BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kemajuan zaman selalu berjalan seiring dengan dinamika
kehidupan manusia dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Beragam perkembangan teknologi mulai merambah
masyarakat dengan kekhasannya masing-masing. Televisi sebagai salah satu produk
teknologi juga menyajikan hal yang serupa. Fitur dalam televisi saat ini
beraneka ragam, bukan hanya sebatas alat untuk menerima siaran atau tayangan
tertentu tetapi juga alat yang membantu manusia untuk berinternet. Hal tersebut
menyata dalam lahirnya smart television seperti yang diperkenalkan
oleh Samsung, pabrikan barang elekronik dari Korea Selatan. Tayangan atau
siaran televisi dijadikan sebagai sarana dan sumber informasi dan pengetahuan
yang konferensif dan pasti bagi masyarakat.
Anak-anak sebagai anggota masyarakat turut menggunakan
dan menerima perkembangan televisi. Apa yang ia lakukan dipengaruhi apa yang ia
tonton dari televisi. Tayangan-tayangan televisi telah merubah tindakan, daya
nalar dan daya pikirnya. Selain membawa dampak positif, televisi membawa dampak
negatif pula bagi anak-anak. Berbagai persoalan yang terjadi karena pengaruh
negatif televisi.
Dalam kehidupan anak-anak, ada dua proses yang
berjalan secara kontinu dan interaktif yaitu pertumbuhan dan perkembangan.
Kedua proses ini memiliki korelasi yang signifikan satu sama lain. Perkembangan
dan pertumbuhan anak merupakam hasil interaksi antara faktor internal anak dan
faktor eksternal seperti lingkungan sosial dan fisik.[1]
Perkembangan kepribadian anak dipengaruhi oleh lngkungan di mana ia hidup.
Sebagai makhluk sosial, anak berelasi dengan sesamanya dan membuatnya menjadi
pribadi yang khas dan unik. Dalam relasi tersebut, anak belajar dan diajar oleh
lingkungannya mengenai bagaimana ia harus berpikir dan bertindak, dan berpikir
dan bertindak yang bagaimana dapat dikatakan salah atau negasi darinya.[2]
Sejak adanya televisi, orang tua menunjukkan
keprihatinan yang besar mengenai pengaruh televisi bagi anak. Hal ini berkisar
dari penggunaan televisi tanpa waktu belajar sampai pada kejahatan moral yang
diakibatkan tayangan televisi. Upaya merestorasikan penggunaan televisi adalah
hal yang mutlak dilakukan oleh orang tua. Sejauh mana peran orang tua terhadap
perkembangan anak-anak dilihat dari pengaruh televisi? Usaha apa yang perlu
dilakukan oleh orang tua? Penulis akan membahas masalah lebih detail yang
kiranya dapat membantu orang tua dalam mengentas perkembangan anak.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengaruh TV pada anak?
2. Bagaimana peran orang tua agar anak tidak cenderung pada TV?
1.3 Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pengaruh TV pada anak
2.
Untuk mengatahui bagaimana cara orang tua agar
anak tidak cenderung dengan TV
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
televisi
Ensiklopedi Nasional Indonesia mengartikan televisi sebagai “pengubahan
gambar (serta cahaya) menjadi sinyal listrik, kemudian disalurkan dengan
perantaraan kabel atau gelombang elektromagnetik untuk diubah menjadi bentuk
semula (sinyal listrik menjadi gambar serta cahaya) oleh pesawat penerima.”[3] Televisi merupakan peranti elektronik yang memungkin suatu informasi
audio-visual dapat disaksikan oleh manusia di manapun ia berada berkat
keterjangkauan areal cakupan sebuah satelit yang menerima sinyal televisi.
B. Pengertian Anak-anak
Anak merupakan individu yang berada dalam
satu rentang perubahan
perkembangan yang dimulai dari bayi hingga
remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari
bayi (0-1 tahun) usia bermain/oddler (1-2,5 tahun),pra sekolah (2,5-5), usia
sekolah (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini berada antara
anak satu dengan yang lain mengingat latar belakang anak berbeda.[4]
Sedangkan menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia mengartikan anak-anak sebagai
“manusia yang berusia antara 18 bulan sampai dengan 13 tahun.[5] ”
C. Minat Anak pada Televisi
Dengan beragamnya program televisi,
anak-anak dapat menonton beragam acara televisi. Pada tahap ini, anak-anak
terangsang oleh setiap pergerakan (visual) dan persuaraan (audio). Kombinasi
sintetik antara kedua hal ini memungkinkan suatu informasi dapat tersaji dengan
menarik, artistik, variatif dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Televisi dapat “merasuki pusat rasionalisasi kita melalui rupa-rupa jalan yang
mungkin dengan maksud memikat kita secara sensoris, afektif, pun
rasional.”[6]
Nilai-nilai
positif maupun negatif berkembang yang ditawarkan oleh pelbagai macam tayangan.
