Pada hakikatnya kita dianjurkan untuk bermadzhab, mengapa? Sebab denganya dapat mengurangi dan memperkecil kemungkinan salah
dan keliru dalam memahami syariah serta menyimpulan sebuah hukum dari teks-teks
syariah. Karena semakin banyak orang yang terlibat di dalamnya, semakin banyak
sesuatu yang bisa dikoreksi. Dan itu terus berulang di setiap generasinya.
Apa yang sudah ada di masa ulama sebelumnya, deteliti
oleh ulama sesudahnya, disempurnakan, dijelaskan apa yang masih rancu dan
ditambahka apa yang mungkin harus ditambahkan. Semakin banyak orang yang
bekerja untuk menyempurnakan itu, semakin sedikit kesalahan yang akan timbul.
Layaknya sebuah penemuan teknologi, yang dari tahun
ketahun selalu diteliti dan diupgrade ke penemuan yang lebih muthakhir dan yang
terpenting ialah mempermudah pengguna serta memberikan kenamanan, dan penting
lagi yaitu memperkecil kemungkinan bahaya yang muncul yang bisa saja melukai
pengguna.
Begitulah, Imam Syafi’i juga memiliki sebuah madzab
yang beliau bangun yang dikemudian hari dikenal dengan madzhab Syafi’i.
Sebagai warga masyarakat Indonesia yang notabenenya bermadzhab syafi’i ,
maka tidak ada salahnya kita menetahui alasan mengapa kita bermadzhab syafi’i.
1.
Madzhab Syafi’I merupakan peletak
pondasi pertama ushul fiqih dalam dunia perfiqihan yang beliau tuangkan dalam
kitabnya Ar Risalah. Imam Syafi’i lah yang menyatukan antara ahlu ro’yi dan
ahlu hadits.
Imam Syafi’i merupakan pembaharu umat, beliaulah
yang menyatukan perdebatan antara ahlu hadits dan ahlu ra’yu
dengan temuan beliau yaitu Ar-Risalah.
Beliaulah yang menyatukan antara ra’yu dengan hadits. Beliau menyebarkan
sendiri madzabnya dengan banyak melakukan rihlah ilmiyah.
Imam Syafi’i merupakan peletak pondasi pertama
ushul fiqih dalam bentuk risalah atau buku. Walau jika ditinjau dari segi
history perkembanganya menunjukan bahwa ushul telah ada dan digunakan sebelum
masanya, yakni pada sejak masa rasululloh SAW., baik berupa Al-Qur’an, sunnah,
ijma’ maupun qiyas.
Dari kitab Ar-Risalah tersebut, imam asy-Syafi’i
meletakkan pondasi ushulnya yang kemudian para ulama madzhab mengambil apa saja
yang mereka kehendaki serta menambahkan beberapa bagian lagi. Ushul yang
disepakati oleh ulama Madzhab arbaah diantaranya adalah: Al-Qur’an, sunnah,
ijma’ dan qiyas. Adapn tambahan yang ada diantaranya ialah Imam Malik
menambahkan Qaul Shahaby, amal ahli madinah dan Sadd dzari’ah sebagai ushul
madzhabnya, kemudian ulama hanafiyyah menambahakan istihsan dan istishab
sebagai landasanya begitu pula al-urf.
2.
Madzhab Syafi’i merupakan madzhab yang kitab- kitabnya banyak tersebar di
berbagai penjuru. Hal ini disebabkan karena kesungguhan ulama-ulama Syafi’iyyah dalam menyampaikan madzhab ini. Hal ini
disebabkan para ulama madzhab Syafi’I menulis kitab fiqih mereka terus ada
kesinambungan dengan kitab karya ulama sebelum mereka.
3.
Madzhab Syafi’I juga merupakan
madzhab yang menggunakan metodelogi yang sistematis baik dalam penulisan
kitab-kitabnya maupun dalam istinbath al ahkam. Madzhab Syafi’i juga di kenal
dengan ketelitiannya dalam beristinbath, sehingga kita sendiri dapat melihat
ketelitian beliau dalam berbagai hukum-hukum yang ada pada madzhab Syafi’i
terutama mengenai thaharah.
4.
Madzhab
Syafi’i merupakan madzhab terbesar kedua di Asia setelah madzhab Hanafi. Ada
sekitar 28 % penganut madzhab ini di berbagai dunia islam.
