentar:
Posting Komentar