Intensi anak-anak bagi televisi semakin besar ketika tayangan televisi
menyediakan beragam unsur dirinya yang menarik untuk ditonton. Superioritas
televisi mengganggu waktu anak-anak untuk melakukan sesuatu yang baik dan yang
berguna. Minat anak-anak pada televisi menjadi perhatian karena mengacu pada
faktor-faktor yang menyebabkan anak-anak menonton televisi misalnya usia, jenis
kelamin, intelgensi, status sosial, ekonomi, dan kepribadian anak.
Beragam tindakan yang dilakukan anak-anak
merupakan cara ia belajar dan bertumbuh sesuai dengan pikirannya. Kecenderungan
ini mengasah kemampuan anak secara ekstensif, mencari pengalaman yang lebih
luas dari apa yang ia dapatkan. Atensi anak-anak pada televisi sangat berantung
pula dalam unsur stratifikasi informasi yaitu dari informasi yang sederhana
sampai pada informasi yang rumit, dari informasi yang bersifat baik sampai pada
hal yang buruk. Dalam hal ini terciptanya hubungan respirokal yaitu di satu
sisi anak-anak membutuhkan informasi yang lebih luas, di sisi lain tayangan
televisi yang menghasilkan sifat konsumerisme bagi anak-anak.
Anak-anak dibentuk oleh konsep luar dirinya.
Terlepas dari ia mau menerimanya, realitas dunia luarnya turut mempengaruhi
pembentukan kepribadiannya. Anak-anak ingin berkembang untuk mendapatkan
sesuatu yang tidak ada di dalam keluarganya. Hal ini menguatkan sifat
keingintahuan anak-anak pada batasan tertentu. Limitasi yang diberikan kepada
anak-anak adalah sebuah upaya untuk meredakan potensi perkembangan anak dalam
aspek keingintahuannya. Anak-anak dibentuk dari apa yang ia lihat dan rasakan
kemudian menularkannya dalam tingkah lakunya yang cenderung sama. Karena itu
televisi menghadirkan informasi yang lebih positif, lebih produktif, dan lebih
luas sebagai persiapan kebutuhan masa depan.[7]
D. Televisi: Unsur
Paradoksal (bertentangan) terhadap Perkembangan Kepribadian Anak
Perhatian pada anak-anak terhadap kebutuhan
akan televisi meningkat sejauh mana ia menggunakan tayangan yang disajikan.
Unsur dualisme(baik buruk) dalam penggunaan televisi menguatkan dugaan yang tak
efisien dan kooperatif dalam penggunaan televisi yang terangkum dalam aspek
kognitif, aspek sosial, aspek emosi, dan aspek fisik.
E. Pengaruh
Positif Televisi bagi Anak-anak
Pengaruh-pengaruh
positif televisi bagi anak-anak sebagai berikut:
1. Aspek Kognitif.
Televisi memberikan suguhan
informasi, ide, dan peristiwa yang membantu anak-anak untuk berkembang dalam
berpikir. Masa kanak-kanak dihadapkan pada realitas yang berada di luar
kemampuan akal budinya. Dalamnya terdapat unsur skeptisisme yang menjadi ciri
khasnya. Lewat tayangan televisi anak-anak dibantu untuk berlatih bertanya dan
terus berpikir tentang sesuatu yang membingungkan bagi dirinya. Daya nalarnya
bisa berkembang dan ingin mencari jawaban dari permasalahan tersebut.
Kemampuannya untuk berpikir berakibatkan pada mental anak untuk terus mencari
informasi.
Selain itu, televisi memperluas wawasan anak-anak dan pengetahuan yang
lebih luas yang mungkin tidak didapatnya di bangku pendidikan. Materi pelajaran
pun bisa bertambah misalnya mencari literatur bahan pelajaran. Anak-anak
mentransformasikan pendidikannya dalam televisi sebagai model dan acuan yang
sangat berguna bagi perkembagannya. Orang tua pun dapat membentuk kegiatan home
schooling sebagai jalan subtitusi pendidikan formal.[8]
2. Aspek Emosi.
Dengan menonton televisi, anak dapat
bertindak cekatan, inovatif, tahu bekerja keras seperti yang ia tonotn pada
televisi. Televisi mendorong anak bertindak dengan layarnya sebelum melakukan
sesuatu. Selain itu, acara-acara yang ditayangkan dalam televisi menjadi acuan
motivasi bagi anak-anak agar dapat berkembang sesuai dengan keinginan mereka.
