Seiring
berjalannya waktu, zaman di mana kita
hidup terus semakin berkembang. Semua berjalan jauh lebih cepat dan lebih
simpel dari apa yang telah kita jalani pada zaman-zaman sebelumnya. Semakin
banyak hal yang dapat dikerjakan dengan tanpa memeras banyak tenaga dan
mengulur banyak waktu. Begitulah zaman sekarang, zaman di mana semua terasa sangat mudah, zaman yang
memang pantas dikatakan sebagai zaman instan.
Segala sesuatu
memiliki sisi positif dan sisi negatif, termasuk di dalamnya berkembangnya
zaman ini menjadi sebuah zaman yang kini kita sebut dengan zaman instan.
Banyaknya kemudahan yang kita peroleh adalah sisi positifnya. Namun di balik
itu, tersirat banyak sisi negatif yang muncul apabila kita tidak mengimbanginya
dengan kesadaran diri yang cukup tinggi akan hal yang akan terjadi nantinya.
Diantara sisi
negatif yang begitu tersirat adalah semakin minimnya minat seseorang untuk
banyak membaca, baik hanya sekedar membaca artikel-artikal ringan sampai
membaca kitab-kitab yang terbilang berat. Hal ini tentu dapat menyeret
seseorang ke dalam kubangan kebodohan yang menganga cukup lebar.
Tidak menutup
kemungkinan ‘seseorang’ tersebut ada di antara kita sebagai seorang muslim.
Sehingga, tak sedikit di antara kita juga telah terjun dalam kubangan kebodohan
tersebut. Banyak di antara kita yang
begitu malasnya dalam membaca sehingga tak sedikit
permasalahan-permasalahan din yang sebenarnya begitu sederhana dijawab hanya
dengan gelengan kepala.
Di antara
permasalahan yang begitu sederhana tersebut adalah mengenai pelaksanaan sujud
tilawah. Banyak di antara kita yang masih bingung ketika ditanya mengenai
permasalahan din yang sederhana ini, seperti wajibkah kita melakukan sujud
tilawah? Benarkah kita harus dalam keadaan suci ketika melakukannya? Apakah
hukum sujud tilawah dengan tanpa menutup aurat? Dan pertanyaan- pertanyaan lain
seputar hukum dan syarat dalam sujud tilawah.
Dalam makalah
sederhana ini, kami ingin membantu
memberikan sedikit pencerahan mengenai satu dari sekian banyak permasalahan din
yang begitu sederhana namun begitu banyaknya orang-orang yang tidak atau kurang
mengetahuinya. Salah satu alasan mengapa kami memilih pembahasan mengenai sujud
tilawah adalah karena mengingat besarnya frekuensi seorang muslim dalam membaca
al-Qur’an pada umumnya. Dan telah kita ketahui bersama bahwa sujud tilawah
termasuk perkara yang tak bisa dilepaskan dari membaca al-Qur’an layaknya
pengetahuan kita mengenai wajibnya seseorang untuk mengamalkan ilmu tajwid
dalam membaca al-Qur’an.
Kami menyadari
makalah ini masih jauh dari predikat sempurna. Sehingga kami sangat
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca. Semoga makalah ini dapat
memberikan banyak manfaat kepada para pembaca seperti harapan kami sebagai
penulis pada awalnya.
B. PENGERTIAN SUJUD TILAWAH
a.
Secara
etimologi:
Sujud berasal
dari kata سجد-يسجد-سجودا
yang berarti
tunduk dan patuh. Atau meletakkan dahinya diatas tanah.[1]
Tilawah
berasal dari kata تلا-يتلو-تُلوّا
yang artinya
membaca. Sedangkan تلاوة القرأن الكريم
berarti
‘bacaan al-Qur’an al-Karim.[2]
b.