Mazhab Syafi’i adalah mazhab kedua dengan penganut
terbanyak di dunia setelah mazhab hanafi. Mazhab ini memiliki penganut di
seluruh komunitas islam di dunia. Namun ada beberapa wilayah tertentu yang
memiliki kuantitas dengan jumlah yang cukup banyak bahkan bisa dibilang menjadi
mayoritas di sebuah wilayah. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh faktor tertentu
seperti politik dan kekuasaan, kekuatan lembaga pendidikan dan pencetak kader
Ulama, kesesuaian pendapat mazhab dengan kondisi sosial, dan faktor-faktor
lainnya.
Zaman keemasan Islam dahulu, mazhab Syafi’i memiliki penganut mayoritas di
Mesir, Iraq dan Khurasan. Seperti yang kita ketahui Mesir dan Iraq adalah
tempat dimana Imam Syafi’i rahimahullah mengajar murid-muridnya dan menyebarkan
mazhabnya. Adapun Khurasan adalah tempat asal kebanyakan muridnya. Dari tiga
negeri inilah mazhab Syafi’i kemudian menyebar ke berbagai pelosok negeri.
Negara-negara Asia Tenggara
Seluruh negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand,
Brunei, Philipina, Kamboja dan lain-lain adalah penganut mazhab Syafi’i yang
ta’at. Ibnu Batutah (w.779 H) dalam kitab Tuhfah An-Nazhar mengatakan: “Sultan
Malik Azh-Zhahir seorang sultan yang mulia adalah penganut mazhab Syafi’i,
pecinta para ulama yang selalu hadir di majelis qira’ah dan mudzakarah, Ia
banyak sekali berjihad dan berperang serta selalu datang shalat jum’at dengan
berjalan kaki. Penduduk negerinya adalah penganut mazhab Syafi’i yang ta’at dan
selalu berjihad melawan para penjajah yang kafir”.
Mayoritas mazhab Syafi’i masuk ke Asia Tenggara lewat jalur para pedagang
dan imigran dari negeri Hadramaut, Yaman. Sampai saat ini, negara-negara Asia
Tenggara masih dikenal sebagai penganut mazhab Syafi’i yang kuat. Cukup banyak
ulama level Internasional yang berasal dari daerah-daerah Asia Tenggara seperti
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Abdussamad Al-Falimbani, Syekh Mahfuz
At-Tarmasi, Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani, Syekh Yasin Al-Fadani dan
lain-lain yang semuanya bermazhab Syafi’i. Bahkan Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi pernah menjadi mufti mazhab Syafi’i di Masjidil Haram.
Sejak dahulu, banyak pelajar dari negara-negara ini yang belajar ke timur
tengah (terutama ke Yaman, Hijaz dan Mesir) dimana semuanya mengambil fiqh
mazhab Syafi’i. Dari tangan-tangan merekalah, mazhab Syafi’i berkembang pesat
di negaranya.
ndonesia dan
beberapa negara lain di asia tenggara menjadi tempat berdomisilinya muslim
yang bermazhab Syafi'i, hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor, di
antaranya:
1.
Arus penyebaran Islam dilakukan oleh para pendakwah bermadzhab Syafi'i, baik
da’i sebelum Walisongo maupun sesudah mereka. Memang terdapat beberapa daerah
yang--diduga-- terpengaruh Syiah dengan ritus-ritus khas yang terlestarikan
hingga saat ini, begitupun daerah yang di abad ke-19 tersentuh gerakan Wahhabi,
seperti di Sumatera Barat. Hanya saja ini kasuistik saja, gejala umumnya tetap
Sunni-Syafi'i.
2.
Para sultan di berbagai kerajaan Nusantara memberi dukungan atas pengajaran
madzhab ini. Secara khusus mereka membiayai penulisan sebuah Kitab. Misalnya,
Sultanah Safiyyatuddin Syah, penguasa Aceh, meminta Syaikh Abdurrauf Assinkili
merampungkan kitab fiqh "Mir'atut Thullab" yang selesai ditulis pada
1074 H/1663 M. Kitab ini bahkan dijadikan rujukan fiqh hingga di kepulauan
Mindanao, Filipina. Sultan Tahmidullah, penguasa Kesultanan Banjar, meminta
Syaikh Arsyad al-Banjari menulis "Sabilul Muhtadin" yang rampung pada
1195 H/1781 M.
3.
Matarantai intelektual terjalin atas dasar kesamaan madzhab. Jaringan ini
terlestarikan dari Haramain ke Nusantara. Sampai saat ini jaringan tetap terbina.