Cita-cita dapat dibentuk dengan melihat tokoh-tokoh yang diperankan dan
bagaimana cara dan proses untuk mendapatkannya misalnya menjadi dokter atau
tentara.
3. Aspek Sosial.
Anak-anak dapat mengetahui semua
kejadian yang terjadi di luar dirinya yang hanya mengenal orang lain lewat
pengalaman pribadinya. Ia tak hanya mengenal keluarga dan lingkungannya saja
tetapi lebih luas wilayahnya. Semua hal dapat diketahuinya misalnya pekerjaan,
olahraga, dan realitas lainnya. Anak-anak dapat mengingat dan memahami apa yang
disajikan oleh televisi dan menimbulkan efek bagi kehidupan mereka secara
intens. Mereka menafsirkan kekerasan di dalam televisi sebagai perilaku yang
direstui dan model yang ditiru dalam masyarakat, maka pengaruhnya akan berbeda
ketimbang apabila mereka mengartikannya sebagai perilaku yang tidak baik.
4. Aspek Fisik.
Televisi menjadi tempat hiburan bagi
anak-anak. Mereka mendapat tayangan yang sesuai dengan selera. Hiburan yang ia
dapatkan di tempat permainan tak memuaskan hatinya. Hiburan yang disajikan pun
bersifat endemis misalnya game, komedi, kartun, drama, dan musik.
Fisiknya pun ikut berubah. Ia dapat menggerakkan imajinasinya dengan menirukan
apa yan ia tonton.
F. Pengaruh
Negatif Televisi bagi Anak-anak
Perhatian khusus lebih dinobatkan pada
pengaruh negatif. Anak-anak menjadi korban rasisme televisi yang penayangannya
semakin menggila. Pengaruh-pengaruh negatif bagi anak-anak sebagai berikut:
1. Aspek Kognitif.
Acara televisi telah menyita waktu
anak-anak untuk pengerjaan tugas sekolah. Porsi menonton lebih banyak ketimbang
mengerjakan tugas. Acara-acara televisi lebih menggiurkan daripada mengejakan
pekerjaan rumah. Pekerjaan kecil dalam rumah dibiarkan menumpuk. Selain itu,
terlalu sering menonton TV dan tidak pernah membaca menyebabkan anak akan
memiliki pola pikir sederhana, kurang kritis, linier atau searah dan pada
akhirnya akan mempengaruhi imajinasi, intelektualitas, kreativitas dan
perkembangan kognitifnya. anak-anak masih mempunyai keterbatasan pengetahuan
dan kemampuan untuk menganalisa kejadian, Karena usia yang masih muda anak-anak
akan mengalami proses ini secara lebih lama, yang akan memberikan efek yang
lebih mendalam.
2. Aspek Emosi.
Televisi membentuk anak
dalam mentalitas easy-going, menganggap kemewahan adalah ukuran
kebahagiaan dan menganggap
kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup yang mengalungi perilaku anak-anak. Anak-anak bersikap tidak matang,
maunya serba cepat dan diselesaikan dalam waktu yang cepat dan singkat yang
membuatnya menjadi hamba televisi. Anak-anak tidak dibiasakan memecahkan
persoalan dan pelbagai masalah dengan kesabaran dan ketekunan. Tantangan ini
mengganggu anak-anak dalam mengejar cita-citanya. Anak-anak pun tak dapat
membedakan dunia fantasi dan dunia realitas.[9]
3. Aspek Sosial.
Anak-anak tak punya banyak waktu
bersama orang tua dan teman-temannya. Tendensi ini menjadikan kepribadian anak
tak membutuhkan dan mengenal orang lain. Komunikasi menjadi tidak lancar dan
terhambat. Pengawasan orang tua tak dihiraukan. Maka terbentuknya penyakit
fobia sosial yang tak terelakkan. Program-program yang disajikan merendahkan
hakikat keluarga sebagai pendidik maka para anggota keluarga misalnya anak-anak
yang pasif dan tidak kritis akan menerima begitu saja tanpa ada telaah lebih
lanjut. [10]Selain itu, anak yang banyak menonton TV namun belum memiliki daya kritis
yang tinggi, besar kemungkinan terpengaruh oleh apa yang ditampilkan di
televisi. Mereka bisa jadi berpikir bahwa semua orang dalam kelompok tertentu
mempunyai sifat yang sama dengan orang di layar televisi. Hal ini akan
mempengaruhi sikap mereka dan dapat terbawa hingga mereka dewasa.