Secara
terminologi:
Sujud tilawah
adalah sujud yang dilakukan karena
membaca atau mendengar ayat sajadah yang terdapat dalam al-Qur’an al-Karim.[3]
C. DALIL DISYARIATKANNYA SUJUD TILAWAH
Para ulama
telah menyepakati (berijma’) bahwa sujud tilawah merupakan suatu ibadah yang
disyari’atkan. Hal ini berdasarkan pada nash-nash yang banyak bersumber dari
al-Qur’an dan as-Sunnah, di antaranya,
1)
Dalil
dari al-Qur’an
Allah
I
telah mencela orang-orang yang meninggalkan sujud dalam al-Qur’an, seperti
dalam firman-Nya,
* وَإٍذَا قُرٍئَ عَلَيهٍمُ القُرأْنُ
لاَ يَسجُدُونَ
2)
Dalil
dari as-Sunnah
a)
Dari
Yahya bin Sa’id t,
bahwasanya dia berkata,
أخبرني نافع,عن ابن عمر رضي الله عنهما: إن
النبي ﷺ كان يقرأ القرأن
فيقرأ سورة فيها سجدة فيسجد و نسجد معه حتى مايجد بعضنا موضعا لمكان جبهته
“Telah mengabarkanku Nafi’, dari Ibnu Umar,
bahwasanya Nabi ﷺ
membaca surat yang terdapat ayat sajadah di dalamnya, maka beliau ﷺ
sujud dan kami sujud bersama beliau sampai-sampai sebagian dari kami tidak
mendapatkan tempat bagi dahinya.”(HR. Muslim )
b)
Dari
Abu Hurairah t,
Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ
فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِى يَقُولُ يَا وَيْلَهُ – وَفِى رِوَايَةِ
أَبِى كُرَيْبٍ يَا وَيْلِى – أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ
الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِىَ النَّارُ
“Jika
anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya
sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku, anak Adam disuruh sujud,
dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk
sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.”
(HR. Muslim dan Ibnu Majah)[5]
D. HUKUM SUJUD TILAWAH
Adapun mengenai hukum sujud tilawah sendiri,
para ulama berbeda pendapat. Imam ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa sujud tilawah adalah wajib. Sedangkan pendapat
yang diambil oleh Jumhur adalah sunnah dan bukan wajib. Di antara mereka yang
berpendapat sunnah adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, al-Auza’ie, al-Laits, Imam
Ahmad, Ishaq, Abi Tsaur, Daud, dan Ibnu Hazm. Selain dari para ulama diatas,
sahabat Rosulullah ﷺ
yang berpendapat sunnah diantaranya, Umar bin Khatab, Salman, Ibnu Abbas, dan
Imron bin Husain y.[6]
Para ulama yang berpendapat wajib memiliki
beberapa dalil, di antaranya,
{السجدة على من سمعها, وعلى من تلاها}
“sujud tilawah bagi yang mendengarnya dan yang
membacanya”. Hadits ini menunjukkan perintah wajib dan ia
tidak terikat dengan suatu maksud tertentu.
Selain
hadits di atas, mereka juga berdalil dengan firman Allah I
dalam QS. al-Insyiqoq ayat 20-21 yang artinya, “Maka mengapa tidak mau
beriman? Dan apabila al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud”.
Dalam ayat tersebut Allah I
mencela seseorang yang yang tidak mau melakukan sujud. Dan tidaklah Allah I
mencela seseorang yang meninggalkan suatu perbuatan kecuali perbuatan tersebut
adalah wajib.[7]
Sedangkan
mereka yang berpendapat sunnah juga memiliki dalil-dalil yang mampu membantah
mereka yang berpendapat sunnah. Di antara dalil-dalil tersebut adalah:
1.
Bahwasanya celaan yang terdapat pada surat
al-Insyiqoq di atas merupakan celaan yang ditujukan kepada mereka yang
meninggalkan sujud karena mereka enggan dan sombong bukan karena meninggalkan
sujud tilawah. Sehingga, dalil ini tidak dapat dijadikan dalil atas wajibnya
sujud tilawah tersebut.[8]
2.
Adanya hadits yang menunjukkan perbuatan para
sahabat yang pernah tidak melakukan sujud tilawah dan hal ini diketahui oleh
Rosulullah ﷺ.
Yaitu hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit t,
dia berkata: “Aku telah membacakan kepada Nabi ﷺ
surat an-Najm, dan tidak seorangpun dari kami yang sujud.”(HR.
Jama’ah kecuali Ibnu Majah)
E. SYARAT-SYARAT SUJUD TILAWAH
Seperti lazimnya permasalahan fiqh yang lain, para
ulama telah berbeda pendapat dalam menentukan syarat-syarat sujud tilawah.
Ulama-ulama fiqh empat madzhab telah membagi
syarat sujud tilawah menjadi syarat wajib dan syarat sah. Mereka berpendapat
bahwa syarat bagi sujud tilawah adalah apa-apa yang telah disyaratkan dalam sholat.