4.
Arus imigrasi dari Hadramaut (Yaman) memperkuat jejaring sosial-intelektual
yang telah ada. Kitab-kitab karya ulama 'Alawiyyin Hadhramaut menjadi acuan
dalam tazkiyatun nafs, seperti Risalatul Mu'awanah karya Sayyid Abdullah bin
Alawi Al-Haddad. Demikian pula pembacaan Ratib (al-Aththas, al-Haddad) menjadi
rutinitas khas di beberapa pesantren Nusantara.
5.
Penulisan kitab-kitab fiqh yang dilakukan oleh ulama Nusantara merujuk pada
kitab-kitab Syafi'iyah. Mir'atut Thullab-nya Syaikh Assinkili maupun Sabilul
Muhtadin-nya Syaikh Arsyad Albanjari banyak merujuk pada kitab-kitab Syafi'iyah
seperti Fathul Wahhab, Tuhfatul Muhtaj, Mughniyyul Muhtaj, Nihayatul Muhtaj,
Minhajut Thullab, dan sebagainya. Kitab Sirath al-Mustaqim-nya Syaikh Nuruddin
Arraniri juga banyak dikutip di dalamnya. Hal ini jelas mempengaruhi tradisi
intelektual pada babak sejarah berikutnya.
6.
Para qadhi-penghulu di era kesultanan hingga zaman kolonial menggunakan kitab
fiqh Syafi'iyyah sebagai rujukan utama.
QOUL QODIM DAN
QOUL JADID
Berbicara
mengenai qaul qadim dan jadid tak akan lepas dari corak fiqih Syafi’iyy. Sebab,
ia tak akan ditemukan pada madzhab fikih lainya. Sebuah keistimewaan sejarah
yang cukup unik.
Qaul qadim
pastilah medahului adanya qaul jadid, sebab tak ada sesuatu yang baru tanpa
didahului sesuatu yang lama. Begitu dengan pendapat serta fatwa imam
asy-Syafi’i. Qaul qadim merupakan pendapat serta fatwa-fatwa beliau ketika
berada di Baghdad. Sebuah kota yang didomisili oleh para ra’iyy. Karena itulah
imam Syafi’I belajar istinbath dengan pola rasionalis dari daerah tersebut.
Sebelum datang
ke Baghdad untuk melakukan rihlah ilmiah tersebut, imam Syafi’I terlebih dahulu
pernah berguru pada imam Malik yang tinggal di Madinah, disana beliau mendapat
pondasi kuat dalam struktur intelektual tradisionalnya (ahlu hadits). Beliau
pernah belajar di Madinah, Makkah dan Yaman, yang kemudian diteruskan rihlah
beliau ke Baghdad.
Saat di
Baghdad belia berhasil mengkader beberapa orang untuk menjadi ahli hukum islam
diantaranya :
·
Imam Ahmad bin Hanbal
·
Al Karabisi
·
Az Za’farani
·
Abu Tsaur
Saat beliau
berada di Baghdad beliau membangun pandangan hukumnya dan memberi fatwa melalui
motode yang lebih rasionalistis sebagaimana kultur pemikiran masyarakat
setempat. Tapi, beliau tidak meninggalkan corak tradisional ahlu hadits
melainkan beliau memberikan porsi yang seimbang di antara keduanya. Walaupun
beliau berada pada pergulatan tradisi rasionalisme akan tetapi tradisi
tradisional itu masih tertancap kuat dalam keintelektualan beliau. Di karenakan
tradisi tradisional merupakan basis awal bangunan intelektual beliau.
Setelah 3
tahum di Baghdad beliau melakukan perjalanan ilmiah ke Mesir dan kemudian
memetap di sana. Di Mesir beliau bertemu dengan sahabat-sahabatnya Imam Malik.
Dan karena itu pula tradisi intelektual ahli hadits beliau hidup kembali
menemukan sentuhan kulturalnya. Formasi 2 ekstrem aliran pemikiran akhirnya
menemukan titik keseimbangan dalam diri Imam Asy Syafi’i d Mesir.
Kemudian
beliau memutuskan untuk merumuskan ulang meodelogi dan merevisi beberapa
pandangan hukumnya pada saat di Baghdad (Qoul Jadid). Ini merupakan dampak dari
perkembangan dan peristiwa yang di alaminya dari penemuan hadits, pandangan dan
kondisi sosial yang di temui di Baghdad dan Hijaz.