4. Aspek Fisik.
Kekerasan dan aksi kejahatan
terbentuk setelah menonton televisi yang sangat mempengahui mental dan
psikologi. Film dan video porno menjadi ancaman dan incaran anak-anak yang
ingin mengetahuinya. Apabila mereka terbiasa dan tidak peka terhadap kekerasan,
mereka akan menerima perilaku itu sebagai pola hidup yang normal sehingga apa
yang ditayangkan dapat ditiru dengan mudah. Selain mengakibatkan kekerasan,
akibat dengan menonton televisi terlalu lama dapat mengganggu kesehatan fisik
anak-anak baik bagian luar maupun bagian dalam. Kesehatan tak dapat diperhatikan
lagi dengan munculnya sakit jantung, gangguan tidur, diabetes, obesitas, Attetion
Deficit Disorder ADD, gangguan pemusatan perhatian atau konsentrasi pada
anak, hiperaktif, asma, sakit mata, dan perilaku agresif.[11]
G. Eksistensi
Peran Orang Tua
Orang tua menjadi agen sosialisasi utama bagi anak-anak dalam keluarga.
Orang tua ditempatkan sebagai pembimbing anak-anak. Orang tua diibaratkan
nahkoda yang mengendalikan bahtera keluarga. Orang tua sebagai kompas, penunjuk
arah dan jalan bagi keberlangsungan anggota keluarga.
Anak-anak pada awalnya bertumbuh dan berkembang dalam keluarga. Keluarga
menjadi locus primer perkembangannnya. Otentisitas perkembangan anak
berada dalam keluarga yang terbentuk secara perlahan, membutuhkan waktu yang
lama, tergantung sejauh mana anak tersebut mau menerima realitas luar dirinya.
Antara orang tua dan anak-anak tidak adanya garis demarkrasi yang mana dalam
keluarga adanya hubungan timbal balik. Ranah kontekstual yang diperhatikan
ialah sejauh mana orang tua mengtransformasikan nilai, norma, dan budaya kepada
anak-anak.
Posibilitas pengaruh televisi menjadi urgen yaitu ketika televisi telah
mempengaruhi perkembangan anak. Kelinglungan dan kecerobohan orang tua akan
menjadi bumerang tersendiri bagi perkembangan anak-anak. Metanarasi antara
peran orang tua dan anak-anak cukuplah besar karena dihadapkan pada kenyataan
bahwa anak-anak harus dapat dikembangkan secara intensif. Berikut akan
dibeberkan peran orang tua dalam mengentas nilai perkembangan anak yang lebih
baik.
1. Orang tua perlu menanamkan pengaruh televisi bagi anak-anak dengan
mengajarkan bahwa televisi dahulu diciptakan untuk kepentingan manusia, bukan
manusia untuk televisi. Anak-anak diarahkan untuk mengembangkan kreativitas,
dengan menjadi subjek perilaku yang kreatif dan cekatan bukan sebagai objek
yang hanya dikuasai oleh teknologi.
2. Orang tua sebaiknya perlu membuat
kegiatan lain daripada hanya menonton televisi, misalnya mengajak berekreasi.[12] Selain untuk kesenangan dan hiburan, berekreasi juga dapat menjadi tempus
dalam merelaksasikan pikiran yang mungkin lelah berkutat pada pendidikannya dan
dapat mengenal dunia luar yang mungkin saja tak ia temukan dalam televisi.
Selain berekreasi, orang tua juga dapat menginternalisasikan nilai-nilai budaya
dan nilai-nilai rohani dapat membuat anak cinta budaya sendiri dan terciptanya
kepribadian yang matang dari segi afeksi, emosional, dan spiritual.[13]
3. Untuk tidak terjebak dalam situasi
negatif bagi anak-anak, orang tua perlu selektif dalam tayangan yang ditonton
anak-anak sesuai dengan umur mereka. Orang tua perlu menanamkan penggunaan
televisi secara moral dan sesuai etiket. Mereka perlu membatasi jam belajar
anak-anak dan hanya memberikan waktu menonton apabila ada kejenuhan dalam
belajar.
4. Orang tua menjadi agen terpenting
dalam cara belajar anak. Orang tua pun berdialog dengan anak-anak tentang
cara belajar yang baik.[14] Orang tua menjadi andalan dalam menetapkan tujuan pembelajaran anak-anak,
misalnya adanya proyek jangka panjang dan proyek jangka pendek. Proyek jangka
pendek dilakukan untuk pendidikan yang lebih baik misalnya persiapan ujian
semester dan tugas-tugas lainnya sedangkan proyek jangka panjang dilakukan
untuk membentuk kepribadian yang kreatif, cekatan, intelektual di atas
rata-rata, dan bernaluri tinggi.