Sehingga –seperti kita tahu sebelumnya apa saja yang menjadi syarat wajib dan
syarat sah sholat– syarat wajib sujud tilawah adalah Islam, baligh, berakal, dan
suci dari haidh dan nifas.[9] Sedangkan
syarat sah sujud tilawah adalah suci dari hadats dan najis, menutup aurat, dan menghadap
kiblat.[10]
Namun begitu, tidak semua ulama menyepakati
pendapat ini. Ada beberapa ulama yang tidak mensyaratkan semua syarat-syarat
tersebut. Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat atas tidak
adanya beberapa syarat dalam sujud tilawah karena sujud berbeda dengan sholat,
melainkan hanya sebuah ibadah. Dan telah diketahui bahwa bentuk ibadah secara
umum tidak disyaratkan baginya suci dari hadits maupun najis. Pendapat ini juga
diambil oleh Ibnu Umar, asy-Sya’bi, dan al-Bukhori.[11]
Para ulama yang berpendapat demikian memiliki
beberapa dalil, di antaranya:
a)
Hadits
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas sebagai berikut,
حدّثنا مسدّد قال: حدّثنا عبد
الورث قال: حدّثنا أيوب عن عكرمة عن ابن عباس: أن نبي ﷺ
سجد باالنجم وسجد معه المسلمون والمشركون والجن والإنس
‘Telah bercerita kepada kami Musaddad, telah
bercerita kepada kami Abdul Warits, telah bercerita kepada kami Ayyub, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas: “bahwasanya Nabi ﷺ
melakukan sujud karena telah membaca surat an-Najm, kemudian orang-orang muslim
dan orang-orang musyrik ikut sujud bersama beliau, baik dari kalangan jin
maupun manusia.”(HR. Bukhori) [12]
Imam
Syaukani berkata: ”Tidak ditemukan dalam hadits-hadits tentang sujud tilawah yang
telah menyebutkan bahwa seorang yang sujud harus dalam keadaan berwudhu (suci).”[13]Akan
tetapi yang dijelaskan dalam hadits hanyalah keikutsertaan orang-orang yang
hadir untuk sujud ketika Rasulullah ﷺ
membaca ayat sajadah tersebut. Dan tidak juga dijelaskan bahwa salah satu di antara
mereka memerintahkan untuk wudhu. Selain itu, telah disebutkan dalam hadits
tersebut ikutnya orang-orang musyrik dalam sujud. Sedangkan orang musyrik
adalah orang yang selamanya najis dan tidak akan pernah sah wudhu mereka.[14]
b)
Imam
Bukhori telah meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya beliau (pernah) melakukan
sujud dalam keadaan tidak berwudhu (suci).[15]
c)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa sujud tilawah tidaklah sama dengan
sholat sebagaimana yang telah dikatakan oleh empat imam madzhab. Karena,
tidaklah dikatakan ‘sholat’ kecuali yang terdiri dari 2 rakaat dan suatu hal
yang tidak terdiri dari 2 rakaat bukan merupakan sholat, kecuali rakaat witir.
Hal ini berdasarkan dalil dalam as-Sunan, dari Ibnu Umar bahwasanya Rosulullah ﷺ bersabda:
“Sholat pada malam dan siang hari adalah 2 rakaat 2 rakaat”(HR. Abu
Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i). Namun penambahan kata ‘dan siang hari’ dalam
hadits ini adalah dho’if.
Maka, kita kembalikan pengertian sholat kepada
apa yang telah disabdakan oleh Rosulullah ﷺ.
Hadits dari Ali bahwasanya Rosulullah ﷺ
bersabda:
مفتاح الصلاة الطهور, وتحريمها
التكبير, وتحليلها التسليم
“Kunci sholat adalah suci, pengharam sholat
adalah takbir, dan penghalal sholat adalah salam”(HR.
Bukhori).[16]
Sehingga jelaslah terlihat bahwa sujud tilawah
berbeda dengan sholat pada umumnya.
Adapun mengenai menutup aurat dan menghadap
kiblat, dilakukan apabila memungkinkan dan ini merupakan perkara yang telah
disepakati.[17]
Abu Malik Kamal mengatakan dalam bukunya bahwa selama sujud tilawah ini
bukanlah bagian dari sholat maka tidak disyaratkan di dalamnya menghadap kiblat
seperti yang telah disampaikan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Hazm .