Dari
keterangan di atas bisa kita simpulkan bahwa Qoul Qodim itu berada di Baghdad
dan Qoul Jadid berada di Mesir. Adapun Qoul Jadid dimuat di dalam kitab Al Umm
dan revisi kitab Ar Risalah. Sedangkan ulama- ulama Qoul Jadidnya yaitu:
·
Al Buwaithi
·
Al Muzanni
·
Al Robi’ al Muradi
Contoh Qaul qadim dan qaul Jadid:
Di sini akan disertakan beberapa contoh
ringkas perbedaan di antara Qaul Qodim (Pendapat Lama) dan Qaul Jadid (Pendapat
Baru) Imam Al-Syafie, namun sebelum mengamalkannya anda harus berguru, meneliti
dan mengkaji qaul manakah yang patut diamalkan. Ini kerana mungkin Imam
Al-Syafie telah merujuk pada Qaul Qodim-nya, atau Qaul Qodim berdasarkan dalil
yang Sahih.
Beberapa contoh:
1.
Hukum air mengalir yang terkena
najis, namun sifat-sifatnya tidak berubah. Qaul Qodim: Air mengalir tidak akan
menjadi najis. Qaul Jadid: Air mengalir hukumnya sama dengan air yang tenang.
Jika kuantitinya kurang dari dua kullah, maka menjadi najis.
2.
Hukum air mustakmal untuk bersuci
yang wajib. Qaul Qodim: Air mustakmal hukumnya suci lagi menyucikan. Qaul
Jadid: Air mustakmal hukumnya suci tetapi tidak dapat menyucikan.
3.
Hukum menjual kulit haiwan yang
telah disamak. Qaul Qodim: Tidak boleh menjualnya. Qaul Jadid: Boleh
menjualnya. Hukum terlupa tertib wuduk. Qaul Qodim: Sah wuduknya. Qaul Jadid:
Hukumnya sama dengan orang yang tinggalkan secara sengaja, tidak sah.
4.
Hukum muwalat dalam berwuduk. Qaul Qodim:
Wajib. Qaul Jadid: Sunat, bukan Wajib.
5.
Batas waktu mengusap khuf (sepatu).
Qaul Qodim: Tidak ada batas waktu. Qaul Jadid: Bagi musafir, 3 hari 3 malam
manakala bagi yang mukim sehari semalam.
6.
Hukum mengusap khuf yang koyak.
Qaul Qodim: Boleh mengusapnya. Qaul Jadid: Tidak boleh mengusapnya apabila
koyakan itu sampai menampakkan bahagian kakinya.
7.
Hukum wuduk bagi orang yang
tertidur ketika solat. Qaul Qodim: Tidak membatalkan wuduk. Qaul Jadid: Batal
wuduk. Hukum tidur dalam solat sama dengan hukum tidur di luar solat.
8.
Hukum wuduk bagi orang yang
menyentuh dubur manusia. Qaul Qodim: Tidak membatalkan wuduk. Qaul Jadid:
Wuduknya batal.
9.
Hukum wuduk bagi orang yang menyentuh dubur
binatang ternak. Qaul Qodim: Batal wuduk. Qaul Jadid: Tidak batal wuduk.
10. Hukum wuduk
bagi orang yang memakan daging unta. Qaul Qodim: Batal wuduk. Qaul Jadid: Tidak
batal wuduk.
11. Batas usapan tayamum pada tangan. Qaul Qodim:
Sehingga pergelangan tangan sahaja. Qaul Jadid: Sampai ke siku.
12. Tayamum dengan
pasir. Qaul Qodim: Boleh bertayamum dengan pasir. Qaul Jadid: Tidak boleh
bertayamum dengan pasir.
13. orang yang mempunyai air tetapi tidak cukup
untuk mandi hadas dan berwuduk. Qaul Qodim: Tidak wajib menggunakan air itu,
tayamum sahaja. Qaul Jadid: Wajib menggunakan air itu terlebih dahulu, kemudian
tayamum untuk menyucikan sebahagian anggota tubuhnya yang belum tersentuh air.
14. Kafarah
menggauli isteri yang sedang haid. Qaul Qodim: Dikehendaki membayar kafarah
dengan sedekah sebanyak 1 dinar jika menggauli isteri yang sedang haid pada
saat datangnya darah, dan setengah dinar bagi suami yang menggauli isterinya
yang sedang haid pada saat hilangnya darah. Qaul Jadid: Tidak wajib membayar
kafarah, tetapi sekadar dianjurkan sahaja. Dikehendaki memohon ampun dan
bertaubat kepada Allah SWT.