Orang tua
mempunyai peran membantu anak-anak dalam membandingkan tayangan televisi dan
pendidikan formal mereka. Hal ini dimaksudkan untuk menambah wawasan anak-anak
yang bersifat kumultatif yang berarti wawasan anak-anak dapat dikonstruksi
perlahan, ditambah, direvisi, dan dikurangi sehingga makin lama makin baik.
BAB III
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Televisi merambah masyarakat dengan kelebihan dan kekurangannya yang
dirasakan oleh masyarakat. Tak dapat dielak, pengaruh negatif TV lebih besar
daripada pengaruh positifnya. Anak-anak dengan lugunya dan kepolosannya
menerima kehadiran televisi dengan mudah. Bahkan denyut nadi perkembangan
kepribadian anak ditentukan oleh pengaruh televisi. Sejauh ini ranah
problematis yang dilirik ialah pengaruh negatif televisi yang sudah mengalungi
kehidupan anak-anak.
Orang tua sebagai pengajar dan pembimbing
anak mempunyai tanggung jawab besar terhadap perkembangan anak. Kepeduliannya
sangat menentukan perjalanan anak-anak. Dengan hal ini, anak-anak dapat
dijauhkan dari sikap negatif yang bisa saja diakibatkan pengaruh negatif
televisi dan sikap-sikap baik dikembangkan demi masa depan yang baik.
1.2. Saran
Bagi orang tua hendaknya lebih memperhatikan lagi anak-anak ketika menonton
televisi. Ketika anak menonton televisi usahakan orang tua bisa mendampingi
untuk memberikan pengarahan pada anak. Dan ketika memberikan tontonan pada
anak-anak hendaknya memilihkan tontonan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Batmomolin, Lukas dan Fransiska Hermawan, Budaya
Media. Bagaimana Pesona Media Elektronik Memperdaya Anda.. Ende: Nusa
Indah, 2003.
Catholic Life, Vol. 19, Tahun 11, 2011.
Chen, Milton. Anak-anak dan Televisi.
Yogyakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Duka, Agus Alfons (Ed.). Voice in the Wildrness (Pesan
Paus Yohanes Paulus II untuk Hari Komunikasi Sedunia Tahun 1979-2005). Maumere:
Ledalero, 2007.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 16.
Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1994.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 2. Jakarta:
Cipta Adi Pustaka, 1994
Gunarsa, Singgih. Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.
Kartono, Kartini. Psikologi Anak. Bandung:
Alumnni, 1986.
Nadeak, Wilson. Anak dan Harapan Orang Tua. Ende:
Nusa Indah, 1994.
Siahaan, S. M. Komunikasi, Pemahaman dan
Penerapannya. Jakarta: PT BPK Gunung
Soekanto, Soerjono. Anak dan Pola Perilakunya.
Yogyakarta: Kanisius, 1986.
Tondowidjojo, Raden Mas John. Media Massa dan
Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius, 1985.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24631/4/Chapter%20II.pdf.senin,25/04/2016.21:22
http://www.metronews.com/mobile-site/read/news/2011/21/08/67494-nonton_televisi_dengan_selektif_perkembangan_anak.,Jumat, 13/04 2016.
[2] Singgih Gunarsa,
Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989)
hlm:. 60-62.
[4]
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24631/4/Chapter%20II.pdf
[6] Lukas Batmomolin dan Fransiska Hermawan, Budaya
Media. Bagaimana Pesona Media Elektronik Memperdaya Anda. (Ende: Nusa
Indah, 2003) hlm: 159.
[7] S. M. Siahaan, Komunikasi,
Pemahaman dan Penerapannya, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1991), hlm:8.
[8] http://www.metronews.com/mobile-site/read/news/2011/21/08/67494-nonton_televisi_dengan_selektif_perkembangan_anak, diakses rabu, 13/04/ 2016
[9]
Wilson
Nadeak, Anak dan Harapan Orang Tua, (Ende: Nusa Indah, 1994), hlm:. 45.
[10] Agus Alfons Duka
(ed.), Voice in the Wilderness ( Pesan Paus Yohanes Paulus II untuk Hari
Komunikasi Sedunia) 1979-2005 ) (Maumere: Ledalero, 2007) hlm:
11.
Oleh : Azizah Na'imatul Jannah
0 komentar:
Posting Komentar