Walaupun demikian, tidaklah diragukan lagi
bahwa melakukan sujud tilawah dalam keadaan suci dan menghadap kiblat adalah
lebih utama dan lebih sempurna. Dan tidak dianjurkan untuk meninggalkannya
apabila tidak ada udzur. Namun, keduanya tetaplah bukan menjadi syarat sah
sujud tilawah. Wallahu a’lam[18]
F. PENUTUP
Dari penjelasan yang telah kami paparkan di
atas, kami dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
a)
Hukum sujud
sahwi adalah sunnah sesuai dengan pendapat yang diambil oleh jumhur. Adapun
ulama yang berpendapat wajib adalah ulama Hanafiyah, Imam ats-Tsauri, dan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
b)
Melakukan
sujud tilawah dalam keadaan berwudhu (suci) bukan merupakan syarat sah dari
sujud tilawah. Begitu juga dengan menutup aurat dan menghadap kiblat. Hal ini
berarti apabila seseorang melakukan sujud tilawah tidak dalam keadaan suci,
tidak menutup aurat, dan tidak menghadap kiblat tetaplah sah.
c)
Walaupun bukan
termasuk dalam syarat sah, namun sebaiknya kita tidak meninggalkan hal-hal
tersebut kecuali karena udzur yang syar’i. Karena, melakukan sujud tilawah
dengan menyempurkan hal-hal tersebut adalah lebih sempurna dan lebih utama.
Wallahu A’lam Bisshawab.
DAFTAR PUSTAKA
Anis, Dr.
Ibrohim. Mu’jam al-Wasith, 1972 M
Atsqalani,
Al-, Ibnu Hajar. Fathul Baari, jilid: 2, Kairo: Daar al-Hadits, 2004 M
Azzizi, Al-,
Abu Abdi ar-Rahman ‘Adil bin Yusuf. Tamam al-Minnah, jilid: 1, Daar
al-Aqidah, 2009 M
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus
al- Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
M
Salam, Abu
Malik Kamal bin Abdis. Shahih Fiqh Sunnah, jilid: 1, al-Maktabah
at-Taufiqiyyah
Syaukani,
Asy-, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nailul Author, jilid: 3, Kairo: Daar
al-Hadits, 2005 M
Taimiyyah,
Ibnu. Majmu’ Fatawa, jilid: 23, al-Maktabah at-Taufiqiyyah
Zuhaili, Az-,
Wahbah. Fiqh Islam wa Adillatuhu, jilid: 2, Jakarta: Gema Insani, 2010 M
Zuhaili, Az-,
Wahbah. Mausu’ah al-Fiqh al-Islami, jilid: 2, Damaskus: Darul Fikri,
2010 M
[1] DR. Ibrohim Anis dkk, al-Mu’jam al-Wasith,
hlm: 442
[2] A.W. Munawwir, Kamus al- Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),hlm:138
[3] Abu Malik Kamal bin Abdis Salam, Shahih
Fiqh Sunnah, (al-Maktabah at-Taufiqiyyah), jilid: 1, hlm: 445
[4] Qs. al-Insyiqoq: 21
[5] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa
Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2010), jilid: 2, hlm: 256
[6] Abu Malik Kamal bin Abdis Salam, Shahih
Fiqh Sunnah, (al Maktabah at Taufuqiyyah), jilid: 1, hlm: 446
[7] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqh
al-Islami, (Damaskus: Darul Fikri, 2010), jilid: 2, hlm: 109
[8] Abu Malik Kamal bin Abdis Salam, Shahih
Fiqh Sunnah, (al Maktabah at Taufiqiyyah), jilid: 1, hlm: 447
[9] Ini adalah pendapat ulama Hanafiyyah dalam
kitab Fiqh ‘ala Madzhab al-Arba’ah halaman 374
[10] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqh
al-Islami, (Damaskus: Darul Fikri, 2010), jilid: 2, hlm: 112
[11] Abu Malik Kamal bin Abdis Salam, Shahih
Fiqh Sunnah, (al Maktabah at Taufiqiyyah), jilid: 1, hlm: 449
[12] Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fathul Baari,
(Kairo: Daar al-Hadits,2004), jilid: 2, hlm: 635
[13] Abu Abdi ar-Rahman ‘Adil bin Yusuf al-Azzazi,
Tamam al-Minnah, (Daar al-Aqidah, 2009), jilid: 1, hlm: 432
[14] Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Nailul
Author, (Kairo: Daar al-Hadits, 2005), jilid: 3, hlm: 110
[15] Ibid
[16] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Majmu’
Fatawa, (al-Maktabah at-Taufiqiyyah), jilid: 23, hlm: 102
[17] Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Nailul
Author, (Kairo: Daar al-Hadits, 2005), jilid: 3, hlm: 110
[18] Abu Malik Kamal bin Abdis Salam, Shahih
Fiqh Sunnah, (al-Maktabah at-Taufiqiyyah), jilid: 1, hlm: 450
By : Husna Amania
0 komentar:
Posting Komentar