15. Hukum bersenang-senang di sekitar pusat dan
lutut isteri yang sedang haid. Qaul Qodim: Perbuatan itu tidak diharamkan,
tetapi makruh. Qaul Jadid: Perbuatan itu hukumnya Haram.
16. Waktu Solat
Maghrib. Qaul Qodim: 2 waktu-1 waktu saat terbenam matahari dan 1 waktu lagi
sampai hilangnya sinar merah matahari. Qaul Jadid: 1 waktu. Sebatas cukup
bersuci, menutup aurat, azan, iqamah dan solat.
17. Tidak
mengetahui atau terlupa membersihkan najis pada pakaian ketika solat. Qaul
Qodim: Solatnya sah. Qaul Jadid: Solat tidak sah dan wajib mengulang.
18. Lupa membaca
Al-Fatihah dalam solat. Qaul Qodim: Solatnya sah. Qaul Jadid: Solatnya tidak
sah.
19. Hukum baca
Al-Fatihah bagi makmum pada rakaat solat yang dikeraskan suara. Qaul Qodim:
Makmum tidak wajib membaca Al-Fatihah melainkan pada rakaat 3 dan 4. Qaul
Jadid: Makmum wajib membaca Al-Fatihah dalam setiap rakaat pada setiap solat.
20. salam di akhir
solat. Qaul Qodim: Disyariatkan hanya salam pertama sahaja. Qaul Jadid: Salam
kedua disyariatkan dan sunat hukumnya.
21. Hadas ketika
solat. Qaul Qodim: Hanya batal wuduk, tidak batal solat. Oleh itu, perlu keluar
barisan solat dan pergi berwuduk lalu sambung kembali solat tadi. Qaul Jadid:
Solatnya batal. Perlu mengulangi solat dari awal.
22. Menggantikan
imam yang berhadas. Qaul Qodim: Tidak boleh menggatikannya. Qaul Jadid: Boleh
mengganti imam.
23. Kes melewatkan
solat dalam perjalanan lalu ia mengqadanya di rumah. Qaul Qodim: Boleh
mengqasarnya, apabila melakukan solat di rumah. Qaul Jadid: Tidak boleh mengqasarkannya,
jika melaksanakan solat di rumah.
24. Hukum merampas
sebahagian harta orang yang tidak mahu membayar zakat. Qaul Qodim: Boleh. Qaul
Jadid: Tidak boleh.
25. Hutang menghalangi bayar zakat. Qaul Qodim:
Hutang menggugurkan kewajipan membayar zakat. Qaul Jadid: Hutang tidak
menghalangi kewajipan membayar zakat.
26. Permulaan
waktu wajib membayar zakat fitrah. Qaul Qodim: Saat terbitnya fajar di hari Ied
Fitri. Qaul Jadid: Wajib membayar zakat fitrah pada waktu selepas terbenamnya
matahari di hari terakhir bulan Ramadan atau malam menjelang Ied Fitri.
27. Membayar
fidyah bagi orang tua atau orang sakit yang tidak mampu berpuasa. Qaul Qodim:
Tidak wajib membayar fidyah. Qaul Jadid: Wajib membayar fidyah.
28. Gila sampai
setengah hari bagi orang yang berpuasa. Qaul Qodim: Sah puasanya. Qaul Jadid:
Tidak sah puasanya.
29. Meninggal
dunia sebelum mengqada puasa. Qaul Qodim: Walinya boleh berpuasa untuk orang
yang meninggal dunia atau membayar fidyah. Boleh pilih salah satu. Qaul Jadid:
Walinya tidak boleh menggantikan puasa untuk orang yang meninggal dunia.
Tetapi, wajib membayar fidyah.
30. Hukum Umrah. Qaul Qodim: Umrah hukumnya sunat,
bukan wajib. Qaul Jadid: Hukum Umrah adalah wajib.
31. Hukum ihram
bagi anak kecil yang mumayyiz (boleh membezakan baik & buruk) tanpa izin
walinya. Qaul Qodim: Tidak boleh. Qaul Jadid: Boleh.
32. Hukum
melanggar larangan ihram bagi anak kecil dengan sengaja. Qaul Qodim: Mesti
membayar fidyah dengan wang anak kecil itu. Qaul Jadid: Fidyah diambil dari
wang walinya.
33. Meninggal
dunia ketika sedang menunaikan haji. Qaul Qodim: Diperbolehkan menggantikan
hajinya. Qaul Jadid: Tidak diperbolehkan menggantikan hajinya.
34. Hukum berihram sebelum waktu ihram. Qaul
Qodim: Ihramnya boleh ditangguhkan sampai bulan-bulan haji. Qaul Jadid:
Ihramnya dianggap ihram umrah.
35. Hukum tawaf
dengan badan serong (45 darjah) atau kurang sempurna. Qaul Qodim: Boleh. Qaul
Jadid: Tidak boleh. Hendaklah betul-betul sempurna dan bukan dengan sebahagian
badan sahaja.
36. Hukum berhadas
ketika sedang tawaf. Qaul Qodim: Mesti pergi berwuduk dan tidak boleh
menyambung tawafnya dan perlu mulai dari awal. Qaul Jadid: Boleh melanjutkan
tawafnya setelah berwuduk.
37. Hukum menjual sesuatu yang belum dimiliki.
Qaul Qodim: Akad penjualan ditangguhkan sampai mendapat izin pemilik barang
yang hendak dijual. Apabila diizinkan maka penjualan itu sah. Qaul Jadid: Hukum
penjualan ini batal.
38. Azan bagi
solat qada’. Qaul Qodim: Tetap perlu azan. Qaul Jadid: Tidak perlu azan, hanya
iqamah sahaja.
39. Memakan kulit
bangkai haiwan yang telah disamak. Qaul Qodim: Tidak boleh memakannya, tidak
kira binatang yang halal atau haram dimakan. Qaul Jadid: Boleh dimakan jika
dari binatang yang halal.
40. Solat Isya’. Qaul Qodim: Mendahulukan solat
Isya’ lebih utama. Qaul Jadid: Mengakhirkan solat Isya’ lebih utama.
41. Makmum yang membaca amin. Qaul Qodim: Makmum
dianjurkan membaca amin dengan keras (jahar). Qaul Jadid: Makmum tidak perlu
membaca amin dengan keras.
42. Membaca surah
bagi imam atau orang yang solat sendirian pada rakaat ketiga dan keempat. Qaul
Qodim: Tidak disunatkan. Qaul Jadid: Disunatkan.
Bibliografi: 1. Al-Imam Al-Syafie fi
Madzhabihil Qadim wal Jadid karya Dr. Ahmad Nahrawiabdussalam.
Cara Mentarjih
Aqwal Syafi’iyyah :
·
Pendapat Syafi’i yang tidak
bertentangan dengan dalil baik pendapat lama maupun baru atau yang diambil
sebagai pendapat Imam Syafi’i.
·
Qoul Jadid menjadi pendapat madzhab
apabila secara terang-terangan bertentangan dengan qoul qodim. Namun, apabila
Qoul Jadid tak betentangan dengan Qoul Qodim atau tidak ada pendapat Syafi’i
dalam Qoul Jadid maka Qoul Qodim yang dipandang sebagai madzhab Syafi’i.
·
Apabila Qoul Qodim dan Qoul Jadid
sama-sama baik dan ada dalilnya , maka sebaiknya mengambil pendapat yang akhir
atau yang jadid. Jika tidak ada atau tidak di ketahui pendapat yang akhir maka
ambil pendapat yang ditarjih oleh Imam Syafi’i.
·
Jika tidaka ada mana yang rojih dan
tidak ada yang tarjih dari Imam Syafi’i, maka harus dicari yang paling rojih
dengan jalan disesuaikan denagn nash-nash dari Imam Syafi’i lainnya, metode,
kaidah pengambilan hukum serta ushul-ushul yang biasa di pakai oleh Imam
Syafi’i.
Faktor
Kelahiran Qaul Qodim dan Qaul Jadid
Antara faktor
yang mendorong Imam Al-Syafie mengubah pendapat lamanya (Qaul Qodim) kepada
pendapat yang baru (Qaul Jadid) adalah disebabkan:
1. Penemuan
dalil-dalil yang baru dan dapat diterima (maqbul).
2. Penemuan
kekuatan atau kelemahan sesuatu dalil.
Untuk memperluas cakrawala tentang
madzhab Syafi’I dan siapa imam Syafi’I, kami sarankan untuk membaca buku “
Ensiklopedi Imam Syafi’I, karya Dr. Ahmad Nahrawi Abdussalam”.
0 komentar:
Posting Komentar